Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN Q.

S AN – NISA’/4:59
DAN HADIST TENTANG MEMAKNAI KETAATAN SECARA BENAR

DISUSUN OLEH:
NAMA : GUSTI MIRANTI
KELAS : XI (SEBELAS)
JURUSAN : TEKNIK INSTALASI TENAGA LISTRIK (TITL)

TAHUN AJARAN 2023/2024


SMKN SUMSEL PALEMBANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang " Kajian Q.S An –
Nisa’/4:59 Dan Hadist Tentang Memaknai Ketaatan Secara Benar".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak akan bisa
maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami
dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
karya ilmiah ini.

Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.

Palembang, Juli 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………….ii

BAB I Kajian Q.S An – Nisa’/4:59 Dan Hadist Tentang Memaknai Ketaatan Secara
Benar…………………………………………………………………………………………1

A. KAJIAN Q.S AN – NISA’/4:59 TENTANG KETAATAN……………………….1


B. KAJIAN HADIST TENTANG KETAATAN……………………………………..2
C. PENGERTIAN TAAT……………………………………………………………...5
D. BATAS TAAT KEPADA ULIL AMRI…………………………………………....5
E. CONTOH PRILAKU TAAT PADA ATURAN…………………………………...9

BAB II KESIMPULAN…………………………………………………………………….12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….13
BAB I

KAJIAN Q.S AN – NISA’/4:59 DAN HADIST TENTANG MEMAKNAI KETAATAN SECARA


BENAR

A. Q.S AN-NISA 4/59

‫ٰۤيـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡي َن ٰا َمنُ ۡۤوا اَ ِط ۡيـعُوا هّٰللا َ َواَ ِط ۡيـعُوا ال َّرس ُۡو َل َواُولِى ااۡل َمۡ ِر ِم ۡن ُك ۚمۡ‌ فَاِ ۡن تَنَا َز ۡعتُمۡ فِ ۡى‬
َ ِ‫َش ۡى ٍء فَ ُر ُّد ۡوهُ اِلَى هّٰللا ِ َوال َّرس ُۡو ِل اِ ۡن ُك ۡنـتُمۡ تُ ۡؤ ِمنُ ۡو َن بِاهّٰلل ِ َو ۡاليَ ۡـو ِم ااۡل ٰ ِخ ِ‌ر ؕ ٰذ ل‬
‫ك َخ ۡي ٌر‬
‫َّواَ ۡح َس ُن تَ ۡا ِو ۡياًل‬
Yaaa aiyuhal laziina aamanuuu atii'ul laaha wa atii'ur Rasuula wa ulil amri minkum fa in
tanaaza'tum fii shai'in farudduuhu ilal laahi war Rasuuli in kuntum tu'minuuna billaahi wal
yawmil Aakhir; zaalika khairunw wa ahsanu taawiilaa

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil
Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.
Isi kandungan suran An Nisa ayat 59 adalah sebagai berikut:

 Setiap umat muslim taat dan patuh kepada Allah SWT, Rasul dan Ulil Amri
(pemimpin)
 Terhadap Ulil Amri dalam ayat ini bersifat mutlak apabila selama Ulil Amri tidak
memerintahkan kepada yang dilarangkan oleh Allah SWT.
 Jalan yang terbaik menyelesaikan perselisihan dalam suatu urusan maka harus
kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
 Masyarakat harus menerima pemerintahan Islam dan mendukung para pimpinannya
yang adil.

Kandungan Surat An Nisa Ayat 59 Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa Surat
An Nisa ayat 59 mengulas seputar ketaatan dan sumber hukum agama Islam. berikut isi
kandungan Surat An-Nisa ayat 59 yang penting untuk dipelajari dan diamalkan.
1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya Hukumnya Mutlak
Pada surat An-Nisa ayat ke-59 disebutkan bahwa taat kepada Allah dan Rasul-Nya
merupakan hal yang mutlak atau tidak bisa ditawar. Seseorang yang taat kepada
Rasulullah, maka sudah pasti ia taat kepada Allah. Hal tersebut dikarenakan semua
perintah dari Nabi Muhammad tidak ada yang bertentangan dengan perintah Allah
SWT. Semua sabda Nabi pasti sesuai dengan firman Allah. Ibnu Katsir menerangkan
bahwa, cara taat kepada Allah dengan mengikuti Al-Quran. Sedangkan taat kepada
Rasulullah dengan mengamalkan sunnah-sunnahnya.

