Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam

“Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Seyyed Hossein Nasr”

DOSEN PENGAMPU

Djeprin. E. Hulawa, Dr., M.A

DISUSUN OLEH:
1. ABELIA AMANDA (12111323130)
2. FIKRI (12111312281)
3. HANIFA PERMATA SUKMA (12111322393)
4. WILDA RAMADHAN (12111310214)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur atas kehadirat Allah Swt. Karena berkat limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada
waktunya. Dalam makalah ini saya akan membahas mengenai “Pemikiran Filsafat
Pendidikan Islam Sayyed Hussein Nasr”. Dalam kesempatan ini kami menyampaikan
terimakasih kepada semua pihak yang member bantuan, dorongan dan arahan kepada
penyusun. Ucapan terimakasih tersebut kami sampaikan kepada:

1. Dosen Pengampu, yang telah memberi dukungan kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
2. Teman-teman Program Studi Pendidikan Geografi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Univeristas Islam Sultan Syarif Kasim Riau, yang juga telah memberi dukungan kepada
kami, hingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Semoga makalah ini mampu menambah pengetahuan, khususnya bagi kami sebagai
penyusun dan umumnya bagi pembaca itupun demi kesempurnaan dan kemajuan makalah ini
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ ii


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................................................................... 2
BAB II..................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 3
A. Biografi Sayyed Hussein Nasr .................................................................................................... 3
B. Pandangan Keagamaan Seyyed Hossein Nasr ............................................................................ 4
C. Gagasan Pendidikan Islam Seyyed Hossein Nasr ....................................................................... 5
D. Islamisasi Ilmu Pengetahuan ....................................................................................................... 8
E. Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr ................................................................................... 10
F. Kritik Nasr terhadap Ilmu Pengetahuan barat ......................................................................... 133
BAB III ................................................................................................................................................. 15
PENUTUP ............................................................................................................................................ 15
A. Kesimpulan ............................................................................................................................... 15
B. Saran ......................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ragam identitas agama dalam kehidupan manusia dapat menjadi faktor integrasi,
sekaligus dapat menjadi penyebab disintegrasi. Satu sisi agama menciptakan ikatan
bersama. Tetapi di sisi lain, agama sering kali disalahpahami yang menyebabkan agama
menjadi faktor perpecahan kehidupan sosial masyarakat. (Dwi Wahyuni, 2017: 83-91)

Permasalahan yang dihadapi umat Islam saat ini salah satunya adalah pendidikan.
Pendidikan Islam belum mampu untuk melahirkan ulama dan intelek secara bersamaan.
Mayoritas pendidikan hanya membidik satu sisi antara agama atau ilmu pengeahuan.
Padahal apabila kembali melihat sejarah Islam beberapa abad silam pendidikan
tradisional klasik telah mampu melahirkan sosok yang memiliki kematangan
kemampuan agama yang ditunjang oleh kematangan intelek. Dengan demikian akan
muncul keseimbangan pikir, dzikir dan serta membawa perubahan positif dalam sejarah
peradaban Islam.

Indonesia adalah salah satu negara yang mayoritas masyarakatnya memeluk


agama Islam. Pendidikan Islam di indonesia sudah ada sejak beberapa abad silam
dimulai dari pembelajaran agama Islam secara tradisional yang dilakukan di surau-
surau hingga kini menjadi lebih maju dan berkembang. Islam tidak hanya diajarkan di
surau-surau namun kini telah diajarkan di madrasah-madrasah hingga perguruan tinggi.
Melihat perkembangan serta perubahan yang pesat terhadap pendidikan Islam di
Indonesia namun tetap saja karakter (pendidikan akhlak) masih menjadi tujuan
pendidikan saat ini. Bahkan dalam merumuskan pendidikan karakter di Indonesia yang
banyak digunakan pemerhati pendidikan adalah konsep dan paradigma tokoh barat.
padahal tokoh tokoh dunia Islam tidak sedikit yang membahas konsep pendidikan
karakter.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Biografi Sayyed Hossein Nasr?
2. Bagaimana Pandangan Keagamaan Seyyed Hossein Nasr?
3. Jelaskan Gagasan Pendidikan Islam Seyyed Hossein Nasr?

