Disusun Oleh :
Kelompok 8
Kelas : FISIKA IIB
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Meskipun Islam datang dan berkembang di Indonesia lebih dari lima abad,
pemahaman dan penghayatan kita masih cenderung sinkretik; tarik menarik antara nilai-
nilai luhur Islam dengan budaya local.
Meskipun banyak mendapat kritik dari banyak pihak, Clifford greetz dipandang
telah berhasil mengkategorisasi islam di Indonesia dalam bukunya yang sering dirujuk
para penulis sesudahnya, yaitu The religion of java.
Kategorisasinya yang banyak dikritik banyak peneliti sesudahnya adalahpriyayi,
santri dan abangan. Kategorisasi tersebut dipandang “keliru” karena patokan (ugeran)
yang digunakan dinilai tidak konsisten. priyayi tidaklah sama dengan kategori santri dan
abangan. Priyayi adalah kelas social yang lawannya adalah wong cilik atau proletar.
Oleh karena itu, baik dalam golongan santri maupun dalam golongan abangan terdapat
priyayi (elite) maupun wong cilik. Kritik tersebut, antara lain dikemukakan oleh Zaeni
Muchtarom dalam karyanya, santri dan abangan di jawa (1988).
Paling tidak di Indonesia terdapat dua penelitian yang dilakukan secara
mendalam yang menjelaskan hubungan tradisi lokal dengan Islam. Pertama penelitian
yang dilakukan Clifford Greetz yang hasil penelitiannya pertama kali diterbitkan di
Amerika pada tahun 1960) Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Howard M federspiel
tentang persatuan Islam (PERSIS) yang diterbitkan di Newyork pada (1970).1
Selain itu masih banyak lagi budaya yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu,
yang faktanya hingga sekarang masih terdapat masyarakat Islam yang mengamalkan
budaya tersebut. Meskipun zaman sudah modern,tetapi sebagian dari mereka enggan
melepaskan budaya leluhur mereka. Karena mereka menganggap bahwa budaya itu
harus tetap dilestarikan, meskipun banyak lembaga yang tidak sepakat dengan
pengamalan budaya tersebut. Contoh: Muhammadiyah dan Persis, yang berusaha
melakukan pembaruan dengan melepaskan umat dari pengaruh-pengaruh non-Islam,
akan tetapi gerakan ini mendapat tantangan dari kalangan Nahdliyyin yang tetap pada
pendiriannya dalam melestarikan kebudayaan leluhur mereka (Atang dan Mubarok,
2katan Muhammadiyah dan Persis bukan semata-mata ingin menghancurkan para
pelestari budaya leluhur, melainkan untuk menyempurnakan amalan Islam yang
sesungguhnya, yang telah dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, Nabi
seluruh alam. Sebenarnya Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk
melakukan aqiqah, jika lahirnya anak dari pernikahan suami dan istri, dan itu pun
hukumnya sunnah, dilaksanakan ketika bayi berusia tujuh hari dari kelahirannya, untuk
bayi laki-laki aqiqahnya menyembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk bayi
perempuan aqiqahnya dengan menyembelih seekor saja. Tapi yang menjadi pertanyaan
mengapa para pendahulu kita mengadakan budaya slametan kelahiran anak yang begitu
banyak sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Padahal Nabi SAW
menganjurakan hanya satu kali slametan, yaitu aqiqah. Terlihatlah bahwa Islam
menganugerahkan kemudahan pada penganutnya.
Dan Jepang, yang amat maju di bidang tekhnologi dan ilmu pengetahuannya di
zaman sekarang ini. Sungguh umat Islam sekarang sudah tidak peduli dan merasa puas
Dengan adanya pertikaian amalan budaya ini, maka lahirlah dua kaum, yaitu
kaum tua yang cenderung statis, tidak mau mengalami perubahan dalam suatu ajaran.
Menurut Howard M. Federspiel dalam Atang dan Mubarok (2010: 192-193) kaum tua
meyakini bahwa kebenaran yang dilakukan dalam ajaran-ajaran ulama besar zaman
klasik dan zaman pertengahan tidak berubah, sehingga kebenarannya tidak perlu dikaji
ulang, mereka menuduh bahwa orang-orang yang menentang mereka adalah orang kafir
dan terkutuk, dan mereka yang tertuduh adalah kaum muda. Jadi sudah jelas bahwa
kaum muda adalah kaum yang mendukung perubahan radikal dalam pemikiran dan
praktik di nusantara.3
6 Hakim, Atang Abd. &Mubarok, Jaih.MOTODOLSTUDI ISLAM.(Bandung;PT REMAJA ROSDA KARYA,1999)hal 120
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN