Anda di halaman 1dari 8

METODE STUDI HADITS

METODE STUDI HADITS

Oleh:
Fidda Syarofi’atul Lizza 3105398
Aries Nila Fadlila 3105374
Nafisatun Miswaroh 3105408

I. PENDAHULUAN
Islam sebagai agama Allah memiliki 2 sumber utama sebagai pedoman, yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Sumber yang kedua, yaitu Hadits merupakan penjabaran dari sumber yang pertama yang maksudnya
masih belum jelas (tersirat), khususnya yang berkaitan dengan masalah kehidupan umat.
Seiring dengan perkembangan kehidupan umat, ternyata posisi dan fungsi Hadits ini tidak saja
dipalsukan, tetapi diingkari oleh kalangan umat tertentu. Oleh sebab itu, perlu kiranya pengkajian
lebih mendalam mengenai apa itu Hadits dan apakah Hadits yang kita jadikan pegangan itu hadits yang
sahih atau tidak.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan dipaparkan mengenai cara mengkaji hadits sahih.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Pada garis besarnya, pengertian hadits dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu pendekatan
kebahasaan (linguistik) dan pendekatan istilah (terminologi).
Dilihat dari pendekatan kebahasaan, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa,
yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut bisa berarti al-
jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qodim yang artinya sesuatu yang
sudah kuno atau klasik. Selanjutnya kata hadits dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan
pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Selain itu hadits juga dapat berarti al-khabar yang
berarti mutahaddats bih wa yungal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan,
dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti kata hadits tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian yang ketiga,
yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau al-hadits dalam arti al-khabar dalam surat Al-Atur ayat 34:

Artinya: Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-
orang yang benar.
Surat Al-Dhuha ayat 11:

Artinya: Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.


Dilihat dari pendekatan istilah, para ahli memberikan ta’rif yang berbeda-beda sesuai dengan latar
belakang disiplin ilmunya.
Seperti pengertian hadits menurut ahli usul akan berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli
hadits.
Menurut ahli hadits, pengertian hadits ialah:
‫ﻪﻟﺍﻭﺣﺍﻭ ﻪﺎﻟﻌﻓﺍﻭ ﻡﻟﺳﻭ ﻪﻳﻟﻋ ﷲﺍ ﻰﻟﺻ ﻰﺑﻧﻟﺍ ﻝﺍﻭﻗﺍ‬
Artinya: Segala perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwalnya.
Yang dimaksud dengan “hal ihwal” adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW, yang berkaitan
dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.
Ada juga yang memberikan pengertian:
‫ﺔﻓﺻﻭﺍ ﺍﺭﻳﺭﻗﺗﻭﺃ ﻼﻌﻓﻭﺃ ﻻﻭﻗ ﻡﻟﺳﻭ ﻪﻳﻟﻋ ﷲﺍ ﻰﻟﺻ ﻰﺑﻧﻟﺍ ﻰﻟﺇ ﻑﻳﺿﺃﺎﻣ‬
Artinya: Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, takrir maupun sifat beliau.
Sebagian muhaditsin berpendapat bahwa pengertian hadits di atas merupakan pengertian yang sempit.
Menurut mereka, hadits mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang
disandarkan pada Nabi SAW (hadits marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada
para sahabat (hadits mauquf), dan tabi’in (hadits maqtu’), sebagaimana yang disebutkan oleh Al-
Tirmisi:
‫ﻑﻭﻗﻭﻣﺎﻟﺑ ﺀﺎﺟ ﻝﺑ ﻡﻟﺳﻭ ﻪﻳﻟﻋ ﷲﺍ ﻰﻟﺻ ﻪﻳﻟﺇ ﻉﻭﻓﺭﻣﺎﻟﺑ ﺹﺗﺧﻳﻻ ﺙﻳﺩﺣﻟﺍ ﻥﺃ ﻰﻌﺑﺎﺗﻟﻟ ﻑﻳﺿﺃﺎﻣ ﻭﻫﻭ ﻉﻭﻁﻗﻣﻟﺍﻭ ﻰﺑﺎﺣﺻﻟﺍ ﻰﻟﺇ ﻑﻳﺿﺃ ﺎﻣ ﻭﻫﻭ‬
Artinya: Bahwasanya hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW. Melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf, yaitu yang disandarkan kepada
sahabat, dan yang maqtu’, yaitu yang disandarkan kepada tabi’in.
Sementara usul memberikan pengertian hadits adalah:
‫ﺎﻫﺭﺭﻗﺗﻭ ﻡﺎﻛﺣﻷﺍ ﺕﺑﺛﺗ ﻰﺗﻟﺍ ﻪﺗﺍﺭﻳﺭﻗﺗﻭ ﻪﺎﻟﻌﻓﺃﻭ ﻪﻟﺍﻭﻗﺃ‬
Artinya: Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan takrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan
ketetapannya.
Dari beberapa pengertian hadits tersebut di atas, mempunyai perbedaan pemikiran dalam
mendefinisikan hadits, disebabkan karena dalam memandang pribadi Rasulullah SAW mereka itu
berbeda.
Apabila ulama hadits melihat bahwa Rasulullah adalah sebagai Uswatun Khasanah, maka semua yang
berasal dari Nabi dapat dijadikan suatu hadits, sedangkan ulama Ahli Ushul memandang semua
perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW dapat diterima sebagai hadits dengan syarat
kandungan hadits tersebut berkaitan dengan hukum. Begitu juga dengan ulama Ahli Fiqih yang
memandang perkataan, perbuatan dan ketetapan yang menunjukkan hukum syara’, maka Ulama Ahli
Fiqih menempatkan hadits dari hukum taklifi yang lima, yaitu wajib, haram, makruh, mubah dan
sunah.

