Anda di halaman 1dari 43

FILSAFAT MODERN :

POSITIVISME, FENOMENOLOGI, PRAGMATISME DAN REALISME

OLEH :

ZAENAL ABIDIN

NIM: 1803101112

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PGRI MANDIUN

T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga

kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Filsafat Modern :

Positivisme, Fenomenologi, Pragmatisme Dan Realisme

”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam

mata kuliah di Universitas PGRI Madiun.

Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik

pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami

miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi

penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan

makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan

petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Madiun, 20 Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................................2

C. Tujuan Pembahasan Masalah ................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah kemunculan pragmatisme ......................................................... 3

B. Sejarah filsafat positivisme ....................................................................... 13

C. Pengertian fenomenologi .................................................................... 25

D. Pengertian Realisme ........................................................................... 32

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 39

B. Saran ......................................................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 40

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam

perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat

banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka

filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan

atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu

terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap

dikritisi secara radikal. Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya

merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat

dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan

ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak

memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.

Filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa Yunani. Kalimat ini berasal

dari kata philosophia yang berarti cinta pengetahuan. terdiri dari kata philos

yang berarti cinta, senang, suka dan kata, sedangkan kaa Sophia berarti

pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah

cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan

kebiaksanaan.

Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-

hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan

upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains),

baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi

1
kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok

filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi

dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para

ahli.

Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era

filsafat modern, dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20,

munculnya berbagai aliran pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme,

Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materalisme, Neo-

kantianisme, Pragmatisme, Filsafat Hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme

dan Neo-Thomisme. Namun didalam pembahasan kali ini yang akan dibahas

aliran Empirisme (Francius Bacon, Thomas Hobbes. John lecke David

Hume).

B. Rumusan Masalah

1. Apa Itu Filsafat Pragmatisme ?

2. Apa Itu Filsafat Positivisme ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Apa Itu Filsafat Pragmatisme

2. Untuk Mngetahui Apa Itu Filsafat Positivisme

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Kemunculan Pragmatisme

Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad ke-

19 di Amerika. Karena itu sering dikatakan bahwa pragmatisme merupakan

sumbangan yang paling orisinal dari pemikiran Amerika terhadap perkembangan

filsafat dunia. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua

kecenderungan berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau

dijembatani itu yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang

praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat

rasionalistik Descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari Kant,

idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya.[6] Warisan

ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena memiliki

kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah mendorong para

filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan daya nalar

spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. Akan tetapi, di

pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya

pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio

tidak terlalu ditekankan sehingga rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan

kreativitasnya sebagai instrumen khas manusiawi yang mampu membentuk

pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil dari model pemikiran ini yakni

munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi (IPTEK).

3
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, secara filosofis, pragmatisme

berusaha untuk menjebatani dua aliran filsafat tradisional ini. Atas salah satu cara

pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme. Hal-hal itu

seperti.

1. Bahwa kita tidak pernah memiliki konsep yang menyeluruh tentang realitas

2. Pengetahuan mengenai obyek-obyek material bersumber dari persepsi dengan

perspektif yang berbeda-beda,

3. Dibutuhkan pemahaman multidimensi atau memerlukan pemahaman pluralitas.

Jadi pemahaman komprehensif mesti dilihat dalam pluralitas.

Selain sependapat dengan empirisme untuk beberapa hal di atas,

pragmatisme juga sependapat dengan tradisi rasionalisme dan idealisme dalam hal

keseluruhan nilai hidup, terutama moralitas dan agama memberi makna untuk

hidup manusia.

Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-nilai

positif yang ada pada kedua tradisi tersebut. Prinsip yang dipegang kaum pragmatis

yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang penting ialah

apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi dalam tindakan.

1. Pengertian Pragmatisme

Pragmatism berasal dari kata pragma yang berarti guna. Pragma berasal dari

kata yunani. Maka pragmatisme adalah suatu aliran filsafat abad ke-20 yang

mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya

sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis.

4
Pragmatisme merupakan teoriu kebenaran yang mendasarkan diri kepada

criteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan

waktu tertentu.