1
4. Islamisasi Ilmu Pengetahuan ?
5. Bagaimana Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr
6. Bagaimana Kritik Nasr terhadap Ilmu Pengetahuan barat

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Biografi Sayyed Hossein Nasr?
2. Untuk mengetahui Pandangan Keagamaan Seyyed Hossein Nasr?
3. Untuk mengetahui Gagasan Pendidikan Islam Seyyed Hossein Nasr?
4. Untuk mengetahui Islamisasi Ilmu Pengetahuan ?
5. Untuk mengetahui Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr
6. Untuk mengetahui Kritik Nasr terhadap Ilmu Pengetahuan barat

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Sayyed Hussein Nasr

Seyyed Hossein Nasr lahir pada tanggal 7 April 1933 di kota Teheran Iran. Ia
lahir dari keluarga ulama dan fisikawan tradisional. Ayahnya adalah Seyyed Waliullah
Nasr, seorang ulama terkenal pada masanya dan seorang dokter yang berpengalaman
baik dalam ilmu pengobatan tradisionan dan ilmu pengobatan modern. Nama “Nasr”
yang berarti “kejayaan” adalah nama yang diambl dari gelar “Nasr Al Thibb” (kejayaan
para dokter) yang merupakan gelar yang diberikan oleh raja persia kepada kakeknya”.!
Selain itu ayahnya merupakan tokoh pendidikan dam diangkat setingkat menteri (masa
sekarang) pada masa pemerintahan Reza Shah.”1

Pendidikan dasarnya ia peroleh dari keluarga dan lembaga pendidika tradisional


di teheran. Pada lembaga tersebut ia mendapatkan pelajaran menghafal Al Our'an,
syair-syair serta budaya Persia. Dalam usia yang muda ia berdiskusi dengan ayahnya
terkait filsafat dan keagamaan dengan ayahnya Ayahnya merupakan orang yang
terpelajar yang berprofesi sebagai dokter, baik secara tradisional maupun modern,
selain daripada itu ayahnya juga dikenal sebagai seorang penyair.2 Hal ini
mempengaruhi pemikiran dan perkembangan intelektualnya. Hingga kemuadian
ayahnya mengirim Hossein Nasr untuk belajar kepada sejumlah ulama besar di Gum
Iran, termasuk Thabathaba'i penulis tafsir al Mi.an untuk mendalami filsafat, ilmu
kalam dan tasawuf.3

Nasr belajar di luar negeri sejak usia 12 tahun. tepatnya pada tahun 1945 setelah
Perang Dunia ke-II. Ia mengawali pendidikannya di Peddie Schooldi Highstown. New
Jersey pada tahun 1946. Di sekolah ini ia mempelajari sastra Inggris. sains, sejarah
Amerika, kebudayaan Barat dan agama Kristen.Nasr adalah murid yang cerdas

1
Seyyed Hossein Nasr, Islam Antara Cita dan Fakta, alih bahasa: Abdurrahman Wahud dan Hasyim Wahid,
Yogyakarta: Pustaka 2001, hlm. 151
2
2Ach. Maiumun, Seyyed Hossein Nasr, Pergulatan Sains dan Spiritualitas Menuju Paradigma Kosmologi
Alternatif, Yogyakarta: Ircisod, 2015, hlm. 43
3
Ibid., 341.

3
sehingga pada tahun kelulusannya ia mewakili kelasnya memberikan sambuutan dan
mendapat penghargaan Wrclifte Award penghargaan yang diberikan sekolah untuk
murid dengan prestasi tertinggi.4

Hossein Nasr melanjutkan pendidikan tingginya di Massachusetts Institute of


Technology (MIT) di Amerika Serikat dan meraih gelar B.Sc. (Bachelor of Science)
dalam bidang fisika dan matematika teoritis. Pada tahun 1954, Ia meraih gelar M.Sc.
dalam bidang geologi dan geofisika dari Harvard. Pada program doktoral Nasr merubah
haluan dan lebih tertari untuk menekuni filasafat dibanding ilmu sains. Ia menekuni
sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat dengan desertasi berjudul An Introduction to
Islamic Cos mological Doctrine di bawah promotor HAR dan meraih Ph.D. (Doctor of
Philosophy) dari Harvard pada tahun 1958. Selama menempuh pendidikan di Harvard,
Nasr banyak mengenal tokoh pemikiran filsafat seperti :Gibb, Massignon, Henry
Corbin, Titus Burchardt dan Schoun yang secara tidak langsung banyak mempengaruhi
pemikiran filsafat.5

B. Pandangan Keagamaan Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Husein Nasr adalah sosok muslim yang kritis dalam menanggapi berbagai
permasalahan yang terjadi dewasa ini. Kritik terhadap berbagai permasalahan tersebut
tidak anya disampaiakan secara lisan, nmaun ia juga menyapaikan gagasan gagasan
tersebut melalui tulisan sehingga banyak buku yang ditulis berkenaan dengan sains,
politik, filsafat, seni dan lain-lain. Secara keyakinana ia menganut Syiah Itsna
Asyarivah (Syiah 12).

