Anda di halaman 1dari 20

Makalah Kedudukan Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam

BAB I

PEDAHULUAN

Latar belakang

Tatkala membahas Al Qur’an, kita mengemukakan bahwa Kitab Allah ini bukan sekedar
shuhuf petunjuk untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang muncul pada masa turunnya,
dan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut beliau. Al Qur’an
merupakan sebuah uraian lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui manusia,
dan dihimpun dalam sebuah sistem. Meskipun Al Qur’an menegaskan mengenai dirinya
sebagai Kitab yang menerangkan segala sesuatu, tetapi tidak semua masalah disampaikannya
secara tuntas, sejak dari prinsip dasar sampai dengan operasionalisasinya. Rupanya Allah
menetapkan untuk memfungsikan Rasul bukan sekedar membacakan Kitab-Nya kepada
ummat, tetapi juga menerangkan isinya dan memberi contoh pengamalannya di dalam
kehidupan sehari-hari.

Karena itu sesudah Al Qur’an kaum mukminin menerima As Sunnah – jalan atau tradisi
Rasul. Jalan Rasul itu diberitakan secara beranting kepada ummat, maka berita tentang sikap
dan akhlak Rasulullah SAW itu dikenal sebagai Al Hadits yang makna harfiahnya adalah
berita. Sehubungan dengan itu Rasulullah menyatakan: “Aku tinggalkan dua hal untuk kamu
sekalian; maka kamu tidak akan tersesat apabila berpegang kepada keduanya. Dua hal itu
adalah Al Qur’an dan Sunnahku”. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi
dikemukakan sabda beliau: “Barangsiapa mencintai sunnahku berarti dia mencintai aku, dan
barangsiapa mencintai aku maka kelak dia akan bersamaku di dalam surga”.

Rumusan Makalah

1. Apa yang dimaksud dengan hadits ?

2. Bagaimana kedudukan sebuah hadits sebagai sumber dasar dalam agama Islam ?

Tujuan Pembuatan Makalah

1. Supaya mengetahui apa yang dimaksud dengan hadits

2. Mengetahui kedudukan hadits dalam Islam


BAB II

ANALISA MASALAH

A. Pengertian Hadits

Hadits.[1] menurut bahasa (etimologi) adalah perkataan atau ucapan Hadits menurut syar’i
adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perbuatan, perkataan, dan
penetapan pengakuan (takrir).[2] Hadits berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-quran yang
kurang jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Al-quran.

Hadits atau Sunnah dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah yang ada hubungannya dengan
pembinaan hukum Islam.

2. Sunnah Fi’liyah, yaitu sem ua perbuatan Rasulullah yang diberitakan para sahabat
mengenai soal-soal ibadah dan lain.

3. Sunah Taqriryah, yaitu segala hadis yang berupa ketetapan Nabi Muhammad SAW
terhadap apa yang datang dari Sahabatnya.Nabi SAW membiarkan sesuatu perbuatan yang
dilakukan oleh para sahabat,setelah memenuhi beberapa syarat,baik mengenai pelakunya
maupun perbuatanya.

Ulama Usul Fikih menetapkan perbuatan Nabi terbagi atas beberapa bagian :

1. Jibilli (tabi’at) yaitu semua perbuatan Nabi yang termasuk urusan tabi’at seperti makan,
minum dan lain-lain. Maka hukumnya mubah baik untuk perorangan maupun umatnya

2. Qurb (pendekatan) seperti ibadah shalat, puasa, shadaqah atau yang seumpamanya

3. Mu’amalah (hubungan dengan sesama manusia) seperti jual beli, perkawinan dan lain-
lain

B. Kedudukan Hadits Dalam Islam

Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman
bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT).
Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari
Allah. Kalau Al Qur’an merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi
maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari
Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada ummat
dengan cara beliau sendiri.

.......‫اليهم نزل ما للناس لتبين الذكر اليك وانزلنا‬...........(‫ النحل‬44)


“kami telah menurunan peringatan (Al-Qur’an) kepada engkau (Muhammad) supaya kamu
menerangkan kepada segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka (QS.
An-Nahl 44).