Menrut teori ini, suatu kebenaran suatu pernyataan di ukur dengan

menggunakan criteria fungsional. Suatu pernyataan benar jika pernyataan

tersebut memiliki fungsi atau kegunaan dalam kehidupan praktis. Jadi,

kebenaran menurut paham ini bukan kebenaran yang di lihat dari segi etik, baik

atau buruk, tetapi kebenaran yang di dasarkan pada kegunaannya.

2. Ciri Khas Pragmatisme

Seperti yang kita lihat dalam uraian sebelumnya, secara umum orang

memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan bahwa suatu

teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya

sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat. Sutrisno

lebih lanjut menyatakan bahwa pragmatisme lebih merupakan suatu teori

mengenai arti daripada teori tentang kebenaran.

Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-macam. Ia sendiri

membedakan kenajemukan kebenaran itu sebagai berikut :

Pertama, trancendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran

suatu hal itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri.

Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada “things as things”.

Kedua, complex truth yang berarti kebanaran dari pernyataan-

pernyataan. Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal, yaitu kebenaran etis

disatu pihak dan kebanaran logis dipihak lain. Kebenaran etis adalah seluruh

5
pernaytaan dengan siapa yang diimami oleh si pembicara, sedangkan kebenaran

logis adalah selarasnya suatu pernyataan dengan realitas yang didefinisikan.

Patokan kebenaran proporsi atau pernyataan itu dilandaskan pada

pengalaman. Artinya : suatu proporsi itu benar apabila pengalaman ,e,buktikan

kebenarannya. Begitu pula sebaliknya. Menurut Peirc, ada beberapa proporsi

yang tidak dapat dikatakan salah, yaitu proporsi dari matematika murni.

Disini, kriteria kebenaran matematika murni letknya dalm hal “ketidak

mungkinannya lagi” untuk menemukan kasus yang lemah. Dalam matematika

murni, semua kasus dan proporsi serba kuat . proporsinya sama sekali juga

tidak mengatakan sesuatu tentang hal-hal yang faktual ada atau fakta aktual

karena matematika murni tidak pernah menghiraukan apakah ada real atau fakta

yang cocok dengan pernyataan itu atau tidak. Karena itulah Peirnc mengatakan

bahwa proporsi matematika murni tidak dapat diklasifikasikan secara pasti

kebenarannya. Masalah penentuan hal “benar” memang bisa dilihat dari

bermacam-macam segi yaitu disatu pihak bisa diartikan sebagai “the universe

of all truth”, dipihak lain, dari sudut epistemologi, kebenaran di definisikan

sebagai kesesuaian antara pernyataan dengan penyelidikan empiris.

Karena itu, teori pragmatisme Peirce lebih menekankan teori tetntang

arti daripada teori tentang kebenara. Pandangan Peirce tentang kebenaran dalam

uraian diatas, lebih merupakan pandangan seorang idealis daripada pandangan

seorang pragmatis

Menurut Peirce, pragmatis adalah suatu metode untuk membuat sesuatu

ide manjadi jelas atau terang menjadi berarti. Kelihatan sekali teori arti Peirce

pada pragmatisismennya, baginya pragmatisme adalah metode untuk

6
menditerminasi makna dari ide-ide. Ide itulah yan hendak diditerminasikan atau

artinya melalui pragmatime.

Ketiga, yaitu ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang

diamati oleh penilik, ciri khas pragmatisme merupakan ,etode untuk ,e,astikam

arti ide-ide di atas.

3. Kekuatan Dan Kelemahan Pragmatisme

a. Kekuatan Pragmatisme.

b. Pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar

mempercayai pada hal yang sifatnya riil, indrawi, dan yang manfaatnya bisa

dinikmati secara praktis pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.

c. Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas, dan

selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari sikap skeptis tersebut,

pragmatisme telah mampu mendorong dan member semangat pada

seseorang untuk berlomba-lomba membuktiakn suatu konsep lewat

penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen

sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan

dan teknologi yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di

bidang sosial dan ekonomi.

d. Sesuai dengan coraknya yang “sekuler” pragmatisme tidak mudah percaya

pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan dapat di terima apabila

terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis sehingga

pragmatisme tidak mengakui adanya suatu yang sacral dan mitos. Dengan

coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan

7
pendukung terciptanya demokratisasi kebebasan manusia, dan gerakan-

gerakan progresif dalam masyarakat modern.

4. Kelemahan Pragmatisme:

a. Pada perkembangannya pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal

dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap seperti ini

menurus kepada sikap hateisme.

b. Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah

suatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh

manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang

materialis. Manusia berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

yang bersifat rohaniah, maka dalam otak masyarakat pragmatisme trelah di

hinggapi oleh penyakit materialism.

c. Untuk mencapai tujuan materialismenya, manusia mengejarnya dengan

berbagai cara, tanpa mempedulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota

dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu hanya

sekedar untuk memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur

masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini

masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.

5. Sifat-sifat Pragmatisme

Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap

pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap

pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi

bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala

macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama

8
sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting

bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan

masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai prinsip pemecahan masalah,

pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar

apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh

keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan

tersebut hilang

Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan

segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi.

Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang

dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah

tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum

pragmatisterhadap perselisihan teoritis,serta pembahasan nilai-nilai yang

berkepanjangan sesegera mungkin mengambil tindakan langsung

6. Implementasi Filsafat Pragmatisme

Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar

subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah.

Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari

pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini

pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar

di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya

tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan disadari akan

melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam

9
beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi

sarana keberhasila.

a. Instrumemtalisme

Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk memecahkan

masalah. Dengan demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu

murni yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan konkret.

b. Eksperimentalisme

Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan.

Dengan demikian maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan

pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menerus diuji. Lantas,

kapan masyarakat bisa menjadikan UU itu sebagai pedoman untuk

bertindak? Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan

kebenaran yang ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.

c. Pendidikan

Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan.

Dengan demikian maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan

pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menerus diuji. Lantas,

kapan masyarakat bisa menjadikan UU itu sebagai pedoman untuk

bertindak? Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan

kebenaran yang ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.

Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak

dan pelajaran yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat anak-

anak. Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung

di sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda.

10
Demikian juga dengan pelajaran-pelajaran pokok yang harus diajarkan

kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.

d. Moral

Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis

kodrat manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view,

membuat teorinya jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya

pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi proses

penalaran. Karena adanya final end yang berlaku universal ditolak dan yang

ada adalah serangkaian ends-in-view maka pembenaran terhadap ends-in-

view tidak pernah dilakukan secara defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur

yang tegas untuk menilai tindakan itu baik atau tidak.

Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas

dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa

bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih

bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing.

Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model

pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar,

serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh

Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan

pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok.

Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:

Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan

pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.

11
Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme

merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan

kompleks untuk tumbuh.

Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang

teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang

dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan

ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut.

Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah

metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode

pemecahan masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan

dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya

(mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi

kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka,

antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan

bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat

diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.

Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah

mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu

minat dan kebutuhannya.

Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai

pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang

pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari

sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi kesempatan untuk

terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada.

12
Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan

situasi-situasi sosial yang ada.

B. Sejarah Filsafat Positivisme

Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara umum

boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat

dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume

berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui

percobaan (aliran Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang

melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason

(Kritik terhadap pikiran murni / aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga

membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan

untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman

sebagai porosnya (Ahmad, 2009).

Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar

1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh

seorang filosof berkebangsaan Inggeris yang bernama Francis Bacon yang

hidup di sekitar abad ke-17 (Muhadjir, 2001). Ia berkeyakinan bahwa tanpa

adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak

boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus

melakukan observasi atas hukum alam.

Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857),

seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang menggunakan istilah ini

kemudian mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah

tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul

13
Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842),

yang diterbitkan dalam enam jilid (Achmadi, 1997).

Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi

peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi

pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis,

menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan

agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur

semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi

tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk

menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada

kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis

(tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-

konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Pada fase ini manusia

menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika

seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya

pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada

fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar

observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua

bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode

empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena (Ahmad 2009).

1. Pengertian Positivisme

Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama

artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut

positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta.

14
Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh

istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun harus

meneladani contoh tersebut. Maka dari itu, positivisme menolak cabang

filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda, atau

“penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki

fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta (Praja, 2005).

Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu

alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan

menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak

mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris.

Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup

manusia dan ia dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang

benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan dan akurasinya dalam

kehidupan dan keberadaan masyarakat.

Comte sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat

yang didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, bukan khayalan.

Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurutnya ilmu pengetahuan

harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan.

Positivisme merupakan suatu paham yang berkembang dengan sangat

cepat, ia tidak hanya menjadi sekedar aliran filsafat tapi juga telah

menjadi agama humanis modern. Positivisme telah menjadi agama

dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi

doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut oleh

positivisme adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia

15
objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-

objek fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan properti-

properti mereka secara langsung melalui data indrawi. Realitas dengan

data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana

adanya. Seeing is believing (Syaebani, 2008).

Tugas khusus filsafat menurut aliran ini adalah mengoordinasikan

ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja

maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh

empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja

berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah

atau subjektif sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak

menerimanya. Ia hanya ,mengandalkan pada fakta-fakta.

Menurut Ahmad (2009), Tujuan utama yang ingin dicapai oleh

positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat

(metafisika). Menurut Ernst, ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-

tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan

tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan

menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk

menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas

filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan

segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi

penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah

teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi-

16
proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan

terhadap proposisi-proposisi.

Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas

filsafat di atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat

hendaklah diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah

dari ilmu-ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas

utama dari ilmu adalah memberi tafsiran terhadap materi yang menjadi

obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi

tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam dan sebab-sebab

terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran

terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai

individu maupun masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan

baik yang berhubungan dengan alam maupun yang berhubungan

dengan manusia— sudah ditafsirkan oleh masing-masing ilmu yang

berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu

ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa

filsafat bukanlah ilmu.

2. Perkembangan Positivisme

Auguste Comte dilahirkan pada tahun 1798 di kota Monpellir

Perancis Selatan. Ayah dan ibunya menjadi pegawai kerajaan dan

merupakan penganut agama Katolik yang cukup tekun. Ia menikah

dengan seorang pelacur bernama Caroline Massin yang kemudian dia

menyesali perkawinan itu. Dia pernah mengatakan bahwa perkawinan

itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari kecil

17
pemikiran-pemikiran Comte sudah mulai kelihatan, kemudian setelah ia

menyelesaikan sekolahnya pada jurusan politeknik di Paris 1814-1816,

dia diangkat menjadi sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang pemikir

yang dalam merespon dampak negatif renaissance menolak untuk

kembali pada abad pertengahan akan tetapi harus direspon dengan

menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan berfikir empirik

dalam mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial. Pergulatan

intelektual dengan Saint Simon inilah yang kemudian membuat pola

fikir Comte berkembang. Karena ketidak cocokan Comte dengan Saint

Simon akhirnya ia memisahkan diri dan kemudian Comte menulis

sebuah buku yang berjudul “System of Positive Politics, Sistem Politik

Positif” tahun 1824. Berawal dari pemikiran Plato dan Aristoteles,

Comte mencoba menggabungkannya menjadi positivistik (Purwanto,

2008).

Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme yaitu:

a. Utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi

(positivisme sosial dan evolusioner), walaupun perhatiannya juga

diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan

tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya

Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

b. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme –

berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan

Avenarius (positivisme kritis). Keduanya meninggalkan pengetahuan

formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri

18
positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan

ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung

dengan subyektivisme.

c. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan

lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick,

Frank, dan lain-lain (positivisme logis). Serta kelompok yang turut

berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat

Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan

sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta

semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya

tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan

lain-lain.

3. Ciri-Ciri Positivisme

a. Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai

mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas

dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang

teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi

cermin dari realitas (korespondensi).

b. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi.

Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-

impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di

belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika)

c. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili

realitas partikularlah yang nyata.

19
d. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat

diamati.

e. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam

semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati).

Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan

strukturnya sendiri.

f. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan

prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-

mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai

giant clock work (Syaebani, 2008).