2. Taat kepada Pemimpin dan Para Ulama


Selain menerangkan tentang ketaatan kepada Allah dan Rasulullah, dalam Surat An
Nisa ayat 59 juga dijelaskan seputar ketaatan kepada ulil amri. Yang dimaksud
dengan ulil amri yaitu pemimpin dan para ulama. Meskipun demikian, ketaatan pada
ulil amri sifatnya tidak mutlak. Kita hanya boleh taat kepada ulil amri, jika
perintahnya tidak bertentangan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Selain
itu, ketaatan kepada ulil amri juga tidak boleh dalam hal maksiat. Sebagaimana hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim; ‫ص >يَ ِة هَّللا ِ ِإنَّ َم>>ا الطَّا َع> ةُ فِى ا ْل َم ْع > ُروف‬
ِ ‫طا َع> ةَ فِى َم ْع‬
َ َ‫ ال‬Artinya:
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu
hanyalah dalam masalah kebaikan” (HR. Muslim).

3. Sumber Hukum Islam Al-Quran dan Hadits


Dalam Surat An Nisa ayat 59 juga disebutkan bahwa, apabila terdapat perselisihan
maka harus dikembalikan pada sumber hukum Islam yakni Al-Quran dan hadits.
Kitabullah dan Sunnah Rasul merupakan dua hal penting yang ditinggalkan
Rasulullah untuk menjadi pedoman hidup umat Islam. Sebagaimana sebuah hadits
yang berbunyi ‫س >نَّةَ نَبِيِّ ِه‬
ُ ‫>اب هَّللا ِ َو‬ ِ ‫ تَ > َر ْكتُ فِي ُك ْم َأ ْم> َر ْي ِن لَنْ ت‬Artinya: “Aku
َّ ‫َض >لُّوا َم>>ا تَ َم‬
َ >َ‫س > ْكتُ ْم بِ ِه َم>>ا ِكت‬
tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang kepada
keduanya yakni Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya” (HR. Malik).

B. KAJIAN HADIST TENTANG TAAT

Dari Abu Najih, Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kami dengan satu
nasehat yang menggetarkan hati dan menjadikan air mata berlinang”. Kami (para sahabat)
bertanya, “Wahai Rasulullah, nasihat itu seakan-akan adalah nasihat dari orang yang akan
berpisah, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ْ‫ُأو‬
َ ‫ َوال َّس ْم ِع َوالطَّا َع ِة َوِإ ْن تََأ َّم َر َعلَ ْي‬, ‫ص ْي ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ َع َّز َو َج َّل‬
‫ك َع ْب ٌد‬
“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla,
tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya
(budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)

Dari Hadis Diatas Menjelaskan Bahwa Meskipun Kita Harus Menaati Perintah Pemim
Pin Baik Pemimpin Negeri Ataupun Pemimpin Lainnya Kita Juga Harus Menaaati Perintah
Allah Swt. Karena Dengan Kita Mematuhi Perintah Allah Swt Segala Sesuatu Yang Kita
Perbuat Akan Menjadi Mudah Dan Bermakna.

Makna zhohir (tekstual) dari hadits ini adalah kita wajib mendengar dan ta’at kepada
pemimpin walaupun mereka bermaksiat kepada Allah dan tidak menyuruh kita untuk
berbuat maksiat kepada Allah. Karena terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari Hudzaifah bin Al Yaman.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
.» ‫س‬ ْ ‫اطي ِن فِى‬
ٍ ‫جُث َمــا ِن ِإ ْن‬ َّ ُ‫ى َوالَ يَ ْستَ ُّنونَ بِ ُسنَّتِى َو َسيَقُو ُم فِي ِه ْم ِر َجا ٌل قُلُوبُهُ ْم قُلُوب‬
ِ َ‫الش ـي‬ َ ‫« يَ ُكونُ بَ ْع ِدى َأِئ َّمةٌ الَ يَ ْهتَ ُدونَ بِهُدَا‬
‫ب ظَ ْهرُكَ َوُأ ِخ َذ َمالُكَ فَا ْس َم ْع َوَأ ِطــ ْع‬
َ ‫ضُر‬
ِ ِ ‫ك قَا َل « تَ ْس َم ُع َوتُ ِطي ُع ِلَأل ِم‬
‫ير وَِإ ْن‬ َ ِ‫ت َذل‬ ُ ‫ت َك ْيفَ َأصْ نَ ُع يَا َرسُو َل هَّللا ِ ِإ ْن َأ ْد َر ْك‬ُ ‫قَا َل قُ ْل‬

