Anda di halaman 1dari 12

Makalah

FUNGSI HADIST TERHADAP AL- QUR’AN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Hadist

Oleh:

Zidni Rosyidah Amala (04010221019)


Moh Rizal Badiuzzaman (040
Anik Tridianti (04020221025)

Dosen Pengampu:
Bapak. Dr. H. M. Munir Mansyur, M.Ag

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanallahuwata’ala karena atas


berkat Rahmat-Nya kami memperoleh keberhasilan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Studi Hadist dengan membuat makalah yang berjudul “FUNGSI HADIST TERHADAP AL-
QUR’AN”.

Oleh karena dipandang perlu dan penting bagi kita untuk mengetahui dan mendalami
tentang hadits. Karena bagaimanapun hadits merupakan sumber hukum kedua dalam islam.
Sehingga kita perlu memahami fungsi hadist terhadap Al- Qur’an. Kami tentunya menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
makalah ini, supaya nantinya menjadi laporan yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini kami memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada bapak Bapak.
Dr. H. M. Munir Mansyur, M.Ag yang telah membimbing dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya bagi
yang membutuhkan.

Surabaya, 20 Maret 2022

Kelompok 3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran dan hadits tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan
sehingga dapat dijadikan pedoman oleh umat islam. Karena itu, baik al-Quran
maupun hadits Nabi dapat dan harus dijadikan hujjah. Keberlakuan hadist sbagai
sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al- Qur’an hanya
memberikan garis- garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan
rincian lebih lanjut. Maka hadits-hadits Nabi berfungsi sebagai penjelas dan
menafsirkan ayat-ayat al-Quran.

Hadits dalam hukum Islam dianggap sebagai mashdarun tsanin (sumber


kedua) setelah Al-Quran. Ia berfungsi sebagai penjelas dan penyempurna ajaran-
ajaran Islam yang disebutkan secara global dalam Al-Quran. Bisa dikatakan bahwa
kebutuhan Al-Quran terhadap hadits sebenarnya jauh lebih besar ketimbang
kebutuhan hadits terhadap Al-Quran. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak
dibenarkan untuk mengambil salah satu dan membuang yang lainnya karena keduanya
ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Al-Hadits?


2. Apa hubungan Hadist dengan Al- Qur’an?
3. Bagaimana fungsi hadist terhadap Al- Qur’an?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian Al- Hadist
2. Untuk hubungan hadist dengan Al- Qur’an
3. Untuk mengetahui fungsi hadits terhadap Al-Quran
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I..................................................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan......................................................................................................................
BAB II.................................................................................................................................
A. Pengertian Al- Hadist..............................................................................................
B. Hubungan Hadist dengan Al- Qur’an
C. Fungsi Hadits terhadap Al-Quran............................................................................
BAB III...............................................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Hadits
Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat
atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain. Hadits menurut istilah
syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau
pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan
perkataan.
 Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya
dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
 Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan
melakukan shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan
menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan
sumpah dari pihak penuduh.
 Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan
oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar
itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik
terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila
seseorang melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan
Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan
mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu
merupakan pengakuan dari Nabi.

B. Hubungan Hadist dengan Al- Qur’an


Bila kita lihat dari fungsinya, hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah
berkaitan. Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-
Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan
hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak
tujuan yang digariskan. Tetapi pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh Nabi.
Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an
secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar
ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah
belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan
hadits dengan Al-Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka
hadits disebut sebagai bayani.

C. Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur’an


Hadits dalam hukum Islam dianggap sebagai mashdarun tsanin (sumber kedua)
setelah Al-Quran. Ia berfungsi sebagai penjelas dan penyempurna ajaran-ajaran Islam yang
disebutkan secara global dalam Al-Quran. Bisa dikatakan bahwa kebutuhan Al-Quran
terhadap hadits sebenarnya jauh lebih besar ketimbang kebutuhan hadits terhadap Al-
Quran. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak dibenarkan untuk mengambil salah satu dan
membuang yang lainnya karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa
dipisahkan.