Syiah berasal dari bahasa arab yaitu Syiah Ali yang bermakna “penyokong Ali”
yang merupakan khalifah ke-empat dari khulafaur rasyidin. Kelompok ini berawal dari
sebagaian kelompok yang sebenarnya menghendaki Ali bin Abi Thalib menjadi
pengganti Rosul memimpin umat Islam bukan Abu Bakar. Pendukung Ali menjadi
khalifah pengganti rosul akhirnya bergabung dan setelah kematian Ali di tangan

4
Ghazali, “Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr,” 13
5
Siti Binti AZ, “Spiritualitas Dan Seni Islam Menurut Sayyed Hossein Nasr (Spirituality and Islamic Art
accordingto Sayyed Hossein Nasr),”Harmonia: Journal of Arts Research and Education 6, no. 3
(2005),doi:10.15294/harmonia.v6i3.809

4
Khawarij kelompok ini semakin berkembang menjadi suatu gerakan politik keagamaan
yang terorganisir di Irak bahkan saat ini 1390 umat Islam di seluruh dunia menganut
ajaran syiah.6 Dalam “The Heart of Islam”, Nasr mengungkapkan bahwa kini syiah
terbagi menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Syiah Itsna Asyariyah. Golongan syiah memiliki pengikut yang paling banyak
dibanding dengan golongan golongan yang lain. Mereka meyakini 12 imam yaitu:
Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Ali bin Husain, Muhammad al
Bagir, Ja'far ash-Shadig, Musa al-Kadzim, Ali ar-Ridha, Muhammad al-Jawad, Ali
al-Hadi, Hasan al-Asykari dan Mahdi. Mahdi yang merupakan imam ke-12 diyakini
memiliki hidup yang panjang hingga akhir dunia tetapi berada di alam gaib. Kelak
ketika ketidakadilan serta penindasan telah merajalela ia kembali untuk
memperbaiki kondisi umat dan mempersiapkan kedatangan isa dari surga.

2. Syiah Ismailliyah. Golongan ini memisahkan diri dari mayoritas syiah karena
perdebatan identitas imam ke-tujuh. Hal tersebut dikarenakan imam syiah ke-enam
memiliki putra bernama ismail dan ia menunjukkan sebagai imam ke-tujuh. Namun
pada realitanya ismail meninggal ketika ayahnya Ja'far Ash-Shodig masih hidup
hingga golongan syiah menjadikan putra imam ke 6 yang bernama Musa al khadim
sebagai imam ke tujuh.

3. Syiah Zaidiyah. Cabang ketiga ini memilih zaid putra imam ke-empat sebagai
pemimpin mereka. Imam yang diyakini syiah bukan setingkat nabi, lebih pada
seorang mujjaddid (pembaharu) dalam agama. Hal ini berbeda dengan apa yang
sebagian orang tuduhkan atas syiah. Bahkan di kalangan mereka sendiri yang
menyamakan imam setara dengan nabi dianggap melakukan bid'ah.

C. Gagasan Pendidikan Islam Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa pendidikan Islam bukan hanya


pengajaran (ta'lim), namun lebih dari itu. Pendidikan Islam sudah seharusnya mampu
6
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan Pesan Universal Islam Unutk Kemanusiaan, trans. Nurasiah
Fakih Sutan Harahap (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), 78.

5
melatih seluruh potensi pada diri siswa (tarbiyah). Selanjutnya Nasr juga menyatakan
bahawa “guru” tidak cukup didefinisikan dengan muallim (penyampai pengetahuan)
namun lebih tepat dengan murabbi (pelatih jiwa dan kepribadian). Dengan demikian,
pendidikan Islam melatih pikiran, jiwa dan keseluruhannya. Ia tidak pernah
memandang pengehuan (transfer of knowledge) tanpa dibarengi dengan kematangan
moral dan spiritual.7'? Dalam konteks pendidikan saat ini model pendidikan Nasr dapat
ditarik pada pendidikan kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga aspek diajarkan
secara seimbang dan tidak didominasi oleh sebagaian saja. Dengan pendidian semacan
ini , akan memperoleh manusia yang memilki kualitas intelektual dan kualitas spritual
sehingga anatara pikir dan zikir dapat berjalan bersama.

Menurut Nasr, pendidikan Islam harus meliputi segala kehidupan muslim.


Pertama pendidikan dari keluarga yang mengajarkan dasar-dasar dari pengetahuan
agama, adat dan budaya. Pada masa sekolah awal sebaiknya anak dimasukkan ke
sekolah-sekolah agama untuk membangun pengetahuan dan kemampuan keagamaan.
Selanjutnya memasuki madarasah dan dilanjutkan ke jenjang universitas.8'! Selain itu di
beberapa lembaga pendidikan memiliki alur/tingkat pendidikan berjenjang sehingga
materi yang diterima akan semakin berkembang pula meskipun demikian kurikulum
sudah ditetapkan dan distandarkan negara.

