Anda di halaman 1dari 3

KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI HUJJAH DAN DALIL SYARI’AH

HANAFI

EKONOMI SYARI’AH 19

Hanafitara423@gmail.com

A.Pendahuluan
Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu
ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut penjelasan mengenai ucapan, perbuatan,
dan perkataan.
 Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya
dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
 Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti  pekerjaan
melakukan shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan
menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah
dari pihak penuduh.
 Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh
Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu
adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap
perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu.
Baik Hadist Qauliyah,Fi,liyah maupun Taqririyah semuanya memiliki kedudukan sebagai
hujjah dan dalil Syar’iyah

B.HADIST SEBAGAI HUJJAH


Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil alsyar’i), sama dengan Al-
Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Hadits adalah sumber
hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an.
Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka
secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka
yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa,
tetapai juga murtad hukumnya.
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di
perintahkan oleh Al-Qur’an juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu
perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al
Qur’an sebagai sumber hukum utama.
Apabila hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan
mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan
zakat, cara haji dan lain sebagainya.
Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan
umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan
mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi
makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau
memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya.
Apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio
(logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat
Islam kembali kepada As-Sunnah dalam menghadapi permasalahannya. Asy-Syafi’i
berkata :“Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah
Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”
Perkataan imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus
kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi SAW. Dan apa yang
dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam
AsySyafi’i ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya. Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi
Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan
perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

C.Kedudukan Hadist Sebagai Dalil Syari’ah


Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua
setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat
Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :

1. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull
sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat
An-Nisa : 59

artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti
mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:

Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah
mengikuti apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam
Sunnahnya

.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu mempunyai
kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi.
Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran
materinya dan keduadari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran
materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat,
yaitu: mutawatir, masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi
dan juga kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti
diyakini kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini
tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an.
Khabar mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan
kebenaran tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul
dari hasil pengamatan. 

D.Daftar Pustaka
Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997
Drs, Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung : Pustaka Setia, 1999
Bisri Affandi. (1993) “Dirasat Islamiyyah (Ilmu Tafsir & Hadits)”.CV Aneka Bahagia Offset,
Taqiyyudin an-Nabhani (2003) “Peraturan Hidup dalam Islam” Bogor, Pustaka Thariqul ‘Izzah
Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam http://jurnal.faiunwir.ac.id

Anda mungkin juga menyukai