B. Posisi Hadits Terhadap Al-Qur’an


Untuk memahami posisi hadits terhadap AL-Qur’an, maka tidak bisa lepas dari posisi Nabi (sebagai
sumber munculnya hadits) terhadap Al-Qur’an. Berikut ini merupakan informasi Al-Qur’an sendiri
tentang kedudukan Nabi terhadap Al-Qur’an serta kewajiban umat manusia menaatinya.
1. Nabi berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an.

Artinya: Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu secara berkala agar kamu terangkan kepada
mereka apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan semoga mereka memikirkannya. (QS. An-
Nahl [16]: 44)
Ayat ini menunjukkan posisi Nabi sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an seperti tentang kewajiban shalat
dalam Al-Qur’an tidak memerinci pelaksanaannya, kemudian rincian pelaksanaan shalat inilah yang
datang dari Nabi.
2. Nabi sebagai pembuat hukum
“Nabi menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan yang buruk serta membuang atau
meninggalkan beban yang melilit mereka” (QS. Al-A’raaf [7]: 157).
Ayat ini menunjukkan hak legislasi Nabi terhadap masalah hukum-hukum yang terkait dengan kebaikan
manusia.
3. Nabi sebagai teladan masyarakat muslim.

Artinya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
(QS. Al-Ahzab [33]: 21)
Ayat ini menunjukkan bahwa pribadi Rasul merupakan tauladan umat yang sepatutnya diteladani
khususnya yang terkait dengan apa-apa yang telah diwajibkan Allah melalui penjelasan dan prakteknya.
4. Nabi wajib dipatuhi masyarakat.

Artinya: Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir". (QS. Ali Imron [3]: 32)

