Anda di halaman 1dari 12

Jangan Sampingkan Akhlaq Terhadap Allah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad,
keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga
akhir zaman.

Akhlaq adalah karakter batin yang baik yang sudah menjadi tabiat seseorang. Demikian definisi
akhlaq yang biasa diterangkan oleh para ulama. Banyak sekali dalil yang menyebutkan mengenai
keutamaan orang yang berakhlaq mulia. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫َأْك َم ُل اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِإيَم اًنا َأْح َس ُنُهْم ُخ ُلًقا‬


“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya di antara
mereka.”[1]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

‫َم ا ِم ْن َش ْى ٍء ُيوَض ُع ِفى اْلِم يَز اِن َأْثَقُل ِم ْن ُحْس ِن اْلُخ ُلِق َو ِإَّن َص اِح َب ُحْس ِن اْلُخ ُلِق َلَيْبُلُغ‬
‫ِبِه َد َرَج َة َص اِحِب الَّص ْو ِم َو الَّص َالِة‬
“Tidak ada sesuatu amalan yang jika diletakkan dalam timbangan lebih berat dari akhlaq yang
mulia. Sesungguhnya orang yang berakhlaq mulia bisa menggapai derajat orang yang rajin
puasa dan rajin shalat.”[2]

Oleh karena itu, Nabi kita diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Rasululullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ِإَّنَم ا ُبِع ْثُت ُألَتِّم َم َص اِلَح اَألْخ َالِق‬


“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.”[3]

Namun kebanyakan orang memahami bahwa akhlaq yang mulia hanya terkait dengan muamalah
terhadap sesama manusia dan tidak termasuk di dalamnya berakhlaq dengan sang Kholiq (yaitu
Allah). Pemahaman seperti ini amatlah dangkal. Yang benar, akhlaq mulia di samping
berperilaku baik dengan manusia, juga berperilaku baik di hadapan Allah, sang Kholiq. Jadi
berakhlaq yang mulia sebenarnya mencakup dua hal yaitu berakhlaq mulia terhadap Allah dan
berakhlaq mulia di hadapan sesama makhluk.[4]
Dari penjelasan di atas, selanjutnya kita akan melihat bagaimana bentuk akhlaq mulia terhadap
Allah. Dalam hal ini kami dapat menjabarkan menjadi tiga bentuk:

1. Membenarkan setiap berita yang Allah sampaikan.


2. Melaksanakan setiap hukum yang Allah perintahkan.
3. Menerima takdir yang Allah tetapkan.[5]

Pertama: Membenarkan setiap berita

Ketika mendengar berita yang Allah sampaikan, begitu pula yang disampaikan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, seseorang yang dikatakan berakhlaq baik haruslah menerima
berita tersebut. Karena Allah Ta’ala berfirman,

‫َو َم ْن َأْص َد ُق ِم َن ِهَّللا َح ِد يًثا‬


“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?” (QS. An Nisa’: 87).
Dalam ayat lainnya, Allah mengatakan mengenai Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa
sallam,

)4( ‫) ِإْن ُهَو ِإاَّل َو ْح ٌي ُيوَح ى‬3( ‫َو َم ا َيْنِط ُق َع ِن اْلَهَو ى‬


“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 3-4)

Tugas kita selaku hamba Allah dan pengikut Rasul-Nya adalah menerima setiap berita yang
datang dari keduanya. Sebagaimana dikatakan oleh Az Zuhri rahimahullah,

‫ َو َع َلْيَنا الَّتْس ِليُم‬، ‫ َو َع َلى َر ُسوِل ِهَّللا – صلى هللا عليه وسلم – اْلَبَالُغ‬، ‫ِم َن ِهَّللا الِّر َس اَلُة‬
“Risalah (wahyu) datangnya dari Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah
menyampaikan. Sedangkan kewajiban kita adalah menerimanya.”[6]

