Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah berjudul “Kerajaan Sriwijaya”.

Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas sekolah untuk menambah pengetahuan tentang
Kesejarahan Nusantara.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan di masa mendatang.

Penulis

 
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………….

Daftar Isi………………………………………………………………………………………

Bab I Pendahuluan……………………………………………………………………………….

1. Latar Belakang…………………………………………………………………………..
2. Rumusan Masalah………………………………………………………………………
3. Tujuan…………………………………………………………………………………
Bab II Pembahasan………………………………………………………………………………

1. Historiografi…………………………………………………………………………….
2. Sumber Sejarah…………………………………………………………………………
3. Negara Maritim…………………………………………………………………………
4. Kehidupan Politik………………………………………………………………………..
5. Struktur Birokrasi………………………………………………………………………..
6. Kehidupan Ekonomi……………………………………………………………………….
7. Kehidupan Sosial dan Budaya…………………………………………………………
8. Hubungan Regional dan Luar Negeri………………………………………………..
9. Masa Keemasan………………………………………………………………………..
10. Masa Kemunduran……………………………………………………………………….
Bab III Penutup…………………………………………………………………………………

1. Kesimpulan………………………………………………………………………………..
2. Saran……………………………………………………………………………………..
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………..
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Wilayah Indonesia terdiri dari pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan laut, hal ini
menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama penghubung antar pulau. Pelayaran
ini dilakukan dalam rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran perdagangan yang
dilakukan oleh bangsa Indonesia, bukan hanya dalam wilayah Indonesia saja, tetapi telah jauh
sampai ke luar wilayah Indonesia.
Pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai setelah ditemukan jalan melalui laut antara
Romawi dan China. Rute jalur laut yang dilalui dalam hubungan dagang China dengan Romawi
telah mendorong munculnya hubungan dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk
wilayah Indonesia. Karena posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan
dagang China dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dagang antara Indonesia dan China
beserta India.
Melalui hubungan itu juga, berkembang kebudayaan-kebudayaan yang dibawa oleh para
pedagang di Indonesia. Dalam perkembangan hubungan perdagangan antara Indonesia dan India,
lambat laun agama Hindu dan Budha masuk dan tersebar di Indonesia serta dianut oleh raja-raja
dan para bangsawan. Dari lingkungan raja dan bangsawan itulah agama Hindu-Budha tersebar ke
lingkungan rakyat biasa.

B.     Rumusan Masalah


1.      Bagaimana sejarah berdirinya Kerajaan Sriwijaya?
2.      Di mana lokasi Kerajaan Sriwijaya?
3.      Dari manakah sumber-sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya?
4.      Apa sajakah bukti-bukti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya?
5.      Bagaimana hubungan regional dan luar negeri Kerajaan Sriwijaya?
6.      Siapakah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Sriwijaya?
7.      Aspek kehidupan apa saja yang terkandung di dalam Kerajaan?
8.      Apa yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan?

C.    Tujuan
Setelah mempelajari makalah ini, pembaca diharapkan :
1.      Mengetahui sejarah berdiri dan letak Kerajaan Sriwijaya.
2.      Mengetahui bukti-bukti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya.
3.      Mengetahui silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Sriwijaya.
4.      Mengetahui aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam pemerintahan
BAB II
PEMBAHASAN

1. Historiografi
Nama Kerajaan           : Sriwijaya

Ibukota                        : Palembang

Bahasa                         : Melayu Kuno, Sansekerta

Agama                         : Budha, Hindu

Pemerintahan              : Monarki

Sejarah                        : 1. Didirikan pada tahun 600-an M

2. Invasi Majapahit tahun 1300-an M


Mata Uang                  : Koin emas dan perak

1. Lokasi Kerajaan
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah membawa kejayaan kepulauan
Nusantara di masa lampau. Bukan saja dikenal di wilayah Indonesia, tetapi hampir setiap bangsa
yang berada jauh di luar Indonesia mengenal Kerajaan Sriwijaya. Hal ini disebabkan karena letak
Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat dengan jalur perdagangan antar bangsa yakni Selat
Malaka. Selat Malaka pada masa itu adalah jalur perdagangan ramai yang menghubungkan
pedagang-pedagang Cina dengan India maupun Romawi.
George Coedes, seorang sejarawan, menulis karangan berjudul Le Royaume de Crivijaya pada
tahun 1918 M. Coedes kemudian menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di
Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa letak ibukota Sriwijaya adalah
Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the
Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-
fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi
atau sekitar kota Palembang sekarang.

