RENE DESCARTES
A.
Pendahuluan
Era filsafat modern dimulai sejak munculnya pemikiran positivisme dan
rasionalisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa ilmu alam
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak hal-hal
yang bersifat metafisik.
Sedangkan rasionalisme secara umum diartikan sebagai teori yang
menyatakan bahwa kebenaran ditentukan melalui pembuktian, logika dan analisis
yang bisa diterima oleh akal manusia. Ciri khas dari aliran filsafat ini adalah
semboyan yang berbunyi Corgito Ergo Sum yang berarti saya berpikir, maka
saya ada.
Selain rasionalisme, ada beberapa aliran lain yang ikut meramaikan dunia
akademik filsafat, diantaranya:
1. Empirisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa segala pengetahuan berasal
dari pengalaman. Aliran ini menolak anggapan bahwa manusia membawa
pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Tokoh-tokohnya antara lain
David Hume, George Berkeley dan John Locke.
2. Idealisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa mental dan ideasional sebagai
kunci untuk mencapai kebenaran realitas. Tokoh-tokohnya antara lain Johan
G. Fitcher, Hegel dan Immanuel Kant.[1]
Pada dasarnya aliran-aliran filsafat ini mencoba untuk mengemukakan
teori-teori pengetahuan untuk memperoleh kebenaran akan pengetahuan tersebut.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.
Dalam hal realitas yang bisa dijangkau oleh panca indera manusia, kebenaran dari
pengetahuan tersebut bisa dibuktikan melalui pengujian secara ilmiah, pendekatan
melalui akal pikiran terhadap benda-benda yang nyata yang bertemu langsung
antara subjek dan objeknya. Sedangkan hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh
panca indra manusia dan bersifat abstrak, mendapatkan kebenaran pengetahuan
tersebut bisa dilakukan dengan berpikir dan merasakan dengan pengalaman.
Perancis. Pada tahun 1606 ia mengikuti pendidikan di Jesuit College yang berada
di kota La Fleche. Selama menempuh studi disana, ia menjadi siswa kesayangan
gurunya, walaupun Descartes menyatakan bahwa ia hanya mendapatkan sedikit
ilmu dan lebih banyak memberikan perhatian pada studi matematika. Pada tahun
1616, Descartes mendapatkan gelar Baccalaureat dan Licence dalam bidang
hukum dari University of Poitiers.
Pada tahun 1618, Descartes berangkat ke Belanda untuk bergabung
dengan pasukan Perancis dibawah pimpinan pangeran Maurice dari Nassau.
Disana ia bertemu dengan Isaack Beckman yang kemudian bersama-sama
menciptakan sebuah nada musik yang dikenal dengan Compendium Musicae.
Pada tahun 1619, ia berangkat ke Jerman dalam misinya bersama pasukan
Perancis. Pada malam tanggal 10 November, setelah seharian merenung dan
berpikir, ia mendapatkan mimpi yang ditafsirkannya sebagai pertanda dari Tuhan
(divine sign) yang dianggap sebagai takdir hidupnya untuk menemukan kesatuan
ilmu alam pada matematika. Pada masa itu ketertarikannya sangat tertuju pada
hukum alam dan matematika yang diinspirasi oleh Isaac Beckman.
Pada tahun 1628, Descartes menulis karya pertamanya yang tidak pernah
terselesaikan yang berjudul Regulae ad Directionem ingenii (aturan dalam
pengarahan pikiran) yang dikerjakannya dalam kurun waktu satu tahun. Karyanya
tersebut menunjukkan bahwa Descartes telah menyibukkan diri dengan metodemetode untuk memajukan ilmu alam (scientific advance), sebuah metode yang
berdasarkan inspirasi hitungan matematika, walaupun ditujukan sebagai metode
penyelidikan rasional pada berbagai keadaan subjek dan hal-hal lain. Pada bulan
November 1628, Descartes membuat dirinya terkenal melalui pertentangan
(perbedaan pendapat) dengan Chandoux yang menganggap ilmu (science) hanya
bisa dibangun dari kemungkinan-kemungkinan. Sedangkan menurut Descartes,
kepastian absolut yang menjadi dasar pengetahuan manusia dan ia mempunyai
metode untuk membuktikannya.
Pada tahun 1629, Descartes menulis tentang Le Monde (The World) yang
merupakan hasil penyelidikan ilmiahnya tentang alam. Ketika ia mendengar
penghukuman Galileo yang mengajarkan sistem Copernican, ia membatalkan
penerbitan Le monde tersebut. Kejadian itu merupakan hal penting dalam hidup
masukan
penting
bagi
Descartes.
