Anda di halaman 1dari 14

Mata Kuliah : Psikologi Kesehatan

Dosen Pengampuh : 1. Dr. Rohmah Rifani, S.Psi., M.Si., Psikolog


2. Novi Yanti Pratiwi, S.Psi., M.Psi., Psikolog

STRESS CONCEPT, COPING,


RESILIENCE, AND SOCIAL SUPPORT

Disusun oleh :
KELOMPOK 4 KELAS B
Dinia Anisa Ludar (200701500066)
Azkiah Putri Nida An-nada (200701501032)
Asmaya Farisya (200701502118)
Andi Sifha Asifa Sulaeman (200701502022)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Stress concept, Coping, Resilience, and Social Support” ini tepat pada
waktunya. Makalah ini disusun dalam rangka untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah Psikologi Kesehatan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampuh Mata Kuliah
Psikologi Kesehatan kelas B yakni ibu Dr. Rohmah Rifani, S.Psi., M.Si., Psikolog
dan ibu Novi Yanti Pratiwi, S.Psi., M.Psi., Psikolog yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini. Dan kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Makassar, 01 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

C. Tujuan Penelitian..........................................................................................1

BAB II......................................................................................................................2

PEMBAHASAN......................................................................................................2

A. Stress Concept...............................................................................................2

B. Coping...........................................................................................................4

C. Resilience......................................................................................................6

D. Social Support...............................................................................................9

BAB III..................................................................................................................10

PENUTUP..............................................................................................................10

A. Kesimpulan.................................................................................................10

B. Saran...........................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stres1 merupakan masalah umum yang terjadi dalam
kehidupan umat manusia. Kupriyanov dan Zhdanov (2014) menyata-
kan bahwa stres yang ada saat ini adalah sebuah atribut kehidupan
modren. Hal ini dikarenakan stres sudah menjadi bagian hidup yang
tidak bisa terelakkan. Baik di lingkungan sekolah, kerja, keluarga, atau
dimanapun, stres bisa dialami oleh sese-orang. Stres juga bisa
menimpa siapapun termasuk anak-anak, remaja, dewasa, atau yang
sudah lanjut usia. Dengan kata lain, stres pasti terjadi pada siapapun
dan dimanapun. Yang menjadi masalah adalah apabila jumlah stres
itu begitu banyak dialami seseorang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan stress concept?
2. Apa yang dimaksud dengan coping?
3. Apa yang dimaksud dengan resilience?
4. Apa yang dimaksud dengan social support?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui makna stress concept.
2. Untuk mengetahui makna coping.
3. Untuk mengetahui makna resilience.
4. Untuk mengetahui makna social support.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Stress Concept
Sekitar awal abad keempat belas, istilah stres bisa ditemukan, namun
pengertiannya masih pada “kesulitan atau penderitaan yang begitu berat”.
Istilah stres tersebut pun masih berdasarkan penekanan yang belum secara
sistematis (Lazarus, 1993). Kemudian pada abad kedelapan belas hingga awal
abad kesembilan belas, kata stres dipahami sebagai kekuatan, tekanan,
ketegangan atau usaha yang kuat diberikan pada sebuah objek material atau
pada seseorang "organ atau kekuatan mental” (Hinkle, 1974). Pada abad
kesembilan belas, istilah stres juga sebenarnya sudah mulai digunakan dalam
ilmu kesehatan dan sosial (Bartlett, 1998). Namun istilah stres baru dikaitkan
pada kondisi manusia di bidang kajian-kajian ilmiah semajak tahun 1930
(Lyon, 2012). Kemudian selama abad kesembilan belas hingga abad kedua
puluh, istilah stres dan tekanan pun mulai dikosep sebagai penyebab
permasalahan dalam kesehatan secara fisik maupun psikologis (Hinkle, 1974).
Cannon merupakan peneliti pertama yang mengembangkan konsep stres
yang dikenal dengan “fight-or-flight response” pada tahun 1914 (Bartlett,
1998). Berdasarkan konsep yang diperkenalkan Cannon tersebut, “the fight-
or-flight response”, stres diartikan sebagai respons tubuh terhadap sesuatu hal.
Cannon menyatakan bahwa stres adalah sebagai ganguan homeostasis yang
menyebabkan perubahan pada keseimbangan fisiologis yang dihasilkan dari
adanya rangsangan terhadap fisik maupun psikologis. Namun seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahun dan bertambahnya penelitian di bidang stres,
berbagai teori tentang stres pun bermunculan. Beberapa teori tersebut
diantaranya: (1) Person-Environment Fit, (2) Conservation of Resources
Theory, dan (3) The Job DemandsControl-support Model of Work Design
(Dewe, O’Driscoll & Cooper, 2012).
Walaupun teori stres terus berkembang dari masa ke masa, tetapi secara
fundamental teori stres hanya digolongkan atas tiga pendekatan. Tiga
pendekatan terhadap teori stres tersebut adalah: (1) stres model stimulus

