Anda di halaman 1dari 27

FILSAFAT MODERN

RENE DESCARTES

A.

Pendahuluan
Era filsafat modern dimulai sejak munculnya pemikiran positivisme dan

rasionalisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa ilmu alam
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak hal-hal
yang bersifat metafisik.
Sedangkan rasionalisme secara umum diartikan sebagai teori yang
menyatakan bahwa kebenaran ditentukan melalui pembuktian, logika dan analisis
yang bisa diterima oleh akal manusia. Ciri khas dari aliran filsafat ini adalah
semboyan yang berbunyi Corgito Ergo Sum yang berarti saya berpikir, maka
saya ada.
Selain rasionalisme, ada beberapa aliran lain yang ikut meramaikan dunia
akademik filsafat, diantaranya:
1. Empirisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa segala pengetahuan berasal
dari pengalaman. Aliran ini menolak anggapan bahwa manusia membawa
pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Tokoh-tokohnya antara lain
David Hume, George Berkeley dan John Locke.
2. Idealisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa mental dan ideasional sebagai
kunci untuk mencapai kebenaran realitas. Tokoh-tokohnya antara lain Johan
G. Fitcher, Hegel dan Immanuel Kant.[1]
Pada dasarnya aliran-aliran filsafat ini mencoba untuk mengemukakan
teori-teori pengetahuan untuk memperoleh kebenaran akan pengetahuan tersebut.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.
Dalam hal realitas yang bisa dijangkau oleh panca indera manusia, kebenaran dari
pengetahuan tersebut bisa dibuktikan melalui pengujian secara ilmiah, pendekatan
melalui akal pikiran terhadap benda-benda yang nyata yang bertemu langsung
antara subjek dan objeknya. Sedangkan hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh
panca indra manusia dan bersifat abstrak, mendapatkan kebenaran pengetahuan
tersebut bisa dilakukan dengan berpikir dan merasakan dengan pengalaman.

Dalam makalah ini akan dibahas teori filsafat rasionalisme dengan


berbagai teori dan semboyan serta metode yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan maupun kebenarannya. Selain itu juga akan dipaparkan tokoh yang
menggunakan teori pemikiran ini.
B. Pengertian Rasionalisme
Kata rasionalisme secara berasal dari kata rasio yang memiliki arti masuk
akal, akal budi. Rasional memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1. Secara umum, rasional menunjukkan modus atau cara pengetahuan diskursif,
konseptual yang khas manusiawi.
2. Secara khusus, raisonal memiliki makna konklusif, logis, metodik. Ilmu
pengetahuan rasional merupakan ilmuyang bersifat deduktif atau reduktif.
3. Rasional juga menunjukkan sesuatu yang mempunyai atau mengandung rasio
atau dicirikan oleh rasio, dapat dipahami, cocok dengan rasio, dapat
dimengerti/ditangkap.
Bentukan kata lain dari kata rasio adalah rasionalisasi yg memiliki dua
makna umum, yaitu:
1. Makna positif, yaitu membuat rasional (masuk akal) atau membuat sesuatu
dengan akal budi atau menjadi masuk akal.
2. Makna negatif, yaitu pembenaran berdasarkan motif-motif tersembunyi.
Adapun rasionalisme adalah prinsip bahwa akal harus diberi peranan
utama dalam menjelaskan sesuatu. Secara umum kata rasionalisme menunjuk
pada pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber
utama pengetahuan. Rasionalisme menjadi aliran baru dalam filsafat sejak
Descartes mengemukakan hasil filosofinya dengan menggunakan pikiran dan
rasionya untuk menguji kebenaran pengetahuan. Dasar-dasar dari aliran ini
dilandaskan pada pemikiran filsafat Descartes yang kemudian dikenal sebagai
Rasionalisme Kontinental.

C. Sejarah Hidup Descartes (1596-1650)


Descartes dikenal sebagai Penemu Filsafat Modern dan Bapak
Matematika Modern. Ia lahir di La Haye, sebuah kota kecil di daerah Tourine,

Perancis. Pada tahun 1606 ia mengikuti pendidikan di Jesuit College yang berada
di kota La Fleche. Selama menempuh studi disana, ia menjadi siswa kesayangan
gurunya, walaupun Descartes menyatakan bahwa ia hanya mendapatkan sedikit
ilmu dan lebih banyak memberikan perhatian pada studi matematika. Pada tahun
1616, Descartes mendapatkan gelar Baccalaureat dan Licence dalam bidang
hukum dari University of Poitiers.
Pada tahun 1618, Descartes berangkat ke Belanda untuk bergabung
dengan pasukan Perancis dibawah pimpinan pangeran Maurice dari Nassau.
Disana ia bertemu dengan Isaack Beckman yang kemudian bersama-sama
menciptakan sebuah nada musik yang dikenal dengan Compendium Musicae.
Pada tahun 1619, ia berangkat ke Jerman dalam misinya bersama pasukan
Perancis. Pada malam tanggal 10 November, setelah seharian merenung dan
berpikir, ia mendapatkan mimpi yang ditafsirkannya sebagai pertanda dari Tuhan
(divine sign) yang dianggap sebagai takdir hidupnya untuk menemukan kesatuan
ilmu alam pada matematika. Pada masa itu ketertarikannya sangat tertuju pada
hukum alam dan matematika yang diinspirasi oleh Isaac Beckman.
Pada tahun 1628, Descartes menulis karya pertamanya yang tidak pernah
terselesaikan yang berjudul Regulae ad Directionem ingenii (aturan dalam
pengarahan pikiran) yang dikerjakannya dalam kurun waktu satu tahun. Karyanya
tersebut menunjukkan bahwa Descartes telah menyibukkan diri dengan metodemetode untuk memajukan ilmu alam (scientific advance), sebuah metode yang
berdasarkan inspirasi hitungan matematika, walaupun ditujukan sebagai metode
penyelidikan rasional pada berbagai keadaan subjek dan hal-hal lain. Pada bulan
November 1628, Descartes membuat dirinya terkenal melalui pertentangan
(perbedaan pendapat) dengan Chandoux yang menganggap ilmu (science) hanya
bisa dibangun dari kemungkinan-kemungkinan. Sedangkan menurut Descartes,
kepastian absolut yang menjadi dasar pengetahuan manusia dan ia mempunyai
metode untuk membuktikannya.
Pada tahun 1629, Descartes menulis tentang Le Monde (The World) yang
merupakan hasil penyelidikan ilmiahnya tentang alam. Ketika ia mendengar
penghukuman Galileo yang mengajarkan sistem Copernican, ia membatalkan
penerbitan Le monde tersebut. Kejadian itu merupakan hal penting dalam hidup

Descartes yang menunjukkan sikap hati-hati dan kebijaksanaan terhadap otoritas


yang berlaku dalam dirinya. Pembatalan penerbitan buku tersebut juga
mempengaruhi penerbitan karya Descartes berikutnya yang mana ditujukan untuk
memperlihatkan kurangnya pengaruh ortodox dalam gaya pemikirannya.
Pada tahun 1637, Descartes menerbitkan sebuah buku yang berjudul
Discours de la Metode. Buku ini memuat tiga rumus dalam matematika dan
hukum alam, yaitu Geometry, Dioptric dan Meteors. Buku ini menjadi sebuah
tanda penting bagi Descartes, baik dari segi kepadatan penjelasan tentang
penemuan sistem Cartesian, autobiographical, dan kenyataan bahwa buku tersebut
ditulis di Perancis. Buku ini ditujukan bagi kaum akademik yang diharapkan bisa
memberikan

masukan

penting

bagi

Descartes.