Artinya: Barang siapa yang menaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah menaati Allah. dan barang siapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 80)
Dari beberapa ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi memiliki otoritas yang kuat dalam Al-Qur’an.
Oleh karena itu, semua perbuatan, perkataan, ketetapan dan sifat Rasul sebagai sunnah menjadi
sumber hukum yang kedua sesudah al-Qur’an yang harus dijadikan pedoman.
C. Unsur-Unsur Pokok Hadits
Di dalam hadits terdapat dua unsur, yaitu sanad dan matan.
1. Sanad
Kata “sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan
demikian, karena hadits bersandar kepadanya. Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan
pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad adalah:
‫ﻥﺗﻣﻟﺍ ﻕﻳﺭﻁ ﻥﻋ ﺭﺎﺑﺧﻷﺍ‬
Artinya: Berita tentang jalan matan.
Yang lain menyebutkan:
‫ﻥﺗﻣﻟﻟ ﺔﻟﺻﻭﻣﻟﺍ ﻝﺎﺟﺭﻟﺍ ﺔﻟﺳﻟﺳ‬
Artinya: Sisilah orang-orang (yang meriwayatkan hadits) yang menyampaikannya kepada matan hadits.
Ada juga yang menyebutkan:
‫ﻝﻭﻷﺍ ﺭﺩﺻﻣ ﻥﻋ ﻥﺗﻣﻟﺍ ﻭﻟﻗﻓ ﻥﻳﺫﻟﺍ ﺓﺍﻭﺭﻟﺍ ﺔﻟﺳﻟﺳ‬
Artinya: silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama.
2. Matan
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti ma irtafa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi).
Sedang menurut istilah:
‫ﻡﻼﻛﻟﺍ ﻥﻣ ﺩﻧﺳﻟﺍ ﻪﻳﻟﺍ ﻰﻬﺗﻧﻳ ﺎﻣ‬
Artinya: Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad.
atau dengan redaksi lain ialah: lafal-lafal hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu.
3. Rawi
Rawi berasal dari kata “rawi” atau “al-rawi” yang berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan
hadits (naqil al-hadits)