Dari tepian Sungai Musi di Sumatera Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya semakin meluas.
Mencakup wilayah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat, Bangka,
Jambi Hulu, Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra.

1. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita
asing dan prasasti-prasasti.
Sumber dari Luar Negeri

1. Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada tahun 671 M. Dalam
catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di
Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara
yang dilakukan oleh para pendeta Budha di pusat ajaran agama Budha, India. I-tsing tinggal
selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke Nalanda,
India. Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal
selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa
Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke
Cina, yang terakhir pada tahun 988 M.

2. Sumber Arab
Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza, Sabay atau Zabaq. Mas‘udi,
seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam
catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang
sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana,
pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya. Bukti lain yang mendukung adalah
ditemukannya perkampungan-perkampungan Arab sebagai tempat tinggal sementara di pusat
Kerajaan Sriwijaya.

3. Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan-kerajaan di India
seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja
Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam
prasasti tersebut dinyatakan bahwa Raja Nalanda yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan
membebaskan 5 desa dari pajak. Sebagai gantinya, kelima desa tersebut wajib membiayai para
mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Di samping
menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga menjalin hubungan
dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India Selatan. Hubungan ini menjadi
retak setelah Raja Rajendra Chola ingin menguasai Selat Malaka.

4. Sumber lain
Pada tahun 1886, Beal mengemukakan pendapatnya bahwa Shih-li-fo-shih merupakan suatu
daerah yang terletak di tepi Sungai Musi. Sumber lain, yakni Kern, pada tahun 1913 M telah
menerbitkan tulisan mengenai Prasasti Kota Kapur, prasasti peninggalan Sriwijaya yang
ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum pada
prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar
raja.

Sumber Lokal atau Dalam Negeri


Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan
Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar menggunakan huruf Pallawa
dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai berikut.

1. Prasasti Kota Kapur


Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan
suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200
peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Sumber lain menyatakan prasasti ini
berisi tentang penaklukan Bumi Jawa yang tidak setia kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur
ditemukan di Pulau Bangka.

2. Prasasti Kedukan Bukit


Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang
yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan Minangatamwan. Dengan
kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan
itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan.

3. Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas
perintah Raja Dapunta Hyang.

4. Prasasti Karang Berahi


Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukan
penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.

5. Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor yang difungsikan untuk
mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.

6. Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra
yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti
Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui
haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja
Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para
mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.

7. Prasasti Telaga Batu


Prasasti ini ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng
mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil
dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini
digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat.
Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar
melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya
ditempatkan di pusat kerajaan, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan
Sriwijaya.

1. Negara Maritim
Dalam upaya mewujudkan cita-cita agar Sriwijaya menjadi kerajaan Maritim, perluasan kerajaan
dilakukan untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda yang merupakan
jalur perdagangan dan pelayaran yang sangat penting. Keberhasilan Sriwijaya berkuasa atas
semua selat itu menjadikan Kerajaan Sriwijaya sebagai penguasa tunggal jalur aktivitas
perdagangan dunia yang melalui Asia Tenggara.

Armada Sriwijaya yang kuat dapat menjamin keamanan aktivitas pelayaran dan perdagangan.
Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu dagang untuk singgah di pusat atau di bandar-
bandar Kerajaan Sriwijaya. Semakin ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan menjadikan
Sriwijaya sebagai tempat pertemuan para pedagang atau pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Pengaruh dan peranan Kerajaan Sriwijaya semakin besar di lautan. Bahkan para pedagang dari
Kerajaan Sriwijaya juga melakukan hubungan sampai di luar wilayah Indonesia, sampai ke
China di sebelah utara, dan Laut Merah serta Teluk Persia di sebelah barat.

1. Kehidupan Politik
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah melakukan perkawinan dengan
kerajaan lain.  Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya, Dapunta Hyang pada tahun 664 M
dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.

Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya hingga
bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya mampu
mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki Semenanjung Malaya.
Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke Pulau Jawa,
Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai seluruh
jalur perdagangan di Asia Tenggara.

Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya.
Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu :

1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.


2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan
bagi rakyatnya.
3. Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :

1. Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684
M)
Berita mengenai raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan Prasasti
Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang Sri Yayanaga telah
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Minangatamwan, Jambi. Sejak
awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya
menjadi kerajaan maritim.

2. Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)


3. Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
4. Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
5. Maharaja (berita Arab, 851 M)
6. Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)
Pada masa pemerintahan Balaputradewa, Kerajaan Sriwijaya mengalami masa kejayaannya.
Pada awalnya, Raja Balaputradewa adalah raja dari kerajaan Syailendra (Jawa Tengah). Ketika
terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra, antara Balaputradewa dan Pramodhawarni
(kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputradewa mengalami
kekalahan. Akibat kekalahan itu, Raja Balaputradewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya
berkuasa Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Balaputradewa) yang tidak memiliki keturunan,
sehingga kedatangan Raja Balaputradewa disambut baik. Kemudian ia diangkat menjadi raja.

7. Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)


8. Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
9. Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
10. Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
11. Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)
Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah Raja
Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya.
Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan. Namun, pada masa pemerintahan Raja
Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayatunggawarman dibebaskan kembali.

1. Struktur Birokrasi
Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur birokrasi yang bersifat langsung, karena raja berperan
penting dalam pengawasan terhadap tempat-tempat yang dianggap strategis. Raja dapat
memberikan penghargaan terhadap penguasa daerah yang setia dan sebaliknya dapat menjatuhi
hukumanterhadap penguasa daerah yang tidak setia kepada kerajaan.

Dalam beberapa prasasti disebutkan tentang pelaksanaan suatu keputusan raja, lengkap dengan
perincian hadiah atau sanksi yang dapat diterima dalam suatu peristiwa. Selain itu, ditemukan
prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah penyelesaian hokum sengketa antarwarga. Hal
yang menarik bahwa sebagian prasasti memuat ancaman-ancaman atau kutukan-kutukan yang
ditujukan kepada keluarga raja itu sendiri. Walaupun kedengarannya aneh, namun ada pendapat
yang menganggap bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, karena keluarga-keluarga raja yang
menjadi ancaman itu, kekuasaannya berada di luar pengawasan langsung dari raja yang berkuasa.

1. Kehidupan Ekonomi
Penguasaan Kerajaan Sriwijaya di urat nadi perhubungan pelayaran dan perdagangan Asia
Tenggara yaitu di Selat Malaka, mempunyai arti penting bagi perekonomian kerajaan. Karena
banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makanan,
istirahat, atau melakukan aktivitas perdagangan. Karena bertambah ramainya kegiatan
perdagangan di Selat Malaka, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu
di Ligor yang dibuktikan dengan Parasasti Ligor (755 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut
bukan berarti meninggalkan ibukota di Sumatera Selatan, melainkan hanya untuk melakukan
pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari
penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra.

Menurut catatan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang,
kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan,
rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera
dan porselen melalui relasi dagang dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar.

1. Kehidupan Sosial dan Budaya


Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha, serta merupakan pusat agama
Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Budha yang berkembang di
Kerajaan Sriwijaya adalah agama Budha Mahayana. Menurut berita dari Tibet, seorang pendeta
bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M) untuk belajar agama Budha dari
seorang guru bernama Dharmapala. Menurutnya, Sriwijaya merupakan pusat agama Budha di
luar  India.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang, Jambi,


Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim
yang selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang lama.
Prasasti dan situs yang ditemukan di sekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru (abad ke7 M),
Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7
M), Situs Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Peninggalan sejarah
Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, yaitu
Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi
Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi. Di
Lampung, prasasti yang ditemukan adalah  Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk
(Jabung). Di Riau, ditemukan Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.

1. Hubungan Regional dan Luar Negeri


Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa menyatakan
bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh Sumatra, Jawa Barat,
dan beberapa daerah di Semenanjung Melayu. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda,
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang
mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya
sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.
Kerajaan Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya
dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi, pertambangan emas merupakan sumber
ekonomi cukup penting dan kata Suwarnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini.
Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh
Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Pada abad ke-11 pengaruh
Sriwijaya mulai menyusut. Hal ini ditandai dengan seringnya konflik dengan kerajaan-kerajaan
Jawa, pertama dengan Singasari dan kemudian dengan Majapahit. Di akhir masa, pusat kerajaan
berpindah dari Palembang ke Jambi.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai ibu kota terakhir kerajaan,
walaupun klaim tersebut tidak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada
bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya
terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, terutama dalam bidang
kebudayaan dan agama. Sebuah prasasti tertahun 860 M mencatat bahwa raja Balaputradewa
mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di
India selatan cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11.
Selain dengan Kerajaan Pala, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan Kerajaan
Cholamandala. Raja Sriwijaya yakni Raja Sanggrama Wijayatunggawarman mendirikan sebuah
biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya.
Namun, persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan membuat keduanya bermusuhan.Raja
Rajendra Chola melakukan serangan ke Kerajaan Sriwijaya sampai dua kali. Serangan pertama
tahun 1007 M mengalami kegagalan. Pada serangan kedua (1023 M) Kerajaan Chola berhasil
merebut kota dan bandar-bandar penting Sriwijaya, bahkan Raja Sanggrama
Wijayatunggawarman berhasil ditawan.