Masjid yang merupakan tempat ibadah umat Islam sebaiknya terintegrasi dengan
lembaga pendidikan. Dengan adanya tempat ibadah serta pengkajian al-gur'an dan
agama nilainilai ilmu pengetahan tidak terlepas dari ajaran agama Islam. Hal tersebut
akan membuat atmosfir dimana ilmu agama yang menjadi dasar dan semangat dalam
mempelajari ilmu sains, begitu juga sebaliknya ajaran-ajaran sains akan memperkuat
keagamaan siswa yang mempelajarinya. Berkenaan dengan kurikulum secara general
Nasr mengklasifikasinya menjasi dua kategori, yaitu :

1. Sains keagamaan yang meliputi: hukum ilahi (syariah), prinsip-prinsip (ushul),


Islamic jurisprudence (figh), tafsir, hadis dan tauhid

7
Iqbal,Pemikiran Pendidikan Islam, 353
8
Ibid., 353–354

6
2. Sains intelektual yang meliputi: matematika, sain kealaman, filsafat, logika dan lain
sebagainya.9

Di beberapa sekolah, pengajaran dua kategori ini disampaikan secara integrasi


sehingga mampu mengantarkan siswa pada keduanya. Selain itu yang menjadi dari
model kurikulum di atas adalah mampu mengantarkan siswa unutk memperoleh
kebijaksanaan ilahi (al Hikmah al Ilaiyah) Model pembelajaran pendidikan Islam
seperti yang disampiakan di atasa bagi Seyyed Hossein Nasr memiliki tujuan untuk
menghantarkan peserta didik untuk mencapai pengerahuan tertinggi tentang tuhan yang
merupakan tujuan hidup manusia. Kesimbangan ilmu sains dan ilmu agama akan
mampu mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia,
sedangkan tujuan ultimatnya adalah kebahagiaan hidup yang abadi di alam baka
(akhirat).10

Melihat urgensi pendidikan dalam pengembangan mutu SDM umat Islam, Nasr
menambahkan bahwa sistem pendidikani Islam klasik telah mampu melahirkan ulama'
sekaligus intelek sepatut menjadi model bagi pengembangan model pendidikan saat ini
agar pendidikan tidak kehilangan ruhnya baik kepada tuhan maupun ke sesama
makhluk dalam arus dunia modern. Jika hal tersebut dapat diwujudkan maka
kebangkitan umat Islam sebagai bangsa terbaik dapat diukir kembali dalam sejarah
peradaban manusia.

Beberapa kondisi yang mempengaruhi pemikiran Nasr yaitu:


1. Kondisi Politik
Menelusuri tempat arus pemikiran politik Islam, apabila Persia ditarik ke dalam
dunia Asia, Iranlah yang memungkinkan hal itu. Ini dibuktikan dengan meletusnya
revolusi Islam di Iran. Tahun 1979 merupakan revolusi Islam di Iran, sedangkan
pada tahun 1905 terjadi revolusi Persia terhadap Bani Qajar. Selama periode Bani
Qajar, kaum ulama Syi’ah telah memainkan peran penting dalam kehidupan umum
dan memelihara hak-hak istimewa yang telah mapan.

9
Ibid., 254.
10
Ibid., 355

7
Pada saat pemerintahan dipimpin oleh Pahlevi (1925-1978), agama dan juga para
ulama pasif dan jauh dari politik, hal ini karena agama dikendalikan secara hati-hati.
Dampak modernisasi yang luas dari program modernisasi Pahlevi hanya dapat
dirasakan oleh sekelompok minoritas elite tertentu, dan kemilaunya kota modern
menutupi kondisi aktual kaum urban yang miskin dan masyarakat desa iran.
Perasaan kecewa mulai tumbuh dan menyebar di kalangan masyarakat luas pada
tahun 1970-an. Keprihatinan akan intervensi asing dan ketergantungan pada Barat
tidak hanya dirasakan oleh sekelompok tradisional tetap juga oleh generasi terpelajar
modern yang mengetahui politik di Iran, dengan demikian, kondisi politik masa
Pahlevi menyiratkan usaha sistematis meminggirkan peran ulama dalam kehidupan
politik dan perannya di masyarakat.

2. Kondisi Sosial Budaya


Pada masa Reza Syah dan Muhammad Reza Syah Pahlevi kehidupan sosial
budaya mengalami pergeseran yang cukup tajam, yaitu bergerak ke arah sekuler.
Kehidupan masyarakat Iran yang sudah kental dengan religius-spiritual mulai diarahkan
pada hal-hal yang bersifat materialis sekuler. Syah sangat berambisi untuk memajukan
negerinya dengan mengadakan modernisasi dalam segala bidang walaupun harus
mengorbankan sosio-kultural yang lama untuk diganti dengan yang baru atau dengan
kata lain westernisasi. Dengan kecendrungan itu Syah Iran menjadi simbol kafir bagi
Muslim Iran.

D. Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Konflik yang terjadi antara agama dan sains menimbulkan dikotomi keilmuan
antara ilmu agama dan sains, seakan-akan dua ilmu ini tidak akan pernah berjalan
bersama. Hal tersebut terjadi hingga saat ini sehingga muncul ide-ide untuk
menggabungkan antara agama (khususnya agama Islam) dengan sain dalam bingkai
“Islamisasi sains”. Salah satu tokoh yang mengusung ide tersebut adalah Seyyed
Hossein Nasr seorang tokoh muslim yang sering mengkritisi keadaan serta
permasalahan yang terjadi dalam tubuh umat Islam. Selain Hossein Nasr ada beberapa
tokoh yang juga mengususng ide tersebut seperti Al Farugi dan Naguib Al Attas

8
melihat kenyataan bahwa pada hakikatnya Islam mendorong umatnya untuk
mempelajari sains.

Permasalahan konflik antara agama dengan sain bukan bersumber dari ajaran
agama Islam Islam. Permasalahan tersebut muncul pada abad pertengahan ketika
otoritas gereja menjatuhkan hukuman kepada Galileo Galilei pada tahun 1663.
Hukuman tersebut dilatar belakangi oleh teori Copernicus (bahwa bumi dan planet-
planet mengelilingi matahari (heliosentris)) oleh Galileo Galilei. Teori tersebut
berlawan dengan teori Ptolomeus yang didukung oleh Aristoteles dan otoritas gereja
yang meyakini bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentris). Seseorang tentu
tidak bisa mempercayai kedua teori tersebut akibatnya apabila ia mempercayai
kebenaran agama (kristen) akan belawan dengan kebenaran ilmu pengetahuan,
sedangkan apabila mengikuti kebenaran ilmu pengetahuan akan mengingkari kebenaran
agama dan dituduh sebagai kafir.11" Hal inilah yang menjadi awal dikotomi antara
agama (kristen) dan sains. Terdapat kesalahan istilah yangn seharusnya hanya berlaku
untuk agama kristen namun digeneralisasikan dengan kata agama yang berdampak
memberi stimulus bahwa semua agama berlawanan dengan sains.

Sejarah dikotomi agama di barat menyebar hingga paradigma tersebut kini


menjadi paradigma global termasuk agama Islam. Dalam ajaran agama Islam hal
tersebut sudah pasti menjadi paradigma yang bertolak belakang karena agama Islam
menganjurkan manusia unutk mengemabngkan ilmu pengetahuan. Salah satu tokoh
muslim yang intens menanggapi permasalahan tersebut adalah Seyyed Hossein Nasr. Ia
menolak dikotomi keilmuan karena sesungguhnya anatara agama Islam dan sains saling
berhubungan. Bahkan kandungan ajaran agama Islam memerintahakan umat Islam
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Nama kitab suci umat Islam berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Al Our'an
(bacalah), Al Furgan (ketajaman) dan Ummul Kitab (induk kitab). Al Our'an sendiri
menagcu secara praktis dalam setiap babnya untuk mementingkan ilnteleksi dan ilmu
pengetahuan dan ayat pertamam kali diturunkan dengan bacaan (igra”),

11
Kurniawan, “Dikotomi Agama Dan Ilmu Dalam Sejarah Umat Islam Serta Kemungkinan Pengintegrasiannya.

9
mengimplikasikan pengetahuan dan sains (ilm menjadi ta'lim (mengajar) dan allama
(memahami).12

Seyyed Hossein Nasr dalam mengemukakan gagasan Islamisasi sains, Ia menulis


buku dengan judul Science and Civilisation in Islam (Sains dan Peradaban di Dalam
Islam) pada tahun 1968 dan diterbitkan oleh Hardvard University Press, Cambridge,
Massachusetts. Dalam buku tersebut ia mengungkapkan perkembangan sains dan
agama pada masa kejayaan Islam dapat berjalan secara harmonis. Bagaimana para
ulama mengembangkan sains dengan spirit keagamaan sehingga tujuan dari
pengembangan keilmuan tersebut sejalan dengan tujuan agama yaitu menuju Allah
SWT. Dalam perumpamaan itu ia mengumpamakan bahwa sains yang dipelajari oleh
para ulama seperti ranting dalam sebuah pohon yang memiliki satu kesatuan dengan
batangnya.13

E. Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr

Filsafat Perennial atau Philoshopia perennis, secara etimologis berasal dari bahasa
Latin yaitu perennis, yang artinya kekal, selama-lamanya atau abadi, sehingga acapkali
disebut filsafat keabadian. “Philoshophv Perennis is the universal gnosis which always
has existed and always will exist” Nasr pernah mengatakan bahwa Filsafat Perennial
adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu bersifat universal. Maksudnya
“ada” adalah akan selalu ada dalam setiap zaman dan setiap tempat, mengingat sifatnya
yang universal.14