Model

Perancis

yang

dikembangkan oleh Descartes dalam perkembangan ilmu matematika dan ilmu


alam ini dihargai sebagai model ekspresi dari pemikiran abstrak bagi bahasa
tersebut.
Pada tahun 1641, Descartes menerbitkan buku lain yang lebih membahas
tentang hal-hal metafisik. Buku yang berjudul Meditationes de Prima Philosophia
(Perenungan sebagai langkah awal berfilosofi) memuat enam langkah berpikir
dalam filsafat. Setahun kemudian ia menerbitkan edisi revisi dari buku
Meditations dengan tujuh langkah berpikir dalam filsafat.
Pada tahun 1643, filsafat Cartesian dianggap tidak layak untuk akademik
di University of Utrecht dan Descartes mulai hubungan surat menyurat dengan
putri Elizabeth dari Bohemia. Pada tahun berikutnya, Descartes mengunjungi
Perancis dan menerbitkan tulisannya yang lebih formal dalam filsafat yang
berjudul Principia Philosophiae (prinsip dalam berfilsafat). Selain memuat
tentang filsafat Descartes, buku tersebut juga memuat tentang pandangan
Descartes terhadap kosmologi (ilmu perbintangan) yang mana ia menyatakan
bahwa ia berharap buku tersebut dapat digunakan sebagai bahan pelajaran bagi
umat Kristen tanpa harus bertentangan dengan teks Aristoteles.
Pada tahun 1647, Descartes diberikan penghargaan dari raja Perancis dan
menerbitkan Comment on a Certain Broadsheet serta mulai menulis tentang
Description of the Human Body. Pada tahun 1648, ia mendapatkan wawancara

oleh Frans Burman di Egmond-Binne yang kemudian menjadi tulisan yang


berjudul Conversation with Burman.
Pada tahun 1649, Descartes berangkat ke Swedia atas undangan dari ratu
Christina. Setelah beberapa lama menunggu ia menyerah setelah mendapati
banyak ketidakpastian dari permintaan ratu Christina yang menyatakan bahwa ia
akan dimasukkan ke dalam golongan filsuf terkemuka. Pada tahun ini Descartes
juga menerbitkan buku Les Passions de lame (gairah jiwa). Tahun berikutnya,
Descartes meninggal karena terserang penyakit pheneumonia sebagai akibat dari
iklim yang ada di Swedia dan ketatnya jadwal yang diinginkan oleh sang ratu.

D. Pemikiran Filsafat Descartes


Sebagai seorang filsuf, Descartes memiliki konsep sendiri tentang
pengetahuan. Menurut beliau pengetahuan adalah keyakinan yang yang
berdasarkan pada sebuah alasan yang kuat yang tidak bisa digoyahkan oleh alasan
lain yang muncul kemudian. Metode yang digunakannya adalah meragukan
semua pengetahuan yang ada. Hal ini terlihat pada bukunya yang berjudul
Meditations dimana ia menempatkan keraguan sebagai renungan pertama.
Descartes menyandarkan keraguannya pada semua kepercayaan yang ada
dalam dirinya pada sebuah alasan, yaitu keyakinan yang tidak bisa digoyahkan,
keyakinan yang nyata yang diketahui oleh orang umum yang biasa digunakan
dalam prinsip matematika. Walaupun saya dalam keadaan sadar ataupun
bermimpi, dua ditambah tiga hasilnya tetap lima. Oleh karena itu, Descartes
meminta kita untuk berimajinasi sebuah jiwa yang memiliki kekuatan dan
kemampuan yang menyebabkan kita merasakan pengalaman yang kita miliki dan
semua keyakinan yang berkaitan dengannya.[10]
Menurut beliau, ada beberapa langkah untuk mencapai pengetahuan yang tidak
ada lagi keraguannya. Dalam Ensiklopedi Filsafat disebutkan empat aturan dalam
menjalankan metode keraguan Descartes, yaitu:
1. Menerima bahwasanya tidak ada sesuatu yang benar (true). Hal ini berguna
untuk mencegah adanya dugaan dan prasangka dalam menentukan kebenaran,
untuk menerima kebenaran itu apa adanya yang tidak ada celah untuk
meragukannya kembali.

2. Mengelompokkan berbagai masalah yang akan diperiksa sebanyak yang bisa


dilakukan dan yang dibutuhkan untuk mencapai kebenaran tersebut, yang
kemudian diselesaikan dengan cara yang paling baik/tepat.
3. Memasukkan pemikiran subjek (peneliti/pemikir) sesuai dengan masalahnya,
dimulai

dari

objek

yang

paling

mudah

dimengerti,

kemudian

meningkatkannya secara perlahan. Atau dengan cara mengetahui yang paling


rumit sesuai dengan keadaan sekalipun hal tersebut tidak nyata, yang
diantaranya tidak sesuai dengan peristiwa alam yang saling berkaitan satu
sama lain.
4. Yang terakhir adalah dengan memberikan penomoran terhadap semua kasus
dengan lengkap dan meninjaukembali secara umum supaya terhindar dari
ketiadaan (nothing).
Langkah-langkah diatas cukup rumit untuk dipahami karena ada beberapa hal
yang terkesan vague. Langkah pertama cukup jelas dengan meragukan semua
kebenaran yang ada agar tidak terjadi perselisihan antara kebenaran yang ada di
dalam pikiran dengan kebenaran yang ada dalam realitas alam. Hal ini bisa
disebut dengan menghapuskan doktrin atau tradisi yang terdapat di dalam pikiran
manusia dari ia dilahirkan hingga ia bertemu dengan sesuatu yang belum
diketahui kebenaran aslinya.
Langkah kedua yaitu dengan mengelompokkan masalah-masalah yang
ingin diteliti kebenarannya kemudian diselesaikan dengan cara yang tepat. Semua
hal yang berkaitan dengan masalah yang ingin diketahui kebenarannya tersebut
dikelompokkan sesuai tema dan inti permasalahannya agar tidak terjadi kesalahan
di dalam memahami kebenaran yang ingin diungkap. Dengan begitu, kebenaran
akan terbuka satu-persatu seiring dengan terpecahkannya masalah yang sudah
dikumpulkan sebelumnya.
Langkah ketiga yaitu dengan memasukkan pemikiran subjek sesuai
dengan masalahnya. Pada langkah ini, setelah semua masalah diketahui dengan
jelas dan telah dilihat dari berbagai aspek yang meliputi hal tersebut, subjek mulai
memasukkan pemahaman yang ada dalam pikirannya untuk membuka secara
perlahan inti dari masalah tersebut, dimulai dari hal yang paling mudah hingga hal
yang paling sulit, atau sebaliknya, dimulai dari hal yang paling rumit hingga bisa

menjawab hal yang paling mudah. Misalkan meneliti kepribadian dan cara
berpikir seseorang untuk mengetahui sejauh mana ia menilai kebenaran dari
sebuah pengetahuan. Hal yang paling mudah bisa saja dengan mengetahui sejarah
hidupnya,

kemudian

latar

belakang

intelektualnya,

dilanjutkan

dengan

kebiasaannya dalam berpendapat hingga masuk ke alam pemikirannya. Atau


sebaliknya dengan mencoba menerobos alam pikirannya dari gaya pengungkapan
dan

pemilihan

bahasanya

yang

kemudian

dilanjutkan

dengan

melihat

kebiasaannya sehari-hari.
Langkah terakhir adalah verifikasi terhadap semua masalah yang ada dan
memberikan tanda tertentu terhadap permasalahan yang sudah diselesaikan. Hal
ini bertujuan agar tidak ada masalah yang tertinggal atau luput dari penyelesaian.
Semua masalah yang telah diselesaikan ditinjau kembali untuk mendapatkan
pemahaman yang tepat terhadap kebenaran yang didapatkan.
Langkah-langkah diatas terkesan cukup sulit untuk dilakukan dalam
perenungan dan penelitian ilmu alam. Leibniz menanggapi metode tersebut
dengan cara yang mudah, yaitu: ambil apa yang kamu perlukan, lakukan apa yang
harus kamu lakukan, dan kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan.
Adapun pemikiran filsafat Descartes yang dirangkum dalam wikipedia
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Pengetahuan yang Pasti
Menurut Descartes, pengetahuan adalah sesuatu yang tidak ada lagi
keraguan di dalamnya. Metode yang digunakannya adalah meragukan semua
pengetahuan yang ada hingga ia mendapatkan kesimpulan bahwa ada tiga
pengetahuan yang bisa diragukan, yaitu:

Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi. Contohnya kayu lurus


yang dimasukkan ke dalam air maka akan kelihatan bengkok.

Fakta umum tentang dunia seperti api itu panas dan benda yang berat akan
jatuh. Ia juga menyatakan bahwa mimpi yang berulang kali bisa memberikan
pengetahuan tentang sesuatu.