Model
Perancis
yang
dari
objek
yang
paling
mudah
dimengerti,
kemudian
menjawab hal yang paling mudah. Misalkan meneliti kepribadian dan cara
berpikir seseorang untuk mengetahui sejauh mana ia menilai kebenaran dari
sebuah pengetahuan. Hal yang paling mudah bisa saja dengan mengetahui sejarah
hidupnya,
kemudian
latar
belakang
intelektualnya,
dilanjutkan
dengan
pemilihan
bahasanya
yang
kemudian
dilanjutkan
dengan
melihat
kebiasaannya sehari-hari.
Langkah terakhir adalah verifikasi terhadap semua masalah yang ada dan
memberikan tanda tertentu terhadap permasalahan yang sudah diselesaikan. Hal
ini bertujuan agar tidak ada masalah yang tertinggal atau luput dari penyelesaian.
Semua masalah yang telah diselesaikan ditinjau kembali untuk mendapatkan
pemahaman yang tepat terhadap kebenaran yang didapatkan.
Langkah-langkah diatas terkesan cukup sulit untuk dilakukan dalam
perenungan dan penelitian ilmu alam. Leibniz menanggapi metode tersebut
dengan cara yang mudah, yaitu: ambil apa yang kamu perlukan, lakukan apa yang
harus kamu lakukan, dan kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan.
Adapun pemikiran filsafat Descartes yang dirangkum dalam wikipedia
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Pengetahuan yang Pasti
Menurut Descartes, pengetahuan adalah sesuatu yang tidak ada lagi
keraguan di dalamnya. Metode yang digunakannya adalah meragukan semua
pengetahuan yang ada hingga ia mendapatkan kesimpulan bahwa ada tiga
pengetahuan yang bisa diragukan, yaitu:
Fakta umum tentang dunia seperti api itu panas dan benda yang berat akan
jatuh. Ia juga menyatakan bahwa mimpi yang berulang kali bisa memberikan
pengetahuan tentang sesuatu.
membuktikan
keberadaan
Tuhan,
Descartes
mencoba
Metafisika
Menurut Descartes, realitas itu terdiri dari tiga hal, yaitu: benda material
yang terbatas seperti objek-objek fisik, benda-benda mental yang terbatas seperti
pikiran dan jiwa manusia, dan benda mental yang tidak terbatas yaitu Tuhan. Ia
juga membedakan pikiran dan tubuh manusia yang membawanya kepada
pembagian ilmu, yaitu realitas material sebagai ranah bagi keilmuan baru seperti
yang dibawa oleh Galileo dan Copernicus, dan realitas mental bagi ranah
keilmuan seperti ilmu agama, etika dan sejenisnya yang tidak berkaitan dengan
objek material.
Hasil pemikiran Descartes yang dijelaskan dalam tiga bagian diatas
cenderung merupakan hasil refleksi yang disampaikannya dalam buku
Meditations. Pengetahuan yang pasti dengan metode keraguannya adalah langkah
awal dalam perenungan. Dilanjutkan dengan berpikir untuk menemukan
eksistensi diri terdapat pada perenungan kedua. Pengetahuan akan Tuhan terdapat
dalam perenungan ketiga. Perenungan keempat membahas tentang objek material.
Pada perenungan kelima membahas tentang pembuktian keberadaan Tuhan.
Pengetahuan akan metafisika dibahas dalam perenungan keenam. Dibawah ini
akan dijelaskan tentang enam langkah perenungan (meditasi) filsafat rasionalisme
yang juga dianggap sebagai dasar awal terbentuknya aliran rasionalisme tersebut.
Meditasi Pertama: Apa Saja yang Bisa Diragukan
Sejak dilahirkan, manusia diberikan pengetahuan yang diajarkan terusmenerus seiring pertumbuhannya, baik ajaran dari keluarga, lingkungan,
masyarakat, sekolah ataupun yang lain yang merupakan refleksi dari pikirannya.
Semua pengetahuan tersebut tertanam dalam pikiran manusia, begitu dalam
hingga apa saja yang ada dalam pikiran mereka semua dianggap benar sesuai
dengan apa yang telah diajarkan dan dimasukkan dalam pikiran tersebut. Ketika
manusia mencapai titik kesadaran tertentu dimana dia berhadapan dengan realitas
yang berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran mereka selama ini, mulai timbul
keraguan yang semakin dalam apakah pengetahuan tersebut sudah benar, ataukah
masih perlu dikaji ulang.
