Popper
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metodologi (ilmu tentang metode) adalah bagian epistemologi (teori pengetahuan) yang
mengkaji tentang urutan langkah-langkah yang ditempuh agar pengetahuan yang diperoleh
memenuhi ciri-ciri ilmiah. Metodologi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika yang
mengkaji kaidah penalaran yang tepat. Bernalar secara tepat itu penting. Benar tidaknya cara kita
berpikir, menganalisa, melogika, dan menarik kesimpulan mempengaruhi pengetahuan yang kita
dapat dan kebenarannya. Manakala kita membicarakan metodologi, maka hal yang tak kalah
pentingnya adalah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan
dalam aktivitas ilmiah.
Asumsi-asumsi yang dimaksud adalah pendirian atau sikap yang akan dikembangkan
para ilmuan di dalam kegiatan ilmiah mereka. Filsuf-filsuf yang paling banyak menaruh
perhatian terhadap persoalan penting dibalik metodologis atau prinsip-prinsip metodologi yaitu
Rene Descartes, Alfed Jules Ayer, dan Karl Raimund Popper. Dan untuk lebih jelasnya tentang
pemikiran mereka akan dibahas dalam bab selanjutnya.
A. Rene Descartes
Descartes adalah putra seorang ahli hukum. Ia lahir di La Haye Perancis pada tanggal 31
Maret 1596 dan meninggal di Stockholm Swedia pada tanggal 11 Februari 1650 pada umur 53
tahun, ia juga dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur berbahasa Latin yang artinya
seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Ayahnya mengirim dia ke sekolah pada umur
delapan tahun. Ia bersekolah di Jesuit College of La Flèche antara tahun 1606 dan 1614. Karena
kesehatannya yang kurang baik, Descartes diizinkan menghabiskan waktu paginya belajar di
tempat tidur, suatu kebiasaan yang dipandangnya berguna sehingga dilanjutkannya sepanjang
hidupnya.[1]
Pada umur 20 tahun ia mendapat gelar sarjana hukum dan juga sebagai ahli matematika.
Kemudian selanjutnya menjalani kehidupan seorang yang terhormat, menjalani dinas militer
beberapa tahun lalu tinggal beberapa waktu di Paris, kemudian di Belanda. Dia bergabung
dengan paduan suara para filsuf abad 17 termasuk Bacon, Hobbes dan Locke. Pada 1618 dia
pergi ke Holland (Belanda) untuk melayani tentara angkatan darat Prince Maurice of Nassau,
saat dalam perjalanan ke Jerman bersama para tentara angkatan darat itu. Pada malam 10
November, dia mengalami serangkaian mimpi yang dia artikan sebagai tanda-tanda bahwa dia
akan menemukan suatu ilmu yang universal (a universal science). Selanjutnya ia pergi ke
Swedia diundang untuk mengajari Ratu Christina dimana ia meninggal karena pneumonia pada
tahun 1650.
Descartes meneliti suatu metode berpikir yang umum yang akan memberikan pertalian
dan pengetahuan dan menuju kebenaran dalam ilmu-ilmu. Penelitian itu mengantarnya ke
matematika, yang ia simpulkan sebagai sarana pengembangan kebenaran di segala bidang. Karya
matematikanya yang paling berpengaruh ialah La Geometrie, yang diterbitkan pada tahun 1637.
Pengembangan kalkulus tidak mungkin tercapai tanpa dia. Di dalamnya ia mencoba suatu
penggabungan dari geometri tua dan patut dimuliakan dengan aljabar yang masih belm
berkembang pada waktu itu. Bersama dengan seorang Perancis lainnya, Pierre Fermat (1601-
1665), ia diberi penghargaan dengan gabungan tersebut yang saat ini kita sebut sebagai geomtri
analitik, atau geometri koordinat. Pengembangan lengkap kalkulus tidak mungkin ada tanpa
teorinya terlebih dahulu. Descartes benar-benar yakin bahwa penemuan metode yang tepat
adalah kunci dari meningkatnya pengetahuan.
Pengaruh yang paling penting bagi Descrates pada saat itu adalah ahli matematika Issac
Beeckman. Issac Beeckman mendorong Descartes dengan memberikan sejumlah masalah dan
mendiskusikan masalah-masalah fisika dan matematika. Karya penting pertama Descartes adalah
"Regulae or Rules for the Direction of Mind" yang ditulis pada tahun 1628, tetapi tidak
diterbitkan hingga 1701. Karya ini menunjukkan minat Descartes pada metode yang dia bagikan
kepada beberapa ilmuwan, ahli matematika dan filsuf abad 16 dan 17. Salah satu sumber metode
ini adalah matematika kuno. Tiga belas buku "Euclid's Elements" merupakan contoh dari
pengetahuan dan metode deduktif.