Prinsip-prinsip logika dan matematika. Ia menyatakan bagaimana jika ada


seorang makhluk yang bisa memasukkan ilusi ke dalam pikiran kita, dengan
kata lain kita berada dalam suatu matrix.

Menurut Decrates, eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut


dan tidak dapat diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah,
pikirannya tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya. Oleh karena itu
tidak dapat diragukan lagi jika pikiran itu eksis. Sedangkan pikiran menurut
Descartes adalah suatu benda berpikir yang bersifat mental, bukan bersifat fisik
atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu ada, Descrates melanjutkan
penyelidikan filsafatnya untuk membuktikan bahwa Tuhan itu ada.

Ontologi Tuhan Dan Benda


Decrates mendeskripsikan Tuhan sebagai makhluk sempurna yang tak
terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin muncul begitu saja dari hasil pikiran
dan pengalaman manusia karena kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak
sempurna dan bisa diragukan dan tidak memenuhi sebab lebih sempurna dari
akibat. Gagasan tentang Tuhan itu muncul karena ada yang menaruh pikiran itu ke
dalam pikiran manusia, yaitu Tuhan tersebut.
Setelah

membuktikan

keberadaan

Tuhan,

Descartes

mencoba

membuktikan benda material itu ada. Ia menyatakan bahwa Tuhan menciptakan


manusia dengan ketidakmampuan untuk membuktikan bahwa benda material itu
sejatinya tidak ada, bahkan Tuhan menciptakan manusia untuk memiliki
kecenderungan bahwa benda material itu ada. Jika pemahaman bahwa benda
material itu ada hanya sebuah matrik kompleks yang menipu pikiran manusia, hal
itu menunjukkan bahwa Tuhan adalah penipu dan bagi Descrates penipu adalah
ketidaksempurnaan sedangkan Tuhan adalah makhluk sempurna sehingga Tuhan
tidak mungkin menipu dan benda material itu ada.

Metafisika
Menurut Descartes, realitas itu terdiri dari tiga hal, yaitu: benda material
yang terbatas seperti objek-objek fisik, benda-benda mental yang terbatas seperti
pikiran dan jiwa manusia, dan benda mental yang tidak terbatas yaitu Tuhan. Ia
juga membedakan pikiran dan tubuh manusia yang membawanya kepada
pembagian ilmu, yaitu realitas material sebagai ranah bagi keilmuan baru seperti
yang dibawa oleh Galileo dan Copernicus, dan realitas mental bagi ranah

keilmuan seperti ilmu agama, etika dan sejenisnya yang tidak berkaitan dengan
objek material.
Hasil pemikiran Descartes yang dijelaskan dalam tiga bagian diatas
cenderung merupakan hasil refleksi yang disampaikannya dalam buku
Meditations. Pengetahuan yang pasti dengan metode keraguannya adalah langkah
awal dalam perenungan. Dilanjutkan dengan berpikir untuk menemukan
eksistensi diri terdapat pada perenungan kedua. Pengetahuan akan Tuhan terdapat
dalam perenungan ketiga. Perenungan keempat membahas tentang objek material.
Pada perenungan kelima membahas tentang pembuktian keberadaan Tuhan.
Pengetahuan akan metafisika dibahas dalam perenungan keenam. Dibawah ini
akan dijelaskan tentang enam langkah perenungan (meditasi) filsafat rasionalisme
yang juga dianggap sebagai dasar awal terbentuknya aliran rasionalisme tersebut.
Meditasi Pertama: Apa Saja yang Bisa Diragukan
Sejak dilahirkan, manusia diberikan pengetahuan yang diajarkan terusmenerus seiring pertumbuhannya, baik ajaran dari keluarga, lingkungan,
masyarakat, sekolah ataupun yang lain yang merupakan refleksi dari pikirannya.
Semua pengetahuan tersebut tertanam dalam pikiran manusia, begitu dalam
hingga apa saja yang ada dalam pikiran mereka semua dianggap benar sesuai
dengan apa yang telah diajarkan dan dimasukkan dalam pikiran tersebut. Ketika
manusia mencapai titik kesadaran tertentu dimana dia berhadapan dengan realitas
yang berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran mereka selama ini, mulai timbul
keraguan yang semakin dalam apakah pengetahuan tersebut sudah benar, ataukah
masih perlu dikaji ulang.
Lebih jelasnya jika diilustrasikan pada diri penulis. Saya hidup dalam
lingkungan yang mempunyai adat, tradisi dan agama. Saya terikat pada hukumhukum yang berlaku pada tiga hal tersebut. Seiring pertumbuhan saya dan minat
saya dalam mengetahui sebuah hal secara lebih dalam dan terperinci, saya melihat
banyak perbedaan antara apa yang saya pelajari dengan apa yang terjadi dalam
kenyataan (realitas). Apa yang saya temukan dari hasil penglihatan, percobaan,
dan berpikir lebih dalam (seeing deep insight), mengantarkan saya pada sebuah
kesadaran bahwasanya semua hal yang sudah tertanam di dalam pikiran saya
dapat diragukan kebenarannya. Saya semakin tertarik untuk mengetahui hal

tersebut dan berusaha untuk menemukan sebuah pengetahuan yang tidak dapat
lagi diragukan kebenarannya. Descartes berkata :
But to accomplish this, it will not be necessary for me to show all my
opinions are falls, which is something i could perhaps never manage. Reasons
now leads me to think that i should hold back my assent from opinions which are
not completely certain and indubitable just as carefully as i do from those which
are patently false.
Tidak semua pengetahuan yang tertanam di dalam pikiran harus
diragukan, ada beberapa juga yang harus dipertahankan yang belum bisa
diragukan. Untuk mencapai pengetahuan yang benar, alasan diperlukan sebagai
tolak ukur bahwasanya pengetahuan itu tidak bisa diragukan kembali.
Cara untuk menolak semua pengetahuan yang dimiliki (opinions) dapat
dilakukan dengan menemukan alasan untuk meragukan pengetahuan tersebut.
Ketika kebenaran baru telah ditemukan dengan menggunakan alasan tersebut,
maka kebenaran pengetahuan yang lama yang berada dalam pikiran akan hilang
dengan sendirinya. Apapun yang saya terima sebagai hal yang paling benar harus
saya yakinkan baik dalam sense (indera/perasaan) maupun melalui perasaan
tersebut. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, saya menemukan bahwasanya
perasaan dan sense saya ternyata menipu. Akan lebih bijak jika saya tidak
mempercayai orang atau apapun yang telah menipu saya.
Walaupun sense kita terkadang menipu untuk mempercayai objek yang
kecil dan jauh, ada keyakinan lain yang lebih tidak mungkin untuk diragukan
walaupun itu berasal dari sense. Contohnya: saya sedang duduk diatas api,
menggunakan pakaian musim dingin (jaket yang sangat tebal dan hangat) sambil
memegang beberapa kertas. Pertanyaannya adalah apakah tubuh itu benar-benar
milik saya? Apakah saya sedang bermimpi atau dalam keadaan sadar? Mimpi
ataupun sadar, pengetahuan yang saya dapatkan itu ada dan tertanam dalam
pikiran.
Ini adalah sebuah alasan yang tepat. Apapun keadaan saya, baik tidur
ataupun terjaga, pengalaman yang saya rasakan dan pengetahuan yang saya
dapatkan tetap sama. Ketika saya bermimpi sedang menggunakan jaket yang
tebal, saya merasa jaket itu benar-benar ada dan pengalaman/pengetahuan yang