Untuk mengeluarkan hukum Islam, pertama kali para ulama harus menelitinya di
dalam Al-Quran. Kemudian setelah itu, baru mencari bandingan dan penjelasannya di
dalam hadits-hadits Nabi karena pada dasarnya tidak satupun ayat yang ada dalam Al-
Quran kecuali dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi. Dengan sinergi beberapa ayat dan hadits
tersebut, seorang ulama bisa memutuskan hukum-hukum agama sesuai dengan persoalan
yang dihadapi, tentunya dengan dukungan ilmu dan perangkat pengetahuan yang mumpuni
terhadap kedua sumber tersebut.

Menurut Abdul Wahab Khallaf, seorang ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir,
hadits mempunyai paling tidak tiga fungsi utama dalam kaitannya dengan Al-Quran :

a). Hadits berfungsi sebagai penegas dan penguat segala hukum

Hadits berfungsi sebagai penegas dan penguat segala hukum yang ada dalam Al-
Quran seperti perintah shalat, puasa, zakat dan haji. Abdul Wahab Khallaf mengatakan,
‫ إما أن تكون سنة مقررة ومؤكدة حكما جاء في القرآن‬Artinya, “Adakalanya hadits berfungsi sebagai
penegas dan penguat terhadap hukum yang ada dalam Al-Quran.”
b). Hadits juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir segala hukum yang bersifat
global

Hadits juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir segala hukum yang bersifat
global dalam Al-Quran, seperti menjelaskan tatacara shalat, puasa, zakat dan haji. ‫إما‬
‫ومفس]رة لم]]ا ج]]اء في الق]]رآن‬
ِّ ‫ أن تكون سنة مفصلِّة‬Artinya, “Adakalanya hadits berfungsi sebagai
penjelas dan penafsir terhadap hukum global/umum yang disebutkan dalam Al-Quran.”

c). Hadits juga berfungsi sebagai pembuat serta memproduksi hukum yang belum
dijelaskan oleh Al-Quran

Hadits juga berfungsi sebagai pembuat serta memproduksi hukum yang belum
dijelaskan oleh Al-Quran seperti hukum mempoligami seorang perempuan sekaligus
dengan bibinya, hukum memakan hewan yang bertaring, burung yang berkuku tajam
dan lain sebagainya. Khallaf kembali mengatakan sebagai berikut. ‫وإما أن تكون سنة‬
‫ومنشَئة حُكما سكت عنه القرآن‬
ِ ‫ مثبِتَة‬Artinya, “Adakalanya hadits berfungsi sebagai penetap dan
pencipta hukum baru yang belum disebutkan oleh Al-Quran.” Dengan demikian, karena
begitu pentingnya posisi hadits dalam konsepsi hukum Islam, maka seseorang yang
akan berkecimpung di dalamnya diharuskan untuk mengenal istilah dasar dalam ilmu
hadits, menguasai kaidah-kaidah takhrij dan kajian sanadnya, serta mengetahui seluk
beluk dan tatacara memahami redaksinya.

Fungsi al-Hadits terhadap al Qur`an yang paling pokok adalah sebagai bayân,
sebagaimana ditandaskan dalam ayat:

“keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al


Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,. (Qs.16:44)”.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasul SAW bertugas memberikan penjelasan tentang
kitab Allah. Penjelasan Rasul itulah yang dikategorikan kepada alhadîts. Umat manusia
tidak akan bisa memahami al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts tersebut. AlQur`ân bersifat
kullydan ‘am, maka yang juz’iy dan rinci adalah alhadîts. Imam Ahmad menandaskan
bahwa seseorang tidak mungkin bisa memahami al-Qur`ân secara keseluruhan tanpa
melalui al-hadîts. Imam Al-Syatibi jugaberpendapat bahwa kita tidak akan bisa
mengistinbath atau mengambil kesim pulan dari hukum al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts.
Dengan demikian jelaslah fungsi al-hadîts terhadap al-Qur`ân itu cukup penting, yaitu
sebagai bayân atau penjelas. 1

Dalam konteks ini akan memberikan contoh serta gambaran tentang bagaimana al-
hadîts menjelaskan isi al-Qur`ân:

1. Al-Qur`ân telah menghalalkan makanan yang baik-baik (Qs.5:1), dan


megharamkan yang kotorkotor (Qs.7:156); tetapi di antara keduanya (di antara yang
baikbaik dan yang kotor-kotor) itu ada terdapat beberapa hal yang tidak jelas atau syuhbat,
yang samarsamar (tidak nyata baik dan tidak nyata buruknya). Ukuran baik dan buruk pun
menurut pandangan Hamdani Khairul Fikri 181 Tasâmuh, Volume 12, No. 2, Juni 2015
manusia akan berbeda. Oleh sebab itu, Rasul SAW yang menetapkan mana yang baik dan
mana yang buruk itu, dengan istilah halal dan haramnya. Beliau mengharamkan segala
hewanhewan (binatang-binatang) buas, yang mempunyai taring, dan burung-burung yang
mempunyai kuku yang mencakar dan yang menyambar, demikian juga beliau
mengharamkan keledai jinak (bukan keledai hutan), karena semua itu termasuk binatang
yang kotor-kotor dan yang kejikeji.

2. Al-Qur`ân telah menghalalkan segala minuman yang tidak memabukan, dan


mengharamkan segala minuman yang memabukkan. Di antara yang tidak memabukkan
dan yang memabukkan ada beberapa macam minuman, yang sebenarnya tidak
memabukkan, tetapi dikuatirkan kalau-kalau memabukkan juga, seperti tuak dari ubi, tuak
kedelai, tuak labu, atau tuak yang ditaruh dalam bejana yang dicat dengan ter dari
dalamnya (al- Muzaffat), juga yang ditaruh di dalam batang kayu yang dilobangi (al-
Naqir), dan yang serupa dengan minuman yang memabukkan dan membawa kebinasaan.
Kemudian Rasulullah SAW kembali menghalalkan segala sesuatu yang tidak
memabukkan.

3. Al-Qur’an telah membolehkan daging hewan-hewan yang ditangkap oleh hewan-


hewan pemburu yang sudah diajar dengan patuh dan mengerti. Jelas, apabila hewan
pemburu itu belum terlatih, maka haramlah memakan hewan dari hasil buruan (yang
ditangkapnya), karena dikuatirtkan bahwa hewan yang ditangkapnya itu buat dirinya
sendiri. Kemudian timbul pertanyaan yang beredar antara dua masalah yaitu: apabila
hewan pemburu itu sudah terlatih, tetapi buruan itu ditangkapnya untuk dirinya sendiri,
tidak untuk tuan yang menyuruh-nya, denga tandatanda bahwa buruannya itu telah

1
Hamdani Khairul Fikri, “Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur’an”, (Volume 12, No. 2, Tahun 2015), hal 180
dimakannya sendiri sekalipun sedikit, maka bagaimanakah hukumnya?Sunnah Rasulullah
SAW, menjelaskan bahwa jika buruan itu dimakan oleh anjing pemburu, maka kaum
muslimin dilarang memakannya, karena dikuatirkan hewan yang ditangkapnya itu untuk
dirinya sendiri.

4. Al-Qur`ân melarang orang yang sedang ihram mem-buru buruan dengan muthlaq,
artinya tidak me-makai syarat, apabila larangan itu diabaikannya, maka diwajibkan jaza
(balasan) atas orang yang melanggarnya (membunuhnya). Tetapi larangan memburu itu
dikecualikan bagi orang yang halal, artinya bagi yang tidak mengerjakan ihram.
Pengecualian itu dengan muthlaq juga. Kemudian timbul pertanyaan: Bagaimana
hukumnya orang yang sedang ihram itu memburu dengan tidak disengaja?, Oleh Rasul
SAW dijelaskan bahwa memburu buruan bagi orang yang sedang ihram itu, sama saja,
hukumnya antara yang sengaja dengan yang tidak disengaja, dalam kewajibannya
menunaikan denda atau dam.