2
(rangsangan), (2) stres model response (respons), dan (3) stres model
transactional (transaksional) (Bartlett, 1998; Lyon, 2012). Tulisan ini akan
membahas konsep stres, stimulus, respon, dan akibat yang ditimbulkan oleh
stres.
1. Stres Model Stimulus
Stres model stimulus menjadi terkenal pada tahun 1940 dan 1950
(Bartlett, 1998). Kemudian pada tahun 1960-an, para ahli psikologi
menjadi tertarik untuk mengkaji konsep stres yang ditinjau dari
pengalaman psikologis (Lyon, 2012). Sebenarnya, perkembangan teori
stres model stimulus berawal dari temuan para peneliti terhadap prajurit
militer yang sedang melaksanakan tugas perang (Bartlett, 1998). Tugas
kemiliteran ini pun dianggap sebagai penyebab stres yang menyebabkan
semakin memburuknya kesehatan para militer tersebut. Kondisi kesehatan
yang memburuk itu disebabkan oleh adanya rangsangan atau stimulus
yang datang dari luar diri mereka. Rangsangan tersebut merupakan situasi
peperangan yang akan dihadapi. Mereka membayangkan bahwa situasi
peperangan yang akan terjadi adalah sangat berbahaya. Alhasil, karena
mereka banyak memikirkan hal tersebut kesehatan mereka pun cenderung
memburuk.
2. Stres Model Respons
Stres model respons dikembangkan oleh Hans Selye. Selye adalah
ahli yang dikenal luas karena penelitian dan teorinya tentang stres yang
berkaitan dengan aspek fisik dan kesehatan (Lyon, 2012). Merujuk pada
Bartlett (1998), pada tahun 1946, Selye menulis sebuah karya ilmiah yang
berjudul “The General Adaptation Syndrome and Diseases of Adaptation”
dan menggunakan istilah stres untuk mengacu secara khusus pada
tekananan yang berasal dari luar individu. Namun, empat tahun kemudian,
yaitu di tahun 1950, Selye mengganti defenisi stres tersebut menjadi
respons seseorang terhadap stimulus yang diberikan. Selye menekankan
bahwa stres merupakan reaksi atau tanggapan tubuh yang secara spesifik
terhadap penyebab stres yang mana mempengaruhi kepada seseorang.

3
3. Stres Model Transaksional
Stres model transaksional berfokus pada respon emosi dan proses
kognitif yang mana didasarkan pada interaksi manusia dengan lingkungan
(Jovanovic, Lazaridis & Stefanovic, 2006). Atau dengan kata lain, stres
model ini menekankan pada peranan penilaian individu terhadap penyebab
stres yang mana akan menentukan respon individu tersebut (Staal, 2004).

B. Coping
Menurut Lazarus & Folkman (1984), coping adalah suatu proses yang
dilakukan oleh individu untuk mengelola tuntutan-tuntutan (dari individu
dan/atau lingkungan) yang dianggap sebagai stres. Sarafino & Smith (2011)
menjelaskan bahwa coping adalah proses dimana individu mengelola
kesenjangan antara tuntutan dan sumber daya yang mereka miliki dalam
menghadapi situasi penuh tekanan atau stres. Aldwin (2007) mendefinisikan
strategi coping sebagai suatu cara yang dilakukan individu dalam menghadapi
masalah dan emosi negatif yang dialaminya.
Salah satu karakteristik coping adalah hubungan antara coping dan
peristiwa yang membuat stres merupakan proses yang dinamis. Jadi, coping
bukanlah tindakan yang hanya dilakukan oleh seseorang, melainkan tindakan
yang terjadi dari terus-menerus, dimana lingkungan dan individu tersebut
saling memengaruhi (Taylor, 2015).
1. Dimensi Strategi Coping
Lazarus & Folkman (1984) membagi strategi coping menjadi dua
dimensi, yaitu:
a. Emotion Focused Coping Strategies
Emotion focused coping strategies merupakan suatu tindakan yang
dilakukan individu dengan memodifikasi fungsi emosi tanpa
melakukan tindakan untuk mengubah stresor secara langsung (Lazarus
& Folkman, 1984). Strategi coping ini berfokus pada emosi
ditunjukkan dalam mengendalikan respon emosional terhadap stresor
(Sarafino & Smith, 2011). Strategi ini dilakukan individu jika mereka
merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan mereka dan hanya