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam
ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di
tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya
adalah jasad manusia. “
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman
seperti itu?”
Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka
menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada
mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih
Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah)
Padahal menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh
syari’at –tanpa ragu lagi- termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada
pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan ta’at kepadamu sampai engkau menaati Rabbmu.”
Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati
mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabbnya.
Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita
dilarang untuk mendengar dan mentaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita
(rakyat) adalah satu yaitu Allah Ta’ala oleh karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila
mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan ta’at.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ ِإنَّ َما الطَّا َعةُ فِى ْال َم ْعر‬، ‫صيَ ٍة‬
‫ُوف‬ ِ ‫الَ طَا َعةَ فِى َم ْع‬
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah
dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
ِ ‫ فَِإ َذا ُأ ِم َر بِ َم ْع‬، ‫ْصيَ ٍة‬
َ‫صيَ ٍة فَالَ َس ْم َع َوالَ طَا َعة‬ ِ ‫ َما لَ ْم يُْؤ َمرْ بِ َمع‬، َ‫ فِي َما َأ َحبَّ َو َك ِره‬، ‫َعلَى ْال َمرْ ِء ْال ُم ْسلِ ِم‬
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci
selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat,
maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)

Dikutip dari buku Pendidikan Agama Islam: Akidah Akhlak untuk MTs Kelas VII
karya Hasan, seseorang disebut taat kepada Allah jika selalu mengerjakan
perintahNya menjauhi laranganNya. Begitu pula dengan taat kepada Rasul seperti
dalam hadits berikut,

‫ َو َمـا‬،ُ‫ َمـا نَهَ ْيتُ ُك ْم َع ْنـهُ فَـاجْ تَنِبُوْ ه‬:ُ‫صلَّى هللاُ َعلَيْـ ِه َو َسـلَّ َم يَقُـوْ ل‬ َ ِ‫ْت َرسُوْ َل هللا‬ ُ ‫ َس ِمع‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫ع َْن َأبِ ْي هُ َر ْي َرةَ َر‬
‫اختِالَفُهُ ْم َعلَى َأ ْنبِيَـــاِئ ِه ْم‬
ْ ‫ فَِإنَّ َمـــا َأ ْهلَـــكَ الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم َك ْثـــ َرةُ َم َســـاِئلِ ِه ْم َو‬،‫ط ْعتُ ْم‬ ْ ‫َأ َمـــرْ تُ ُك ْم بِـــ ِه فَـــْأتُوْ ا ِم ْنـــهُ َمـــا‬
َ َ‫اســـت‬

Artinya: "Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: "Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,'Apa saja yang aku larang terhadap
kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka
kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum
kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi nabi-nabi mereka
(tidak mau taat dan patuh)'.(HR Bukhari dan Muslim).

Dijelaskan dalam kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi'i, melalui surat An Nisa ayat 80,
Allah SWT memberitahukan perjanjian dengan Rasulullah adalah perjanjian dengan
Allah SWT. Begitu pula dengan ketaatan kepada Rasulullah juga merupakan ketaatan
kepada Allah SWT.

Salah satu hikmah taat kepada Allah SWT dan RasulNya adalah kelak masuk surga,
bersama orang-orang yang diberi nikmat Allah SWT. Hikmah ini dijelaskan dalam
QS An Nisa ayat 69,

ٰۤ ُ ٰۤ ُ
‫ك‬
َ ‫ول ِٕى‬ ‫الص ـلِ ِح ْينَ ۚ َو َح ُس ـنَ ا‬ ِّ ‫ك َم َع الَّ ِذ ْينَ اَ ْن َع َم هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه ْم ِّمنَ النَّبِ ٖيّ َـن َوال‬
ّ ٰ ‫ص ِّد ْيقِ ْينَ َوال ُّشهَد َۤا ِء َو‬ َ ‫ول ِٕى‬ ‫َو َم ْن يُّ ِط ِع هّٰللا َ َوال َّرسُوْ َل فَا‬
٦٩ - ‫َرفِيْقًا‬

Artinya: "Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu
akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi,
para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh.
Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."