Misalnya ketika kita menyikapi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai lalat yang
jatuh dalam makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َفِإَّن ِفى َأَح ِد َج َناَح ْيِه ِش َفاًء‬، ‫ ُثَّم ْلَيْطَر ْح ُه‬، ‫ َفْلَيْغ ِم ْسُه ُك َّلُه‬، ‫ِإَذ ا َو َقَع الُّذ َباُب ِفى ِإَناِء َأَح ِد ُك ْم‬
‫َو ِفى اآلَخ ِر َد اًء‬
“Jika seekor lalat jatuh di tempat minum salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah
seluruh bagian lalat tersebut. Lalu buanglah lalat tadi. Karena di salah satu sayapnya terdapat
penawar dan sayap lainnya adalah racun.”[7] Dalam riwayat lain disebutkan,
‫َفِإَّنُه ُيَقِّد ُم الُّس َّم َو ُيَؤ ِّخ ُر الِّشَفاَء‬
“Karena yang pertama kali dicelupkan lalat tersebut adalah racun. Dan di sayap lainnya
terdapat penawarnya.”[8]

Bentuk berakhlaq baik kepada Allah adalah dengan menerima dan membenarkan berita yang
dikatakan dalam hadits ini. Sehingga tidak perlu seseorang mempertentangkannya dengan logika
atau pendapat orang barat yang sungguh jauh dari keimanan.

Contoh lainnya lagi adalah ketika kita menyikapi hadits yang menceritakan bahwa pada hari
kiamat nanti posisi matahari akan begitu dekat dengan manusia. Dari Al Miqdad bin Al Aswad,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ُتْدَنى الَّش ْم ُس َيْو َم اْلِقَياَم ِة ِم َن اْلَخ ْلِق َح َّتى َتُك وَن ِم ْنُهْم َك ِم ْقَد اِر ِم يٍل‬
“Matahari akan didekatkan pada makhluk pada hari kiamat nanti hingga mencapai jarak sekitar
satu mil.” Sulaiman bin ‘Amir, salah seorang perowi hadits ini mengatakan bahwa dia belum
jelas mengenai apa yang dimaksud dengan satu mil di sini. Boleh jadi satu mil tersebut adalah
seperti jarak satu mil di dunia dan boleh jadi jaraknya adalah satu celak mata.”[9]

Jadi, intinya dalam hadits ini menerangkan bahwa matahari ketika itu akan didekatkan dengan
jarak yang begitu dekat. Ada mungkin yang mengatakan, “Saat ini jika matahari didekatkan ke
bumi dengan jarak satu mil –padahal suhu matahari begitu tinggi (suhu permukaannya sekitar
6000oC)-, tentu saja bumi akan hangus terbakar. Lalu apa yang terjadi jika matahari didekatkan
ke kepala dengan jarak yang begitu dekatnya?!”

Dalam lanjutan hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

‫َفَيُك وُن الَّناُس َع َلى َقْد ِر َأْع َم اِلِهْم ِفى اْلَعَر ِق َفِم ْنُهْم َم ْن َيُك وُن ِإَلى َك ْع َبْيِه َو ِم ْنُهْم َم ْن َيُك وُن‬
‫ِإَلى ُر ْك َبَتْيِه َو ِم ْنُهْم َم ْن َيُك وُن ِإَلى َح ْقَو ْيِه َو ِم ْنُهْم َم ْن ُيْلِج ُم ُه اْلَعَر ُق ِإْلَج اًم ا‬
“Keringat manusia ketika itu sesuai dengan kondisi amalannya. Ada di antara mereka yang
keringatnya sampai di mata kaki. Ada pula yang keringatnya sampai di paha. Ada yang lain
sampai di pinggang. Bahkan ada yang tenggelam dengan keringatnya.”

Jika kita memperhatikan, hadits ini terasa bertentangan dengan logika kita. Namun sebenarnya
dapat kita katakan, “Kekuatan manusia ketika hari kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika
sekarang di dunia. Namun manusia ketika hari kiamat memiliki kekuatann yang luar biasa.
Mungkin saja jika manusia saat ini berdiam selama 50 hari di bawah terik matahari, tanpa adanya
naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan mati. Akan tetapi, sangat jauh berbeda dengan
keadaan di dunia. Bahkan di hari kiamat, mereka akan berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada
naungan, tanpa makan dan minum.”[10]
Sudah seharusnya kita menerima setiap apa yang Allah dan Rasul-Nya sampaikan tanpa perlu
kita pertentangkan dengan logika kita. Inilah bentuk akhlaq mulia terhadap Allah. Semoga kita
bisa memperhatikan dengan baik penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berikut, “Akal
memang merupakan syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan
sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa
berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana
penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al
Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian
tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.”[11]