D. Penelitian Hadits (Studi)


1. Perlunya meneliti hadits.
Hadits sangat penting kehidupannya untuk diteliti, karena hadits Nabi sebagai salah satu salah satu
sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Penelitian hadits dimaksudkan agar mengetahui
kualitas hadits karena banyaknya hadits yang tidak sahih. Hal tersebut dikarenakan pada masa Nabi,
kebanyakan hadits berkembang secara hafalan sedangkan hanya sedikit yang menulis hadits, akibatnya
dokumen hadits Nabi yang berkembang secara tertulis belum mencakup semua hadits yang ada,
sehingga perlu adanya suatu penelitian hadist.
Banyak hal yang dapat dijadikan alasan dan pertimbangan dalam melakukan penelitian hadits, di
antaranya yaitu:
a. Banyaknya hadits palsu yang timbul karena kepentingan politik.
b. Adanya kemungkinan bahwa sebagian hadits yang tertulis pada masa Nabi mengalami kesalahan
dalam periwayatan.
c. Banyak sekali kitab hadits yang muncul tetapi dengan metode yang berbeda.
d. Hadits diriwayatkan secara makna sehingga muncul beragam versi matan hadits.
e. Selain itu penghimpunan hadits dilakukan, tetapi waktu yang lama setelah Rasulullah wafat.
Dari alasan-alasan tersebut, maka penelitian dan pengkajian hadits sangat diperlukan agar hadits yang
diturunkan Nabi itu memiliki otentitas tinggi dan akurat sebelum hadits tersebut dijadikan pedoman
setelah al-Qur’an dan diamalkan oleh umat Islam.
2. Obyek penelitian hadits.
Telah diterangkan bahwa hadits mempunyai unsur pokok yaitu sanad dan matan, maka obyek penelitian
hadits merujuk pada keduanya. Dalam melakukan penelitian hadits, banyak hal penting yang perlu
dikaji dalam sanad dan matan hadits sebagai berikut:
a. Sanad Hadits
Menurut ulama hadits, kedudukan sanad sangat penting dalam riwayat hadits. Maka apabila suatu
berita tidak memiliki sanad, menurut ulama hadits berita tersebut tidak bisa disebut dengan hadits
tetapi dapat disebut hadits palsu atau hadits maudlu’, walaupun seseorang menyatakannya sebagai
hadits.
Abdullah bin al-Mubarak memberi pernyataan bahwa sanad hadits merupakan bagian dari agama.
Apabila hadits tersebut tidak ada sanadnya, maka seseorang bebas dalam menyatakan sesuai dengan
kehendaknya. Pendapat tersebut menjelaskan pentingnya sanad dalam kualitas hadits. Dengan
demikian hadits dapat diterima selagi sanadnya berkualitas sahih. Sebaliknya apabila sanad tidak sahih,
maka hadits tersebut harus ditinggalkan. Imam Nawawi menyatakan bahwa hubungan hadits dengan
sanadnya ibarat hubungan hewan dengan kakinya.
Sanad dijadikan sebagai obyek penelitian karena banyak sanad yang palsu. Adapun tanda-tanda sanad
yang palsu yaitu:
- Perawi hadits yang diketahui banyak orang adalah seorang pembohong.
- Seorang perawi mengakui bahwa hadits yang diriwayatkan adalah palsu.
- Seorang perawi mengaku bahwa hadits yang diriwayatkan dari seorang syekh, tetapi tidak dapat
dipastikan pernah menemui syekh tersebut.
- Kepalsuan hadits yang diketahui dari keadaan perawi dan dorongan psikologisnya.
Kritik ekstern (Kritik Sanad)
Dalam penelitian sanad hadits dikenal dengan istilah kritik ekstern yaitu kritik terhadap rangkaian para
perawi yang menyampaikan kepada matan hadits. Dalam meneliti sanad, agar lebih mudah untuk
menilai sanad apakah sanad itu dapat dijadikan sahih atau tidak. Ada bagian-bagian tertentu yang
dapat diteliti yaitu:
- Nama-nama seorang rawi yang meriwayatkan hadits.
- Lambang-lambang yang digunakan para rawi dalam meriwayatkan hadits seperti sami’tu, akhbaroni,
an dan anna, dan lain-lain.
Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesahihan hadits tergantung pada kualitas sanad.
Selain itu adanya unsur sanad dalam hadits sangat penting karena sanad dijadikan sandaran.
Unsur-unsur kaidah kritik sanad
• Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
mutthasil (bersambung), marfu’ (bersandar pada Nabi SAW), mahfuz (terhindar dari syudzudz) dan
bukan mu’all (bercacat).
• Unsur kaidah mayor kedua, perawi bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor: beragama
Islam, mukalaf (balig dan berakal), melaksanakan ketentuan agama Islam, dan memelihara muru’ah
(adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebijakan moral
dan kebiasaan-kebiasaan).