C. PENGERTIAN TENTANG TAAT

Dilansir dari Encyclopedia Britannica, kata taat berasal dari bahasa arab, yaitu taat.
kata ini memiliki makna mengikuti atau menuruti.

dari Tha’a, Yathi’u, Tho’atan dengan arti kata tunduk atau patuh. Sedangkan menurut
istilah, taat mempunyai pengertian sama dengan Al- Islam, yaitu kepatuhan dan
kerajinan menjalankan ibadah kepada Allah dengan jalan melaksanakan segala
perintah dan aturan-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya

Taat memiliki arti tunduk (kepada Allah Swt., pemerintah, dsb.) tidak berlaku curang,
dan atau setia. Aturan adalah tindakan atau perbuatan yang harus dijalankan. Taat
pada aturan adalah sikap tunduk kepada tindakan atau perbuatan yang telah dibuat
baik oleh Allah Swt., nabi, pemimpin, atau yang lainnya.

D. BATAS TAAT KEPADA ULIL AMRI

Pemimpin atau penguasa mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia dalam syariat
Islam. Hal ini berkaitan dengan tinggi tugas dan besarnya tanggung jawab serta beratnya
beban yang mereka pikul, menjaga agama dan mengatur dunia sebagai pengganti tugas
kenabian. 
Kedudukan dan derajat yang tinggi diberikan kepada mereka sebagai hikmah dan
maslahat yang harus direalisasikan, sehingga tidak timbul kekacauan, kerusakan dan
musibah-musibah yang menyebabkan hilangnya kebaikan-kebaikan dan rusaknya agama
dan dunia.
Di antara dalil yang menunjukkan tingginya kedudukan pemimpin dalam syariat Islam
adalah Allah mengandengkan kata ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada Rasul-Nya
dengan ketaatan kepada penguasa sebagaimana firman Allah: 
ُ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَا ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوْ هُ اِلَى هّٰللا ِ َوالر‬
‫َّســوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
٥٩ - ࣖ ‫تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذلِكَ خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْياًل‬
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisa [4]: 59).
Mendiskusikan  tentang siapa,  apa, dan bagaimana  sebenarnya ulil al-amri  merupakan
masalah yang selalu menarik dan tidak habis-habisnya, dari dahulu hingga sekarang. Hal
ini dapat dilihat bagaimanamulai  organisasi  Islam,  perguruan  tinggi,  lembaga  kajian 
Islam  dan lain  sebagainya  berulang  kali  melakukan  diskusi,  seminar  dan  kajian
yang  mendalam  tentang  ulil al-amri.
Secara bahasa Ulīl adalah bentuk jamak dari wali yang berarti pemilik atau yang
mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka
itu banyak. Sedangkan kata al-amr adalah perintah atau urusan. Dengan demikian Ulil
Amri  adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslim. Mereka
adalah orang-orang yang bertanggung jawab dalam urusan kemasyarakatan (M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000, vol. 2, hlm. 460).
Dalam Tafsir At-Thabari disebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai
arti ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil
amri adalah umara. Sekelompok ulama lain menyebutkan, bahwa ulil amri itu
adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqih).
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud ulil amri adalah sahabat-sahabat
Rasulullah. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah hanya Abu
Bakar dan Umar.
Imam Al-Mawardi dalam kitab tafsirnya menyebutkan ada empat pendapat dalam
mengartikan kalimat ulul amri pada QS. An-Nisa [4]:59. 
ُ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَا ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوْ هُ اِلَى هّٰللا ِ َوالر‬
‫َّســوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
‫تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذلِكَ خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْياًل‬ 
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisa [4]: 59)
Pertama, ulil amri bermakna  umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin
masalah keduniaan). 
Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin
Abdullah, Al-Hasan, Atha, dan Abi Al-Aliyah. 
Ketiga, Pendapat yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat
Rasulullah ‫ﷺ‬. 

Keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada
dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar (Tafsir Al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500).
Menurut sebagian ulama, karena kata al-amr yang berbentuk ma‘rifah atau definit
memiliki wewenang kekuasaan yang terbatas hanya pada persoalan-persoalan
kemasyarakatan semata, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Untuk persoalan
akidah dan keagamaan murni harus dikembalikan kepada nash-nash agama (Al-Qur’an
dan As-Sunnah).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 1851), dari Abdullah ibn
Umar k, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah ` bersabda,  “Barangsiapa melepas
tangannya (baiatnya) dalam mentaati pemimpin, ia akan bertemu dengan Allah di hari
kiamat dengan tanpa memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada
baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.”Imam Ahmad bin Hanbal (w.
241 H) v, sebagaimana dalam Ushul As Sunnah hal. 64, berkata, “Wajib mendengar dan
menaati para pemimpin dan amirul mukminin yang baik maupun yang fajir (berbuat
kerusakan). Wajib pula menaati pemegang kuasa suatu kekhilafahan, dan setiap
pemimpin yang disepakati oleh masyarakat, ataupun penguasa yang mengalahkan suatu
wilayah dengan pedang (peperangan) hingga ia menjadi khalifah yang disebut amirul
mukminin di wilayah tersebut.”
Mentaati Pemimpin dalam Kebajikan
Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Kitab
dan As-Sunnah. Di antaranya Allah l berfirman,  “Hai orang-orang yang beriman,
ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’
[4]: 59)

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah
ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang
dengan lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin
memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban
dengar dan ta’at.Makna zhohir (tekstual) dari hadits ini adalah kita wajib mendengar dan
ta’at kepada pemimpin walaupun mereka bermaksiat kepada Allah dan tidak menyuruh
kita untuk berbuat maksiat kepada Allah.

Karena terdapat hadits Nabi ` dari Hudzaifah bin Al Yaman. Beliau ` bersabda, “Nanti
setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu,
pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di
tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya
adalah jasad manusia. “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan
jika aku menemui zaman seperti itu?”Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada
pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu.
Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan
hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah
Syamilah)
Padahal menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh
syari’at –tanpa ragu lagi- termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada
pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan ta’at kepadamu sampai engkau menaati
Rabbmu.” Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib
menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabbnya.Adapun jika
mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk
mendengar dan mentaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat)
adalah satu yaitu Allah l oleh karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila mereka
memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan ta’at.
Rasulullah ` bersabda,  “Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada
Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari
no. 7257)
Rasulullah ` juga bersabda,  “Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara
yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila
diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR.
Bukhari no. 7144)
Bersabarlah Terhadap Pemimpin yang Zhalim
Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka
berbuat zhalim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul
kerusakan yang lebih besar dari kezhaliman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar
terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala.
Allah l  tidak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang
ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan
yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-
sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita. Perhatikanlah
firman Allah l  berikut, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura [42] : 30)
Allah l  juga berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang
zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka
usahakan.” (Q.S. al-An’am [6]: 129)

Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezhaliman seorang pemimpin, maka


hendaklah mereka meninggalkan kezhaliman.

E. CONTOH PERILAKU SIKAP TAAT PERATURAN

Contoh Sikap Taat Hukum dalam Menghormati orang yang lebih tua.

 Mampu menunjukkan sikap yang sopan dan tidak bandel.


 Menyayangi antar anggota keluarga.
 Mendengarkan setiap nasihat positif yang diberikan setiap anggota
keluarga.
 Membagi tugas dan pekerjaan rumah secara adil.
 Menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
 Membantu orang tua dengan sungguh-sungguh.
 Tidak tidur larut malam atau bangun kesiangan setiap hari.
 Menggunakan tutur kata yang tidak menyinggung antar anggota
keluarga.
 Menghindari terjadinya perkelahian hebat, sampai-sampai terbawa ke
meja hijau.
 Tidak menipu, mengelabui, atau memanfaatkan anggota keluarga
lainnya untuk menjalankan perbuatan tidak terpuji.
Contoh Sikap Taat Hukum dalam Lingkungan Sekolah

 Datang dan pulang sekolah sesuai dengan ketentuan yang sudah


diberikan.
 Menggunakan pakaian serta atribut yang sudah ditentukan oleh pihak
sekolah.
 Mengerjakan tugas sekolah atau pekerjaan rumah dengan tepat waktu.
 Memperhatikan guru yang berbicara di depan kelas.
 Tidak membuat gaduh atau keributan selama pelajaran berlangsung.
 Menghormati seluruh warga sekolah.
 Mengikuti seluruh kegiatan wajib yang diadakan di sekolah.
 Menjaga nama baik sekolah.
 Tidak mengikuti tawuran antar pelajar.
 Tidak terjerumus dalam pergaulan bebas, rokok, hingga narkoba.
Contoh Sikap Taat Hukum dalam Masyarakat

 Menghormati tetangga di sekitar tempat tinggal.