Kedua: Menjalankan setiap perintah

Begitu pula sikap seorang muslim yang benar adalah tidak menentang hukum Allah. Jika
seseorang menentang hukum Allah, maka itu berarti ia tidak berakhlaq baik di hadapan Allah.
Terserah ia pertentangkan dengan mengingkari atau karena sombong dengan meremehkan
kebenaran, atau pula ia menolaknya dengan meremehkan ajaran tersebut. Ini semua termasuk
bentuk tidak berakhlaq yang baik terhadap Allah.

Misalnya, Allah perintahkan shalat lima waktu sehari semalam. Sebagian orang memang
merasakannya berat, terutama orang munafik. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫َو َص َالُة اْلَفْج ِر َو َلْو َيْع َلُم وَن َم ا ِفيِهَم ا‬ ‫ِإَّن َأْثَقَل َص َالٍة َع َلى اْلُم َناِفِقيَن َص َالُة اْلِع َش اِء‬
‫َح ْبًو ا‬ ‫َألَتْو ُهَم ا َو َلْو‬
“Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Shubuh.
Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada dalam dua shalat tersebut, tentu mereka
akan menandatanginya walaupun sambil merangkak.”[12]

Namun bagi orang yang beriman, shalat tentu tidaklah berat. Allah Ta’ala berfirman,

‫) اَّلِذ يَن َيُظُّنوَن َأَّنُهْم‬45( ‫َو اْسَتِع يُنوا ِبالَّصْبِر َو الَّص اَل ِة َو ِإَّنَها َلَك ِبيَر ٌة ِإاَّل َع َلى اْلَخ اِشِع يَن‬
)46( ‫ُم اَل ُقو َر ِّبِهْم َو َأَّنُهْم ِإَلْيِه َر اِج ُعوَن‬
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini,
bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS.
Al Baqarah: 45-46)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,

‫ُحِّبَب ِإَلَّي ِم ْن الُّد ْنَيا الِّنَس اُء َو الِّطيُب َو ُج ِعَل ُقَّر ُة َع ْيِني ِفي الَّص اَل ِة‬
“Perhiasan dunia yaitu wanita dan harum-haruman dijadikan kesukaan bagiku. Shalat pun
dijadikan penyejuk mata bagiku.”[13] Jadi termasuk berakhlaq baik terhadap Allah, seseorang
menunaikan shalat dalam keadaan hatinya lapang dan thuma’ninah (tenang).

Ketiga: Menerima takdir Allah

Bentuk ini pula termasuk berakhlaq baik terhadap Allah, yaitu seseorang mengetahui bahwa
setiap apa yang Allah takdirkan terdapat hikmah besar di balik itu semua. Seseorang pun mesti
yakin bahwa setiap apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap apa yang tidak Allah
kehendaki tidak mungkin terjadi. Sampai-sampai Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap
kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap
yang tidak Allah kehendaki tidak mungkin terjadi.”[14]

Di antara contoh hal ini adalah bersabar dengan takdir Allah. Inilah yang dipuji dalam firman
Allah,

‫َو َلَنْبُلَو َّنُك ْم ِبَش ْي ٍء ِم َن اْلَخ ْو ِف َو اْلُجوِع َو َنْقٍص ِم َن اَأْلْم َو اِل َو اَأْلْنُفِس َو الَّثَم َر اِت َو َبِّش ِر‬
)156( ‫) اَّلِذ يَن ِإَذ ا َأَص اَبْتُهْم ُمِص يَبٌة َقاُلوا ِإَّنا ِهَّلِل َو ِإَّنا ِإَلْيِه َر اِج ُعوَن‬155( ‫الَّصاِبِريَن‬
)157( ‫ُأوَلِئَك َع َلْيِهْم َص َلَو اٌت ِم ْن َر ِّبِهْم َو َر ْح َم ٌة َو ُأوَلِئَك ُهُم اْلُم ْهَتُد وَن‬
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna
dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.
Al Baqarah: 155-157)