saya dapatkan juga ada sekalipun ketika terbangun saya dalam keadaan tanpa
busana. Jadi, apapun yang bisa dikhayalkan baik dari segi bentuk tubuh atau
warna-warna dan apa yang ada di bumi itu nyata sekalipun hanya dalam pikiran
kita.
Bisa disimpulkan bahwa fisika, astronomi, kedokteran dan disiplin ilmu
lain yang memerlukan pengajaran (study) untuk menggabungkan sesuatu bisa
diragukan. Sedangkan aritmatic, geometry dan hal-hal lain yang lebih sederhana
sekalipun dia nyata atau tidak di dunia ini mengandung kepastian dan tidak bisa
diragukan kembali.
Meditasi Kedua: Pikiran Alami Manusia.
Seperti yang telah dijelaskan pada meditasi pertama, segala sesuatu yang
dapat diragukan bisa dianggap sebagai hal yang palsu. Oleh karena itu dibutuhkan
sebuah metode untuk menemukan hal atau pengetahuan yang tidak bisa diragukan
dan tidak bisa digoyahkan oleh hal lainnya. Sebuah pernyataan menarik dari
Descartes dalam meragukan pengetahuan yang ada, yaitu:
I will Suppose then, that everything I see is spurious. I will believe that
my memory tells me lies, and that none of the things that it reports ever happened.
I have no senses. Body, shape, extensions, movement and places are chimeras. So
what is remains true? Perhaps just the one fact that nothing is certain.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan siapa yang memasukkan pengetahuan
dalam pikirannya, apakah itu Tuhan atau apapun sebutan-Nya. Tapi mengapa ia
bisa berpikiran seperti itu sedangkan ada kemungkinan bahwa ia yang menuliskan
pengetahuan tersebut ke dalam pikirannya. Oleh karena itu, ia menganggap bahwa
dirinya adalah sesuatu yang dia yakini ada (exist). Akan tetapi di sisi lain ia juga
menerima bahwa ada kekuatan besar dan cerdas yang ikut mempengaruhi diri dan
pikirannya. Menurut Descartes, dalam kasus ini ia menganggap bahwa
keberadaan dirinya tidak dapat diragukan lagi. Sekalipun ada kekuatan di dalam
dirinya yang mempengaruhi pikirannya, kekuatan tersebut tidak akan bisa
meyakinkan bahwa dirinya tidak ada selama ia berpikir bahwa ia adalah sesuatu.
Disinilah kemudian muncul istilah Cogito Ergo Sum, saya berpikir maka saya ada.
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa ada beberapa pengertian yang
terkait dengan Cogito Ergo Sum, antara lain:

Ungkapan tersebut merupakan kepastian pertama menurut Descartes.


Sebelumnya sudah ada argumen Agustinus Si Fallor Sum, jika saya tertipu
saya ada. Satu-satunya kepastian yang kita miliki adalah kepastian eksistensi
(keberadaan) kita sendiri.

Dengan ungkapan tersebut, Descartes mau menunjukkan suatu intuisi


langsung, niscaya, dan tidak dapat diragukan, dimana ia mengenal dirinya
sendiri secara jelas dan terpilah-pilah. Seseorang tidak dapat meragukan
bahwa dia berpikir (ragu), karena dalam tindakan meragukan itu dia
membuktikan bahwa hal tersebut ada (eksis) dan nyata.

Cogito Ergo Sum dianggap sebagai kebenaran yang terbukti dengan


sendirinya atau aksioma yang jelas dengan sendirinya dan dari dasar ini
Descartes mengembangkan sistem filsafatnya yang bersifat rasionalistis.
Dari pola pikir bahwa ia adalah sesuatu (something), Descartes

melanjutkan pembuktiannya untuk mengetahui siapakah dia sebenarnya. Dia


mempertanyakan dirinya sendiri dan menjawab pertanyaan itu dengan cara yang
unik, yaitu:
What then did I formerly thinks I was? A man. But what is a man? Shall I
say a rational animal? No; for then I should have to enquire what an animal is,
what rationality is, and in this way one question would lead me down the slope to
other harder ones, and I do not now have the time to waste on subtleties of this
kind
What else I am? I will use my imagination. I am not the structure of limbs
which is called a human body. I am not even some thin vapour which permeates
the limbs a wind, fire, air, breath, or whatever I depict in my imagination, for
those are things which I suppose to be nothing..
But what then am I? A thing that thinks. What is that? A thing that doubts,
understands, affirms, denies, is willing or unwilling, and also imagines and has
sensory perceptions.
Perjalanan pemikirannya untuk membuktikan keberadaan dirinya dan
siapakah sebenarnya dirinya tersebut, Descartes menciptakan dua istilah yang
dianggap sebagai pondasi dasar dalam pemikiran rasionalisme. Istilah yang
pertama adalah Cogito Ergo Sum, saya berpikir maka saya ada. Dengan berpikir

manusia sudah membuktikan jika dirinya ada (exist). Pikiran adalah kunci
keberadaan manusia. Hal ini berimplikasi jika manusia atau sesuatu tidak berpikir
maka dia tidak ada. Sedangkan istilah kedua yaitu Sum Res Cogitans, saya adalah
sebuah benda yang berpikir.
Dari sini Descartes mulai menaruh pijakannya bahwa manusia adalah
sebuah benda yang berpikir, benda yang mempunyai mental yaitu pikiran itu
sendiri. Sebuah benda yang bisa meragukan, bisa mengerti, bisa menegaskan, bisa
menolak, bisa berkehendak ataupun tidak berkehendak, bisa berimajinasi dan
mempunyai pemikiran sendiri. Klaim seperti ini tentu bertentangan dengan ajaran
agama yang menyatakan manusia adalah makhluk, bukan benda. Ini salah satu
bukti rasionalitas dalam berfilsafat yang dikemukakan oleh Descartes.
Meditasi Ketiga: Keberadaan Tuhan.
Seperti yang telah disinggung pada meditasi pertama, Descartes
mengemukakan bahwasanya ada sebuah kekuatan besar dan memiliki kecerdasan
yang memasukkan pengetahuan ke dalam pikiran manusia. Kekuatan besar dan
memiliki kecerdasan yang digambarkan Descartes sebagai makhluk yang
sempurna ini disebut sebagai Tuhan. Descartes melanjutkan pemikirannya untuk
mengetahui eksistensi Tuhan.
Setelah menyatakan dirinya adalah benda yang bisa berpikir, Descartes
mencoba untuk melanjutkan pemikirannya terhadap sesuatu yang berada dalam
dirinya yang belum ia sadari. Kembali ke pemikiran awalnya bahwa ia meragukan
berbagai hal yang ada di dunia ini, baik itu bumi, langit, bintang dan apapun yang
bisa dipahami dengan sense (indera/perasaan). Walaupun begitu, ia menyadari
bahwa ada sesuatu di luar dirinya yang sudah terbiasa ia yakini sebagai sumber
ide yang muncul di pikirannya.
Disini ia mulai membuka kembali pengetahuan yang ada dalam
pikirannya. Descartes berkata:
Indeed, the only reason for my later judgement that they were open to doubt was
that it occured to me that perhaps some God could have given me a nature such i
was deceived even in matters which seemed most evident. And whenever my
preconceived believe in the supreme power of God comes to mind, I can not but
admit that it would be easy for him, if he so desired, to bring it about that I go

wrong even in those matters which I think I see utterly clearly with my minds
eye.
Dari pernyataan tersebut, Descartes mengakui bahwa Tuhan itu ada dan
mempunyai kemampuan untuk mengubah persepsi atau pandangannya menjadi
salah jika Tuhan berkehendak sekalipun Descartes sudah melihat dengan jelas
melalui mata dan pikirannya. Pernyataan Descartes berikutnya adalah pijakan
awal untuk mengetahui keberadaan Tuhan dengan meragukan adanya Tuhan,
yaitu:
And since I have no cause to think that there is a deceiving God, and I do
not yet even know for sure there is a God at all, any reason for doubt which
depends simply on this supposition is very slight and, so to speak, metaphysical
one. But in order to remove even this slight reason for doubt, as soon as the
opportunity arises I must examine whether there is a God, and, if there is, whether
he can be deceiver.
Langkah pertama yang dilakukan Descartes untuk membuktikan
keberadaan Tuhan yaitu dengan memisahkan pikirannya dalam beberapa hal yang
terperinci dan membedakan mana yang benar (truth) dan mana yang palsu
(falsity). Hal ini berguna agar ia bisa mengkategorikan mana yang ia sebut dengan
kehendak (volition) atau perasaan (emotion) dan yang mana ia sebut dengan
penilaian (judgement). Ketika pengetahuan yang ia terima berdasarkan kehendak
dan perasaan yang ada dalam pikirannya, maka tidak ada kekhawatiran
pengetahuan tersebut jatuh kepada kepalsuan (falsity). Ia juga menjaga pikirannya
agar tidak sampai membuat penilaian (judgement) yang pada akhirnya membuat
ia melakukan kesalahan. Diantara ide-ide yang muncul dalam pikirannya,
beberapa merupakan pengetahuan yang didapatkan sejak lahir, beberapa
didapatkan dengan cara tidak sengaja, dan beberapa lainnya merupakan
pengetahuan yang ditemukan dalam proses berfilsafatnya.
Langkah selanjutnya, Descartes memisahkan antara objek dan ide. Objek
adalah hal di luar pikiran yang menjadi sumber pengetahuan yang bisa ditangkap
langsung oleh indera manusia. Sedangkan ide adalah persepsi yang ada dalam
pikiran tentang objek tersebut sekalipun objek tersebut tidak ada (exist) atau
abstrak.