 Mengikut kerja bakti dan gotong royong dengan senang hati secara
rutin.
 Tidak melanggar norma atau nilai yang berlaku di masyarakat.
 Ikut serta dalam menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan.
 Tidak membuat atau mengadakan kegiatan yang mengancam
ketertiban dan keamanan.
 Tidak membuat sampah sembarangan dan menjaga kebersihan.
 Membayar iuran masyarakat yang sudah disepakati bersama.
 Mematuhi jam malam bila sudah ada kesepakatan.
 Bertutur kata yang sopan, halus, dan tidak menghina ketika
bersosialisasi dengan tetangga sekitar.
Contoh Sikap Taat Hukum dalam Lingkup Bangsa/Negara

 Memiliki KTP saat usia sudah mencapai ketentuan.


 Memiliki SIM apabila sudah cukup umur dan berkendara sendiri.
 Membayar pajak negara dengan tepat waktu.
 Menjaga fasilitas umum yang sudah disediakan.
 Menjaga alam dan kebersihan lingkungan sekitar.
 Tidak menyuarakan sikap rasisme dan diskriminasi yang ditujukan
kepada warga negara lainnya.
 Tidak melakukan tindak kejahatan atau pidana.
 Mengikuti kegiatan kenegaraan yang bersifat wajib, misalnya Pemilu.
 Tidak melakukan gerakan provokasi yang bersifat memecah belah
bangsa dan negara.
Contoh Sikap Taat Hukum dalam Kehidupan Sehari-Hari Secara Umum

 Mematuhi peraturan lalu lintas.


 Menghindari tindakan kriminalitas.
 Tidak memanfaatkan kelemahan orang lain untuk mencapai tujuan
tertentu.
 Melaporkan kegiatan yang mencurigakan dan merugikan di masa depan
kepada pihak yang berwajib.
 Tidak membuat kegaduhan atau kerusuhan.
 Melakukan aksi peduli sosial ketika mampu.
 Mencegah tindakan yang berisiko mencelakai atau melukai diri sendiri
dan orang lain.
 Mau membantu sesama yang membutuhkan bantuan.
BAB II
KESIMPULAN

 Surat An Nisa ayat 59 berisi tentang perintah kepada manusia untuk taat kepada Allah,
Rasul dan para pemimpin di antara manusia. Sehingga para pemimpin sebenarnya
adalah penerus perjuangan para rasul utusan Allah sekaligus menjadi khalifah di muka
bumi.
 Surat An Nisa ayat 59 sering kali digunakan sebagai dalil hukum sumber Islam dalam
ilmu jinayah dan siyasah ilmu hukum Islam.
 Taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri adalah bagian dari iman seorang Muslim. Ini
bisa menjadi pedoman serta landasan dalam menjalani kehidupan beragama dan
bermasyarakat. Sebab, Allah, Rasul, dan ulil amri adalah sumber kebenaran.
 Taat memiliki arti tunduk (kepada Allah Swt., pemerintah, dsb.) tidak berlaku curang,
dan atau setia
 Batasan taat kepada ulil amri adalah kita harus mengiti dan menaati aturan pemimpin
apabila aturan etrsebut masuk kedalam kategori kebenaran . Namun apabila taat aturan
yang menjurus ke zalimann maka boleh bersabar dan meninggalkan aturan yang
membuat kita menjadi tidak nyaman
 Contoh dari taat aturan seperti tepat waktu dalam beribadah. Mematuhu aturan yang
dibuat, mengamalkan ilmu agama dan sebagainya
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M, D. 2010. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Alwasilah C. 2015. Pokoknya Studi Kasus Pendekatan Kualitatif. Bandung: PT.

Kiblat Buku Utama.

Budiningsih, A. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Darmadi, H. 2007. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung. Alfabeta..

Gunawan, H. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung:


Alfabeta.

Hamid, H dan Saebani, B.A. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.


Bandung: CV. Pustaka Setia.

Hamzah, A. 2014. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Bandung:


Alfabeta.

Hastuti, R.M. 2013. Implementasi Penanaman Nilai-Nilai Moral Sosial Melalui


Kegiatan Ekstrakurikuler Palanag Merah Remaja (PMR) di SMP Negeri 6
Surakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Skripsi. Surakarta: FKIP UMS.

Hidayat, N. 2015. Akidah Akhlak dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Ombak.

Anda mungkin juga menyukai