• Unsur kaidah mayor yang ketiga, perawi bersifat dhabith dan atau adhbath, mengandung unsur-unsur
kaidah minor: hafal dengan baik hadits yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan
riwayat hadits yang dihafalnya kepada orang lain, terhindar dari syudzudz, dan terhindar dari ‘illat.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut, maka penelitian sanad hadits
dilaksanakan. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan
menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi.
b. Matan Hadits
Obyek penelitian yang kedua yaitu matan hadits. Penelitian ini diperlukan karena keadaan matan tidak
bisa dipisahkan dari keadaan sanad hadits. Selain itu matan hadits diriwayatkan dalam makna (Riwayah
bil Ma’na) karena semua rawi belum tentu memenuhi syarat sah meriwayatkan hadits secara makna.
Penelitian matan hadits dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan bahas, rasio,
sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Tetapi walaupun banyak pendekatan yang digunakan,
masih sulit meneliti keadaan matan hadits.
Kesulitan tersebut disebabkan:
Adanya periwayatan secara makna.
Pendekatan yang dijadikan acuan bermacam-macam.
Latar belakang timbulnya petunjuk hadits sulit diketahui.
Kandungan petunjuk hadits yang bersangkutan dengan hal yang supra rasional.
Kitab-kitab yang membahas kritik matan masih langka.
Dari uraian tersebut, dapat dilihat bahwa meneliti matan itu sangatlah sulit. Maka dari itu untuk
melakukan penelitian matan, seorang perawi harus jeli dan memerlukan kecerdasan dalam
memetakkan masalah, dan pendekatan mana yang relevan dengan masalah yang akan diteliti tersebut.
Kritik intern (Kritik Matan)
Dalam penelitian matan hadits dikenal istilah kritik intern adalah mengkritiki materi yang bersandar
pada Nabi berkaitan dengan nilai-nilai konteks. Maka untuk memahami hadits Nabi harus
memperhatikan konteks informasi.
Unsur-unsur kaidah kritik matan
- Matan itu tidak boleh mengandung kata-kata yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorik
atau penulur bahasa yang baik.
- Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekitarnya
tidak mungkin ditakwilkan.
- Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlak.
- Tidak boleh bertentangan dengan indera dan kenyataan.
- Tidak boleh bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran dan ilmu pengetahuan.
- Tidak mengandung hal-hal yang hina, yang tentunya agama tidak membenarkannya.
- Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal (rasional) dalam prinsip-prinsip kepercayaan
(aqidah) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya.
- Tidak bertentangan dengan Sunnatullah dalam alam dan manusia.
- Tidak mengandung hal-hal yang tidak masuk akal yang dijauhi oleh manusia yang berpikir.
- Tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an atau dengan Sunnah yang mantap, atau yang sudah
terjadi ijma’ padanya, atau yang diketahui agama secara pasti, yang sekiranya tidak mengandung
kemungkinan ta’wil.
- Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman Nabi SAW.
- Tidak boleh bersesuaian dengan mazhab rawi yang giat mempropagandakan mazhabnya sendiri.
- Tidak boleh berupa berita tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian sejumlah besar manusia
kemudian seorang rawi hanya dia seorang yang meriwayatkannya.
- Tidak boleh timbul dari dorongan emosional, yang membuat rawi meriwayatkannya.
- Tidak boleh mengandung janji berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil atau berlebihan dalam
ancaman yang keras untuk perkara sepele.
Dengan adanya unsur-unsur matan tersebut dapat mempengaruhi kualitas hadits. Oleh karena itu, harus
adanya penelitian tentang matan hadits agar dapat diketahui kesahihan hadits.
3. Tujuan penelitian hadits.
Dalam penelitian tentunya mempunyai tujuan yang ingin dicapai, begitu juga dengan penelitian hadits
mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu: untuk mengetahui kualitas dari hadits yang diteliti, karena
kualitas hadits berhubungan dengan kesahihan hadits. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat
dijadikan sebagai hujjah. Hadits yang dijadikan hujjah hendaknya harus memenuhi syarat, karena
hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam.