..‫فانتهوا عنه نهكم وما فخذوه الرسول اتكم ما‬........(‫ الحشر‬7)

“apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil dan apa yang
dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan” (QS. Al-Hasyr 7)

Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/ hadits merupakan penjelasan Al-Qur’an.


Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam. Dengan
demikian, sunnah adalah menjelaskan Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan
mentakwilkan kesamarannya. Allah menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat
dikategorikan beriman kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh
Rasulullah SAW dan dengan putusannya itu mereka merasa senang.

Iman Asy-Syathibi menerangkan dalam karyanya Al-Muwafaqat bahwa sunnah dibawah


derajat Al-Quran dengan alasan :

1. As-sunnah menjadi bayan (keterangan) Al-Qur’an.

2. As-sunnah menerangkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, bukan Al-


Qur’an menerangkan hukum sunnah.

3. As-sunnah menguatkan kemutlakan Al-Qur’an, mengkhususkan keumuman Al-Qur’an


dan mengihtimalkan lahirnya Al-Qur’an.[3]

Dalam hal mengishtinbatkan hukum, maka sunnah mempunyai batas-batas :

1. Sunnah mensyari’atkan apa-apa yang disyari’atkan oleh Allah SWT agar diikuti dan
dilaksanakan.[4]

2. Sunnah Nabi menerangkan apa-apa yang disyari’atkan oleh Al-Qur’an dalam hal
menjelaskan ayat-ayat yang umum, mentabyinkan ayat-ayat yang muhtamil dan
mentaqyidkan ayat-ayat yang mutlak.

3. Sunnah berwenang membuat berbagai macam hukum baru yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an. Untuk hal ini, Nabi saw berpedoman kepada ilham dan petunjuk dari Allah dan
ada pula yang berdasarkan ijtihad Rasulullah sendiri.

Imam Syafi’i menguraikan kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai berikut:

1. Sunnah itu bayanut tafshil, keterangan yang menjelaskan ayat-ayat yang mujmal.

2. Sunnah itu bayanut takhsis yaitu keterangan yang mentakhsiskan segala keumuman Al-
Qur’an.

3. Sunnah itu bayanut ta’yin yaitu keterangan yang menentukan mana yang dimaksud dari
dua kata atau tiga macam persoalan yang semuanya mungkin untuk dijelaskan secara terang.
4. Sunnah itu bayanut ta’kid yaitu keterangan sunnah yang bersesuaian benar dengan
petunjuk Al-Qur’an dari segala jurusan dan ia menguatkan apa yang dipaparkan ayat-ayat Al-
Qur’an.

5. Sunnah itu bayanut tafsir yaitu keterangan sesuatu hukum dari Al-Qur’an, yang
menerangkan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang tersebut dalam Al-Qur’an.

6. Sunnah itu bayanut tasyri yaitu keterangan sesuatu hukum yang tidak diterangkan
dalam Al-Qur’an.

Dalam menyampaikan Al Qur’an, Rasulullah SAW hanya meneruskan apa yang diwahyukan
kepada beliau, tanpa hak untuk menambah, mengurangi atau mengubah satu patah katapun.
Sedangkan dalam mendakwahkan petunjuk selain beliau menyampaikannya dengan ucapan,
dalam hal itu kata-kata dan susunannya berasal dari Muhammad SAW sendiri. Hadits Qudsi,
walaupun dimulai dengan pernyataan: “Allah berfirman”, kalimatnya tetap dari Rasul. Beliau
hanya menerangkan firman Allah yang beliau terima sebagai ilham. Pada waktu lain beliau
mengemukakan petunjuk Allah itu dengan perbuatan, termasuk dengan berdiam diri ketika
melihat perbuatan seseorang. Berdiam diri itu merupakan taqrir atau ijin bagi yang hendak
melakukan perbuatan tersebut. Muhammad SAW meskipun menjadi Nabi yang menerima
wahyu, sekaligus seorang Rasul, utusan yang bertugas menyampaikan wahyu dan petunjuk
lain yang diilhamkan kepada beliau, tetap manusia biasa yang mempunyai keinginan, pikiran
dan pendapat.