Semoga kita dapat memahami bahwa Allah tidaklah hanya berbuat baik terhadap sesama, namun
yang lebih utama dan semestinya tidak disampingkan adalah berakhlaq baik terhadap Allah.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Diselesaikan di Pangukan, Sleman, 26 Shofar 1431 H

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

[1] HR. Abu Daud no. 4682, At Tirmidzi no. 1162, 2612, Ad Darimi no. 2792, Ahmad (2/527),
dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash
Shohihah no. 284.

[2] HR. Tirmidzi no. 2134, dari Abu Dardaa’. Syaikh Al Abani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat Shahih Al Jaami’ no. 5726.

[3] HR. Ahmad (2/381), dari Abu Hurairah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini shahih.

[4] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Makaarimul Akhlaq,
hal. 13, Darul Ghod Al Jadid, cetakan pertama, tahun 1426 H.

[5] Lihat Makarimul Akhlaq, hal. 13.

[6] Disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya ketika membawakan Bab mengenai
firman Allah surat Al Maidah ayat 67.

[7] HR. Bukhari no. 5782, dari Abu Hurairah.

[8] HR. Ibnu Majah no. 3504, dari Abu Sa’id. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih.

[9] HR. Muslim no. 7385, dari Al Miqdad bin Al Aswad.

[10] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal.
370, Darul Aqidah.

[11] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 3/338-339, Darul Wafa’, cetakan ketiga,
1426 H.

[12] HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651, dari Abu Hurairah.
[13] HR. An Nasai no. 3939, dari Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan shahih. Lihat Al Misykah no. 5261 dan Shahih Al Jaami’ Ash Shogir no. 3124.

[14] Al Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 94, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425
H.

Sumber https://rumaysho.com/875-jangan-sampingkan-akhlaq-terhadap-allah.html
Memprioritaskan Akhlak kepada Allah

Memperbaiki akhlak, salah satu misi dakwah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara salah satu misi dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ِإَّنَم ا ُبِع ْثُت ُأِلَتِّم َم َص اِلَح اَأْلْخ اَل ِق‬


“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (HR. Ahmad
no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani
dalam Shahih Adaabul Mufrad.)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “menyempurnakan


akhlak”; dan bukan mengajarkan akhlak dari nol setelah sebelumnya tidak tahu sama sekali. Hal
ini karena dulu masyarakat musyrik jahiliyyah telah memiliki sebagian bentuk akhlak yang luhur
sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah menepati janji;
memuliakan tamu; dan suka memberi makan orang yang membutuhkan. Sehingga akhlak-akhlak
yang baik itu dipertahankan, sedangkan akhlak mereka yang tidak sesuai dengan ajaran Islam,
itulah yang menjadi sasaran perbaikan.

Memprioritaskan akhlak kepada Allah Ta’ala


Kalau kita berbicara dan menyebutkan tentang akhlak, yang terlintas dalam benak dan bayangan
kita adalah bagaimanakah kita bersikap baik kepada sesama manusia, misalnya kepada orang tua,
kepada guru, kepada tamu, atau yang lainnya. Jarang atau mungkin tidak pernah terlintas dalam
benak kita adanya akhlak yang lebih agung daripada itu semua, yaitu akhlak kita kepada Allah
Ta’ala.

Allah Ta’ala telah mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya,

‫َو َقَض ى َر ُّبَك َأاَّل َتْعُبُد وا ِإاَّل ِإَّياُه َو ِباْلَو اِلَد ْيِن ِإْح َس اًنا ِإَّم ا َيْبُلَغَّن ِع ْنَدَك اْلِكَبَر‬
‫َأَح ُدُهَم ا َأْو ِكاَل ُهَم ا َفاَل َتُقْل َلُهَم ا ُأٍّف َو اَل َتْنَهْر ُهَم ا َو ُقْل َلُهَم ا َقْو اًل َك ِريًم ا‬
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’
[17]: 23)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjaga akhlak kepada kedua orang
tua. Kedua orang tua kita adalah manusia yang paling berhak untuk mendapatkan sikap dan
perlakuan yang baik dari kita.

