Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Tanah Ultisol mempunyai sebaran yang sangat luas, meliputi hampir 25%
dari total daratan Indonesia. Penampang tanah yang dalam dan kapasitas tukar
kation yang tergolong sedang hingga tinggi menjadikan tanah ini mempunyai
peranan yang penting dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Hampir
semua jenis tanaman dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini, kecuali
terkendala oleh iklim dan relief.
Kesuburan alami tanah Ultisol umumnya terdapat pada horizon A yang
tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara makro seperti
fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat masam,
serta kejenuhan aluminium yang tinggi merupakan sifat-sifat tanah Ultisol yang
sering menghambat pertumbuhan tanaman. Selain itu terdapat horizon argilik
yang mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti berkurangnya pori mikro dan makro
serta bertambahnya aliran permukaan yang pada akhirnya dapat mendorong
terjadinya erosi tanah.
Penelitian menunjukkan bahwa pengapuran, sistem pertanaman lorong,
serta pemupukan dengan pupuk organik maupun anorganik dapat mengatasi
kendala pemanfaatan tanah Ultisol. Pemanfaatan tanah Ultisol untuk
pengembangan tanaman perkebunan relatif tidak menghadapi kendala, tetapi
untuk tanaman pangan umumnya terkendala oleh sifat-sifat kimia tersebut yang
dirasakan berat bagi petani untuk mengatasinya, karena kondisi ekonomi dan
pengetahuan yang umumnya lemah.
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai
sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan
Indonesia (Subagyo et al. 2004). Sebaran terluas terdapat di Kalimantan
(21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua
(8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara
(53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga
bergunung. Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang
bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah
batuan sedimen masam. Di antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran
terluas. Hal ini karena persyaratan klasifikasinya hanya didasarkan pada nilai
kejenuhan basa yaitu < 35% dan adanya horizon argilik, tanpa ada syarat
tambahan lainnya.
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah
permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran
permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah
Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini
karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan
bahan organik pada lapisan atas.
Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan
hara. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut,
dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan
kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada
umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan
bahan organik.
Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat
ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah,
dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993). Di Indonesia, Ultisol
umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah
dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri,
tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu penyebab tidak
terkelolanya tanah ini dengan baik.
1.2. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, agar kita bisa lebih mengetahui
dan belajar mengenai masalah kesuburan tanah yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. TEKNOLOGI PENGELOLAAN ULTISOL
Ditinjau dari luasnya, tanah Ultisol mempunyai potensi yang tinggi untuk
pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini
menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan
tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa
kendala yang umum pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH
ratarata < 4,50, kejenuhan Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K,
Ca, dan Mg, dan kandungan bahan organic rendah. Untuk mengatasi kendala
tersebut dapat diterapkan teknologi pengapuran, pemupukan P dan K, dan
pemberian bahan organik. Penerapan teknologi tersebut dapat meningkatkan hasil
tanaman jagung (Tabel 4).
2.1.1. Pengapuran
Untuk mengatasi kendala kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi dapat
dilakukanpengapuran. Reaksi tanah masam dengan kejenuhan Al tinggi sudah
menjadi merek dari tanah ini. Kemasaman tanah berhubungan erat dengan
kejenuhan Al, seperti yang dilaporkan oleh Abruna etal. (1975), % kejenuhan Al =
516,10−163,97 kemasaman tanah + 12,70 (kemasaman tanah) 2 dengan r = 0,90.
Kandungan Al yang tinggi berasal dari pelapukan mineral mudah lapuk.
Kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi dapat dinetralisir dengan pengapuran.
Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari sangat masam atau
masam ke pH agak netral atau netral, serta menurunkan kadar Al.
Untuk menaikkan kadar Ca dan Mg dapat diberikan dolomit, walaupun
pemberian kapur selain meningkatkan pH tanah juga dapat meningkatkan kadar
Ca dan kejenuhan basa. Terdapat hubungan yang sangat nyata antara takaran
kapur dengan Al dan kejenuhan Al (Sri Adiningsih dan Prihatini 1986).