Filsafat Perennial muncul pertama kali disinyalir oleh Augustinus Steuchus


sebagai judul karyanya De Perenni Philoshopia yang diterbitkan pada tahun 1540.
Kemudian term ini dibumingkan oleh Leibnitz melalui suratnya pada tahun 1715,
dengan membicarakan jejak kebenaran dikalangan filosof kuno dan tentang pemisahan
antara yang gelap dan terang.15 Sebenarnya pokok kajian filsafat perennial telah ada

12
Seyyed Hossein Nasr,Pengetahuan Dan Kesucian, trans. Suharsono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 12.
13
Seyyed Hossein Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, trans. J. Mahyudin (Bandung: PUSTAKA,
1968),23.
14
Arqom Kuswanjono,Ketuhan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama diIndonesia,
(Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, 2006, Cetakan I), 21.
15
Leibnitz sendiri tidak pernah menyebutnya dengan term perennial dalam karyanya

10
sejak masa-masa sebelumnya. Hanya saja, tertutupi dengan masa setelahnya. Masa
dimana manusia lebih mementingkan kehidupan materialistik sehingga jauh dari nilai
spiritualitas. Hal ini, ditandai pula dengan munculnya filsafat baru di barat, yang
pemikirannya lebih menekanakan pada evolusi pemikiran dan “kemajuan”. Muncul
pula modernitas, yang menjanjikan kehidupan yang lebih dari sebelumnya. Akan tetapi,
realitanya menyimpang dari jargonnya. Jargon modernisme ditentang sengit oleh
postmodernisme. Postmodernisme beranggapan bahwa modernitas telah gagal
melaksanakan tugasnya.

Filsafat Perennial dilatar belakangi oleh masalah agama, yang selalu mengklaim
dirinya adalah yang terbaik, sehingga sering terjadi pergejolakan dan pertentangan.
Filsafat perennial hadir, bukan untuk menyamakan semua agama, akan tetapi, untuk
menyelaraskan dan menyadarkan. Bahwa setiap agama adalah sama. Sesuatu yang
keluar dari yang satu pada hakikatnya adalah sama. Hadirnya filsafat perennial, bukan
berarti menyamakan antara agama yang satu dengan yang lain, akan tetapi bertujuan
untuk menumbuhkan rasa toleransi antar manusia.

Filsafat perennial dalam hal ini bukanlah berarti menyamakan semua agama atau
ingin menciptakan agama universal. Akan tetapi, justru membuka jalan terhadap
pendakian spiritual melalui tradisi-tradisi keagamaan yang berkembang dalam setiap
agama. Nasr berpendapat, filsafat perennial mengakui adanya tradisi sakral sebagai
sesuatu yang berasal dari surga (heaven) atau asal ilahiah (divine origin) yang harus
dihargai dan dihormati dengan layak.16

Filsafat perennial dalam telaahnya menggunakan dua pendekatan, yakni


pendekatan eksoteris dan pendekatan esoteris. Pendekatan eksoteris berfungsi sebagai
pijakan terhadap pemahaman tentang Tuhan melalui wahyu, sedangkan esoteris adalah
pemahaman langsung tentang Tuhan melalui penyatuan seluruh potensi kemanusiaan
atau yang dikenal “mistik”. Wilayah eksoteris meliputi tradisi, ritual, persepsi moral,
dan bidang institusi. Sedangkan esoterisme meliputi hikmah transendental dan kesatuan

16
Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme AgamaIndonesia,
(Yogyakarta: CV. Arindo Pustaka, 2006, Cetakan I), 4.

11
mistik, kesadaran yang bersumeber dari pengetahuan secara langsung.17 Dua aspek
inilah yang diterapkan filsafat perennial dalam mengenal tuhan, karena untuk
memahami tuhan tidak boleh menafikan salah satunya.18

Pemikiran Nasr terpengaruh dalam tradisional syi'ah yang masih kental dalam
hidupnya. Apalagi ia hidup dalam ketegangan antara pemikiran Barat dan Timur. Dan
peradaban Barat yang mulai mempengaruhi umat muslim. Pergolakan dimulai setelah
pasca renainsance di barat dengan jargonnya menderivasi antara pengetahuan, sains,
dan agama. Yang dikenal dengan masa modernitas. Hal ini, dimulai pada abad XVII,
sekaligus puncak kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, positivisme dari
dogma kristen. Nasr berpendapat, krisis peradaban Barat modern bersumber dari
penolakan (negation) terhadap hakekat manusia dan penyingkiran nilai spiritual secara
gradual dalam kehidupan mereka.19