Lebih jelasnya jika diilustrasikan pada diri penulis. Saya hidup dalam
lingkungan yang mempunyai adat, tradisi dan agama. Saya terikat pada hukumhukum yang berlaku pada tiga hal tersebut. Seiring pertumbuhan saya dan minat
saya dalam mengetahui sebuah hal secara lebih dalam dan terperinci, saya melihat
banyak perbedaan antara apa yang saya pelajari dengan apa yang terjadi dalam
kenyataan (realitas). Apa yang saya temukan dari hasil penglihatan, percobaan,
dan berpikir lebih dalam (seeing deep insight), mengantarkan saya pada sebuah
kesadaran bahwasanya semua hal yang sudah tertanam di dalam pikiran saya
dapat diragukan kebenarannya. Saya semakin tertarik untuk mengetahui hal
tersebut dan berusaha untuk menemukan sebuah pengetahuan yang tidak dapat
lagi diragukan kebenarannya. Descartes berkata :
But to accomplish this, it will not be necessary for me to show all my
opinions are falls, which is something i could perhaps never manage. Reasons
now leads me to think that i should hold back my assent from opinions which are
not completely certain and indubitable just as carefully as i do from those which
are patently false.
Tidak semua pengetahuan yang tertanam di dalam pikiran harus
diragukan, ada beberapa juga yang harus dipertahankan yang belum bisa
diragukan. Untuk mencapai pengetahuan yang benar, alasan diperlukan sebagai
tolak ukur bahwasanya pengetahuan itu tidak bisa diragukan kembali.
Cara untuk menolak semua pengetahuan yang dimiliki (opinions) dapat
dilakukan dengan menemukan alasan untuk meragukan pengetahuan tersebut.
Ketika kebenaran baru telah ditemukan dengan menggunakan alasan tersebut,
maka kebenaran pengetahuan yang lama yang berada dalam pikiran akan hilang
dengan sendirinya. Apapun yang saya terima sebagai hal yang paling benar harus
saya yakinkan baik dalam sense (indera/perasaan) maupun melalui perasaan
tersebut. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, saya menemukan bahwasanya
perasaan dan sense saya ternyata menipu. Akan lebih bijak jika saya tidak
mempercayai orang atau apapun yang telah menipu saya.
Walaupun sense kita terkadang menipu untuk mempercayai objek yang
kecil dan jauh, ada keyakinan lain yang lebih tidak mungkin untuk diragukan
walaupun itu berasal dari sense. Contohnya: saya sedang duduk diatas api,
menggunakan pakaian musim dingin (jaket yang sangat tebal dan hangat) sambil
memegang beberapa kertas. Pertanyaannya adalah apakah tubuh itu benar-benar
milik saya? Apakah saya sedang bermimpi atau dalam keadaan sadar? Mimpi
ataupun sadar, pengetahuan yang saya dapatkan itu ada dan tertanam dalam
pikiran.
Ini adalah sebuah alasan yang tepat. Apapun keadaan saya, baik tidur
ataupun terjaga, pengalaman yang saya rasakan dan pengetahuan yang saya
dapatkan tetap sama. Ketika saya bermimpi sedang menggunakan jaket yang
tebal, saya merasa jaket itu benar-benar ada dan pengalaman/pengetahuan yang
saya dapatkan juga ada sekalipun ketika terbangun saya dalam keadaan tanpa
busana. Jadi, apapun yang bisa dikhayalkan baik dari segi bentuk tubuh atau
warna-warna dan apa yang ada di bumi itu nyata sekalipun hanya dalam pikiran
kita.
Bisa disimpulkan bahwa fisika, astronomi, kedokteran dan disiplin ilmu
lain yang memerlukan pengajaran (study) untuk menggabungkan sesuatu bisa
diragukan. Sedangkan aritmatic, geometry dan hal-hal lain yang lebih sederhana
sekalipun dia nyata atau tidak di dunia ini mengandung kepastian dan tidak bisa
diragukan kembali.
Meditasi Kedua: Pikiran Alami Manusia.
Seperti yang telah dijelaskan pada meditasi pertama, segala sesuatu yang
dapat diragukan bisa dianggap sebagai hal yang palsu. Oleh karena itu dibutuhkan
sebuah metode untuk menemukan hal atau pengetahuan yang tidak bisa diragukan
dan tidak bisa digoyahkan oleh hal lainnya. Sebuah pernyataan menarik dari
Descartes dalam meragukan pengetahuan yang ada, yaitu:
I will Suppose then, that everything I see is spurious. I will believe that
my memory tells me lies, and that none of the things that it reports ever happened.