4
dapat menerima situasi tersebut karena sumber daya yang dimiliki
tidak dapat mengatasi situasi tersebut (Maryam, 2017).
Individu dapat mengelola respon emosional melalui pendekatan
perilaku dan pendekatan kognitif. Contoh pendekatan perilaku, seperti
minum alkohol, menggunakan obat-obatan, mencari dukungan
emosional, melakukan kegiatan yang disenangi (berolahrga, menonton
TV, dan lainnya) yang dapat mengalihkan perhatian dari masalah yang
dihadapi. Pendekatan kognitifnya, yaitu berpikir mengenai situasi stres
(Sarafino & Smith, 2011).
Pendekatan kognitif terhadap emosi termasuk dalam strategi Freud
yang disebut sebagai “defense mechanism” karena melibatkan distorsi
memori atau realita dengan menggunakan berbagai cara
(penyangkalan/penolakan) (Cramer dalam Sarafino & Smith, 2011).
Menurut Lazarus & Folkman (dalam Folkman et al., 1986),
emotion focused strategies terdiri dari lima aspek, yaitu:
1) Distancing, yaitu upaya coping yang dilakukan individu dengan
menghindari masalah, seperti menolak untuk terlalu memikirkan
masalah atau tidak memikirkan masalah yang dihadapi.
2) Self-control ialah upaya coping yang dilakukan individu dengan
mengatur perasaan dan tindakannya, seperti membiarkan orang lain
tahu mengenai masalahnya dan tidak tergesa-gesa dalam
mengambil tindakan.
3) Accepting responsibility ialah upaya coping yang dilakukan
individu dengan menyadari bahwa permasalahan yang ia hadapi
adalah tanggungjawabnya dan berusaha menempatkan sesuatu
sebagaimana mestinya.
4) Escape-avoidance ialah upaya coping yang dilakukan individu
dengan berangan-angan bahwa permasalahan yang dihadapi akan
selesai dan menghindari atau melarikan diri dari masalah dengan
melakukan hal lain, seperti makan, minum alkohol, merokok, dan
lainnya.

5
5) Positive reappraisal ialah upaya coping yang dilakukan individu
dengan berpikir positif yang berfokus pada pengembangan diri dan
melakukan kegiatan religius, seperti berdoa.
b. Problem Focused Coping Strategies
Problem focused coping strategies merupakan suatu tindakan yang
berfokus pada pemecahan masalah dan pencarian solusi alternatif
(Lazarus & Folkman, 1984). Strategi ini digunakan indvidu jika
mereka percaya bahwa sumber daya yang mereka miliki dapat
mengatasi tuntutan-tuntutan yang dialami (Sarafino & Smith, 2011).
Contoh problem focused coping strategies banyak ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari, seperti berhenti bekerja, menegosiasikan
perpanjangan tagihan, menyusun jadwal belajar, mengganti karir
sekarang dengan karir lainnya, mencari perawatan medis atau
psikologis, dan belajar keterampilan baru (Sarafino & Smith, 2011).
Menurut Lazarus & Folkman (dalam Folkman et al., 1986),
problem focused strategies terdiri dari tiga aspek, yaitu:
1) Confrontative coping ialah upaya agresif yang dilakukan individu
untuk mengubah situasi, menunjukkan sikap permusuhan, dan
pengambilan risiko.
2) Seeking social support ialah upaya coping yang dilakukan
individu dengan mencari dukungan sosial dari orang lain, seperti
bantuan informasi, bantuan nyata, dan dukungan emosional.
3) Planful problem solving ialah upaya coping yang dilakukan
individu untuk mengubah situasi melalui pendekatan analitis
untuk memecahkan permasalahan yang dialami.
C. Resilience
Istilah resiliensi pertama kali diintrodusir oleh Redl tahun 1969 dan
digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan-perbedaan
individu dalam respons seseorang terhadap stress dan keadaan yang
merugikan lainnya (Desmita, 2011). Istilah resiliensi muncul sebagai
pengganti istilah-istilah sebelumnya seperti invulnerable (kekebalan),

6
invincible (ketangguhan), dan hady (kekuatan), karena itu dalam proses
menjadi resilien tercakup pengenalan rasa sakit, perjuangan, penderitaan,
(Henderson, Nan dan Mike M. Milstein, 2003). Pandangan tersebut beberapa
para ahi menjelaskan, Resiliensi adalah “the human capacity to face,
overcome, be strengthened by, and even be transformed by experiences of
adversity,” (Grotberg, Edith, 1999). Sedangkan Werner mendefinisikan
resiliensi sebagai “the capacity to spring back, rebound, successfully adapt in
the face of adversity, and develop social academic, and vocational
competence despite exposure to severe stress or simply to the stress that is
inherent in today‟s world”( Emmy E.,2011). Resiliensi adalah kapasitas
untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan
kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup
sehari-hari (Sulistyarini, 2003).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi (daya
lentur, ketahanan) adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki
seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya
menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak
menyenangkan, atau mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan
menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.
1. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Resiliensi
Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi menurut Barankin &
Khanlou (dalam Khanlou & Wray, 2014) diantaranya yaitu faktor
individual, faktor keluarga, dan faktor lingkungan sosial.
a. Faktor individual
Faktor individu memerlukan suatu karakter, kekuatan belajar,
konsep diri, emosi, cara berpikir, keterampilan adaptif, dan
keterampilan sosial. Kombinasi dari setiap sifat individu dan
pengalaman belajar yang diperoleh melalui interaksi dan peluang yang
diberikan oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat membantu
membentuk resiliensi individu . selain itu, resiliensi individu juga