E. Metode Studi Hadits


Metode studi hadits merupakan cara dalam mengkaji meneliti suatu hadits tentang kesahihannya.
Dalam mengadakan penelitian dan pengkajian kualitas hadits diperlukan adanya metode agar lebih
mudah melakukan penelitian.
Langkah-langkah dalam meneliti hadits adalah sebagai berikut:
1. Takhrijul Hadits
a. Pengertian takhrij hadits dan tujuannya
Secara etimologi, at-Takhrij sering diartikan juga dengan al-Istinbat (mengeluarkan), al-Tadrib
(melatih), dan al-Tawjih (memperhadapkan). Secara terminologi yaitu menyebutkan suatu hadits
dengan sanadnya sendiri.
Dari penjelasan tersebut, secara umum takhrij hadits mempunyai tujuan untuk menunjukkan sumber
hadits-hadits sekaligus menerangkan hadits tersebut diterima atau ditolak (kesahihannya).
Dalam kegiatan takhrij hadits tersebut maksudnya adalah untuk melakukan pencarian dan penelusuran
hadits pada berbagai kitab utama hadits, untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits, mengetahui
semua riwayat hadits, selain itu juga untuk mengetahui adanya syahid atau muttabi’ dalam sanad.
b. Metode takhrij hadits
Metode yang digunakan untuk mentakhrij hadits ada lima, yaitu:
- Matla’ al-Hadits
Yaitu menelusuri hadits berdasarkan pada awal lafaz matan. Kitab yang dapat dijadikan acuan dalam
metode ini adalah al-Jami’ al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nadzir karya al-Suyuthi.
- Lafaz al-Hadits
Menelusuri hadits berdasarkan lafaz dari semua lafaz yang ada dalam matan hadits. Kitab yang
membantu yaitu Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Wensinck.
- Rawi al-A’la
Menelusuri hadits berdasarkan pada rawi pertama. Kitab yang membantu di antaranya kitab al-Athraf
karya al-Mizi.
- Maudlu’ al-Hadits
Menelusuri hadits berdasarkan pada topik tertentu. Kitab yang membantu yaitu Miftah Kunuz al-Sunnah
karya A.J. Wensinck.
- Shifah al-Dhahirah
Menelusuri hadits berdasarkan pada sifat-sifat yang tampak atau kualifikasi jenis hadits. Kitab yang
membantu kegiatan ini adalah al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akbar fi al-Mutawatirah, karya al-Suyuthi.
2. Penelitian Sanad
Langkah-langkah dalam penelitian sanad yaitu:
a. Al-I’tibar
Al-I’tibar (penyertaan) keseluruhan sanad-sanad hadits untuk suatu hadits tertentu serta metode
periwayatan yang digunakan oleh masing-masing perawi hadits agar dapat memperoleh gambaran
tentang adanya syahid dan muttabi’ dalam sanad hadits. Setelah itu, membuat bagan atau skema sanad
dari masing-masing mukharij.
b. Meneliti pribadi seorang periwayat metode yang digunakan dalam meriwayatkan hadits.
Pada penelitian ini harus menggunakan acuan kesahihan sanad hadits tentang sanad yang bersambung,
ke-adil-an, ke-dhabit-an para perawi. Selain itu juga terhindar dari syudzudz dan illat.
Dalam memudahkan untuk meneliti seorang rawi, para ulama memberikan teori-teori al-Jaih wa al-
Ta’dil sebagai instrumen untuk membantu penelitian agar mencapai konklusi penelitian pada perawi
hadits. Di antaranya yaitu:
a. Al-Ta’dil Muqaddam ala al-Jarh
Penelitian ini men-ta’dil-kan rawi dulu, baru mencelakan dengan alasan sifat perawi adalah terpuji.
b. Al-Jaih Muqaddam ala al-Ta’dil
Terlebih dahulu mencela, kemudian lalu men-ta’dil-kan kecacatan perawi.
c. Idza Ta’fudl al-Jarih wa al-Mu’adil fa al-Hukm li al-Mua’ddil illa izda Tatasbbut al-Jaih al-Mufassar
Yaitu jika terjadi pertentangan antara pne-ta’dil-an dengan pen-jarh-an, yang didahulukan adalah pen-
ra’dil-an.
d. Idza Kana al-Jarh Dha’ifan fala Yuqbal Jarhuhu li al-Tsiqah
Yaitu apabila orang yang mengemukakan keterselaan tergolong orang yang dha’if, maka kritikannya
terhadap orang yang tsiqah tidak diterima.
e. La Yuqbal al-Jarh illa Ba’da al-Tassabbut Khasyyah al-Asybah
Yaitu pen-jarh-an tidak diterima kecuali setelah ditetapkan kesamaran-kesamaran orang yang dicela.
f. Al-Jarh al-Nasyi ‘an ‘adawah dunyawiyyah la yu’tadu bihi
Yaitu al-Jarh yang dikemukakan oleh orang yang bermusuhan tentang masalah dunia, tidak perlu
diperhatikan.
Sedangkan untuk meneliti merode yang digunakan perawi untuk meriwayatkan hadits ada 8 metode
(metode tahhmul ada’ al-Hadits) yaitu:
a. Al-Sama’
b. Al-Qira’ah aw al-‘Aradl
c. Al-Ijazah
d. Al-Munawalah
e. Mukatabah
f. Al-I’lam
g. Al-Washiyyah
h. Al-Wiyadah
3. Penelitian Matan
Langkah-langkah dalam melakukan penelitian matan hadits adalah sebagai berikut:
a. Melihat kualitas sanad hadits
Sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama penting dalam kaitannya dengan hujjah. Sanad tanpa
adanya matan itu tidak dapat disebut dengan hadits, begitu juga sebaliknya matan hadits tidak dapat
dikatakan sebagai hadits Rasulullah apabila tidak ada sanadnya.
Kemudian apabila sanadnya lemah, maka matannya pun dapat dikatakan lemah pula. Untuk itu,
mengetahui kualitas sanad hadits menjadi langkah awal penelitian matan hadits.
b. Melihat susunan matan hadits yang semakna
Matan suatu hadits memiliki ragam yang banyak, hal ini dikarenakan kesalahpahaman dalam
periwayatan atau pun perbedaan pemahaman. Akibatnya timbul berbagai macam lafaz matan hadits
yang semakna, maka perlu dilakukan langkah muqarabah (perbandingan) terhadap matan-matan hadits
yang memiliki kandungan makna yang sama, dan juga membandingkan sanad-sanadnya.
c. Meneliti kandungan matan hadits
Untuk melakukan penelitian terhadap kandungan matan hadits ini perlu dilakukan perbandingan
kandungan matan hadits yang sejalan. Oleh karenanya mempertautkan dengan dalil-dalil lain yang
mempunyai topik masalah yang sama sangat membantu dalam memahami kandungan ini.