I have no senses. Body, shape, extensions, movement and places are chimeras. So
what is remains true? Perhaps just the one fact that nothing is certain.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan siapa yang memasukkan pengetahuan
dalam pikirannya, apakah itu Tuhan atau apapun sebutan-Nya. Tapi mengapa ia
bisa berpikiran seperti itu sedangkan ada kemungkinan bahwa ia yang menuliskan
pengetahuan tersebut ke dalam pikirannya. Oleh karena itu, ia menganggap bahwa
dirinya adalah sesuatu yang dia yakini ada (exist). Akan tetapi di sisi lain ia juga
menerima bahwa ada kekuatan besar dan cerdas yang ikut mempengaruhi diri dan
pikirannya. Menurut Descartes, dalam kasus ini ia menganggap bahwa
keberadaan dirinya tidak dapat diragukan lagi. Sekalipun ada kekuatan di dalam
dirinya yang mempengaruhi pikirannya, kekuatan tersebut tidak akan bisa
meyakinkan bahwa dirinya tidak ada selama ia berpikir bahwa ia adalah sesuatu.
Disinilah kemudian muncul istilah Cogito Ergo Sum, saya berpikir maka saya ada.
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa ada beberapa pengertian yang
terkait dengan Cogito Ergo Sum, antara lain:
manusia sudah membuktikan jika dirinya ada (exist). Pikiran adalah kunci
keberadaan manusia. Hal ini berimplikasi jika manusia atau sesuatu tidak berpikir
maka dia tidak ada. Sedangkan istilah kedua yaitu Sum Res Cogitans, saya adalah
sebuah benda yang berpikir.
Dari sini Descartes mulai menaruh pijakannya bahwa manusia adalah
sebuah benda yang berpikir, benda yang mempunyai mental yaitu pikiran itu
sendiri. Sebuah benda yang bisa meragukan, bisa mengerti, bisa menegaskan, bisa
menolak, bisa berkehendak ataupun tidak berkehendak, bisa berimajinasi dan
mempunyai pemikiran sendiri. Klaim seperti ini tentu bertentangan dengan ajaran
agama yang menyatakan manusia adalah makhluk, bukan benda. Ini salah satu
bukti rasionalitas dalam berfilsafat yang dikemukakan oleh Descartes.
Meditasi Ketiga: Keberadaan Tuhan.
Seperti yang telah disinggung pada meditasi pertama, Descartes
mengemukakan bahwasanya ada sebuah kekuatan besar dan memiliki kecerdasan
yang memasukkan pengetahuan ke dalam pikiran manusia. Kekuatan besar dan
memiliki kecerdasan yang digambarkan Descartes sebagai makhluk yang
sempurna ini disebut sebagai Tuhan. Descartes melanjutkan pemikirannya untuk
mengetahui eksistensi Tuhan.
Setelah menyatakan dirinya adalah benda yang bisa berpikir, Descartes
mencoba untuk melanjutkan pemikirannya terhadap sesuatu yang berada dalam
dirinya yang belum ia sadari. Kembali ke pemikiran awalnya bahwa ia meragukan
berbagai hal yang ada di dunia ini, baik itu bumi, langit, bintang dan apapun yang
bisa dipahami dengan sense (indera/perasaan). Walaupun begitu, ia menyadari
bahwa ada sesuatu di luar dirinya yang sudah terbiasa ia yakini sebagai sumber
ide yang muncul di pikirannya.
Disini ia mulai membuka kembali pengetahuan yang ada dalam
pikirannya. Descartes berkata:
Indeed, the only reason for my later judgement that they were open to doubt was
that it occured to me that perhaps some God could have given me a nature such i
was deceived even in matters which seemed most evident. And whenever my
preconceived believe in the supreme power of God comes to mind, I can not but
admit that it would be easy for him, if he so desired, to bring it about that I go
wrong even in those matters which I think I see utterly clearly with my minds
eye.
Dari pernyataan tersebut, Descartes mengakui bahwa Tuhan itu ada dan
mempunyai kemampuan untuk mengubah persepsi atau pandangannya menjadi
salah jika Tuhan berkehendak sekalipun Descartes sudah melihat dengan jelas
melalui mata dan pikirannya. Pernyataan Descartes berikutnya adalah pijakan
awal untuk mengetahui keberadaan Tuhan dengan meragukan adanya Tuhan,
yaitu:
And since I have no cause to think that there is a deceiving God, and I do
not yet even know for sure there is a God at all, any reason for doubt which
depends simply on this supposition is very slight and, so to speak, metaphysical
one. But in order to remove even this slight reason for doubt, as soon as the
opportunity arises I must examine whether there is a God, and, if there is, whether
he can be deceiver.