Namun, sebelum Allah Ta’ala menyebutkan perintah berbuat baik alias berakhlak kepada orang
tua, Allah Ta’ala terlebih dahulu menyebutkan hak-Nya, yaitu perintah untuk beribadah hanya
kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Hal ini
mengisyaratkan, akhlak kepada Allah Ta’ala, yaitu tauhid, adalah hak yang lebih agung dan lebih
harus diperhatikan sebelum hak kedua orang tua.

Demikian juga dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

‫َو اْع ُبُد وا َهَّللا َو اَل ُتْش ِرُك وا ِبِه َش ْيًئا َو ِباْلَو اِلَد ْيِن ِإْح َس اًنا َو ِبِذ ي اْلُقْر َبى َو اْلَيَتاَم ى‬
‫َو اْلَم َس اِكيِن َو اْلَج اِر ِذ ي اْلُقْر َبى َو اْلَج اِر اْلُج ُنِب َو الَّصاِح ِب ِباْلَج ْنِب َو اْبِن‬
‫الَّس ِبيِل َو َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم ِإَّن َهَّللا اَل ُيِح ُّب َم ْن َك اَن ُم ْخ َتااًل َفُخ وًرا‬
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri.” (QS. An-Nisa’ [4]: 36)

Dalam ayat di atas, sebelum Allah Ta’ala memerintahkan manusia untuk berakhlak kepada
sesama manusia, yaitu sembilan golongan yang Allah sebutkan (orang tua, kerabat, anak yatim,
orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan budak),
Allah Ta’ala perintahkan untuk berakhlak terlebih dahulu kepada Allah Ta’ala, yaitu
mentauhidkan-Nya dalam ibadah.

Hal ini menunjukkan, tanpa akhlak kepada Allah Ta’ala, semua itu hanyalah sia-sia belaka dan
tidak ada nilainya di sisi Allah Ta’ala

Sebaik apa pun akhlak orang kafir kepada sesama


manusia, mereka adalah sejelek-jelek makhluk di
sisi Allah Ta’ala
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa akhlak kepada Allah Ta’ala adalah yang menjadi pokok,
sedangkan akhlak kepada sesama manusia atau sesama makhluk secara umum itu sekedar
mengikuti setelah seseorang memiliki akhlak kepada Allah Ta’ala.

Sehingga meskipun manusia itu memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia, misalnya
jujur, tidak pernah mengganggu dan menyakiti orang lain, tidak pernah korupsi, amanah jika
diberi jabatan, dan lain-lain, jika mereka tidak beriman kepada Allah Ta’ala, akhlak-akhlak yang
luhur kepada sesama manusia itu tidak ada nilainya sama sekali.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyebut orang-orang kafir sebagai seburuk-buruk makhluk, tanpa
melihat sebagus dan seluhur apa pun akhlak dan perbuatan mereka terhadap sesama manusia.
Allah Ta’ala berfirman,

‫ِإَّن اَّلِذ يَن َك َفُروا ِم ْن َأْهِل اْلِكَتاِب َو اْلُم ْش ِرِكيَن ِفي َناِر َج َهَّنَم َخ اِلِد يَن ِفيَها‬
‫ُأوَلِئَك ُهْم َش ُّر اْلَبِرَّيِة‬
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik, (akan
masuk) ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 6)

Bukti lainnya bahwa akhlak kepada sesama makhluk itu tidak ada nilainya selama manusia tidak
berakhlak kepada Allah Ta’ala adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi
kaum musyrikin, sampai mereka mau berakhlak kepada Allah Ta’ala dengan mentauhidkan-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ُأِم ْر ُت َأْن ُأَقاِتَل الَّناَس َح َّتى َيْش َهُد وا َأْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا َو َأَّن ُم َح َّم ًد ا َر ُسوُل ِهَّللا‬
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah.” (HR. Bukhari no. 25 dan Muslim no. 138)

Sebagian akhlak mulia kepada sesama manusia yang kaum musyrikin miliki itu tidak ada
nilainya, sampai mereka mau beriman kepada Allah Ta’ala dan mentauhidkan Allah Ta’ala
dalam seluruh aktivitas peribadatan mereka.

