Anda di halaman 1dari 8

MATERI TENTANG HADIST ATAU SUNNAH

N
Oleh : Dita Sarifah

Guru Pembimbing : liyus Biha,Sp.d

Mapel : pendidikan agama islam

Tahun ajaran 2021/2022

SMA IT AL-FATAH
A.Pengertian Hadist/Sunnah

Hadist adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi tumpuan umat
Islam hingga saat ini. Ajaran agama Islam memiliki kitab suci AlQuran sebagai petunjuk hidup. Hadis
sebagai sumber hukum kedua setelah AlQuran.

Keberadaan hadis, menjadi pelengkap dan menyempurnakan supaya umat tidak salah paham dalam
memaknai setiap ayat atau ajaran agama. Saat umat mempertanyakan hal baru dan belum terdapat di
AlQuran serta hadis, maka diambil dari Ijma'. Kemudian berlanjut baru dijelaskan dan diperkuat dengan
adanya Qiyas.

Ajaran Islam tidak memaksa, jika dipahami lebih mendalam dan memaknai pengertian hadis sebenarnya.
Semua kembali pada diri sendiri, bagaimana menyikapi berbagai masalah. Keberadaan hadis, ijma' dan
qiyas sebagai pedoman dalam memahami syariat Islam sesuai firman Allah SWT dalam AlQuran.

Secara bahasa, hadis berarti berbicara, perkataan, percakapan. Hadis disebut juga 'Sunnah', yang secara
istilah berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW
yang dijadikan landasan syariat Islam.

Melansir dari NU online, hadis adalah setiap informasi yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sehingga saat dikatakan, "Rasulullah SAW pernah berkata" atau "Rasulullah SAW pernah melakukan..",
secara tidak langsung pernyataan tersebut bisa dikatakan hadis.

Kendati demikian, setiap informasi yang mengatasnamakan Rasulullah harus benar-benar valid. Sebab
terdapat banyak berita yang memalsukan hadis demi kepentingan tertentu.

B.PENGERTIAN SANAD,MATAN DAN RAWI

1. Sanad
Sanad menurut bahasa adalah sandaran atau tempat bersandar. Sedangkan sanad menurut istilah adalah
jalan yang menyampaikan kepada jalan hadits. Dikutip dalam buku "Memahami Ilmu Hadits" oleh Asep
Herdi, secara historis, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Akan tetapi
mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits Nabawi, yaitu segala hal yang
disandarkan (idlafah) kepada Nabi SAW.

2. Matan

"Matan" atau "al-matn" menurut bahasa adalah mairtafa'a min al-ardi atau tanah yang meninggi.
Sedangkan menurut istilah adalah "kalimat tempat berakhirnya sanad".

Berkenaan dengan matan atau redaksi hadits, maka ada beberapa yang perlu dipahami:

- Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan.
- Matan hadits itu sendiri dalam hubungan dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang
melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-Qur'an (apakah ada yang bertolak
belakang)

3. Rawi
Rawi adalah unsur pokok ketiga dari sebuah hadits. Kata "Rawi" atau "ar-Rawi" berarti orang yang
meriwayatkan atau memberitakan hadits (naqil al-Hadits). Antara sanad dan rawi itu merupakan dua
istilah yang tidak dapat dipisahkan.

Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya juga disebut rawi. Sehigga yang dimaksud dengan rawi
adalah orang yang meriwayatkan, menerima dan memindahkan hadits.

C.KEDUDUKAN HADIST ATAU SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM


ISLAM

Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau
menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.

Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran, tidak
diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah
SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua
setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan
oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna.
Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-
Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama
mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :

1. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull sering
dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59 :

 artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti mentaati Allah,
sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:

Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.

Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang
dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.

Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu mempunyai kekuatan sebagai
dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai
sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran materinya dan keduadari segi
kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti
kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir,
masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.

Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas
yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini kebenarannya bahwa
hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai
kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan
tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara
mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan
bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan
cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian
kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat
tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-
syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

D.FUNGSI HADIST TERHADAP AL-QUR’AN

Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-
Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan
dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini
telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64

Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.

Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits disebut
sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani  dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia
menjalankan fungsi senagai berikut :

1. Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut


fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut
dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang artinya :

“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya :

“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.

2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar artinya, karena
dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian
Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan pebuatan secara jelas yang dimulai
dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu,
kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan shalat.

3. Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan
demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak ditetapkan dalam Al-
Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti
akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa
yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas.
Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan
Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi,
karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap
larangan Al-Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.

1. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an

Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada
dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya
sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk
diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengalaman hukum
Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan
Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.

Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum dalam
Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa
penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang utama adalah
berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli
bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani maka dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan fungsi sebagai berikut :

1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut
fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut
dalam Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-waktu
shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat An-Nisa : 103

 Artinya : sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.

 Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang adatang dalam bentuk umum, umpamanya
hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa :11:

 Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.

Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya.

 Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya firman Allah yang melarang
seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surat An-Nisa ayat 23 yang artinya :

“ dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau”. (Q.S An-Nisa :23)

E.MACAM-MACAM HADIST

1.Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir ditinjau dari perawinya ( penyampai hadist ) adalah hadist yang diriwayatkan oleh
banyak perawi baik dari kalangan sahabat ataupun dari kalangan sesudahnya dan bisa dipastikan tidak ada
kesepakatan dusta dikalangan ulama.
Sebagai contoh hadist mutawatir
Artinya :
Dari Abu Huroirah ra, Rosululloh SAW bersabda : Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan
sengaja maka tempatnya adalah neraka ( HR Bukhari Muslim ).

2. Hadist Masyhur
Hadist masyhur yaitu hadist yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih tapi tidak mencapai
derajat mutawatir, namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi'in sehingga tidak
mungkin ada kesepakatan dusta diantara para ulama.
Contoh hadist :
Contoh hadist tersebut yang yang artinya seperti ini "Orang islam adalah orang - orang yang tidak
menganggu orang lain dengan lidah dan tangannya. ( HR Bokhari, Muslim, Tirmiji)
3. Hadist Ahad
Hadist ahad adalah hadist yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua perawi sehingga tidak mencapai
derajat mutawatir ataupun Masyhur. Jika diselami lagi dilihat dari perawinya lebih jauh maka hadist ahad
ini di bagi kedalam beberap bagian, yaitu :

a. Hadist Sahih
Hadist sahih adalah hadist yang diriwayatkan oleh perawi atau orang yang adil, kuat hafalannya, tajam
penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rosululloh, tidak tercela dan tidak bertentangan dengan
riwayat yang lebih terpercaya. Hadist jenis ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah.

Untuk contohnya silahkan bisa di buka hadist sohih bukhori.

b. Hadist Hasan
Hadist hasan adalah hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya,
sanadnya bersambung, tidak cacat dan tidak bertentangan. Sama seperti hadist sahis hadist inipun menjadi
landasan dalam beribadah.

c. Hadist Da'if
Hadist da'if adalah hadist yang tidak memenuhi syarat dan kualitas hadis sahih dan hadist hasan. Bisa jadi
salah satu perawinya tidak adali, cacat hapalannya, sanadnya terputus.
Para ulama mengatakan untuk jenis hadist seperti ini tidak bisa digunakan sebagai landasan atau dasar
dalam beribadah.

d. Hadist Maudu
Hadist maudu adalah hadist yang tidak bersumber dari Rosululloh SAW dengan kata lain hadist jenis ini
adalah hadist palsu. Mungkin dikiranya adalah hadist tapi kenyataanya bukan hadist.
Mungkin hanya syair atau cerita saja.
Hadist jenis ini tidak bisa dijadikan landasan untuk beribadah. Hadist jenis ini tertolak.

Anda mungkin juga menyukai