Langkah pertama yang dilakukan Descartes untuk membuktikan
keberadaan Tuhan yaitu dengan memisahkan pikirannya dalam beberapa hal yang
terperinci dan membedakan mana yang benar (truth) dan mana yang palsu
(falsity). Hal ini berguna agar ia bisa mengkategorikan mana yang ia sebut dengan
kehendak (volition) atau perasaan (emotion) dan yang mana ia sebut dengan
penilaian (judgement). Ketika pengetahuan yang ia terima berdasarkan kehendak
dan perasaan yang ada dalam pikirannya, maka tidak ada kekhawatiran
pengetahuan tersebut jatuh kepada kepalsuan (falsity). Ia juga menjaga pikirannya
agar tidak sampai membuat penilaian (judgement) yang pada akhirnya membuat
ia melakukan kesalahan. Diantara ide-ide yang muncul dalam pikirannya,
beberapa merupakan pengetahuan yang didapatkan sejak lahir, beberapa
didapatkan dengan cara tidak sengaja, dan beberapa lainnya merupakan
pengetahuan yang ditemukan dalam proses berfilsafatnya.
Langkah selanjutnya, Descartes memisahkan antara objek dan ide. Objek
adalah hal di luar pikiran yang menjadi sumber pengetahuan yang bisa ditangkap
langsung oleh indera manusia. Sedangkan ide adalah persepsi yang ada dalam
pikiran tentang objek tersebut sekalipun objek tersebut tidak ada (exist) atau
abstrak.
Descartes menyadari bahwa tidak mungkin ada celah untuk berbuat salah atau
salah menilai jika semua yang ada pada dirinya datang dari Tuhan. Oleh karena
itu, jika ia terus berpikir tentang Tuhan dan memberikan seluruh perhatiannya
kepada Tuhan, dia tidak menemukan sebab apapun untuk berbuat salah (error or
falsity). Akan tetapi, jika ia kembali kepada dirinya sendiri, dengan pengalaman
yang ia miliki, ia menyadari bahwa dirinya rawan untuk melakukan kesalahan
(error). Dari sini ia mengetahui bahwa ia mengakui dan berpikir secara nyata
tentang hal-hal positif yang berasal dari Tuhan yang maha sempurna, dan juga ia
mengakui ada sisi negatif dan kekurangan sebagai akibat dari ketidaksempurnaan
tersebut.
Di sisi lain Descartes menjelaskan bahwa kekeliruan (error) disebabkan
kurangnya pengetahuan yang ada dalam dirinya. Hal ini jauh berbeda dengan
kemampuan Tuhan yang maha tahu. Lebih lanjut Descrates menjelaskan
perbedaan antara dirinya dan Tuhan:
For since I now know that my own nature is very weak and limited, whereas the
nature of God is immense, incomprehensible and infinite. I also know without
more ado that he is capable of countless things whose cause are beyond my
knowledge.
Hal itulah yang menjadi alasan bagi Descrates untuk mencari tahu sebab
yang tidak bisa diungkap dalam ilmu fisika dengan pertimbangan bahwa dirinya
mempunyai kemampuan untuk mengetahui tujuan Tuhan. Oleh karena itu, untuk
mengetahui apakah ciptaan Tuhan itu sempurna sesuai dengan diri-Nya yang
sempurna, jangan hanya melihat pada satu ciptaan-Nya saja, akan tetapi lihat
seluruh dunia secara luas.
Langkah berikutnya yang digunakan Descartes adalah dengan melihat jauh
ke dalam dirinya sendiri dan menyelidiki kekurangan atau ketidaksempurnaan
yang ada pada dirinya yang menyebabkan ia bisa melakukan kekeliruan. Ia
menyadari ada dua pengetahuan yang terdapat dalam dirinya, yaitu pengetahuan
yang didasarkan pada pilihan dan pengetahuan yang didasarkan pada kebebasan
berkehendak, yang mana kedua pengetahuan tersebut bergantung pada
kemampuan berpikir (intelektual) dan kehendak secara bersamaan.
seimbang dengan alam dan tidak memerlukan kajian lebih dalam karena mereka
akan tetap seperti itu.
Akan tetapi, yang menjadi masalah kemudian, Descartes menemukan
banyak gagasan tentang benda-benda yang mungkin saja tidak eksis di luar
dirinya dan tidak bisa dikatakan tidak ada (nothing). Ia kemudian memberikan
contoh dalam bentuk segitiga yang mana sering digunakan dalam rumus-rumus
matematika. Segitiga tersebut merupakan sebuah benda luar yang masuk dalam
pikirannya hingga ia bisa memastikan bahwa segitiga itu ada dan nyata. Berbeda
ketika membicarakan tentang Tuhan. Tuhan ditemukan dari hasil perenungan jauh
ke dalam hati (diri) dan pikiran yang mana Tuhan akan selalu ada dan mempunyai
alam-Nya sendiri seperti halnya bentuk dan angka yang mengikuti sifat alaminya.