Pengapuran efektif mereduksi kemaaman dan pemberian kapur setara
dengan l x Aldd dapat menurunkan kejenuhan Al dari 87% menjadi < 20% Pada
tanaman kedelai, pemberian kapur hingga kedalaman 30 cm dapat memberikan
hasil tertinggi, tetapi residu kapur tidak mempengaruhi tinggi tanaman jagung
yang ditanam setelah kedelai, dan hanya berpengaruh pada bobot tongkol basah
(Suriadikarta et al. 1987a; 1987b).
Pemberian kapur dapat mengatasi masalah kemasaman tanah dan juga
menjamin tanaman dapat bertahan hidup dan berproduksi bila terjadi kekeringan
(Amien et al. 1990).
Takaran kapur didasarkan pada Aldd atau persentase kejenuhan Al, karena
setiap jenis tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai toleransi yang
berbeda terhadap kejenuhan Al . Makin besar persentase kejenuhan Al dalam
tanah, makin banyak kapur yang harus diberikan ke dalam tanah untuk mencapai
pH agak netral sampai netral. Pengapuran tampaknya dapat mengatasi masalah
kejenuhan Al dan kemasaman pada tanah Ultisol. Namun di beberapa daerah
seperti di Kalimantan dan Sumatera, ketersediaan kapur relative terbatas, dan bila
tersedia harganya belum tentu terjangkau oleh petani. Pengapuran sebaiknya
hanya dilakukan bila pH tanah di bawah 5 karena pada pH di atas 5,50, respons Al
rendah karena sudah mengendap menjadi Al (OH)3.
2.1.2. Pemupukan Fosfat dan Kalium
Pemupukan fosfat merupakan salah satu cara mengelola tanah Ultisol,
karena di samping kadar P rendah, juga terdapat unsur-unsur yang dapat meretensi
fosfat yang ditambahkan. Kekurangan P pada tanah Ultisol dapat disebabkan oleh
kandungan P dari bahan induk tanah yang memang sudah rendah, atau kandungan
P sebetulnya tinggi tetapi tidak tersedia untuk tanaman karena diserap oleh unsur
lain seperti Al dan Fe.
Ultisol pada umumnya memberikan respons yang baik terhadap
pemupukan fosfat. Penggunaan pupuk P dari TSP lebih efisien dibanding P alam
(Hakim dan Sediyarsa 1986), namun pengaruh takaran P terhadap hasil tidak
nyata. Pemberian P 200−250 ppm P2O5 pada tanah Ultisol dari Lampung dan
Banten dapat menghasilkan bahan kering 3−4 kali lebih tinggi dari perlakuan
tanpa fosfat (Sediyarsa et al. 1986). Di samping itu pengaruh residu pemupukan P
masih terlihat walaupun hasil tanaman lebih rendah dari pertanaman sebelumnya
(Sugiyono et al. 1986).
Respons tanaman jagung terhadap pemupukan P dan N pada tanah Typic
Paleudults sangat tinggi karena status kesuburan Typic Paleudults sangat rendah.
Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa takaran pupuk P dan N untuk pertanaman
jagung kedua lebih kecil dari pertanaman pertama (Soepartini dan Sholeh 1986).
Residu pupuk P pada tanah Ultisol memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan dan hasil kedelai (Suriadikarta dan Widjaja-Adhi 1986), bahkan
residu P sebesar 3 x 60 kg P/ha dapat menaikkan ketersediaan P dalam tanah dari
3,30 menjadi 10,10 ppm P2O5. Pupuk K dalam bentuk KCl diberikan dengan
takaran 100−130 kg KCl/ha.
2.1.3. Bahan Organik
Tanah Ultisol umumnya peka terhadap erosi serta mempunyai pori aerasi
dan indeks stabilitas rendah sehingga tanah mudah menjadi padat. Akibatnya
pertumbuhan akar tanaman terhambat karena daya tembus akar ke dalam tanah
menjadi berkurang. Bahan organik selain dapat meningkatkan kesuburan tanah
juga mempunyai peran penting dalam memperbaiki sifat fisik tanah. Bahan
organik dapat meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan perkolasi,
serta membuat struktur tanah menjadi lebih remah dan mudah diolah. Bahan
organik tanah melalui fraksi-fraksinya mempunyai pengaruh nyata terhadap
pergerakan dan pencucian hara. Asam fulvat berkorelasi positif dan nyata dengan
kadar dan jumlah ion yang tercuci, sedangkan asam humat berkorelasi negatif
dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci (Subowo et al. 1990).