1. Masa Keemasan
Pada paruh pertama abad ke-10 yaitu antara masa jatuhnya Dinasti Tang dan naiknya dinasti
Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, Kerajaan Min dan negeri
kaya Guangdong, Kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan
dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibn Batutah sangat terkesan dengan
kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit
Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.
1. Masa Kemunduran
Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan Kedah
dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan penaklukannya
selama 20 tahun berikutnya ke seluruh imperium Sriwijaya. Meskipun invasi Chola tidak
berhasil sepenuhnya, invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya yang berakibat
terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah
kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar
dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua duta besar
ke China. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari Palembang ke
Jambi. Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya
sebagai pusat kerajaan.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-
Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat
dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya
memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan
sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri,
antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia.
Pada masa itu wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu),
Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai,
Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung
Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan
(Srilanka).
Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan Jambi
selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singosari, memerintah
Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada
Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi
pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun
di selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.
Kedudukan Sriwijaya makin terdesak karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga
memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara.
Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di
Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam
kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan lemahnya kegiatan pelayaran dan perdagangan di
Kerajaan Sriwijaya.

Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat tertutupnya akses
pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Penurunan
Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang disebarkan oleh pedagang-
pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, Kerajaan Pasai di bagian utara Sumatra
berpindah agama Islam.
Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya
terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan
oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M.

Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan Kesultanan Malaka di


Semenanjung Malaysia.
 

 
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
 

1. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Hindu terbesar di Indonesia, bahkan


dijuluki sebagai pusat agama Hindu di luar India.
2. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang sangat kuat dan kaya raya. Terbukti dari
sebutan negara maritimnya.
3. Sejarah Kerajaan Sriwijaya dapat diakses dari prasasti-prasasti peninggalan kerajaan baik
di dalam maupun di lur negeri serta dari berita-berita asing.
 

1. Saran
2. Sejarah harus selalu kita kaji agar menjadi sebuah pengetahuan dan motivasi dalm
mengisi kenerdekaan
3. Lestarikan terus nilai-nilai budaya sejarah bangsa.
DAFTAR PUSTAKA

Bellwood, Peter and James J. Fox, Darrell Tryon. The Austronesians: Historical and
Comparative Perspectives.
Hirth, Friedrich and Chao Ju-kua, W.W.Rockhill. The Chinese and Arab Trade in the Twelfth
and Thirteen centuries. Entitled Chu-fan-chi St Petersburg, 1911.
http://wikipedia/sejarahkerajaansriwijaya/com
Karso, Drs, dkk. Pelajaran Sejarah Untuk SMTA kelas 1. Bandung: Penerbit Angkasa, ISBN.
979-404-179-3-7, 1988.
Munoz, Paul Michel. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
Singapore: Editions Didier Millet, pages 171, 143, 140, 132, 130, 124, 113. ISBN 981-4155-67-
5, 2006.
Notosusanto, Nugroho, dkk. Sejarah Nasional Indonesia 1. Jakarta: CV. Adhi Waskita
Semarang, ISBN. 979-462-144-7, 1992.
Soekmono, Drs. R. (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 2, 2nd ed.. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, page 60.
Taylor. Indonesia, hal. 29.
Taylor, Jean Gelman. Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale
University Press, pp. 8-9. ISBN 0-300-10518-5, 2003.
Zain, Sabri. Sejarah Melayu, Buddhist Empires.
Link download  file
MAKALAH
KERJAAN SRIWIJAYA

OLEH :

INDRA. G

SMK NEGERI BALANIPA


TAHUN AJARAN 2022-2023

Anda mungkin juga menyukai