Fungsi al-Hadits terhadap alQur`ân sebagai bayân itu difahami oleh ulama dengan
berbagai pemahaman, antara lain sebagai berikut:

a. Bayan Taqrir
Bayân taqrir ialah al-Hadits yang berfungsi menetapkan, memantapkan, dan
mengokohkan apa yang telah ditetapkan alQur`ân, sehingga maknanya tidak perlu
dipertanyakan lagi. Ayat yang ditaqrir oleh al-Hadits tentu saja yang sudah jelas
maknanya hanya memerlukan penegasan supaya jangan sampai kaum muslimin salah
menyim-pulkan. Contoh: Firman Allah SWT: ‫ه‬
ْ ِ ‫ ص ْ ُم ُ َ ي فَلْ َ الش ْهر َ م ك ُ ُ َم َن ِشهَد‬Barangsiapa yang menyaksikan bulan ramadlan
َ‫من ف‬
maka hendaklah shaum. (Qs.2:185)

ْ ‫ ُ تِه ْؤي ُ ُ ْوا لِر ِطر‬Shaumlah


Ditegaskan oleh Rasulullah SAW: َ ‫ف َ َتِه َ وأ ْؤي ُ ا لِر ْ ومو ُ ص‬
kalian karena melihat tanda awal bulan ramadlan dan berbukalah kalian karena
melihat tanda awal bulan syawal. Hr. Muslim.5 Hadits di atas dikatakan bayân taqrîr
terhadap ayat al-Qur`ân, karena maknanya sama dengan alQur`ân, hanya lebih tegas
ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.

b. Bayan Tafsir
Bayân tafsir berarti menjelaskan yang maknanya samar, merinci ayat yang
maknanya global atau mengkhususkan ayat yang maknanya umum. Sunnah yang
berfungsi bayân tafsir tersebut terdiri dari (1) tafshîl al-mujmal, (2) tabyîn al-
musytarak, (3) takhshish al-’âm.

c. Bayan Tabdila
Bayân Tabdîl ialah mengganti hukum yang telah lewat keberlakuannya.
Dalam istilah lain dikenal dengan nama nâsih wa al- mansûh. Banyak ulama yang
berbeda pendapat tentang keberadaan hadits atau sunnah men-tabdil al-Qur`ân.
Namun pada dasarnya bukan berbeda dalam menyimpulkan hukum, melainkan hanya
terletak pada penetapan istilahnya saja.2

2
Mukhyar Sani, “Fungsi Hadist Nabi Muhammad SAW Terhadap Al-Qur’an”, Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah,
(Volume 12, No 23, Tahun 2017), hal 45
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas hadist Rasullah SAW telah menetapkan hukum baru yang tidak
ditetapkan oleh Al-Qur’an. Karena dalam Al-Qur’an terdapat ayat- ayat yang
memerintahkan kepada orang- orang beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang
diperintahkan dan dilarang Rasulullah Saw serta mengancam orang yang menyelesihinya.
Fungsi hadist terhadap Al- Qur’an adalah sebagai bayan dan muhaqiq (penjelas dan
penguat) bagi Al- Qur’an secara langsung. Oleh karena itu hadist berperan sebagai
penjelas dan penguat Al- Qur’an.

B. SARAN
Pokok bahasan tulisan ini sudah dipaparkan di depan. Besar harapan penulis semoga
tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi,
penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempuma. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun sangat diharapkan agar tulisan ini dapat disusun menjadi lebih
baik dan sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Abdul Muiz. “Posisi Hadist dalam Hukum Islam”. Di akses dari
https://islam.nu.or.id/ilmu-hadist-dalam-hukum-islam-RrwHa pada tanggal 18 Maret 2022.

Fikri, Hamdani Khairul. “Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur’an”. Tasamuh. Volume 12. No. 2.
Tahun 2015.

Khairuddin, Ahmad. Beberapa Interpretasi Hadits al-Aimmah Min Quraisy: Interpretasi


Hadis dengan Pendekatan Fiqh Siyasah. Banjarmasin: Antasari Press. 2005.

Sani, Mukhyar. “Fungsi Hadist Nabi Muhammad SAW Terhadap Al-Qur’an”. Alhadharah:
Jurnal Ilmu Dakwah. Volume 12. No 23. Tahun 2017.

Anda mungkin juga menyukai