Maka dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menunaikan tugasnya, beliau juga ber-
ijtihad dengan menggunakan akalnya. Ketika menyampaikan ijtihad-nya Muhammad dapat
dibantah, bahkan bersedia mengubah ketetapannya bila ternyata ada ijtihad lain yang lebih
baik. Tetapi tatkala melaksanakan petunjuk Allah, tidak ada siapapun yang boleh turut
campur apa lagi mengoreksinya.

Para ulama menerangkan beberapa fungsi Al Hadits terhadap Al Qur’an :

1. merinci atau mengoperasionalkan petunjuk yang Al Qur’an hanya membicarakan


pokoknya saja.[5]

2. menegaskan suatu ketetapan yang telah dinyatakan di dalam Al Quran[6][.6]

3. menerangkan tujuan hukum dari suatu ketetapan Al Qur’an.[7]

Berbeda dengan Al Qur’an, sebagian besar Al Hadits tidak ditulis pada waktu Rasulullah
SAW masih hidup kerena disebabkan beberapa faktor :

1. karena Rasul sendiri pernah melarangnya.

2. Para ulama hadits menganggap larangan ini disebabkan oleh kekuatiran, bahwa catatan
Al Hadits akan bercampur dengan Al Qur’an, karena waktu itu belum ada media tulis yang
baik. Buktinya, Rasul sendiri di kemudian hari mengijinkan beberapa sahabat yang
terpercaya, menulis keterangan-keterangan beliau.
3. Jarang sekali Rasulullah menerangkan, apakah ucapan dan perbuatan beliau itu atas
petunjuk Allah atau hanya ijitihad beliau sendiri.

4. Pada waktu itu ummat sibuk berperang dan berdakwah. Maka potensi penulis yang
tersedia, dimanfaatkan dengan prioritas menulis Al Qur’an, yang Rasul memang
memerintahkannya.

5. Rasulullah SAW pada masa itu masih berada di tengah ummat, sehingga bila ada yang
memerlukan keterangan atau penjelasan tentang pernyataan Al Qur’an, dia dapat bertanya
langsung kepada beliau.

Kenyataan bahwa tulisan mengenai Al Hadits sangat langka, menimbulkan kesulitan ketika
Rasulullah SAW telah wafat. Apa lagi tatkala sahabat-sahabat yang dekat dengan beliau dan
yang menyaksikan kehidupan sehari-hari beliau, telah wafat pula. Padahal umat memerlukan
pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah di dalam menyelesaikan berbagai masalah, yang
petunjuk operasionalnya tidak ditemui dalam Al-Qur’an.

Maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz (menjabat tahun 99-101 H), mengambil inisiatif
memerintahkan ummat untuk menuliskan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Sejak perintah dikeluarkan, banyak sekali hadits yang ditulis dan
disebarluaskan. Persoalan timbul kemudian, ketika banyak hadits yang saling bertentangan,
dan yang isinya diragukan. Maka para ulama kemudian melakukan seleksi hadits, dengan
menyusun metode untuk itu. Yang terkemuka dalam pengembangan metode sekaligus
penerapannya, antara lain Imam Bukhari (194-256 H), Imam Muslim (202-261 H), Abu
Musa Muhammad at-Tirmidzi (209-279 H), Abu Dawud (202-275 H), Ibnu Majah (209-273
H), dan An Nasa’i (215-303 H). Umumnya ulama hadits beranggapan, metode Bukhari
merupakan yang paling hati-hati dalam prosedur seleksi hadits.

Meskipun ada perbedaan di antara berbagai metode yang digunakan, secara umum dapat
dikatakan bahwa ada tiga unsur yang diperiksa dalam proses seleksi hadits:

1. Sanad, yaitu hubungan antara orang yang mendengar atau menyaksikan sendiri ucapan
maupun perbuatan Rasul secara berantai sampai kepada yang menuliskannya. Urutan itu
harus menyambung tanpa ada keraguan sama sekali.

2. Rawi, yaitu orang-orang yang disebut dalam garis sanad; mereka harus terpercaya
dalam arti kukuh imannya, baik ibadahnya, luhur akhlaknya, dan panjang ingatannya.

3. Matan (isi hadits), yaitu tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits-hadits lain
yang lebih tinggi tingkat kepercayaannya.

Dengan pemeriksaan yang saksama terhadap sanad, dapat diketahui apakah sebuah hadits itu
mutawatir dikemukakan di dalam banyak sekali jalur sanad, atau masyhur dinyatakan di
dalam cukup banyak sanad, atau ahad hanya ditemukan dalam sedikit jalur sanad. Hadist
mutawatir tentu lebih mudah dipercayai dibanding masyhur, apa lagi hadit sahad.
Selanjutnya sesudah mempertimbangkan hasil penelitian terhadap semua unsur, dapat
ditetapkan mana hadits yang shahih, mana yang hasan (cukup baik) tetapi tidak sampai pada
taraf shahih, dan mana yang dhaif (lemah).

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Al-Hadits merupakan sumber kedua bagi ajaran Islam, dialah sumber yang paling luas, yang
terinci penjelasannya, dan paling lengkap susunannya. Sunnah memberikan perhatian yang
penuh dalam menjelaskan Al-Qur’an. Oleh sebab itu, tidaklah seharusnya dalam urusan
istinbat hukum Islam, orang mencukupkan Al-Qur’an saja, tanpa membutuhkan penjelasan
dari As-Sunnah.

Maka dari itulah, jangan terlalu mudah kita mengambil suatu hukum dari Al-Qur’an tanpa
melihat terlebih dahulu apakah ada hadits yang menjelaskan tentang ayat tersebut.

2. Saran

Marilah kita gali potensi kemampuan kita dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits agar
kita mampu memahami agama dengan baik dan benar.

[1]Hadits dan sunnah menurut para muhaddisin (mutaakhirin) adalah mutasawiyain (sinonim)
: berbeda lafadz tetapi sama pengertian.

[2]Baik berupa pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup saat sebelum nabi diangkat
menjadi rasul maupun sesudahnya.

[3]Sebagaimana hal ini tersebut dalam kitab-kitab usul fiqih

[4]Seperti dalam Al-Qur’an perintah untuk mendirikan shalat, mengerjakan haji dan lain-
lain

[5]Contohnya, Al Qur’an memerintahkan orang yang beriman untuk menunaikan shalat [QS
Al ‘Ankabut (20): 45], Al Hadits menerangkan tatacara Rasul dalam menunaikan shalat.
Beliapun menegaskan: “Shalatkah kamu dengan cara sebagaimana kamu melihat aku shalat”.

[6]Contohnya, Al Qur’an menerangkan bahwa tanda permulaan dan akhir puasa Ramadhan
adalah ketika orang menyaksikan hilal – bulan baru [QS Al Baqarah (2): 185], Al Hadits
menandaskan hal tersebut.
[7]Contohnya, Al Qur’an mewajibkan orang-orang beriman membayar zakat [QS At Taubah
(9): 34], Al Hadits menerangkan bahwa membayar zakat merupakan prosedur seorang
Mukmin untuk membersihkan harta dari yang bukan haknya.

https://suliesjambie.blogspot.com/2014/01/kedudukan-hadist-sebagai-sumber-hukum.html

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah, makalah pada
mata kuliah “Ulumul Hadits: Pokok Bahasan “Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama”
dengan rentangan waktu yang telah ditentukan.

Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan
oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan dan bantuan
dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik. Karena itu,
sudah sepantasnya jika kami mengucapkan terima kasih kepada:

Bapak Nurul Amin, M.Ag selaku Kepala Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah
Tulungagung

Bapak M. Asep Fathur Rozi, M.Pd.I, selaku dosen pembimbing

Kami sadar bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang
bersifat membangun, guna penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua pada umumnya dan bagi penulis pada
khususnya. Amin.
Tulungagung, 14 Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii

DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii

BAB I PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

A. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

B. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . 1

B. Tujuan Dan Manfaat Pembahasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . 1

BAB II. PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

A. Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama.. ................................................. 2

B. Dalil- Dalil Kehujjahan Hadits....................................................... . . . . 3

C. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an………………………………... 8

BAB III PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12

A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12

B. Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut bahasa (lughat), hadits dapat berarti baru, dekat (qarib) dan cerita( khabar).
Sedangkan menurut istilah ahli hadist ialah “segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan
segala keadaan beliau”. Akan tetapi para ulama Ushul Hadits, membatasi pengertian hadits
hanya pada ”Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir Nabi Muhammad SAW,
yang bersangkut paut dengan hukum.

Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits


dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama
atau primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang
sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja
atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keluar untuk
memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Hadits atau
Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an
atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder atau kedua setelah Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang dapat kita ungkapkan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut :

Bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam?

Bagaimana dalil-dalil kehujahan hadits?

Bagaimana fungsi-fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an?

C. Tujuan Dan Manfaat Pembahasan

Dengan pembahasan ini diharapkan :

1. Mengetahui kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam.

2. Mengetahui dalil- dalil kehujjahan hadits.


3. Memahami fungsi- fungsi hadits terhadap Al-Qur’an.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam

Hadits dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen. Dimana hadits merupakan
salah satu sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa
intervensi hadits. Memakai Al-Qur’an tanpa mengambil hadits sebagai landasan hukum dan
pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena Al- Qur’an akan sulit dipahami tanpa
menggunakan hadits. Kaitannya dengan kedudukan hadits di samping Al-Qur’an sebagai
sumber ajaran Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber pertama, sedangkan hadits
merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara Al-Qur’an dan hadits karena
keduanya adalah wahyu, hanya saja Al-Qur’an merupakan wahyu matlu (wahyu yang
dibacakan oleh Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya, kepada Nabi Muhammad SAW
dengan menggunakan bahasa arab) dan hadits wahyu ghoiru matlu ( wahyu yang tidak
dibacakan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW secara langsung, melainkan maknanya
dari Allah dan lafalnya dari Nabi Muhammad SAW.[1]

Ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-Qur’an lebih tinggi satu
tingkat daripada otoritas Hadits, karena Al-Qur’an mempunyai kualitas qath’i baik secara
global maupun terperinci. Sedangkan Hadits berkulitas qath’i secara global dan tidak secara
terperinci. Disisi lain karena Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia yang tunduk di bawah
perintah dan hukum-hukum Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW tidak lebih hanya penyampai
Al-Qur’an kepada manusia.

Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman
bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT).
Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari
Allah. Kalau Al Qur’an merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi
maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari
Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada umat
dengan cara beliau sendiri.

ِ ‫الزب ُِر ِب ْالبَيّنَا‬


‫ت‬ ّ ‫اس ِلتُبَيّنَ الذّ ْك َر ِإ َليْكَ َوأ َ ْنزَ ْلنَا َو‬
ِ ّ‫يَت َ َف ّك ُرونَ َولَ َعلّ ُه ْم ِإلَ ْي ِه ْم نُ ّز َل َما ِللن‬

“kami telah menurunan peringatan (Al-Qur’an) kepada engkau (Muhammad) supaya kamu
menerangkan kepada segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka”
(QS. An-Nahl 44).
‫سو ُل آتَا ُك ُم َو َما‬ َّ ُ‫واتَّقُوا فَا ْنت َ ُهوا َع ْنهُ نَ َها ُك ْم َو َما فَ ُخذُوه‬....
ُ ‫الر‬ َ
“Apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil dan apa yang
dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan” (QS. Al-Hasyr 7).

Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/ hadits merupakan penjelasan Al-Qur’an.


Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam. Dengan
demikian, sunnah adalah menjelaskan Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan
mentakwilkan kesamarannya. Allah menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat
dikategorikan beriman kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh
Rasulullah SAW dan dengan putusannya itu mereka merasa senang.

B. Dalil Kehujjahan Hadits

Yang dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits
yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an
dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Hadits adalah sumber hukum
Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang
telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus
percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak
kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga
murtad hukumnya.