Ia mencontohkan matahari untuk menjelaskannya. Matahari adalah sebuah


objek yang bisa dilihat langsung oleh mata atau indera manusia. Dengan
penglihatan langsung, matahari terlihat kecil bahkan jauh lebih kecil dibandingkan
bumi. Ketika sudah menggunakan ilmu astronomi dalam melihat matahari,
ternyata matahari begitu besar, bahkan jauh lebih besar daripada bumi.
Ada dua ide yang muncul dari sebuah objek yaitu matahari. Ide pertama
bahwa matahari itu terlihat kecil dan memancarkan cahaya, ide kedua bahwa
matahari itu ternyata jauh lebih besar daripada bumi. Adapun ide yang muncul
tanpa ada objek nyata dicontohkan dalam beberapa bentuk. Diantaranya adalah
panas. Panas bisa dirasakan oleh kulit kita sekalipun objeknya tidak ada atau tidak
terlihat. Panas dari api maupun dari pancaran sinar matahari memunculkan satu
ide tentang sesuatu yang abstrak tapi eksis.
Menurut Descartes, ide tentang panas sekalipun dia tidak terlihat, adalah
sebuah bukti bahwa panas itu ada. Jadi ada sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh
indera manusia tapi ada (exist) di sekitar mereka. Begitu juga bunyi. Kita hanya
bisa mendengar dan mengetahui suara sirene dari jenis gelombang udara yang
ditimbulkan. Kita yakin sirene itu ada walaupun kita tidak tahu persis bagaimana
bentuknya.
Berangkat dari gagasan diatas, Descartes mencoba untuk menjelaskan
tentang Tuhan. Dia berkata:
Undoubtly, the ideas which represent subtances to me amount to
something more and, so to speak, contain within themselves more objective reality
than the ideas which merely represent modes or accidents. Again, the idea that
gives me my understanding of a supreme God, eternal, infinite, omniscient,
omnipotent and the creator of all things that exist apart from him, certainly has in
it more objective reality than the ideas that represent finite substance.
Dari pernyataan diatas, secara tidak langsung Descartes mendefinisikan
Tuhan sebagai sesuatu yang luar biasa, abadi, maha besar, maha mengetahui,
maha kuasa dan pencipta segala sesuatu yang ada di dunia ini. Dalam pernyataan
lain ia menyebutkan bahwa Tuhan ketika menciptakan dia telah menempatkan ide
tentang eksistensi Tuhan ke dalam pikiran Decrates sebagai tanda bahwa ia
(manusia) adalah hasil ciptaan-Nya.

Meditasi Keempat: Truth and Falsity


Setelah mengetahui keberadaan Tuhan, Descartes menyadari bahwa
dirinya adalah makhluk yang tidak sempurna. Dengan menggunakan konsep
Thingking thing, sesuatu yang berpikir, Descartes menyadari ada sesuatu atau
makhluk (being) yang memiliki kesempurnaan sebagai akibat dari keberadaan
dirinya yang tidak sempurna. Makhluk tersebut, yang disebut Descrates sebagai
Tuhan, adalah sesuatu yang berbeda dari dirinya. Dia mengakui kenyataan bahwa
dirinya memiliki keraguan, tidak sempurna dan bergantung pada sesuatu, yang
kemudian memunculkan gagasan tentang sesuatu yang berdiri sendiri dan
sempurna yang disebut Tuhan. Dia juga menyadari bahwa kemampuan berpikir
manusia (human intellect) tidak bisa mengetahui sesuatu dengan sangat jelas dan
pasti. Dari sini, dia mengakui bahwa Tuhan yang memiliki kebijaksanaan dan
mengetahui apa yang tersembunyi dibalik pengetahuan sepenuhnya (secara pasti).
Dalam menjelaskan tentang kebenaran dan falsity, Descartes lebih banyak
membandingkan kemampuan dirinya dengan kemampuan Tuhan. Hal ini juga
mengantarkan ia pada kesadaran dimana ia adalah makhluk yang bisa berbuat
salah atau menuju kesalahan, sedangkan Tuhan selalu menyampaikan kebenaran
yang tidak mungkin bisa disalahkan.
Sebagai langkah awal, Descartes menanamkan dalam pikirannya bahwa
Tuhan tidak mungkin menipu dirinya. Hal ini disebabkan segala macam bentuk
tipu daya adalah bukti dari ketidaksempurnaan. Walaupun memiliki kemampuan
untuk menipu sebagai bukti maha kuasa Tuhan, keinginan untuk menipu itu
sendiri tidak diragukan lagi adalah sebuah kelemahan dan ketidaksempurnaan,
jadi hal tersebut tidak mungkin terdapat pada Tuhan yang sempurna.
Langkah selanjutnya yang ditempuh oleh Descartes adalah dengan
menyadari bahwa ia memiliki pengetahuan (faculty) dalam menilai sesuatu
(judgement). Seperti halnya segala yang ada dalam dirinya, ia menerima bakat
tersebut dari Tuhan. Karena Tuhan tidak mungkin menipu dirinya, maka ia yakin
bahwa Tuhan tidak akan memberikan bakat (pengetahuan) yang bisa
mengantarkan dirinya kepada kesalahan jika ia menggunakan bakat tersebut
dengan benar.

Descartes menyadari bahwa tidak mungkin ada celah untuk berbuat salah atau
salah menilai jika semua yang ada pada dirinya datang dari Tuhan. Oleh karena
itu, jika ia terus berpikir tentang Tuhan dan memberikan seluruh perhatiannya
kepada Tuhan, dia tidak menemukan sebab apapun untuk berbuat salah (error or
falsity). Akan tetapi, jika ia kembali kepada dirinya sendiri, dengan pengalaman
yang ia miliki, ia menyadari bahwa dirinya rawan untuk melakukan kesalahan
(error). Dari sini ia mengetahui bahwa ia mengakui dan berpikir secara nyata
tentang hal-hal positif yang berasal dari Tuhan yang maha sempurna, dan juga ia
mengakui ada sisi negatif dan kekurangan sebagai akibat dari ketidaksempurnaan
tersebut.
Di sisi lain Descartes menjelaskan bahwa kekeliruan (error) disebabkan
kurangnya pengetahuan yang ada dalam dirinya. Hal ini jauh berbeda dengan
kemampuan Tuhan yang maha tahu. Lebih lanjut Descrates menjelaskan
perbedaan antara dirinya dan Tuhan:
For since I now know that my own nature is very weak and limited, whereas the
nature of God is immense, incomprehensible and infinite. I also know without
more ado that he is capable of countless things whose cause are beyond my
knowledge.
Hal itulah yang menjadi alasan bagi Descrates untuk mencari tahu sebab
yang tidak bisa diungkap dalam ilmu fisika dengan pertimbangan bahwa dirinya
mempunyai kemampuan untuk mengetahui tujuan Tuhan. Oleh karena itu, untuk
mengetahui apakah ciptaan Tuhan itu sempurna sesuai dengan diri-Nya yang
sempurna, jangan hanya melihat pada satu ciptaan-Nya saja, akan tetapi lihat
seluruh dunia secara luas.
Langkah berikutnya yang digunakan Descartes adalah dengan melihat jauh
ke dalam dirinya sendiri dan menyelidiki kekurangan atau ketidaksempurnaan
yang ada pada dirinya yang menyebabkan ia bisa melakukan kekeliruan. Ia
menyadari ada dua pengetahuan yang terdapat dalam dirinya, yaitu pengetahuan
yang didasarkan pada pilihan dan pengetahuan yang didasarkan pada kebebasan
berkehendak, yang mana kedua pengetahuan tersebut bergantung pada
kemampuan berpikir (intelektual) dan kehendak secara bersamaan.