Modernitas mencanangkan bahwa dirinya mampu menyelesaikan masalah-


masalah dalam hidupnya. Akan tetapi, janji sang modernitas bukan menentramkan,
malah menjauhkan manusia dari nilai-nilai spiritualisme. Nasr berpendapat, akibat
terlalu mengagungkan rasio sehingga manusia modern mudah dihinggapi penyakit
kehampaan spiritualitas. Kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan filsafat
rasionalisme abad 18 dirasakan tidak mampu mencukupi kebutuhan nilai-nilai
transenden, suatu kebutuhan ilahi yang hanya mampu diperoleh dari wahyu.20

Dekadensi humanistik pada zaman modern diakibatkan hilangnya pengetahuan


langsung manusia mengenai diri dan keakuan yang senantiasa dimilikinya, karena ia
hanya menyandarkan dirinya pada pengetahuan yang tidak langsung atau pengetahuan
eksternal. Pengetahuan ini sifatnya masih dinilai dangkal, yang senantiasa menghadang
manusia kepada matahari illahi.21

17
Ahmad Hariyadi, Konsep Ketuhanan Seyyed Hossein Nasr dalam Perspektif Filsafat Perennial,dalam skripsi
Uinsa, 3
18
Ibid..,8-9.
19
Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme
Islam” Seyyed Hossein Nar,(Surabay: Pustaka Pelajar, 2003, Cetakan I), 8.
20
Ibid..,83.
21
Seyyed Hossein Nar, “Islam dan Nestapa Manusia Modern”,(Bandung: Pustaka, 1983, cetakanI), 6.

12
Menurut Nasr manusia modern hanya berkutat sebatas eksistensinya saja. Tidak
pada“ Pusat spiritualitas dirinya” sehingga ia lupa siapa dirinya.22 Oleh karena itu,
timbullah pertanyaan siapakah manusia, asal-muasal, dan untuk apa di dunia ini. Dalam
menanggapi pertanyaan ini, sejak dari Descartes berusaha menyelesaikan masalah ini.
Akan tetapi, bukan keberhasilan yang diperoleh malah jauh dari nilai eksistensi dan
jauh dari mengenal hakikat dirinya.23

Term yang dikemukakan Nasr tentang “Tradisionalisme” atau Javidan Khirad


atau Sanatha Darma dalam agama Hindu dan al-Khikmah al-Khalidah dalam bahasa
Arab atau Sophia Perenis. Nasr menginginkan baik di dunia Barat maupun timur
khususnya Islam. Kepada dunia Barat, ia menyarankan ajaran esoterisme Islam sebagai
jalan alternatif untuk keluar dari krisis tersebut. Dengan kembali kepada hikmah
spiritual agama, manusia modern akan dapat membimbing dirinya sendiri dari
pinggiran lingkaran menuju ke arah titik pusat (center).24

Termasuk dalam agama, yang hadir untuk menyatukan dan memperbaiki umat,
malah keluar dari esensi yang sebenarnya. Hal ini, juga dialami oleh Agama Islam,
Nasrani, Yahudi, dan agama lainnya. Schingga timbullah pemikiran manusia untuk
menanggulangi problem-problem yang terjadi disetiap agama. Nasr juga menyinggung
terma Scientia Sacra yakni suatu pengetahuan suci (Sacred Knowledge) yang berada
dalam jantung setiap wahyu. Dan ia adalah pusat dari segala wahyu. Sekaligus sebagai
sentral dalam tradisi lingkungan. Nasr mencanangkan tradisi sebagai al-din al-Sunnah,
yaitu segala sesuatu yang didasarkan atas model-model sakral yang sudah menjadi
kebiasaan turun-temurun dikalangan masyarakat tradisional.25

F. Kritik Nasr terhadap Ilmu Pengetahuan Barat

Hossein Nasr tinggal di barat cukup lama sejak menginjak usia 12 tahun paska
perang dunia ke-II seperti yang telah di jelaskan pada pembahasan sebelumnya. Dari
22
Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis,Agama Masa Depan, Perspektif FilsafatPerennial,(Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Umum, 2003), 2.
23
Ahmad Hariyadi,Konsep Ketuhanan Seyyed Hossein Nasr dalam Perspektif Filsafat Perennial,(Surabaya:
UINSA, 2011), 2.
24
Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern Telaah Siignifikansi...,201.
25
Arqom Kuswanjono, Ketuhan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama diIndonesia,
(Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, 2006, Cetakan I), 62.

13
hal tersebut ia memberikan kritik terhadap pemahaman/konsep ilmu pengetahuan yang
tumbuh dan berkembang di barat. Ia menilai bahwa ilmu pengetahuan (sains) barat
bercirikan positivistik artinya nyata, terukur, teramati, pasti dapat diprediksi, dan dapat
diulang.

