Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan
cara mengamalkan, tidak diperincikan menurut dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan
menurut dalil yang masih mutlak dalam Al-qur’an, hendaklah dicarikan penyelesaianya
dalam Hadist. Al Quran dan hadits merupakan pedoman bagi seluruh umat islam di dunia
yang mengatur kehidupan mereka. Definisi hadits dikategorikan menjadi tiga, yaitu perkataan
nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi'liyah), dan segala keadaan nabi (ahwaliyah). Sebagian
ulama seperti at-Thiby berpendapat bahwa hadits melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir
nabi. Hadits juga melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir para sabahat dan Tabi'in.
Hadits merupakan sumber ajaran Islam, yang kedua dari Al-Qur’an. Dilihat dari
sudut periwayatannya, jelas antara Hadits dan Al-Qur’an terdapat perbedaan. Untuk Al-
Qur’an semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan Hadits
sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga
mulai dari sinilah timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sumber
perdebatan dalam kancah ilmiah, atau bahkan dalam kancah-kancah non ilmiah.
Akibatnya bukan kesepakatan yang didapatkan, akan tetapi sebaliknya perpecahan
yang terjadi. Keberadaan hadis, menjadi pelengkap dan menyempurnakan supaya umat tidak
salah paham dalam memaknai setiap ayat atau ajaran agama. Saat umat mempertanyakan hal
baru dan belum terdapat di Al-Qur’an serta hadist, maka diambil dari Ijma'. Kemudian
berlanjut baru dijelaskan dan diperkuat dengan adanya Qiyas
 Banyak diantara kita yang mungkin terjadi kesalah pahaman dalam menyebutkan
tentang apakah itu yang dinamakan hadits. Dalam makalah ini saya akan menjabarkan
tentang pengertian hadits serta kegunaanya dalam studi islam. Karena hadis merupakan
sumber pokok kedua dari ajaran Islam, maka hadis-hadis yang dijadikan dasar untuk
melaksanakan ajaran Islam haruslah yang sahih, bukan hadis yang lemah, apalagi palsu. 
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini sebagai berikut :
1. Apakah pengertian hadist?
2. Bagaimana unsur-unsur pokok yang terdapat dalam hadist?
3. Apa fungsi dari hadist?

C. TUJUAN
Adapun tujuan dibuatnya malakal ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian hadist.
2. Memahami unsur-unsur pokok yang terdapat dalm hadist.
3. Memahami fungsi dari hadist.

D. MANFAAT
Adapun manfaat dibuatnya maklah ini adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari hadist.
2. Mahasiswa dapat memahami unsur unsur pokok yan terdapat dalam hadist.
3. Mahasiswa dapat memahami fungsi dari hadist.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadist
Menurut bahasa kata hadis memiliki arti : 1. Al-Jadid minal asyya (sesuatu
yang baru ), lawan dari Qadim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak
ataupun sedikit. 2. Qarid (yang dekat), 3. Khabar(warta) yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada
kemungkinan benar atau salahnya . Kata jamaknya adalah al-ahadis.
Adapun hadis menurut istilah ahli hadis hampir sama dengan sunah,
yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul SAW,
baik setelah diangkat ataupun sebelumnya. Berdasarkan lafazdnya,
secara umum hadist adalah segala sesuatu ayng diriwayatkan dari Nabi Muhammad
SAW. Setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir
beliau. Menurut ahli ushul adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Rasul SAW,
yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh karena itu , menurut ahli ushul
sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadis, seperti
urusan pakaian.
Dari segi bahasa hadis (arab : hadits) bila di gunakan sebagai
kata sifat memiliki arti “yang baru”, ia merupakan kebalikan dari kata qadim yang
berarti dahulu. Namun kata hadis di pakai pula untuk makna ihkbar (pemberitaan).
Kata hadis dalam tinjauan Abul Baqo' adalah isim dari kata tahdits yang
berarti ikhbar (pemberitaan), kemudian didefinisikan sebagai sabda, perbuatan atau
penetapan yang di nisbatkan kepada Nabi SAW. Bentuk jamak dari kata hadits adalah
ahadits dengan mengikuti prosedur qiyasi.
Hal senada di ungkapkan oleh Al-farro' yang menilai bahwa: "mufrod (bentuk
tunggal) dari kata ahadits adalah utdutsah (bahan pembicaraan) kemudian orang-
orang menjadikannya sebagai jamak dari kata hadits. Mereka tidak mengatakan
uhdutsatun Nabi SAW. tetapi ahadisun Nabi SAW. Devinisi hadis versi jumhur
muhaddisin (parah ahli hadits) ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW,
baik berupa sabda, perbuatan, ketetapan, atau yang lain, misalnya berkenaan dengan
sifat fisik budi pekerti dan sebagainya.
Adapun macam- macam hadist yakni :
A) Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang
diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
B) Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW,
seperti  pekerjaan melakukan shalat lima waktu dengan tatacaranya dan
rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya
mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
C) Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah
diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau
perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya,
dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga
dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu
perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada
masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu
menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal
itu merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat
dilakukan pada dua bentuk :
Pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan
dilarang oleh Nabi. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa
siapa pelaku berketerusan melakukan perbuatan yag pernah dibenci dan
dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi tidak
mengetahui berketerusannya si pelaku itu melakukan perbuatan yang di
benci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini menunjukkan
pencabutan larangan sebelumnya.
Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak
diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan
hukumnya adalah meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena
seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia
mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesaahan ; sedangkan
Nabi terhindar bersifat terhindar dari kesalahan.