Intelektual membuat ia mampu untuk menyadari dimana subjek


dimungkinkan untuk memberikan penilaian yang tidak ada celah kekeliruannya.
Akan tetapi ada hal-hal dimana ia tidak mempunyai atau kurang pengetahuan
sehingga bisa mengarahkan penilaiannya pada kesalahan. Hal ini disebabkan
karena ia tidak mempunyai alasan untuk membuktikan bahwa Tuhan seharusnya
memberikan ia pengetahuan yang luas daripada yang ia miliki. Disamping itu, ia
tidak bisa mengeluh atas kebebasan berkehendak dan memilih yang diberikan
Tuhan kepadanya yang bisa mengantarkan ia kepada kekeliruan dan
ketidaksempurnaan. Ia juga tidak bisa mengeluh kenapa Tuhan memberikan
keinginan (kebebasan) yang jauh lebih besar daripada intelektualnya.
Sebagai kesimpulan dari meditasi keempat ini, Descartes menyadari
bahwa semua kebenaran itu datang dari Tuhan yang memberikan pengetahuan
untuk mencapai kebenaran tersebut, dan segala kekeliruan yang ada adalah akibat
dari keinginan manusia yang banyak serta kebebasan yang ia miliki yang
diberikan Tuhan melebihi pengetahuan, karena manusia itu tidak sempurna dan
kurang pengetahuannya sehingga wajar jika mereka berbuat salah.
Meditasi Kelima: Inti dari Benda Materi dan Keberadaan Tuhan
Descartes menyatakan bahwa setelah ia mengetahui apa yang harus
dilakukan dan apa yang harus dihindari untuk memperoleh kebenaran, ia anggap
sebagai cara untuk lepas dari keraguan yang menjadi pondasi metodenya dan bisa
mencapai beberapa kepastian yang berkaitan dengan objek material.
Sebelum melakukan penyelidikan tentang benda-benda lain yang eksis di
luar dirinya, Descartes memikirkan kembali gagasan-gagasan tentang bendabenda yang eksis dalam pikirannya yang mana yang berbeda (distinct) dan yang
mana yang membingungkan (confused).
Hal pertama yang ingin dijelaskan oleh Descartes adalah jumlah
(quantity). Hal-hal yang bisa dijumlahkan atau bisa dihitung adalah hal yang bisa
dibedakan (distinctly) menurut Descartes meliputi panjang, lebar dan kedalaman.
Ia juga memasukkan beberapa bagian dalam hal tersebut yang meliputi ukuran,
bentuk, posisi dan gerak tetap, dan pada gerak tersebut ia menentukan durasinya.
Selain itu, ia juga membedakan benda-benda yang tidak terhingga seperti bentuk,
angka dan gerakan. Kebenaran dari benda-benda tersebut adalah mereka selalu

seimbang dengan alam dan tidak memerlukan kajian lebih dalam karena mereka
akan tetap seperti itu.
Akan tetapi, yang menjadi masalah kemudian, Descartes menemukan
banyak gagasan tentang benda-benda yang mungkin saja tidak eksis di luar
dirinya dan tidak bisa dikatakan tidak ada (nothing). Ia kemudian memberikan
contoh dalam bentuk segitiga yang mana sering digunakan dalam rumus-rumus
matematika. Segitiga tersebut merupakan sebuah benda luar yang masuk dalam
pikirannya hingga ia bisa memastikan bahwa segitiga itu ada dan nyata. Berbeda
ketika membicarakan tentang Tuhan. Tuhan ditemukan dari hasil perenungan jauh
ke dalam hati (diri) dan pikiran yang mana Tuhan akan selalu ada dan mempunyai
alam-Nya sendiri seperti halnya bentuk dan angka yang mengikuti sifat alaminya.
Lebih lanjut ia menjelaskan dua bagian penting dari alam, yaitu esensi
(inti) dan eksistensi (keberadaan). Manusia merupakan esensi dari bukti eksistensi
Tuhan. Ada pernyataan menarik dari Descartes ketika membahas eksistensi
Tuhan, yaitu:
However, even granted that I cannot think of God except as existing, just
as I cannot think of a mountain without a valley, it certainly does not follow from
the fact that i think from mountain with a valley that there is mountain in the
world, and similiarly, it does not seem to follow from the fact that i think of God
as existing that he does exist. For my tought does not impose any necessity on
things, and just as I imagine a winged horse even though no horse has wings, so i
may be able to attach existence to God even though no God exist.
Dari pernyataan diatas, Descartes dengan rasionalitasnya tidak terlalu
yakin dengan keberadaan Tuhan, tetapi ia yakin bahwa apa yang eksis dalam
pikirannya adalah eksis menurut pemikirannya walaupun tidak ada bukti nyata
akan keberadaan hal tersebut.
Descartes menyimpulkan meditasi ini dengan menyatakan bahwa ia telah
menyadari akan keberadaan Tuhan dan mengerti bahwa semua hal bergantung
pada-Nya, dan Tuhan bukan seorang penipu. Ia juga membuat kesimpulan bahwa
semua hal yang sudah jelas baginya dan bisa dibedakan dengan benar merupakan
komponen yang dibutuhkan untuk mencapai kebenaran. Ia juga menyatakan,
selama ia masih bisa mengingat dengan jelas dan menyadari dengan nyata tentang

sesuatu, maka tidak ada argumen atau alasan lain yang bisa membuat ia ragu akan
hal tersebut, bahkan ia memiliki kebenaran dan pengetahuan yang pasti akan hal
tersebut.
Meditasi Keenam: Keberadaan Benda Material dan Perbedaan Jelas Antara
Pikiran dan Tubuh
Sebelum menjelaskan tentang benda material, Descartes menanamkan
dalam pikirannya bahwa ada kemungkinan benda material itu ada dan tidak ada
keraguan lagi bahwa Tuhan memiliki kemampuan untuk menciptakan apapun
yang mana ia memiliki kemampuan untuk menyadari ciptaan Tuhan tersebut.
Selain itu ia juga menyatakan bahwa keberadaan benda material itu dinyatakan
oleh bakat imajinasi yang mana ia menyadari penggunaannya ketika mengarahkan
pikirannya kepada benda material. Descartes berkata: For when I give more
attentive consideration to what imagination is, it seems to be nothing else but an
application of the cognitive faculty to a body which is intimately present to it, and
which therefore exist.
Langkah awal yang digunakan Descartes untuk menjelaskan benda
material adalah menjelaskan perbedaan antara imajinasi dan pemahaman dasar
(pure understanding). Ia memberikan contoh ketika ia membayangkan sebuah
segitiga. Ia tidak sekedar memahami bahwa itu bentuk yang terbuat dari tiga garis,
akan tetapi pada saat yang sama ia juga melihat tiga garis tersebut dengan mata
pikirannya (minds eye) seperti yang diperlihatkan padanya. Hal ini ia sebut
sebagai imajinasi. Ia menyadari imajinasi memerlukan cara yang khas dan unik
dari pikiran yang mana tidak membutuhkan pemahaman dalam mengetahuinya.
Cara berpikir yang khas ini secara jelas menunjukkan perbedaan antara imajinasi
dan pemahaman dasar.
Dari kemampuan berimajinasinya, Descartes meyakini ada sesuatu yang
memberikan pengetahuan padanya tentang hal-hal yang belum bisa dicapai oleh
inderanya sehingga ia bisa membayangkan sesuatu sekalipun sesuatu itu belum
ada. Kemudian ia membedakan dengan jelas perbedaan antara imajinasi dan
pemahaman dasar, yaitu: Ketika pikiran memahami sesuatu, ia akan menggali
pengetahuan yang ada di dalam pikiran tersebut dan mencari gagasan yang ada di
dalamnya. Sedangkan ketika berimajinasi, pikiran akan menjelajahi seluruh tubuh