Lebih lanjut ia menjelaskan dua bagian penting dari alam, yaitu esensi
(inti) dan eksistensi (keberadaan). Manusia merupakan esensi dari bukti eksistensi
Tuhan. Ada pernyataan menarik dari Descartes ketika membahas eksistensi
Tuhan, yaitu:
However, even granted that I cannot think of God except as existing, just
as I cannot think of a mountain without a valley, it certainly does not follow from
the fact that i think from mountain with a valley that there is mountain in the
world, and similiarly, it does not seem to follow from the fact that i think of God
as existing that he does exist. For my tought does not impose any necessity on
things, and just as I imagine a winged horse even though no horse has wings, so i
may be able to attach existence to God even though no God exist.
Dari pernyataan diatas, Descartes dengan rasionalitasnya tidak terlalu
yakin dengan keberadaan Tuhan, tetapi ia yakin bahwa apa yang eksis dalam
pikirannya adalah eksis menurut pemikirannya walaupun tidak ada bukti nyata
akan keberadaan hal tersebut.
Descartes menyimpulkan meditasi ini dengan menyatakan bahwa ia telah
menyadari akan keberadaan Tuhan dan mengerti bahwa semua hal bergantung
pada-Nya, dan Tuhan bukan seorang penipu. Ia juga membuat kesimpulan bahwa
semua hal yang sudah jelas baginya dan bisa dibedakan dengan benar merupakan
komponen yang dibutuhkan untuk mencapai kebenaran. Ia juga menyatakan,
selama ia masih bisa mengingat dengan jelas dan menyadari dengan nyata tentang
sesuatu, maka tidak ada argumen atau alasan lain yang bisa membuat ia ragu akan
hal tersebut, bahkan ia memiliki kebenaran dan pengetahuan yang pasti akan hal
tersebut.
Meditasi Keenam: Keberadaan Benda Material dan Perbedaan Jelas Antara
Pikiran dan Tubuh
Sebelum menjelaskan tentang benda material, Descartes menanamkan
dalam pikirannya bahwa ada kemungkinan benda material itu ada dan tidak ada
keraguan lagi bahwa Tuhan memiliki kemampuan untuk menciptakan apapun
yang mana ia memiliki kemampuan untuk menyadari ciptaan Tuhan tersebut.
Selain itu ia juga menyatakan bahwa keberadaan benda material itu dinyatakan
oleh bakat imajinasi yang mana ia menyadari penggunaannya ketika mengarahkan
pikirannya kepada benda material. Descartes berkata: For when I give more
attentive consideration to what imagination is, it seems to be nothing else but an
application of the cognitive faculty to a body which is intimately present to it, and
which therefore exist.
Langkah awal yang digunakan Descartes untuk menjelaskan benda
material adalah menjelaskan perbedaan antara imajinasi dan pemahaman dasar
(pure understanding). Ia memberikan contoh ketika ia membayangkan sebuah
segitiga. Ia tidak sekedar memahami bahwa itu bentuk yang terbuat dari tiga garis,
akan tetapi pada saat yang sama ia juga melihat tiga garis tersebut dengan mata
pikirannya (minds eye) seperti yang diperlihatkan padanya. Hal ini ia sebut
sebagai imajinasi. Ia menyadari imajinasi memerlukan cara yang khas dan unik
dari pikiran yang mana tidak membutuhkan pemahaman dalam mengetahuinya.
Cara berpikir yang khas ini secara jelas menunjukkan perbedaan antara imajinasi
dan pemahaman dasar.
Dari kemampuan berimajinasinya, Descartes meyakini ada sesuatu yang
memberikan pengetahuan padanya tentang hal-hal yang belum bisa dicapai oleh
inderanya sehingga ia bisa membayangkan sesuatu sekalipun sesuatu itu belum
ada. Kemudian ia membedakan dengan jelas perbedaan antara imajinasi dan
pemahaman dasar, yaitu: Ketika pikiran memahami sesuatu, ia akan menggali
pengetahuan yang ada di dalam pikiran tersebut dan mencari gagasan yang ada di
dalamnya. Sedangkan ketika berimajinasi, pikiran akan menjelajahi seluruh tubuh
dan mencari sesuatu pada tubuh tersebut yang sesuai dengan gagasan yang
dipahami oleh pikiran atau disadari oleh perasaan.
Disamping menggunakan teori matematika yang bersifat exact seperti
contoh diatas, ada kebiasaan imajinasi lain yang digunakan oleh Descartes.
Seperti membayangkan tentang warna, suara, rasa, sakit dan yang lain sejenisnya.
Now i perceive this thing much better by means of the senses, which is how, with
the assistance of memory, they appear to have reached the imagination. So in
order to deal with them more fully, I must pay equal attention to the senses, and
see whether the things which are perceived by means of that mode of thinking
which i call sensory perception provide me with any sure argument for the
existence of corporeal things.