Pada November 1628 Descartes berada di Paris, dimana dia menjadikan dirinya terkenal
saat bertentangan dengan Chandoux. Chandoux mengaku bahwa ilmu hanya bisa didasarkan
pada kemungkinan. Pandangan ini mencerminkan dominasi skeptisisme lingkaran intelektual
Renaissance di Perancis. (This view reflected the dominance in French intellectual circles of
Renaissance skepticism.) Pandangan skeptis ini berasal dari krisis religius di Eropa yang
merupakan akibat dari Reformasi Protestan dan diperparah dengan penerbitan "Sextus
Empiricus" dan pencerminan ketidak setujuan antar penulis klasik. Keadaan ini diperparah lagi
dengan pertimbangan-pertimbangan tentang perbedaan budaya antara budaya, Dunia Baru dan
Eropa, dan oleh perdebatan tentang sistem Copernican baru. Semuanya ini telah disusun
sedemikian rupa oleh Montaigne dalam karyanya, "Apology for Raymond Sebond", dan
dikembangkan oleh para pengikutnya. Descartes diserang dengan pandangan ini, hanya
mengakui bahwa kepastian bisa dijadikan sebagai dasar pengetahuan dan bahwa dia sendiri
memiliki suatu metode untuk mendapatkan kepastian itu.
Menurut Rene Descartes, dia merasa akan dapat berpikir lebih luas bilamana ia berpikir
berdasarkan metode yang rasionalistis untuk menganalisis gejala alam. Dengan pemikiran yang
rasionalistis itu, orang mampu menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan yang berguna seperti ilmu
dan teknologi. Menurutnya kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu, baik logika deduktif
maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang
berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi
manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu berdasarkan rasio dan pengalaman.
Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri
kepada pengalaman. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya
jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu
sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama
idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi
pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui manusia
lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru
sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasionil itulah maka
kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pengalaman yang
didapatkan manusia lewat penalaran rasional.
Adapun teori berpikir yang rasionalistis menurut Rene Descartes yaitu sebagai berikut:
1. Dalam penyelesaian masalah tidak boleh menerima begitu saja hal-hal yang belum diyakini
kebenarannya.
2. Menganalisis dan mengklarifikasikan setiap permasalahan melalui pengujian yang teliti
kedalam sebanyak mungkin bagian yang diperlukan bagi pemecahan yang adequat (memadai).
3. Menggunakan pikiran dengan cara diawali dengan menganalisis sasaran-sasaran yang paling
sederhana dan paling mudah untuk diungkapkan.
4. Dalam setiap permasalahan dibuat uraian yang sempurna serta dilakukan peninjauan kembali
secara umum.
BAB II
PENUTUP
Simpulan:
Adapun simpulan yang diambil dari pokok pemikiran para filsafat tentang prinsip
metodologi ilmu yaitu:
Rene Descartes (tentang teori berpikir yang rasionalistis):
1. Dalam penyelesaian masalah tidak boleh menerima begitu saja hal-hal yang belum diyakini
kebenarannya.
2. Menganalisis dan mengklarifikasikan setiap permasalahan melalui pengujian yang teliti
kedalam sebanyak mungkin bagian yang diperlukan bagi pemecahan yang adequat (memadai).
3. Menggunakan pikiran dengan cara diawali dengan menganalisis sasaran-sasaran yang paling
sederhana dan paling mudah untuk diungkapkan.
4. Dalam setiap permasalahan dibuat uraian yang sempurna serta dilakukan peninjauan kembali
secara umum.
Alfred Jules Ayer (tentang teori verifikasi):
Suatu cara sederhana untuk merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat
itu mengandung makna, jika dan hanya proposisi yang diungkapkan itu dapat dianalisis atau
dapat di verifikasi ini sehingga mengatasi kelemahan yang dapat diverifikasi secara empiris.
Karl Raimund Popper (teori prinsip falsifikasi) :
1. Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan
kebenarannya melalui prinsip verifikasi.
2. Popper menolak Cara kerja metode induksi yang secara sistematis yang dimulai dari
pengamatan (observasi), karena pengamatan yang berulang-ulang itu akan dirumuskan menjadi
hipotesa.
3. Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu bahwa
sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Sehingga sebuah hipotesa yang teori
kebenarannya bersifat sementara dapat diganti dengan hipotesa yang baru apabila hipotesa yang
pertama dinyatakan salah, sehingga ilmu pengetahuan berkembang di dalamnya.