B. Unsur unsur pokok dalam hadist


Secara umum, sebuah riwayat dapat dikatakan sebagai hadits setidaknya
memiliki lima unsur penting berikut, yaitu rawi, sanad, mukharrij, shiyaghul ada’ dan
matan hadits. Rawi adalah informan yang menyampaikan hadits dari Nabi
Muhammad SAW yang terdiri atas sahabat, tabi‘in, tabi‘t tabi‘in, dan seterusnya.
Sanad adalah silsilah atau kumpulan rawi dari sahabat hingga orang terakhir yang
meriwayatkannya. Mukharrij adalah rawi terakhir yang menuliskan riwayat yang ia
dapat dalam sebuah catatan/karya pribadinya. Shiyaghul ada’ adalah redaksi yang
dipakai oleh seorang rawi dalam meriwayatkan sebuah hadits. Sedangkan matan
adalah redaksi dari riwayat yang disampaikan oleh masing-masing rawi. Kelima unsur
tersebut pada tahapan selanjutnya mempunyai kajian-kajian khusus yang nantinya
akan mempengaruhi kualitas dari riwayat itu sendiri.

C. Fungsi Hadits
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat
hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum
dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang
utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan
Allah dalam surat An-Nahl :64
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan
agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka
Hadits disebut sebagai bayani.
Dalam kedudukannya sebagai bayani  dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia
menjalankan fungsi senagai berikut :
1. Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau
disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi
apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-
Baqarah :110 yang artinya :
“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi
yang artinya :
“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain
Allah dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.

2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
a. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
b. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
c. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih
samar artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa
dipahami secara umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan,
yang terdiri dari ucapan dan pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul
ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu,
kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan shalat.

3. Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-
Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukum yang
tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan
hadits itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an
atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah
SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini
menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi,
karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-
Qur’an. Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai
penjelasan terhadap larangan Al-Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.
BAB III

KESIMPULAN

Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan bahawa:

1. Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
2. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu
ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai
ucapan, perbuatan, dan perkataan.
3. Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil
kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk
semua umat Islam.
4. Fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an
5. Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan.
Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an
dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan
hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah
terletak tujuan yang digariskan.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997
Drs, Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung : Pustaka Setia, 1999
Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980
Al-Shiddieqie, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1999
Rozali M ,2019, ILMU HADIS, Medan: Ikatan Alumni Universitas AlAzhar Mesir
Misbah A.B, 2010, Mutiara ilmu hadits ,(Kediri : Mitra Pesantren ) Diktat
Solahudin AgusAgus , dkk, 2008,Ulumul Hadits,(Bandung:Pustaka Setia)
Dimyati H.Ayat dan Saebani Ahmad Beni,2016, Teori Hadis, (Bandung:Pustaka
setia)
Suparta Munzier ,2014, Ilmu Hadis ,(Jakarta: Rajawali pers)
Sumbulah Hj umi, 2004, Studi Al-qur'an dan Hadis, (Malang : UIN Maliki press)
Ilyas Abastani , 2019,studi hadis, (Jakarta:karya putra )

Anda mungkin juga menyukai