Anda di halaman 1dari 7

MATERI TENTANG IJMA’ DAN QIYAS

Oleh : Regita Dewi Wurfa Ningrum

Guru Pembibing : Liyus Biha,Sp.d

TAHUN AJARAN 2021/2022

SMA IT AL – FATAH
A.PENGERTIAN IJMA’ DAN QIYAS

Ijma’ adalah sebuah kesepakatan yang dilakukan oleh beberapa ahli istilah setelah masa Nabi
Muhammad tentang hukum dan beberapa ketentuan yang berhubungan dengan syariat islam Sedangkan
qiyas adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyamakan suatu peristiwa yang tidak memiliki hukum
dalam nash kepada kejadian lain yang memiliki hukum dalam nash.

B.KEDUDUKAN IJMA’ DAN QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

1.Kedudukan dan Permasalahan Ijma’

Kebanyakan ulama’ mengetahui bahwa ijma’ merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan
hukum islan dan menduduki tingkatan ketiga dalam sumber hukum islam. Kekuatan ijma’ sebagai sumber
hukum islam ditunjukkan dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist, diantaranya ialah:

59. An-Nisa: 59.

‫يا أيّها الّذين أمنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرّسول وأولى األمر منكم‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara
kamu”.

Rasulullah SAW bersabda:

ّ َ‫ال تجتمع أ ّمتى على ال‬


)‫ضاللة (رواه ابن أبى عاصم‬

“Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan”.

)‫ما رأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن (رواه أحمد‬
“Apa yang dilihat oleh orang Islam sebagai kebaikan, maka menurut Allah STW itu juga baik”.

Dengan demikian, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam menetapkan hokum suatu
peristiwa yang di dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak ada atau kurang jelas hukumnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya.
Jumhur berkata, ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana. Sedangkan pengikut nizam dan golongan
syiah menyatakan ijma’ itu tidak mungkan terjadi, dengan mengemukakan beberapa argument, antara lain

Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur tentang diharuskannya adanya kesepakatan
semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria berikut:

 Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan untuk mengadakan ijma’.


 Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.

Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qadhi ataupun yang zanni

2.kedudukan Qiyas

Al Ghazali dalam al-Mustashfa mengartikan qiyas adalah menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada
sesuatu yang lain dalam menetapkan hukum atau meniadakan hukum dari keduanya. Penetapan atau
peniadaan ini dilakukan karena adanya kesamaan di antara keduanya.

Dalam buku Ushul Fiqih Jilid I yang ditulis oleh Amir Syarifudin, dijelaskan bahwa kasus-kasus tertentu
yang hukumnya ditetapkan Allah SWT sering memiliki kesamaan dengan kasus lain yang hukumnya
tidak ditetapkan. Sehingga, atas kesamaan sifat tersebut, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat
diberlakukan kepada kasus serupa yang lain.

Imam Syafi'i menyebut kedudukan qiyas lebih lemah daripada ijma. Sehingga, qiyas menduduki tempat
terakhir dalam kerangka sumber hukum Islam. Dalam kitab Ar-Risalah karangannya, Imam Syafi'i
mengatakan bahwa antara qiyas dan ijtihad adalah dua kata yang bermakna satu.

C.HUKUM TAQLIFI
A.WAJIB

Pengertian wajib secara bahasa adalah saqith (jatuh, gugur) dan lazim (tetap). Wajib adalah suatu perintah
yang harus dikerjakan, di mana orang yang meninggalkannya berdosa.

Hukum wajib dibagi menjadi 4 yakni kewajiban waktu pelaksanaannya, kewajiban bagi orang
melaksanakannya, kewajiban bagi ukuran/kadar pelaksanaannya, dan kandungan kewajiban perintahnya.

Kewajiban dari waktu pelaksanaannya:

a. Wajib muthlaq yakni wajib yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya seperti meng-qadha puasa
Ramadhan yang tertinggal atau membayar kafarah sumpah.

b. Wajib muaqqad yakni wajib yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah
dilakukan di luar waktu yang ditentukan. Wajib muaqqad terbagi lagi dalam:

-wajib muwassa: wajib yang waktu disediakan untuk melakukannya melebihi waktu pelaksanaannya.
- wajib mudhayyaq: kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya dengan waktu yang disediakan seperti
puasa Ramadhan.
- Wajib dzu Syabhaini: gabungan antara wajib muwassa dengan wajib mudhayyaq, misalnya ibadah haji.