Pengelolaan bahan organik dengan penanaman Mucuna sp. selama 3 bulan
dan pengembalian serasah + pupuk kandang 10 t/ha pada guludan dapat
meningkatkan pori tanah, dan pori air tersedia, serta menurunkan kepadatan tanah
(Erfandi et al. 2001).
Pada Ultisol dari Sitiung, pemberian bahan organik berupa kotoran sapi,
jerami, dan Flemingia congesta dapat meningkatkan kandungan bahan organik
dan kapasitas tukar kation serta menghalangi serapan P dan Mg dalam tanah
(Nursyamsi et al. 1997).
Pengelolaan tanah dan bahan organic berupa sisa tanaman jagung, F.
congesta, dan Mucuna sp. sebagai mulsa sangat efektif mencegah erosi serta
mengurangi konsentrasi sedimen dan aliran permukaan (Kurnia et al. 2000).
Pemberian berbagai jenis dan takaran pupuk kandang (sapi, ayam, dan
kambing) dapat memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu menurunkan bobot isi serta
meningkatkan porositas tanah dan laju permeabilitas (Adimihardja et al. 2000).
Penambahan bahan organik dari pupuk kandang maupun sisa-sisa tanaman
atau hasil penanaman seperti Mucuna sp. dan F. congesta dapat memperbaiki sifat
fisik tanah seperti pori air tersedia, indeks stabilitas agregat, dan kepadatan tanah.
Pemberian bahan organik baik dari sisasisa tanaman maupun yang sengaja
ditanam tidak menimbulkan masalah bagi petani, tetapi pemberian pupuk kandang
dengan takaran hingga 10 t/ha akan sangat sulit diterapkan oleh petani.
Penyediaan bahan organik dapat pula diusahakan melalui pertanaman lorong
(alley cropping). Selain pangkasan tanaman dapat menjadi sumber bahan organik
tanah, cara ini juga dapat mengendalikan erosi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penanaman Flemingia sp. dapat meningkatkan pH tanah dan kapasitas
tukar kation serta menurunkan kejenuhan Al (Hafif et al. 1993; Irianto et al. 1993;
Suhardjo et al. 1997).
Penerapan pola tanam tumpang gilir di produksi dengan pemberian mulsa
setiap panen pada tanah Ultisol dapat menekan erosi pada lereng 15% hingga di
bawah nilai erosi yang dapat diabaikan (Barus et al. 1986). Pada lereng sekitar
4%, penggunaan mulsa untuk mencegah erosi cukup baik asalkan diikuti
pengelolaan tanah yang baik pula (Suwardjo et al. 1987).
2.2. KOMPOSISI MINERAL
Susunan mineral primer yang dominan pada Ultisol dengan bahan induk
yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Kuarsa yang dominan terdapat pada Ultisol
yang terbentuk dari tufa berkapur dan dari batuan granit (Pedon 3, Typic
Haplohumults dan Pedon 1, Typic Kandiudults). Pada Ultisol yang berkembang
dari batuan tufa masam ( Pedon 2, Typic Paleudults), kuarsa dan opak
mendominasi susunan mineral pasir, sedangkan pada Ultisol dari bahan volkan
intermedier (Pedon 4, Typic Paleudults), opak merupakan mineral yang dominan
pada fraksi pasir.
Yatno et al. (2000) menyatakan Ultisol dari batuan liat dan pasir
didominasi oleh mineral kuarsa. Kandungan mineral mudah lapuk (weatherable
mineral) seperti orthoklas,= biotit, epidot, gelas volkan olivin, sanidin amfibol,
augit, dan hiperstin pada tanah Ultisol umumnya rendah bahkan sering tidak ada
(Subardja 1986; Suharta dan Prasetyo 1986; Prasetyo et al. 1998; Prasetyo et al.