Positivistik barat tidak dapat menjangkau hal hal yang bersifat metafisika,
sebagaimana yang diyakini oleh Nasr. Hal tersebut menjadi cacat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan di barat, karena tidaks semua pengetahuan dapat didekati dengan
menggunakan pendekatan positivistik seperti alam gaib, kehidupan setelah kematian
dan lain sebagainya. Melihat fakta yang terjadi dalam konsep yang berikembangan di
barat, Nasr merasa perlu untuk melakukan islamisasi ilmu dalam rangka
mengembangkan teori positivistik yang hanya terbatas pada suatu yang nampak saja
guna dapat menangkap ilmu pengtahaun yang tak bisa diukur secara wujud bendanya.
Dengan adanya islamisasi ilmu maka perkembangan ilmu pengtahuyan untk
menjangkau hla-hal yang tak nampak akan lebih mudah serta memasukkan value (nilai)
dalam upaya pengambagan ilmu pengtahuan. Karena bagian dari positivistik adalah
bebas nilai (value free) yang hal tersebut sering kali melanggar norma-norma
kemanusiaan. Dengan islamisasi ilmu pengetahuan maka pengembangan ilmu
pengeahuan akan memasukkan nilai (value bound) dalam pengamabangannya untuk
kesejahteraan umat manusia.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Seyyed Husein Nasr memfokuskan dirinya untuk mengakaji masalah masalah


yang berkaitan dengan ajaran agama Islam. Keinginan tersebut muncul bukan di awal-
awal masa studinya akan tetapi keinginan tersebut justru muncul di puncak
pendidikannya (doktoral) setelah berdiskusi dan bertemu dengan banyak orang. Meski
berlawanan dengan objek kajiannya pada bachelor dan magister yang lebih pada
pengkajian ilmu sains. Namun menurut hemat pemakalah keinginan tersebut justru
muncul ketika ia melihat bahwa dalam dunia modern ada/muncul dikotomi antara
pendidikan agama dan sains yang menurut Nasr kedua ilmu tersebut tidaklah terpisah
karena antara satu dengan yang lain saling menguatkan serat memiliki keterikatan yang
erat.

Pemikiran Hossein Nasr secara tajam mengkritisi kondisi muslim dan bagaimana
seharusnya Islam diterapkan dari berbagai bidang politik, filsafat, seni hingga
pendidikan. Menurut Nasr pendidikan Islam tidak bole memisahkan (ilmu) agama dan
sains.

B. Saran

Kami menyadari bahwa makalah ini tentunya masih banyak terdapat kekurangan,
kekeliruan dan kesalahan. Oleh karena itu kami harapkan kritik dan saran dari
pembaca sekalian yang sifatnya membangun, demi menuju kesempurnaan makalah-
makalah kami yang akan datang. Atas kritik dan saran saudara kami ucapkan
terimakasih.

15
DAFTAR PUSTAKA

WAHYUNI, Dwi; YURNARLIS, S. A. F. H.; IDRIS, Mhd. Filsafat Perenial Dan Dialog
Agama: Studi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr. Jurnal Al-Aqidah, 2021, 13.1: 103-
116.
HARYATI, Tri Astutik. Modernitas dalam Perspektif Seyyed Hossein Nasr. Jurnal
Penelitian, 2011, 8.2: 307-324.
AZ, Siti Binti. “Spiritualitas Dan Seni Islam Menurut Sayyed Hossein Nasr (Spirituality
andIslamic Art according to Sayyed Hossein Nasr ).”Harmonia: Journal of Arts
Researchand Education 6, no. 3 (2005). doi:10.15294/harmonia.v6i3.809.
Ghazali, Rafi ’ah. “Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr .” Laporan Penelitian.
Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat, 2013.
Iqbal, Abu Muhammad.Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Kurniawan. “Dikotomi Agama Dan Ilmu Dalam Sejarah Umat Islam Serta Kemungkinan
Pengintegrasiannya.”STAIN KUDUS.
Nasr, Seyyed Hossein.Pengetahuan Dan Kesucian. Translated by Suharsono.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1997
The Heart of Islam: Pesan Pesan Universal Islam Unutk Kemanusiaan. Translated by
Nurasiah Fakih Sutan Harahap. Bandung: Mizan Media Utama, 2003.

Armia. 2013.“Kesatuan Agama-agama dan Kearifan Perennial dalam Perspektif


Tasawuf ”.dalam Jurna Al-Tahrir. Sumatera Utara: t.p.

Hariyadi, Ahmad. 2011.Konsep Ketuhanan Seyyed Hossein Nasr dalam Perspektif Filsafat
Perennial. dalam skripsi. Surabaya: t.p.

Hidayat, Komaruddin & Muhammad Wahyuni Nafis. 2003.Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perennial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum

Kuswanjono, Arqom. 2006.Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme


Agama di Indonesia.Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media

Maksum, Ali. 2003.Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern Telaah Signifikansi


Konsep “Tradisionalisme Islam” Seyyed Hossein Nasr .Surabaya: Pustaka Pelajar

Nasr, Seyyed Hossein. 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Bandung:Pustaka.

16

Anda mungkin juga menyukai