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan
oleh Al-Qur’an juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara
yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an
sebagai sumber hukum utama. Apabila hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka
kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara
shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an
dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum. Dan yang menjelaskan secara
terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran
dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung
makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk
menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada
pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat
subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As-
Sunnah dalam menghadapi permasalahannya.

Asy-Syafi’i berkata :

‫قلت ما ودعوا م ص هللا رسول بسنة فقولوا م ص هللا رسول سنة خالف كتابي في وجدتم إذا‬
“Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah
Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang
telah aku katakan.”

Perkataan imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus
kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi SAW. Dan apa
yang dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan
apabila dalam Asy-Syafi’i ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya. Tetapi Tidak
semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh
umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat
dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli :

1. Dalil Al-Qur’an

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima
segala yang datang dari Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah
:

Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi :

‫ّللاُ َكانَ َما‬ َّ ‫يث يَ ِميزَ َحتَّى َعلَ ْي ِه أ َ ْنت ُ ْم َما َعلَى ْال ُمؤْ ِمنِينَ ِليَذَ َر‬
َ ِ‫ب ِمنَ ْال َخب‬ َّ ‫ّللاُ َكانَ َو َما ال‬
ِ ِّ‫طي‬ ْ ‫ب َعلَى ِلي‬
َّ ‫ُط ِلعَ ُك ْم‬ ِ ‫ّللاَ َولَ ِك َّن ْالغَ ْي‬
َّ ‫يَجْ تَبِي‬
‫س ِل ِه ِم ْن‬
ُ ‫آمنُوا يَشَا ُء َم ْن ُر‬ َ ُ ُ َّ ُ َ َ َ
ُ ‫َع ِظيم أجْ ر فلك ْم َوتَتقوا تؤْ ِمنُوا َوإِ ْن َو ُر‬
َّ ِ‫س ِل ِه ب‬
ِ ‫اّللِ ف‬

Artinya:

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu
sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu'min). Dan
Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi
Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah
kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala
yang besar.”(QS:Ali Imran:179)

Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:

‫اّللِ ِآمنُوا آ َمنُوا ا َّلذِينَ أَيُّ َها َيا‬ َّ ‫سو ِل ِه ِب‬ ِ ‫سو ِل ِه َعلَى ن ََّز َل ا َّلذِي َو ْال ِكت َا‬
ُ ‫ب َو َر‬ ِ ‫اّللِ َي ْكفُ ْر َو َم ْن قَ ْب ُل ِم ْن أ َ ْنزَ َل الَّذِي َو ْال ِكتَا‬
ُ ‫ب َر‬ َّ ‫ِب‬
ُ ‫اآلخ ِر َو ْال َي ْو ِم َو ُر‬
‫س ِل ِه َو ُكتُ ِب ِه َو َمال ِئ َك ِت ِه‬ ِ ْ‫ض َّل فَقَد‬َ ‫ضالال‬ َ ‫َب ِعيدًا‬

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya.”(QS:An-Nisa:136).
Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-
orang yang munafiq, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat
iman mereka. Oleh karena itulah, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Sedangkan pada QS. An-Nisa, Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka
tetap beriman kepada Allah, rasul-Nya (Muhammad SAW), al-Qur’an, dan kitab yang
diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang
mengingkari seruan-Nya.

Selain Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw.
Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang
dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh
kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat al-Qur’an yang mnyerukan seruan ini.

Perhatikan firman Allah SWT. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:

‫ّللاَ أ َ ِطيعُوا قُ ْل‬


َّ ‫سو َل‬ َّ ‫ْالكَا ِف ِرينَ ي ُِحبُّ ال‬
َّ ‫ّللاَ فَإ ِ َّن ت ََولَّ ْوا فَإ ِ ْن َو‬
ُ ‫الر‬

Artinya:

“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran : 32).

Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:

‫ّللاَ أ َ ِطيعُوا قُ ْل‬


َّ ‫سو َل َوأَ ِطيعُوا‬ َّ ‫سو ِل َعلَى َو َما ت َ ْهتَد ُوا ت ُ ِطيعُوهُ َو ِإ ْن ُح ِ ّم ْلت ُ ْم َما َو َعلَ ْي ُك ْم ُح ِ ّم َل َما َعلَ ْي ِه فَإِنَّ َما ت ََولَّ ْوا فَإ ِ ْن‬
ُ ‫الر‬ ُ ‫الر‬
َّ ‫إِال‬
ُ‫ْال ُمبِينُ ْالبَالغ‬

Artinya:

“Katakanlah: "Ta'at kepada Allah dan ta'atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka
sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban
kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta'at
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".(An-Nur:54).

Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang permasalahan ini. Dari
beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi dengan
perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah
dan juga kepada Rasul-Nya.

Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada Rasulullah Saw dan larangan
mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak dipersilihkan umat Islam.

2. Dalil Hadits
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban
menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya,
adalah sabdanya:

‫)الحاكم رواه(رسوله وسنة هللا كتاب بهما تمسكتم إن أبداما تضلوا لن أمرين فيكم تركت‬

Artinya :

“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selam-lamanya,
selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”

(HR. Malik).

Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-
Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan
khususnya dalam menentukan hukum.

3. Kesepakatan Ulama’ (Ijma’)

Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-
Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan
segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah,
sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada
yang mengingkarinya.

Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan Hadits sebagai sumber


hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini :

a. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak meninggalkan
sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila
meninggalkan perintahnya.

b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau adalah
batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”

c. Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam Al-
Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada
kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana kami
melihat Rasulullah berbuat.”

Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan,


dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah SAW, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang
dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.

4. Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)

Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam
mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT,
baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu
dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai
suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu.

Menurut Abdul Ghoni bin Abdul Kholiq dalam bukunya Hujjiyah al-Sunnah, kehujjahan
hadits paling tidak dapat dipahami dari 7 aspek, yaitu

1. ‘Ishamah (Keterpeliharaan Nabi dari Kesalahan)

Tugas Rasul sebagai penyampai wahyu mengharuskan beliau untuk selalu ekstra hati- hati
dalam bertindak

2. Sikap Sahabat terhadap sunnah

Sikap para sahabat yang selalu patuh dan tunduk dengan perintah Rasulullah SAW
memberikan satu indikasi akan kebenaran apa yang dilakukan dan diucapkan oleh beliau, dan
sekaligus dapat dijadikan hujjah.

3. Al-Qur’an

Banyak ayat yang memerintahkan untuk patuh, taat dan mengambil apa yang dilakukan Nabi
SAW.

4. Al-Sunnah

Selain Al-Quran, terdapat banyak pula hadits yang menjelaskan kehujjahan al-Sunnah

5. Kebutuhan al- Qur’an terhadap al-Sunnah

Al-Qur’an tidak akan dapat dipahami secara sempurna tanpa ada bantuan al-Sunnah

6. Realitas-Sunnah sebagai wahyu

Wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada Nabi ada yang berupa wahyu dhohir ( yang
berstatus terjaga dan terpelihara dari segala bentuk kesalahan)

7. Ijma’

Kesepakatan untuk mengambil hadits sebagai hujjah dan landasan hukum

C. Fungsi Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam

Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam islam, antara
satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-
qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum
dan global. Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk
menjelaskan keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :

ِ ‫الزب ُِر بِ ْالبَيِّنَا‬


‫ت‬ ُّ ‫اس ِلتُبَيِّنَ ال ِذّ ْك َر إِلَيْكَ َوأ َ ْنزَ ْلنَا َو‬
ِ َّ‫يَت َ َف َّك ُرونَ َولَعَلَّ ُه ْم إِلَ ْي ِه ْم نُ ِ ّز َل َما ِللن‬
Artinya :

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

(QS. An-Nahl : 44)

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarat dan penjelas
dari ayat-ayat Al-Qur’an. Apabila disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungan dengan
Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a. Bayan Tafsir