2005).
Dengan demikian Ultisol tergolong tanah yang miskin akan unsur hara.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan induk tanah Ultisol
menentukan komposisi mineralnya. Pada tanah yang berbahan induk batuan
masam, mineral primer didominasi oleh kuarsa, sedangkan pada tanah dari bahan
volkan didominasi oleh opak. Tufa masam merupakan jenis batuan sedimen
masam dari bahan volkan sehingga komposisi mineral primernya didominasi oleh
campuran opak dan kuarsa. Komposisi mineral liat Ultisol didominasi oleh
kaolinit (Suharta dan Prasetyo 1986; Setyawan 1997; Prasetyo et al. 2001;
Alkusuma dan Badayos 2003; Prasetyo et al. 2005)
2.3. CIRI MORFOLOGI
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada
klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai
Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat
bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo
et al. 1986).
Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik
yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi
ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta
oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga
merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan
makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys
1970; Allen dan Hajek 1989; Schwertmann dan Taylor 1989).
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk
tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya
mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan Prasetyo 1986).
Sedangkan tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa
cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja
1986; Subagyo et al. 1987; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).
Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol.
Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan
granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang
kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur
cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang halus. Ciri morfologi yang
penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu
pada horizon seperti yang disyaratkan dalam Soil Taxonomy (Soil Survey Staff
2003).
Horizon tanah dengan peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon
argilik. Horizon tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil analisis di
laboratorium maupun dari penampang profil tanah. Horizon argilik umumnya
kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang
menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horizon ini dan hanya
berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et al. 1993).
2.4. SIFAT KIMIA
Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena
batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah Ultisol menurut Soil
Taxonomy. Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation < 16
cmol/kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik. Reaksi tanah Ultisol
pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali tanah Ultisol
dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH
6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan
tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol/kg,
6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan
andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan
batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi (Prasetyo et al. 2000;
Prasetyo et al. 2005).
Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan
sedimen dan granit (> 60%), dan nilai yang rendah pada tanah Ultisol dari bahan
volkan andesitik dan gamping (0%). Ultisol dari bahan tufa mempunyai
kejenuhan Al yang rendah pada lapisan atas (5−8%), tetapi tinggi pada lapisan
bawah (37−78%). Tampaknya kejenuhan Al pada tanah Ultisol berhubungan erat
dengan pH tanah.
Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian
basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena
proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah Ultisol
yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada
bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi
kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation
hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu,
peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah
(ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik.
Peningkatan fraksi liat yang membentuk horizon argilik pada tanah Ultisol
cukup merugikan karena horizon ini akan menghalangi aliran air secara vertikal,
sebaliknya aliran horizontal meningkat sehingga memperbesar daya erosivitas.
Pembentukan horizon argilik merupakan proses alami yang sulit dicegah, namun
erosi yang terjadi dapat dihindari atau dikurangi dampaknya. Masalah Al
umumnya terjadi pada tanah Ultisol dari bahan sedimen. Bahan sedimen
merupakan hasil dari proses pelapukan (weathering) dan pencucian (leaching),
baik pelapukan dari bahan volkan, batuan beku, batuan metamorf maupun
campuran dari berbagai jenis batuan sehingga mineral penyusunnya sangat
bergantung pada asal bahan yang melapuk.
Oleh karena itu, tanah Ultisol dari bahan sedimen sudah mengalami dua
kali pelapukan, yang pertama pada waktu pembentukan batuan sedimen dan yang
kedua pada wak-tu pembentukan tanah. Dengan demikian ada kemungkinan
bahwa kandungan Al pada batuan sedimen sudah sangat tinggi. Kondisi ini akan
berbeda bila tanah Ultisol terbentuk dari bahan volkan dan batuan beku. Pada
tanah tersebut Al hanya berasal dari pelapukan batuan bahan induknya. Kondisi
ini juga masih dipengaruhi oleh pH. Pada bahan induk yang bersifat basa,
pelepasan Al tidak sebanyak pada batuan masam, karena pH tanah yang tinggi
dapat mengurangi kelarutan hidroksida Al.