Syubhat orang liberal: Tidak perlu memiliki agama


formal, yang penting memiliki akhlak sosial
Sebagian orang yang terkena penyakit liberalisme mengatakan, “Manusia tidak perlu
mengikatkan diri dalam agama formal tertentu. Yang penting, mereka punya akhlak sosial yang
luhur: jujur, tidak berkata dusta, saling menyayangi, tidak membunuh, tidak mencuri harta orang
lain, suka membantu manusia yang membutuhkan pertolongan, dan seterusnya. Tidak mungkin
Allah tega memasukkan hamba-Nya ke dalam neraka jika hamba-Nya itu telah memiliki akhlak-
akhlak yang luhur tersebut.”

Inilah syubhat yang ditebarkan oleh orang-orang liberal. Mereka anggap itu adalah pemikiran
modern, padahal pemikiran itu adalah pemikiran kuno, pemikiran orang musyrikin sejak zaman
dahulu dan telah Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’an.
Allah Ta’ala mengatakan,

‫َأَج َع ْلُتْم ِس َقاَيَة اْلَح اِّج َو ِع َم اَر َة اْلَم ْس ِج ِد اْلَح َر اِم َك َم ْن آَم َن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر‬
‫َو َج اَهَد ِفي َس ِبيِل ِهَّللا اَل َيْسَتُو وَن ِع ْنَد ِهَّللا َو ُهَّللا اَل َيْهِد ي اْلَقْو َم الَّظاِلِم يَن‬
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan
mengurus Masjidil Haram itu kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah
dan hari kemudian, serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 19)

Dulu, orang-orang musyrikin membanggakan amal-amal sosialnya di hadapan Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka membanggakan “akhlak” mereka berupa suka memberi
minum orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan juga rajin mengurusi Masjidil Haram.
Mereka membanggakan amal itu, sehingga tidak lagi merasa butuh kepada amal yang lain, yaitu
keimanan kepada Allah Ta’ala dan jihad di jalan Allah Ta’ala.

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala langsung membantah argumentasi mereka. Bahwa di sisi Allah,
tidaklah sama antara orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dengan orang yang hanya
mengandalkan amal dan akhlak sosial semata. Jangan disamakan antara amal iman kepada Allah
Ta’ala dengan amal memberi minum jamaah haji yang butuh minum.

Dengan kata lain, akhlak orang-orang musyrikin kepada sesama manusia itu tidak ada nilainya,
sampai mereka memiliki akhlak kepada Allah Ta’ala terlebih dahulu.

Bukan berarti akhlak kepada sesama manusia itu


tidak ada gunanya
Pembahasan di atas bukanlah berarti bahwa akhlak kepada sesama manusia itu tidak penting.
Bukan maksudnya demikian. Bahkan, berkahlak kepada manusia adalah konsekuensi iman
kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, dalam banyak hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengaitkan beberapa perkara akhlak dengan keimanan kepada Allah Ta’ala dan hari
akhir.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َو َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن‬، ‫َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهَّلل َو الَيْو ِم اآلِخ ِر َفْلَيُقْل َخ ْيًرا َأْو ِلَيْص ُم ْت‬
‫ َو َم ْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهَّلل َو الَيْو ِم اآلِخ ِر َفْلُيْك ِرْم‬،‫ِباِهَّلل َو الَيْو ِم اآلِخ ِر َفَال ُيْؤ ِذ َج اَر ُه‬
‫َض ْيَفُه‬
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata yang baik
atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia tidak
menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia
memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 47. Lafadz hadits ini miliak
Bukhari.)

Hadits di atas menunjukkan bahwa di antara konsekuensi kesempuranaan iman kepada Allah
Ta’ala adalah memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia.

Oleh karena itu, dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َأْك َم ُل الُم ْؤ ِمِنيَن ِإيَم اًنا َأْح َس ُنُهْم ُخ ُلًقا‬


“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR.
Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284.)

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/46861-memprioritaskan-akhlak-kepada-allah.html

Anda mungkin juga menyukai