Yang dimaksud dengan bayan At -Tafsir adalah menjelaskan maksud dari Al-Qur’an
Fungsi hadist dalam hal ini adalah merinci ayat secara global( bayan al mujmal), membatasi
ayat yang mutlak ( taqyid al muthlaq), mengkhususkan ayat yang umum ( takhshish al’am)
dan menjelaskan ayat yang dirasa rumit ( taudhih al musykil).[2]

Diantara contoh bayan At -Tafsir mujmal adalah seperti hadist yang menerangkan
kemujmalan ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat,
dan haji. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang beribadah tersebut masih bersifat
global atau secara garis besarnya saja. Contohnya kita diperintahkan shalat, namun Al-Qur’an
tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan
waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi
Muhammad SAW dengan sabdanya :

‫صلُّ ْوا‬ َ ُ ‫)البخارى رواه( أ‬


َ ‫ص ِلّ ْي َرا َ ْيت ُ ُم ْونِي َك َما‬

“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-Qur’an tidak
menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah :

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”
(QS. Al-Baqoroh[2]: 43)

b. Bayan Taqrir

Bayan At-Taqrir atau sering juga disebut bayan ta’kid ( penegas hukum) dan bayan al- itsbat
adalah hadist yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an.
Dalam hal ini, hadis hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an. Suatu
hadis yang diriwayatkan muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut :

‫ص ْو ُم ْوا ْال ِهالَ َل َرأَيْـت ُ ُم فَإِذَا‬


ُ َ‫)مسلم رواه( فَأ َ ْف ِط ُر ْوا َرأَيْـت ُ ُم ْوهُ َوإِذَا ف‬

“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu
maka berbukalah.” (HR. Muslim)

Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini yang artinya :
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...”
(QS. Al-Baqoroh [2]: 185)

c. Bayan Tasyri’

Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah menjelaskan hukum yang tidak disinggung
langsung dalam Al-Qur’an. Bayan ini juga disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-
Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada
dalam Al-Qur’an.

d. Bayan An-Nasakh

Secara bahasa an-naskh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan),


at-tahwil (memindahkan) atau at-tagyar (mengubah). Menurut Ulama’ mutaqaddimin, yang
dimaksud dengan bayan an-nasakh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dan
pengertian tersebut menurut ulama’ yang setuju adanya fungsi bayan an nasakh, dapat
dipahami bahwa hadis sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus
ketentuan-ketentuan atau isi Al-Qur’an yang datang kemudian. Menurut ulama
mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat
menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi
membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja.
Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya.

Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits :

‫لوارث وصية ال‬

Artinya :

“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.

Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180 yang
artinya :

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadits merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah Al-Quran sebagai sumber
utama, hadits juga sebagai pedoman hukum serta ajaran- ajaran yang terdapat dalam Al-
Qur’an. Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua
setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber
hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam,
bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga murtad hukumnya.

Kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik
dalam bentuk naqli ataupun aqli : dalil Al-Qur’an, dalil Hadits, Ijma’ dan Ijtihad. Kehujjahan
hadits dapat dipahami dari 7 aspek yaitu: Ishmah, sikap sahabat terhadap sunnah, Al-Qur’an,
Al- Sunnah, Kebutuhan Al-Qur’an terhadap al-sunnah, realitas – sunnah sebagai wahyu dan
Ijma’

Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an yaitu: bayan tafsir, bayan taqrir, bayan tasyri’ dan bayan
an-nasakh

B. Saran

Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan. Harapan kami untuk
mengembangkan potensi yang ada dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa difahami oleh
para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca, khususnya dari
Bapak Dosen yang telah membimbing kami dan para Mahasiswa demi kesempurnaan
makalah ini. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi.1980.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta:Bulan Bintang

http://uinkediri.blogspot.co.id/2014/12/contoh-makalah-kedudukan-hadits-sebagai.html

http://syuekri.blogspot.co.id/2012/10/hadist-sebagai-ajaran-agama.html

Serpihan-islam.blogspot.co.id/2014/11/perbedaan-al-quran-dan-hadist html.

Smeer, Zeid B.,2008, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang:UIN-

http://slametfokus.blogspot.com/2016/05/hadits-sebagai-sumber-ajaran-agama.html

Anda mungkin juga menyukai