dan mencari sesuatu pada tubuh tersebut yang sesuai dengan gagasan yang
dipahami oleh pikiran atau disadari oleh perasaan.
Disamping menggunakan teori matematika yang bersifat exact seperti
contoh diatas, ada kebiasaan imajinasi lain yang digunakan oleh Descartes.
Seperti membayangkan tentang warna, suara, rasa, sakit dan yang lain sejenisnya.
Now i perceive this thing much better by means of the senses, which is how, with
the assistance of memory, they appear to have reached the imagination. So in
order to deal with them more fully, I must pay equal attention to the senses, and
see whether the things which are perceived by means of that mode of thinking
which i call sensory perception provide me with any sure argument for the
existence of corporeal things.
Dalam pernyataan diatas ia mengenalkan sebuah istilah baru yang disebut
dengan sensory perception (tanggapan pancaindera) yang merupakan sebuah cara
berpikir baru untuk hal-hal yang abstrak yang memberikan argumen pasti
terhadap eksistensi benda-benda jasmani.
Kemudian ia menjelaskan metode yang dipakai untuk membedakan antara
pikiran dan tubuh. Metode ini dimulai dengan mengembalikan semua hal yang
disadari atau dipahami oleh panca indera dan menganggap bahwa hal-hal tersebut
adalah benar, menemukan alasan untuk memikirkan hal ini (perbedaan tubuh dan
pikiran). Kemudian menetapkan alasannya dan menempatkan hal-hal tersebut
dalam keraguan. Langkah terakhir adalah mempertimbangkan satu-persatu yang
mana yang harus diyakini kebenarannya.
Langkah paling awal adalah kesadaran dengan menggunakan panca indera
bahwa ia memiliki kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh yang lain yang
merupakan bagian dari dirinya. Ia juga menyadari bahwa ia bisa merasakan
sesuatu yang menyenangkan seperti kebahagiaan dan yang tidak menyenangkan
seperti rasa sakit. Ia juga menyadari bahwa dirinya memiliki rasa yang bermacammacam seperti rasa lapar, haus, maupun hal-hal lain kecewa, sedih, marah dan lain
sebagainya. Selain itu ia juga bisa mengetahui adanya cahaya, warna, bau dan
rasa. Ia tidak bisa menjelaskan kenapa ia harus makan, merasa kering ketika
kehausan dan dengan refleks pikirannya mengatakan ia harus minum, kecuali
karena hal tersebut terjadi secara alami.

Descartes berpendapat bahwa tubuh manusia seperti sebuah mesin yang


tersusun dari tulang, saraf, otot, urat, darah dan kulit. Sekalipun dalam tubuh
tersebut tidak terdapat pikiran, ia tetap melaksanakan semua gerakan dengan
alami yang mana gerakan tersebut tidak disertai dengan kehendak atau keinginan
sebagai akibat ketiadaan pikiran.
Selanjutnya Descartes mengemukakan hasil observasi pertamanya. Disini
ia menyatakan ada perbedaan besar antar pikiran dan tubuh, tubuh dengan
alaminya bisa dibagi (terpisah) sedangkan pikiran tidak dapat dipisahkan. Ketika
ia memikirkan tentang pikirannya, ia tidak bisa membedakan bagian-bagian dari
dirinya, ia memahami dengan jelas bahwa pikiran adalah sesuatu yang menyatu
(single) dan lengkap. Walaupun pikiran sepertinya menyatu dengan tubuh, akan
tetapi jika ada bagian tubuh yang terlepas (cut off), tidak ada bagian dari pikiran
yang ikut terlepas.
Pengamatan berikutnya Descartes menyatakan bahwa pikiran dipengaruhi
secara langsung oleh bagian tubuh kecuali otak, atau mungkin bagian kecil dari
otak yang mana mengandung nalar (common sense). Ketika bagian kecil tersebut
dalam keadaan memberitahukan, ia membuat sebuah sinyal ke dalam pikiran,
sekalipun bagian lain yang ada di tubuh berada dalam kondisi yang berbeda.
Pengamatan terakhir Descartes menjelaskan bahwa gerakan apapun yang terjadi
dalam bagian kecil otak secara langsung mempengaruhi pikiran yang menciptakan
hanya satu sensasi yang keterkaitan. Pengalaman menunjukkan bahwa perasaan
itu terjadi secara alami dalam berbagai kondisi. Oleh karena itu, tidak ditemukan
hal apapun yang menyalahi kekuasaan dan rahmat Tuhan.
Sebagai kesimpulan dari meditasi terakhir ini, Descartes menyatakan
bahwa pikiran memiliki alurnya sendiri yang bergerak bebas untuk menemukan
pengetahuan dan membuktikan kebenaran sebagai akibat adanya keraguan dalam
pengetahuan tersebut. Sedangkan tubuh adalah sebuah mekanisme yang bergerak
secara alami dan terpisah dari pikiran walaupun pada dasarnya adalah satu
kesatuan. Tubuh juga berfungsi sebagai proyeksi dari pikiran dan menangkap halhal yang kemudian diolah oleh pikiran untuk menjadi sebuah pengetahuan.
Kombinasi dari tubuh dan pikiran merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada dan

menjadi salah satu masterpiece ciptaan-Nya yang paling sempurna dari sifat
kesempurnaan yang dimiliki-Nya.

E. Rasionalisme dalam Filsafat


Rasionalisme muncul sebagai aliran filsafat ketika Descartes mulai
berfilosofi dan menyampaikan hasil pemikirannya kepada khalayak umum.
Rasionalisme klasik era Descartes merupakan awal dari terbentuknya pemikiran
filsafat yang menyandarkan pengetahuan dari hasil berpikir. Aliran filsafat ini
juga disebut dengan rasionalisme kontinental.
Menurut Lorens Bagus, ada beberapa ajaran pokok aliran rasionalisme, yaitu:
1. Dengan proses pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran
fundamental yang tidak dapat disangkal, tentang apa yang ada dan
mengenai strukturnya serta tentang alam semesta pada umumnya.
2. Realitas atau kebenaran tentang realitas dapat diketahui secara tidak
tergantung dari pengamatan, pengalaman, dan penggunaan metode
empiris.
3. Pikiran dapat mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas yang
mendahului pengalaman apapun juga (selain kebenaran analitis).
Kebenaran-kebenaran ini adalah gagasan bawaan dan secara isomorfis
cocok dengan realitas.
4. Akal budi adalah sumber utama pengetahuan, dan ilmu pengetahuan pada
dasarnya adalah suatu sistem deduktif yang dapat dipahami secara rasional
yang hanya secara tidak langsung berhubungan dengan pengalaman
inderawi ini.
5. Kebenaran tidak diuji dengan prosedur verifikasi-inderawi tetapi dengan
kriteria konsistensi logis.
6. Kepastian mutlak mengenai hal-hal adalah ideal pengetahuan dan sebagian
dapat dicapai dengan pikiran murni.
7. Hanya kebenaran-kebenaran niscaya dan benar pada dirinya sendiri, yang
timbul dari akal budi saja, yang dikenal sebagai benar, nyata dan pasti.

8. Alam semesta (realitas) mengikuti hukum-hukum dan rasionalitas (bentuk)


logika. Ia adalah suatu sistem yang dirancang secara rasional yang
aturannya cocok dengan logika.
9. Begitu logika dikuasai, segala sesuatu dalam alam semesta dapat dianggap
deduksi dari prinsip-prinsip atau hukum-hukumnya.
Rasionalisme sebagai filsafat ilmu merupakan lawan langsung dari
positivisme. Menurut rasionalisme, semua ilmu berasal dari pemahaman
intelektual kita yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logik.
Rasionalisme merupakan sebuah filsafat yang menekankan pada
penggunaan akal pikiran. Pikiran merupakan satu-satunya makhluk yang bisa
menemukan kebenaran dari proses interaksi dengan alam, baik objeknya real dan
dapat dilihat secara langsung maupun objek yang hanya bisa diketahui dengan
mengetahui objek yang berkaitan sebagai alasan keberadaan dari objek tersebut.