7
dapat terbentuk melalui keberhasilan transisi dari setiap fase
perkembangan.
b. Faktor Keluarga
Kekuatan yang dimiliki oleh setiap keluarga dan tantangan yang
dihadapinya akan selalu berubah seiring waktu. Faktor keluarga
memiliki keterkaitan dengan faktor individu dan dipengaruhi oleh
faktor- faktor lingkungan, yang mana akan berdampak pada resiliensi
masing- masing anggota keluarga dan keluarga secara keseluruhan.
Faktor keluarga mencakup kasih sayang, komunikasi, hubungan
orangtua, pola asuh, dan dukungan di luar keluarga.
c. Faktor Lingkungan Sosial
Faktor lingkungan sosial mempengaruhi faktor resiliensi individu
dan keluarga. Faktor lingkungan sosial di antaranya terdapat gagasan
keadilan terkait kesempatan, keadilan sosial, dan saling menghormati
untuk semua melalui praktik, kebijakan, dan hukum (Barankin dan
Khanlou 2007). Faktor lingkungan sosial memerlukan kondisi sosial
serta keterlibatan individu dalam lingkungan sosialnya.
2. Dimensi Resiliensi
Resiliensi individu pada masa dewasa dapat dikembangkan
berdasarkan dimensi-diemsi resiliensi yang ada. Taormina (2015)
mengatakan bahwa terdapat empat dimensi resiliensi pada individu yang
berada pada masa dewasa yaitu determination, endurance, adaptability,
dan recuperability. Untuk membangun sebuah resiliensi pada pribadi
orang dewasa, perlu juga untuk menentukan empat komponen dan
menguraikan pada sifat mereka khususnya karakteristik pribadi masing-
masing individu. Determination didefinisikan sebagai kekuatan dan
keteguhan tujuan yang dimiliki individu dan keputusan untuk bertahan
atau berhasil, yang mana komponen ini mencerminkan dimensi sadar atau
kognitif dari resiliensi individu. Endurance didefinisikan sebagai kekuatan
dan ketabahan pribadi yang dimiliki individu untuk menahan situasi yang
tidak menyenangkan atau sulit tanpa menyerah. Adaptability didefinisikan

8
sebagai kapasitas untuk menjadi fleksibel serta memiliki banyak akal,
untuk mengatasi lingkungan yang buruk dan menyesuaikan diri dengan
kondisi yang berubah. Recuperability didefinisikan sebagai kemampuan
untuk memulihkan secara fisik dan kognitif, dari berbagai jenis bahaya,
kemunduran, atau kesulitan untuk kembali dan membangun kembali
kondisi seperti semula. Apabila empat dimensi tersebut dimiliki oleh
setiap individu, maka resiliensi dapat ditingkatkan dengan memperkuat
salah satu atau semua karakteristik resiliensi tersebut.

D. Social Support

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat masih memiliki banyak
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kami menyarankan untuk para
pembaca untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai materi ini. Selain itu,
jika Anda mengalami stres, segeralah mencari hal-hal yang dapat mengurangi
stres yang Anda rasakan serta mencari sosial support dari orang-orang yang
Anda percayai.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aldwin, C. M. (2006). Stress, coping, and development: An integrative


perspective (2nd ed.). New York: The Guildford Press.
Folkman, S., et al. (1986). Dynamics of a stressful encounter: Cognitive appraisal,
coping, and encounter outcomes. Journal of Personality and Social
Psychology, 50(5), 992–1003. doi: 10.1037/0022-3514.50.5.992
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York:
Springer Publishing Company.
Lumban Gaol, N. T. (2016). Teori Stres: Stimulus, Respons, dan Transaksional.
Buletin Psikologi, 24(1), 1. https://doi.org/10.22146/bpsi.11224.

Maryam, S. (2017). Strategi coping: Teori dan sumberdayanya. JURKAM: Jurnal


Konseling Andi Matappa, 1(2), 101-107. doi:
http://dx.doi.org/10.31100/jurkam.v1i2.12.
Taylor, S, E. (2018). Health Psychology (10th edition). New York: McGraw-Hill
Education.

11

Anda mungkin juga menyukai