Ultisol dari bahan sedimen mempunyai kesuburan alami yang lebih rendah
daripada Ultisol dari bahan volkan atau batu kapur, karena bahan sedimen sudah
merupakan hasil perombakan bahan lain sehingga kandungan unsur haranya pun
rendah. Ultisol dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang berkembang
dari batuan sedimen batu pasir dan batu liat mempunyai nilai kapasitas tukar
kation tanah 3−18 cmol(+)/kg, kejenuhan basa 3− 9%, kejenuhan Al 33−95%.
BAB III
KESIMPULAN
3.1. KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan, Pada umumnya Ultisol
mempunyai penampang tanah yang dalam, sehingga merupakan media yang baik
bagi pertumbuhan tanaman. Kecuali Ultisol yang mempunyai horizon kandik,
semua tanah. Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation sedang hingga tinggi (>
16 cmol/kg) sehingga sangat menunjang dalam pemupukan. Penampang tanah
yang dalam dengan kapasitas tukar kation sedang hingga tinggi menjadikan tanah
Ultisol dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis tanaman. Namun demikian,
faktor iklim dan relief perlu diperhatikan.
Kendala pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian adalah
kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi, kandungan hara dan bahan organik
rendah, dan tanah peka terhadap erosi. Berbagai kendala tersebut dapat diatasi
dengan penerapan teknologi seperti pengapuran, pemupukan, dan pengelolaan
bahan organik.
Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman pangan lebih
banyak menghadapi kendala dibandingkan dengan untuk tanaman perkebunan.
Oleh karena itu, tanah ini banyak dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan kelapa
sawit, karet, dan hutan tanaman industri, terutama di Sumatera dan Kalimantan.
Masalah dalam penerapan hasil-hasil penelitian pengelolaan tanah Ultisol oleh
petani adalah rendahnya pengetahuan dan sumber pembiayaan mereka, terutama
untuk pengadaan pupuk P, kapur, dan pupuk kandang. Untuk memacu penerapan
hasil-hasil penelitian dapat memanfaatkan tenaga penyuluh pertanian yang ada.
Perlu dilakukan penelitian mengenai potensi aplikasi hasil-hasil penelitian oleh
petani untuk memantau tingkat adopsi teknologi yang dihasilkan oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA
Aini Indrasari dan Abdul Syukur, Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Dan
Unsur Hara Mikro Terhadap Pertumbuhan Jagung Pada Ultisol
Yang Dikapur, Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol 6 (2) (2006)
p: 116-123.
B.H. Prasetyo dan D.A. Suriadikarta, Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi
Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan
Kering Di Indonesia, Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006.
Fajar Isminarni, Sri Wedhastri, Jaka Widada, Benito Heru Purwanto, Penambatan
Nitrogen Dan Penghasilan Indol Asam Asetat Oleh Isolat-Isolat
Azotobacter Pada Ph Rendah Dan Aluminium Tinggi, Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (2007) p: 23-30.
Emanoel Gomes de Moura1*; Kátia Pereira Coelho1; Idelfonso Colares de
Freitas1; Alanadas Chagas Ferreira Aguiar2, Chemical And
Physical Fertility Indicators Of A Weakly-Structured Ultisol After
Liming And Mulching, Sci. Agric. (Piracicaba, Braz.), v.66, n.6,
p.800-805, November/December 2009.
Ibrahaim M. Al-Kiki*, Moafaq A. Al-Atalla* & Abdulrahman H. Al-Zubaydi*,
Long Term Strength and Durability of Clayey Soil Stabilized With
Lime, Eng. & Tech. Journal, Vol.29, No.4, 2011.
Mbah Charles Ndubuisi, Nkpaji Deborah , Response of Maize (Zea mays L) to
Different Rates of wood-ash Application in acid Ultisol in
Southeast Nigeria, Journal of American Science 2010;6(1):53-57.

Anda mungkin juga menyukai