III. KESIMPULAN
Hadits dari segi bahasa banyak sekali maknanya, tetapi yang banyak digunakan yaitu sesuatu yang
diperbincangkan atau al-hadits dalam arti al-khabar. Sebagian muhaditsin berpendapat bahwa
pengertian hadits dari segi istilah itu mempunyai cakupan yang luas, tidak terbatas pada apa yang
disandarkan pada Nabi SAW (hadits marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada
para sahabat (hadits mauquf), dan tabi’in (hadits maqtu’).
Posisi hadits terhadap AL-Qur’an itu tidak bisa lepas dari posisi Nabi (sebagai sumber munculnya hadits)
terhadap Al-Qur’an. Berikut ini tentang kedudukan Nabi terhadap Al-Qur’an:
- Nabi berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an.
- Nabi sebagai pembuat hukum
- Nabi sebagai teladan masyarakat muslim.
- Nabi wajib dipatuhi masyarakat.
Perlunya meneliti hadits yaitu:
Hadits sangat penting kehidupannya untuk diteliti, karena hadits Nabi sebagai salah satu salah satu
sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Penelitian hadits dimaksudkan agar mengetahui
kualitas hadits karena banyaknya hadits yang tidak sahih.
Obyek penelitian hadits adalah:
Telah diterangkan bahwa hadits mempunyai unsur pokok yaitu sanad dan matan, maka obyek penelitian
hadits merujuk pada keduanya.
Dalam penelitian tentunya mempunyai tujuan yang ingin dicapai, begitu juga dengan penelitian hadits
mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu: untuk mengetahui kualitas dari hadits yang diteliti, karena
kualitas hadits berhubungan dengan kesahihan hadits. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat
dijadikan sebagai hujjah.
Langkah-langkah dalam meneliti hadits adalah sebagai berikut:
- Takhrijul Hadits
- Penelitian Sanad
- Penelitian Matan

IV. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Kami sebagai pemakalah menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun, sangat kami harapkan. Dan akhir
kata, pemakalah meminta maaf apabila terdapat kesalahan baik berupa sistematika penulisan, maupun
isi dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Syiba’i, Musthafa, DR., Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Penerjemah DR. Nur
Cholis Majid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
Ismail, M. Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela dan Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995).
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004).
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: Grafindo Persada, 2003).
Syukur, M. Amin, Prof. DR. H., MA., dkk, Metodologi Studi Islam, (Semarang: CV, Gunung Jati).
Ulama’i, A. Hasan Asy’ari, M.Ag, Melacak Hadits Nabi SAW, Cara Cepat Mencari Hadits Nabi dari Manual
Hingga Digital, (Semarang: RaSail, 2006).
Posted by ARIF FADHOLI at 4:10:00 PM 
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest

Anda mungkin juga menyukai