4. Implementasi Filsafat Positivisme

Salah satu cita-cita bangsa Indonesia ialah menciptakan

generasi-generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas dari segi

kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan spriritual melalui

bidang pendidikan.

Melalui filsafat positivisme, pendidikan diarahkan kepada hal

baik dalam segi intelektual dan berbagai bidang kehidupan untuk

menciptakan anak didik yang sempurna baik lahir maupun batinnya.

Peserta didik diasah dalam kemampuannya melihat, menemukan

fakta-fakta, menganalisis sesuatu, serta mentransfer ilmu kepada

lingkungannya. sehingga diharapkan dapat terbentuknya anak bangsa

yang kreatif, berkarakter, serta mampu berkontribusi dalam

pembangunan bangsa agar lebih baik dan mampu bersaing dengan

negara asing.

20
5. Fungsi Filsafat Positivisme

Berdasarkan uraian pada bagian terdahulu kiranya dapat dikatakan

mengenai, fungsi filsafat positivisme yaitu.

a. Perkembangan yang diberi konotasi sebagai kemajuan

memberikan makna bahwa positivisme telah mempertebal

optimisme. Hal tersebut melahirkan pengetahuan yang positif yang

terlepas dari pengaruh-pengaruh spekulatif, atau dari hukum-

hukum yang umum. Berkat pandangan positivisme orang'tidak

sekedar menghimpun fakta, tapi ia berupaya meramal masa depan,

yang antara lain turut mendorong perkembangan teknologi

b. Kemajuan dalam bidang fisik telah menimbulkan berbagai

implikasi dalam segi kehidupan. Dengan kata lain, fungsi filsafat

positivisme ini berperan sebagai pendorong timbulnya

perkembangan dan kemajuan yang dirasakan sebagai kebutuhan.

c. Dengan adanya penekanan dari filsafat positivisme terhadap segi

rasional ilmiah, maka berfungsi pula kemampuannya untuk

menerangkan kenyataan, sedimikian rupa hingga keyakinannya

akan kebenaran semakin terbuka.

6. Kelebihan Dan Kelemahan Positivisme

Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus di uji dengan

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan

ketidakbenaranya dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru

ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan

bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa

21
generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu

pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu

pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.

Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah

tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain

hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan

ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah

mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk

mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran

yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak

tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan

pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena kelemahan yang

bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari

premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap

sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili

fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku

dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah

penalaran deduktif.

Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper

berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari

teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan

teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu.

Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai

22
landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah

bisa dikatakab benar secara mutlak.

Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka

sebenarnya positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan

kekurangan, yaitu antara lain.

Kelebihan Positivisme :

Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga

kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.

Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan

menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu

menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary,

melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.

Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang

akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak

hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa

depannya.

Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan

disektor fisik dan teknologi.

Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik

pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan

sebagai dasar pemikirannya

Kelemahan Positivisme :

Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis

sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan

23
nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke

dalam pengertian fisik-biologik.

Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak

dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan

banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan,

Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam

ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini

ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19,

jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.

Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan,

sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak

ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.

Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris

sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.

Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu

yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal

tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu

diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak

sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja,

padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.

Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia

sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap

tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai

24
tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang

digambarkan sebagai masyarakat positivistic.

C. Pengertian Fenomenologi

Fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon. Kata ini berasal

dari bahasa Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari kata ini timbul

kata Pheinomenon berarti yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam

fenomenologi, ditetapkan bahwa setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar

manusia, menunjukkan pada suatu hal keadaan yang disebut intentional

(berdasarkan niat atau keinginan).1 Secara harfiah, fenomenologi atau

fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa

fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.

Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran.

Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat bahwa,

hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui

pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita.

Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat

inderawi yang kemudian diterima oleh akal (otak) dalam bentuk

pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.

Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir secara

kritis.

Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai

subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang

makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di

25
dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai

pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan

pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah

kita lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan

suatu pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia.

Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang

mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam

filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik, yaitu ilmu yang

mempelajari arti dari pada fenomenologi. Secara harfiah, fenomenologi

fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa

fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.

Seorang fenomenalisme suku melihat suatu gejala tertentu dengan ahli

ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta

membuat hukum-hukum dan teori.