Dalam pernyataan diatas ia mengenalkan sebuah istilah baru yang disebut
dengan sensory perception (tanggapan pancaindera) yang merupakan sebuah cara
berpikir baru untuk hal-hal yang abstrak yang memberikan argumen pasti
terhadap eksistensi benda-benda jasmani.
Kemudian ia menjelaskan metode yang dipakai untuk membedakan antara
pikiran dan tubuh. Metode ini dimulai dengan mengembalikan semua hal yang
disadari atau dipahami oleh panca indera dan menganggap bahwa hal-hal tersebut
adalah benar, menemukan alasan untuk memikirkan hal ini (perbedaan tubuh dan
pikiran). Kemudian menetapkan alasannya dan menempatkan hal-hal tersebut
dalam keraguan. Langkah terakhir adalah mempertimbangkan satu-persatu yang
mana yang harus diyakini kebenarannya.
Langkah paling awal adalah kesadaran dengan menggunakan panca indera
bahwa ia memiliki kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh yang lain yang
merupakan bagian dari dirinya. Ia juga menyadari bahwa ia bisa merasakan
sesuatu yang menyenangkan seperti kebahagiaan dan yang tidak menyenangkan
seperti rasa sakit. Ia juga menyadari bahwa dirinya memiliki rasa yang bermacammacam seperti rasa lapar, haus, maupun hal-hal lain kecewa, sedih, marah dan lain
sebagainya. Selain itu ia juga bisa mengetahui adanya cahaya, warna, bau dan
rasa. Ia tidak bisa menjelaskan kenapa ia harus makan, merasa kering ketika
kehausan dan dengan refleks pikirannya mengatakan ia harus minum, kecuali
karena hal tersebut terjadi secara alami.
menjadi salah satu masterpiece ciptaan-Nya yang paling sempurna dari sifat
kesempurnaan yang dimiliki-Nya.
F. Epistimologi Pemikiran
Epistimologi pemikiran Descartes tentang rasionalisme terbagi pada
beberapa pengertian, yaitu:
Sumber dan Hakikat Pengetahuan
Sumber pengetahuan adalah rasio atau akal budi. Semua pengetahuan
berasal dari akal. Dengan berpikir, manusia bisa menjelaskan semua fenomena
yang terjadi di sekitarnya serta bisa menunjukkan eksistensi dan menguji setiap
pengetahuan yang ia terima selama ini sehingga kemudian ia bisa mendapatkan
sebuah pengetahuan baru yang ia yakini kebenarannya.
Sedangkan hakikat pengetahuan adalah apriori, yaitu setiap manusia
memiliki landasan pengetahuan dasar tanpa harus mengalami secara langsung
atau pengetahuan sebelum pengalaman. Pengetahuan yang dimiliki dan diberikan
sejak lahir harus diragukan kebenarannya. Dengan meragukan pengetahuan
tersebut, manusia bisa menguji kembali pengetahuan itu satu persatu hingga
didapatkan pengetahuan yang benar dan tidak bisa diragukan kembali.
Alat Pengetahuan
Alat pengetahuan yang digunakan adalah akal pikiran. Akal pikiran
manusia adalah ciptaan dari Tuhan yang maha sempurna dan sebagai bukti dari
kesempurnaan Tuhan itu sendiri. Dalam hal ini, ia membedakan antara imajinasi
dan pemahaman dasar. Imajinasi adalah perluasan dari pemahaman dasar terhadap
suatu objek yang diolah oleh pikiran sehingga menemukan sebuah pengetahuan
baru.
Metode Memperoleh Pengetahuan
Langkah dasar yang dilakukan Descartes dalam memperoleh pengetahuan
adalah dengan berpikir. Setelah ia menyadari akan proses berpikirnya, kemudian
ia meragukan semua pengetahuan yang ia miliki dan mulai menyelidiki
pengetahuan itu satu persatu dalam pikirannya. Dalam menentukan mana
pengetahuan yang bisa dan tidak bisa diterima, ia menggunakan alasan untuk
memutuskannya hingga mendapatkan sebuah pengetahuan yang tidak bisa
diragukan lagi kebenarannya.
Teori Kebenaran
Teori yang digunakan adalah teori koherensi, yaitu suatu pernyataan
dinilai benar jika tidak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan lain yang
telah dipastikan kebenarannya sebelumnya, atau ada urutan logis antar kebenaran
pernyataan yang ada dengan kebenaran pernyataan berikutnya.
Pengujian atau Validasi kebenaran Pengetahuan
Dari penjelasan pada pembahasan sebelumnya dapat diketahui bahwa
Descartes cenderung mengumpulkan seluruh pengetahuan yang ia miliki,
kemudian mengujinya satu persatu hingga diperoleh pengetahuan pasti yang tidak
bisa diragukan kembali. Metode ini lebih dikenal dengan metode deduksi, yaitu
mengumpulkan semua pengetahuan umum yang kemudian ditarik satu
kesimpulan dalam sebuah pengetahuan yang pasti.