F. Epistimologi Pemikiran
Epistimologi pemikiran Descartes tentang rasionalisme terbagi pada
beberapa pengertian, yaitu:
Sumber dan Hakikat Pengetahuan
Sumber pengetahuan adalah rasio atau akal budi. Semua pengetahuan
berasal dari akal. Dengan berpikir, manusia bisa menjelaskan semua fenomena
yang terjadi di sekitarnya serta bisa menunjukkan eksistensi dan menguji setiap
pengetahuan yang ia terima selama ini sehingga kemudian ia bisa mendapatkan
sebuah pengetahuan baru yang ia yakini kebenarannya.
Sedangkan hakikat pengetahuan adalah apriori, yaitu setiap manusia
memiliki landasan pengetahuan dasar tanpa harus mengalami secara langsung
atau pengetahuan sebelum pengalaman. Pengetahuan yang dimiliki dan diberikan
sejak lahir harus diragukan kebenarannya. Dengan meragukan pengetahuan
tersebut, manusia bisa menguji kembali pengetahuan itu satu persatu hingga
didapatkan pengetahuan yang benar dan tidak bisa diragukan kembali.
Alat Pengetahuan
Alat pengetahuan yang digunakan adalah akal pikiran. Akal pikiran
manusia adalah ciptaan dari Tuhan yang maha sempurna dan sebagai bukti dari

kesempurnaan Tuhan itu sendiri. Dalam hal ini, ia membedakan antara imajinasi
dan pemahaman dasar. Imajinasi adalah perluasan dari pemahaman dasar terhadap
suatu objek yang diolah oleh pikiran sehingga menemukan sebuah pengetahuan
baru.
Metode Memperoleh Pengetahuan
Langkah dasar yang dilakukan Descartes dalam memperoleh pengetahuan
adalah dengan berpikir. Setelah ia menyadari akan proses berpikirnya, kemudian
ia meragukan semua pengetahuan yang ia miliki dan mulai menyelidiki
pengetahuan itu satu persatu dalam pikirannya. Dalam menentukan mana
pengetahuan yang bisa dan tidak bisa diterima, ia menggunakan alasan untuk
memutuskannya hingga mendapatkan sebuah pengetahuan yang tidak bisa
diragukan lagi kebenarannya.
Teori Kebenaran
Teori yang digunakan adalah teori koherensi, yaitu suatu pernyataan
dinilai benar jika tidak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan lain yang
telah dipastikan kebenarannya sebelumnya, atau ada urutan logis antar kebenaran
pernyataan yang ada dengan kebenaran pernyataan berikutnya.
Pengujian atau Validasi kebenaran Pengetahuan
Dari penjelasan pada pembahasan sebelumnya dapat diketahui bahwa
Descartes cenderung mengumpulkan seluruh pengetahuan yang ia miliki,
kemudian mengujinya satu persatu hingga diperoleh pengetahuan pasti yang tidak
bisa diragukan kembali. Metode ini lebih dikenal dengan metode deduksi, yaitu
mengumpulkan semua pengetahuan umum yang kemudian ditarik satu
kesimpulan dalam sebuah pengetahuan yang pasti.
Descartes berpendapat bahwa manusia memiliki pengetahuan bawaan
yang diterima dari Tuhan sudah terjamin kebenarannya. Disamping itu, manusia
memiliki akal pikiran yang diberikan oleh Tuhan yang maha sempurna, sehingga
segala pikiran yang diberikan oleh Tuhan tersebut adalah benar dan pengetahuan
yang diberikan juga pasti benar. Dengan kata lain, pengetahuan yang diyakini
berasal dari Tuhan adalah pengetahuan yang benar, sedangkan pengetahuan yang
dihasilkan oleh manusia masih bisa diragukan kebenarannya. Dengan cara
berpikir seperti ini, maka pengetahuan yang muncul adalah benar.

Sebagai contoh, panas. Panas merupakan sesuatu yang tidak bisa dilihat,
melainkan hanya dirasakan. Pengetahuan akan panas ini sudah terdapat dalam
pikiran manusia sejak mereka lahir. Begitu indera mereka merasakan panas baik
dari api maupun cuaca, pikiran langsung merespon dan mengatakan bahwa ini
adalah panas. Ini adalah kebenaran dari pengetahuan yang sudah ada dan tidak
bisa diragukan kembali.

G. Kesimpulan
Berdasarkan pengalaman penulis, pemikiran Descartes merupakan sesuatu
yang alami dan bisa dijadikan landasan dalam memperoleh serta menguji
pengetahuan. Seringkali manusia terjebak pada pengetahuan (doktrin) yang
mereka peroleh sejak mereka lahir. Mereka menyangka bahwa pengetahuan itu
absolut dan tidak bisa diragukan kembali. Akan tetapi mereka tidak menyadari
bahwa di dunia ini tidak ada yang absolut kecuali Tuhan dan segala aturan-Nya.
Metode meragukan yang dilakukan oleh Descartes adalah sebuah metode
yang bagus dalam menguji pengetahuan, karena tanpa meragukan sesuatu
manusia cenderung puas dengan apa yang ada dan menjadi idealistik terhadap
pengetahuan yang ia miliki. Akan tetapi dibalik itu semua, pengetahuan tidak
semua berasal dari pikiran saja. Ada pengetahuan yang didapatkan dari
pengalaman.
Contohnya, untuk menjadi seorang yang perasa, kita harus bisa merasakan
apa yang dirasakan oleh orang lain. Untuk itu, manusia harus mengalami sendiri
apa yang disebut dengan merasakan, baik itu suka maupun duka, bahagia maupun
menderita. Pengetahuan seperti ini tidak bisa didapatkan hanya dari proses
berpikir, tapi juga melalui pengalaman.
Adapun kelebihan dari pemikiran Descartes ini yang tertangkap dalam
pikiran penulis antara lain:
1. Descartes menyampaikan cara berfilosofi baru yang menggunakan pikiran
murni untuk mencapai kebenaran pengetahuan. Pikiran yang juga ia sebut
sebagai esensi dirinya adalah sebuah makhluk yang bebas dan bisa melakukan
apa saja dan bisa mengungkap apa saja. Dalam hal ini Descartes
mengungkapkan berbagai macam kelebihan pikiran.

2. Descartes ingin menyampaikan kepada seluruh manusia bahwa pengetahuan


tidak boleh langsung diterima begitu saja. Pengetahuan harus diragukan dulu,
kemudian dikaji ulang hingga ia tidak bisa lagi diragukan.
3. Descartes mengajarkan kita untuk mencapai tingkat kesadaran diatas tingkat
kesadaran manusia kebanyakan. Tingkat kesadaran ini tidak akan bisa dicapai
jika kita menerima secara mutlak sebuah pengetahuan yang disampaikan
kepada kita tanpa meragukan kebenarannya. Disamping itu, dengan kesadaran
ini kita menjadi berbeda dan terlepas dari dunia (alam pemikiran) manusia
sehingga kita bisa dengan mudah menghadapi mereka.
Sedangkan kekurangan dari pemikiran Descartes yang bisa dilihat oleh
pikiran penulis antara lain:
1. Descartes

menganggap

pikirannya

adalah

sumber

kehidupan

dan

keberadaannya di dunia ini. Hal ini berimplikasi dia tidak mempercayai rohroh, jin dan makhluk yang tak bisa dijangkau oleh pikirannya.
2. Descartes terkesan tidak percaya kepada wahyu. Baginya wahyu hanyalah
proses imajinasi dari pikiran sebagai akibat dari pengetahuan yang diberikan
Tuhan kepadanya.
3. Descartes terkesan tidak mempercayai keberadaan makhluk yang tidak
memiliki pikiran. Baginya tumbuh-tumbuhan dan hewan adalah benda
material yang dijadikan bukti eksisitensi Tuhan.
4. Descartes mengakui bahwa pikirannya tidak mungkin selalu benar. Ada
kalanya ia terjebak dalam kekeliruan sebagai akibat dari kebebasan memilih
dan berkehendak yang diberikan Tuhan kepadanya, dan juga ia terjebak
kepada kekeliruan jika ia berhenti berpikir tentang Tuhan.
5. Descartes terkesan menganggap tubuh manusia tidak lebih sebagai mekanisme
alami yang bergerak sendiri dan terpisah dari pikirannya. Walaupun dia
mengakui bahwa pikiran dan tubuh itu menyatu, tapi dia tetap membedakan
dua hal tersebut

Anda mungkin juga menyukai