Kewajiban bagi orang yang melaksanakannya:

-Wajib aini: kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan atau diwakilkan orang lain misalnya
puasa dan sholat.
-Wajib kafa'i/kifayah: kewajiban bersifat kelompok apabila tidak seorang pun melakukannya maka
berdosa semuanya dan jika beberapa melakukannya maka gugur kewajibannya seperti sholat jenazah.

Kewajiban berdasarkan ukuran atau kadar pelaksanaannya:

-Wajib muhaddad: wajib yang harus sesuai dengan kadar yang sesuai ketentuan seperti zakat.
-Wajib ghairu muhaddad: kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya seperti menafkahi kerabat.

Kewajiban berdasarkan kewajiban perintahnya:


-Wajib Mu'ayyan: kewajiban yang telah ditentukan dan tidka ada pilihan lain seperti membayar zakat dan
sholat lima waktu.

-Wajib mukhayyar: kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif.

2. Mandub atau Sunnah

Mandub secara bahasa artinya mad'u (yang diminta) atau yang dianjurkan. Beberapa literatur atau
pendapat ulama menyebutkan, mandub sama dengan sunnah.

Hukum Islam sunnah atau mandub dalam fiqh adalah tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan karena
perbuatan yang dilakukan dipandang baik dan sangat disarankan untuk dilakukan. Orang yang
melaksanakan berhak mendapat ganjaran tetapi bila tuntutan tidak dilakukan atau ditinggalkan maka tidak
apa-apa.

Hukum sunnah dilihat dari tuntutan melakukannya yakni:

-Sunnah muakkad: perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi di samping ada keterangan yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu misalnya sholat witir.

-Sunnah ghairu mu'akad yaitu sunnah yang dilakukan oleh nabi tapi nabi tidak melazimkan dirinya untuk
berbuat demikian seperti sunnah 4 rakat sebelum dzuhur dan sebelum ashar.

Sedangkan hukum sunnah jika dilihat dari kemungkinan untuk meninggalkannya terbagi menjadi:

-Sunnah hadyu: perbuatan yang dituntut melakukannya kareba begitu besar faidah yang didapat dan orang
yang meninggalkannya tercela, seperti azan, sholat berjamaah, sholat hari raya.

-Sunnah zaidah: sunnah yang apabila dilakukan oleh mukalaf dinyatakan baik tapi bila ditinggalkan tidak
diberi sanksi apapun. Misalnya mengikuti yang biasa dilakukan nabi sehari-hari seperti makan, minum,
dan tidur.

-Sunnah nafal: suatu perbuatan yang dituntut tambahan bagi perbuatan wajib seperti sholat tahajud.
3. Makruh

Makruh secara bahasa artinya mubghadh (yang dibenci). Jumhur ulama mendefinisikan makruh adalah
larangan terhadap suatu perbuatan tetapi larangan tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang
menunjukkan haramnya perbuatan tersebut.

Makruh dibagi 2 yakni:

-Makruh tahrim yakni sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti contohnya larangan memakai
perhiasan emas bagi laki-laki.

-makruh tanzih yakni sesuatu yang diajurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, tetapi larangan tidak
bersifat pasti contohnya memakan daging kuda saat sangat butuh waktu perang.

4. Mubah

Hukum Islam berikutnya yakni mubah. Mubah adalah titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk
memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Bila mengerjakan tidak diberi ganjaran.

5. Haram

Muharram secara bahasa artinya mamnu' (yang dilarang). Menurut madzah hanafi, hukum haram harus
didasarkan dalil qathi yang tidak mengandung keraguan sedikitpun sehingga kita tidak mempermudah
dalam menetapkan hukum haram, sebagaimana QS An Nahl ayat 116.

Menurut Jumhur para ulama, hukum haram terbagi:


-Al Muharram li dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung
kemadharatan bagi kehidupan manusia. Contoh makan bangkai, minum khamr, berzina.
-Al Muharram li ghairihi: sesuatu yang dilarang bukan karena essensinya tetapi karena kondisi eksternal
seperti jual beli barang secara riba.

Anda mungkin juga menyukai