Descartes berpendapat bahwa manusia memiliki pengetahuan bawaan
yang diterima dari Tuhan sudah terjamin kebenarannya. Disamping itu, manusia
memiliki akal pikiran yang diberikan oleh Tuhan yang maha sempurna, sehingga
segala pikiran yang diberikan oleh Tuhan tersebut adalah benar dan pengetahuan
yang diberikan juga pasti benar. Dengan kata lain, pengetahuan yang diyakini
berasal dari Tuhan adalah pengetahuan yang benar, sedangkan pengetahuan yang
dihasilkan oleh manusia masih bisa diragukan kebenarannya. Dengan cara
berpikir seperti ini, maka pengetahuan yang muncul adalah benar.
Sebagai contoh, panas. Panas merupakan sesuatu yang tidak bisa dilihat,
melainkan hanya dirasakan. Pengetahuan akan panas ini sudah terdapat dalam
pikiran manusia sejak mereka lahir. Begitu indera mereka merasakan panas baik
dari api maupun cuaca, pikiran langsung merespon dan mengatakan bahwa ini
adalah panas. Ini adalah kebenaran dari pengetahuan yang sudah ada dan tidak
bisa diragukan kembali.
G. Kesimpulan
Berdasarkan pengalaman penulis, pemikiran Descartes merupakan sesuatu
yang alami dan bisa dijadikan landasan dalam memperoleh serta menguji
pengetahuan. Seringkali manusia terjebak pada pengetahuan (doktrin) yang
mereka peroleh sejak mereka lahir. Mereka menyangka bahwa pengetahuan itu
absolut dan tidak bisa diragukan kembali. Akan tetapi mereka tidak menyadari
bahwa di dunia ini tidak ada yang absolut kecuali Tuhan dan segala aturan-Nya.
Metode meragukan yang dilakukan oleh Descartes adalah sebuah metode
yang bagus dalam menguji pengetahuan, karena tanpa meragukan sesuatu
manusia cenderung puas dengan apa yang ada dan menjadi idealistik terhadap
pengetahuan yang ia miliki. Akan tetapi dibalik itu semua, pengetahuan tidak
semua berasal dari pikiran saja. Ada pengetahuan yang didapatkan dari
pengalaman.
Contohnya, untuk menjadi seorang yang perasa, kita harus bisa merasakan
apa yang dirasakan oleh orang lain. Untuk itu, manusia harus mengalami sendiri
apa yang disebut dengan merasakan, baik itu suka maupun duka, bahagia maupun
menderita. Pengetahuan seperti ini tidak bisa didapatkan hanya dari proses
berpikir, tapi juga melalui pengalaman.
Adapun kelebihan dari pemikiran Descartes ini yang tertangkap dalam
pikiran penulis antara lain:
1. Descartes menyampaikan cara berfilosofi baru yang menggunakan pikiran
murni untuk mencapai kebenaran pengetahuan. Pikiran yang juga ia sebut
sebagai esensi dirinya adalah sebuah makhluk yang bebas dan bisa melakukan
apa saja dan bisa mengungkap apa saja. Dalam hal ini Descartes
mengungkapkan berbagai macam kelebihan pikiran.
menganggap
pikirannya
adalah
sumber
kehidupan
dan
keberadaannya di dunia ini. Hal ini berimplikasi dia tidak mempercayai rohroh, jin dan makhluk yang tak bisa dijangkau oleh pikirannya.
2. Descartes terkesan tidak percaya kepada wahyu. Baginya wahyu hanyalah
proses imajinasi dari pikiran sebagai akibat dari pengetahuan yang diberikan
Tuhan kepadanya.
3. Descartes terkesan tidak mempercayai keberadaan makhluk yang tidak
memiliki pikiran. Baginya tumbuh-tumbuhan dan hewan adalah benda
material yang dijadikan bukti eksisitensi Tuhan.
4. Descartes mengakui bahwa pikirannya tidak mungkin selalu benar. Ada
kalanya ia terjebak dalam kekeliruan sebagai akibat dari kebebasan memilih
dan berkehendak yang diberikan Tuhan kepadanya, dan juga ia terjebak
kepada kekeliruan jika ia berhenti berpikir tentang Tuhan.
5. Descartes terkesan menganggap tubuh manusia tidak lebih sebagai mekanisme
alami yang bergerak sendiri dan terpisah dari pikirannya. Walaupun dia
mengakui bahwa pikiran dan tubuh itu menyatu, tapi dia tetap membedakan
dua hal tersebut