Jelasnya, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang

mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa

fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi

menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala

presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semua konstruksi,

asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman.

Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan,

semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh

dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam

pengalaman itu sendiri.

26
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat difahami bahwa

fenomenologi berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon apa saja yang

nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisi terhadap

gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.

1. Metode Pendekatan Reduksi Fenomenologi Untuk memahami filsafat

Husserl ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui. Diantaranya:

a. Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung

pula nomena (sesuatu yang berada di balik fenomena)

b. Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani.

c. Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka da terarah

pada subjek

d. Substansi adalah kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur

kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.

Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui reduksi atau

penyaringan yang terdiri dari :

a. Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-

pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud

semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan

benda-benda itu dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu

pengetahuan dan ideologi. Fenomena seperti disebut diatas

adalah menampakkan diri. Dalam praktik hidup sehari-hari, kita

tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara

spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita

lihat adalah riil atau nyata. Akan tetapi karena yang dituju oleh

27
fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya

dan ini hanya dapat dicapai dengan “mengalami” secara ontuitif,

maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan

biasa itu untuk sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam

kurung. Segala subjektivitas harus disingkirkan. Termasuk di

dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-

pandangan yang telah membentuk pikiran kita memandang

sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul di dalam kesadaran

adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini disebut

fenomenologis.

b. Reduksi eidetis Eidetis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari.

Reduksi eiditis ialah penyaringan atau penempatan di dalam

kurung. Segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas

fenomena. Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan realitas.

Dengan reduksi eidetic, semua segi, aspek, profil dan fenomena

yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil

tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek

adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada

terhingga.2 Reduksi eidetis ini menunjukkan bahwa dalam

fenomenologi kriteria kohersi berlaku. Artinya, pengamatan-

pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan

dalam suatu horizon dan konsisten. Setiap pengamatan memberi

harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang

28
pertama atau yang selanjutnya. Dengan reduksi inilah kita dapat

mencapai inti atau esensi dari suatu objek.

Reduksi transcendental, yaitu dalam penerapannya

berdasarkan subjeknya sendiri perbuatannya dan kesadaran yang

murni. Di dalam reduksi ini yang ditempatkan di antara dua

kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak

mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni,

agar dari objek itu akhirnya orang yang sampai kepada apa yang

ada pada subjek sendiri.3 Reduksi ini dengan sendirinya bukan

lagi mengenai objek atau fenomena bukan mengenai hal-hal

yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini

merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang

menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian yang

tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah aktus kesadaran sendiri.

Kesadaran yang bersifat murni atau transcendental.

Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan

bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam

kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini

memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu

pengetahuan umum. Proses reduksi itu apabila disederhanakan

dapat disebut sebagai penumbuhan sikap kritis dalam memahami

secara menyeluruh dari berbagai seginya. Artinya, kita dengan

29
tidak mudah menerima pengertian dan rumusan seperti itu atau

pemahaman kita yang spontan terhadap sesuatu belum

30
2. Verifikasi Filsafat Fenomenologi

Pendekatan Fenomenologi adalah mengungkapkan atau

mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data atau gejala.

Dalam kerja penelitiannya fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal,

yaitu filsafat, sejarah, dan pada pengertiannya yang lebih luas.4

Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-

fenomena dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipahami sebagai

segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran

kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu

yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah

pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena,

melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa

prasangka sama sekali.

Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, pra-

anggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana

adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri).

Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan

manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda

pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu

mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga

seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan

manusia”.

31
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang

sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri

menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan

untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua

langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu

metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani,

yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan

tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap

keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa

memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil

dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi

pengamat.

D. Pengertian Realisme

Realisme berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu real, atau yang

nyata, dapat diartikan juga yang ada secara fakta, tidak dibayangkan atau

diperkirakan. Adapun kata fakta dalam bahasa Indonesia berarti hal (keadaan,

peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yg benar-benar ada atau

terjadi. Realisme juga berasal dari kata Latin realis yang berarti nyata. Dalam

bidang metafisika, realisme berarti konsep-konsep umum yang disusun oleh

budi manusia yang sungguh juga terdapat dalam kenyataan, lepas dari pikiran

manusia.

Aliran Realisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa realitas

sebagai dualitas. Aliran realisme memandang dunia ini mempunyai hakikat

realitas terdiri dari dunia fisik dan dunia rohani. Hal ini berbeda dengan

32
filsafat aliran idealisme yang bersifat monistis yang memandang hakikat

dunia pada dunia spiritual semata. Hal ini berbeda dari aliran materialisme

yang memandang hakikat kenyataan adalah kenyatan yang bersifat fisik

semata.

Menurut aliran realisme, pengetahuan adalah gambaran atau kopi

yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau

hakikat).

1. Jenis-Jenis Aliran Realisme Moderen

Realisme adalah suatu istilah yang meliputi bermacam-macam aliran

filsafat yang mempunyai dasar-dasar yang sama. Sedikitnya ada tiga

aliran dalam realisme modern.

a. Kecenderungan kepada materialisme dalam bentuknya yang modern.

Sebagai contoh, materialisme mekanik adalah realisme tetapi juga

materialisme,

b. Kecenderungan terhadap idealisme. Dasar eksistensi mungkin

dianggap sebagai akal atau jiwa yang merupakan keseluruhan organik.

James B. Pratt dalam bukunya yang berjudul Personal Realism

mengemukakan bahwa bentuk realisme semacam itu, yakni suatu

bentuk yang sulit dibedakan dari beberapa jenis realisme obyektif,

c. Terdapat kelompok realis yang menganggap bahwa realitas itu

pluralistik dan terdiri atas bermacam-macam jenis; jiwa dan materi

hanya merupakan dua dari beberapa jenis lainnya.

33
1.) Ciri-Ciri Kelompok yang Mengikuti Aliran Realisme

Kelompok realis membedakan antara obyek pikiran dan

tindakan pikiran itu sendiri. Menekankan teori korespondensi

untuk meneliti kebenaran pernyataan-pernyataan. Kebenaran

adalah hubungan erat putusan kita kepada fakta-fakta pengalaman

atau kepada dunia sebagaimana adanya. Kebenaran adalah

kepatuhan kepada realitas yang obyektif, Seorang realis

menyatakan, ia tidak menjauhkan diri dari fakta yang nyata.

Menekan kemauan-kemauan dan perhatian-perhatiannya dan

menerima perbedaan dan keistimewaan benda-benda sebagai

kenyataan dan sifat yang menonjol dari dunia. Ia bersifat curiga

terhadap generalisasi yang condong untuk menempatkan segala

benda di bawah suatu sistem, Kebanyakan kaum realis

menghormati sains dan menekankan hubungan yang erat antara

sains dan filsafat. Tetapi banyak di antara mereka yang bersifat

kritis terhadap sains lama yang mengandung dualisme atau

mengingkari bidang nilai. Sebagai contoh, Alfred North

Whitehead yang mencetuskan 'filsafat organisme'. Ia mengkritik

pandangan sains yang tradisional yang memisahkan antara materi

dan kehidupan, badan dan akal, alam dan jiwa, substansi dan

kualitas-kualitas.

2. Konsep Filsafat Menurut Aliran Realisme

a.) Metafisika-realisme. Kenyataan yang sebenarnya

hanyalah kenyataan fisik (materialisme). Kenyataan material

34
dan imaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari

berbagai kenyataan (pluralisme),

b.) Humanologi-realisme. Hakekat manusia terletak pada apa

yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme

kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir,

c.) Epistemologi-realisme. Kenyataan hadir dengan sendirinya

tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan

kenyataan dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat

diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat

dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya dengan fakta,

d.) Aksiologi-realisme. Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-

hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang

lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat

yang telah teruji dalam kehidupan.

3. Aliran Realisme Dalam Pendidikan

Aliran filsafat realisme berpendirian bahwa pengetahuan

manusia itu adalah gambaran yang baik dan tepat dari kebenaran.

Konsep filsafat menurut aliran realisme adalah : Metafisika-

realisme; Kenyataan yang sebenarnya hanyalah kenyataan fisik

(materialisme); kenyataan material dan imaterial (dualisme), dan

kenyataan yang terbentuk dari berbagai kenyataan (pluralisme);

Humanologi-realisme; Hakekat manusia terletak pada apa yang

dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme kompleks

yang mempunyai kemampuan berpikir; Epistemologi-realisme;

35
Kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung pada

pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui

oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan.

Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa

kesesuaiannya dengan fakta; Aksiologi-realisme; Tingkah laku

manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui

ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-

kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.

Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan harus

universal, seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling rendah,

dan merupakan suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang

paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama.

Pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh

karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam.

Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, di mana ia dapat

mencapainya. Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang

paling tinggi tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan,

melainkan harus beraneka ragam jenis pendidikan. Inisiatif dalam

pendidikan terletak pada pendidik bukan pada peserta didik.

Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran

yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta

didik. Namun, yang paling penting bagi pendidik adalah

bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan

memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan pada peserta

36
didik. Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa

hanyalah merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan, atau

merupakan strategi mengajar yang bermanfaat.

4. Kelebihan dan Kelemahan Aliran Realisme Dalam Pendidikan

Aliran filsafat realisme memiliki beberapa kelebihan dan

kelemahan, adapun kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh aliran

realisme diantaranya adalah sebagai berikut :

Kelebihannya :

a. Program pendidikan terfokus sehingga peserta didik dapat

menyesuaikan diri secara tepat dalam hidup, dan dapat

melaksanakan tanggung jawab sosial dalam hidup bermasyarakat.

b. Peranan peserta didik adalah penguasaan pengetahuan yang handal

sehingga mampu mengikuti perkembangan Iptek.

c. Dalam hubungannya dengan disiplin, tatacara yang baik sangat

penting dalam belajar. Artinya belajar dilakukan secara terpola

berdasarkan pada suatu pedoman. Karena peserta didik perlu

mempunyai disiplin mental dan moral untuk setiap tingkat

kebaikkan.

d. Kurikulum komprehensif yang berisi semua pengetahuan yang

berguna dalam penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab

sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan umum untuk

mengembangkan kemampuan berpikir dan pendidikan praktis

untuk kepentingan bekerja.

37
e. Metodenya logis dan psikologis, semua kegiatan belajar

berdasarkan pengalaman baik langsung maupun tidak langsung.

Metode mengajar bersifat logis, bertahap dan berurutan.

Kelemahannya :

a. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima

jenis pendidikan yang sama. Menurutnya pembawaan dan sifat

manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi,

dan proses pendidikan harus seragam. Namun, tidak semua

manusia itu sama dalam menangkap pelajaran karena kemampuan

tiap orang berbeda-beda sehingga harus disesuaikan dalam proses

pendidikan.

b. Kekeliruan menilai persepsi, tidak ada penjelasan mengenai objek

khayalan/halusinasi, semua persepsi tergantung konteks visual.

38
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Munculnya filsafat pertama kali ternyata bukanlah dari Yunani.

Berdasarkan pelacakan sejarah para ilmuwan ternyata filsafat Yunanipun

dipengaruhi oleh kebudayaan agama-gama yang berasal dari dunia Timur,

terutama dari Mesir, Babilonia, Mesopotamia. Selain itu, di bagian dunia

lainnya juga berkembang filsafat, seperti di India dan Cina.

Filsafat ilmu dengan berbagai macam paradigmanya merupakan

sejarah jalan menuju perkembangan ilmu pengetahuan di masa kini.

Pandangan konstruktif dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu dan

pengetahuan dengan metode apapun asalkan dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya. Dalam dunia Islam, paradigma konstruktivisme merupakan

tradisi pemikiran Islam sejak kemunculan Islam itu sendiri.

B. Saran

Dalam memahami filsafat kita harus mengginakan nalar yang

sesuai dan menyesuaikannya dengan keadaan yang sekarang, banyak

orang yang mempelajari sebuaah filsafat secara berlebihan dan malah

melenceng dari kaidah yang sesungguhnya.

39
DAFTAR PUSTAKA

Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 182

Juhaya S. Praja, Prof., Dr. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika Prenada

Media: Jakarta

Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Fislasat Umum, Remaja Rosda Karya, Bandung,

2003, hal.144.

40

Anda mungkin juga menyukai