Anda di halaman 1dari 18

Moh.

saiful rizal
17105010056

METAFISIKA RENE DESCARTES


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa setelah Abad pertengahan ialah masa modern, meskipun tidak jelas kapan

berakhirnya abad pertengahan itu, tetapi ada beberapa hal yang menandai masa moden ini, yaitu

perkembangan pesat berbagai kehidupan manusia Barat, khususnya dalam bidang kebudayaan,

intelektual, dan ekonomi.

Masa modern merupakan identitas filsafat modern, pada masa inilah rasionalisme

semakin kuat. Sangat susah untuk menentukan sejak kapan abad pertengahan berakhir. Tetapi,

dapat dikatakan bahwa abad pertengah berakhir pada abad 15 dan 16 atau lebih tepatnya akhir

abad ini ditandai dengan masa Renaissance. Jembatan antara abad pertengahan dengan modern

disebut zaman Renaissance (dalam bahasa Perancis diartikan sebagai kelahiran kembali).

Perkembangan pada masa Renaissance menimbulkan sebuah masa yang sangat berperan penting

dalam dunia filsafat. Inilah yang menjadi awal dari masa modern dan pengetahuan modern,

berdasarkan metode eksperimental dan matematis. Segala sesuatunya, terutama dibidang ilmu

pengetahuan mengutamakan logika dan empirisme.

Dari segi sejarah, rasionalisme sebenarnya telah muncul sejak dahulu, yaitu sejak Yunani

Kuno. Thales (625-545 SM) telah dianggap sebagai ahli falsafah yang mula-mula sekali

menerapkan rasionalisme dalam falsafahnya. Asas rasionalisme yang telah beliau letakkan
didalam falsafah telah dilanjutkan oleh golongan Sofis dan ahli falsafah Yunani Klasik seperti

Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristotal (384-322 SM) dan tokoh-tokoh

falsafah sesudah mereka. Ketika zaman modern, dikenallah mula-mula pencetusnya adalah Rene

Descartes, dan diikuti oleh Spinoza dan Leibniz. Setelah berlalu zaman mereka bertiga, aliran

rasionalisme telah dikembangkan secara sempurna oleh ahli falsafah German, yakni Georg

Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831) yang kemudian juga terkenal sebagai tokoh rasionalisme

dalam sejarah.1

Rene Descartes disebut juga “Bapak Filsafat Modern” karena dialah yang meletakan

dasar untuk aliran rasionalisme. Ia adalah seorang dilsuf modern pertama yang mengemukakan

teori metafisika pertama dalam merespon pandangan ilmiah yang baru mengenai semesta, serta

hubungannya dengan pembalikan tuntutan gereja. Nama lain Rene Descartes adalah Cartesius ia

lahir tahun 1569 dan wafat di tahun 1650. Descartes hidup dalam keluarga berkecukupan

sehingga ia dapat dengan mudah untuk mengakses pendidikan. Dia bersekolah di Kolose Yesuit

di Anjou (La Fleche). Di Universitas ia belajar hukum dan kedokteran dan ilmu fisika. Baru pada

tahun 1619 ia memperoleh jurusan yang pasti dalam studinya. Menurut pendapatnya waktu itu ia

mendapat wahyu ilahi, yang isinya memberitakan kepadanya bahwa ilmu pengetahuan haruslah

satu, tanpa bandingannya dan harus disusun oleh satu orang sebagai satu bangunan yang

seluruhnya berdiri sendiri menurut satu metode yang umum. Adapun yang harus dipandang

sebagai yang benar adalah yang apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctly).

Dalam bukunya ”Discours on method” (1637) tentang filsafat, ia melukiskan

perkembangan intelektualnya dan menuangkan metodenya yang terkenal dengan “Cogito

1
Ahmad Tafsir (1997), Filsafat Umum. Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, h. 111.
Descartes”. Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1647 dia mempublikasikan Meditation on First

Philosophy, 20 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1669, meditation dijadikan sebagai salah

satu buku yang dilarang oleh institusi gereja untuk dibaca. Ia meninggal pada 1965 terkena

penyakit Pneumonia. Seorang filsuf Perancis abad ke XX mengatakan : dia hidup dengan

pemikiran sendiri, untuk pemikiran sendiri, tak satupun keberadaan yang lebih mulia dari ini.

Dalam penelitan ini saya ingin mencari kebenaran metafisika dalam pandangan salah satu

filsuf rasionalisme yakni Rene Descartes. Menurutnya rasio merupakan sumber kebenaran,

hanya dengan rasio manusia akan sampai pada kebenaran dan yang benar hanyalah tindakan akal

yang terang yang disebutnya Ideas claires el distinces (pemikiran yang terang dan terpilah).

Rasionalisme adalah paham filsafat yang menyatakan bahwa akal adalah alat terpenting untuk

memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalitas, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara

berfikir. Descartes mengungkap bahwa akal adalah substansi yang berdiri sendiri dengan istilah

“aku berfikir maka aku ada (Cogito Ergo Sum), akal itu immaterial. Akal adalah kesadaran dan

sifatnya adalah berfikir, sedangkan tubuh adalah bagian dari alam materi. Sifat materi adalah

keluasan.

Rasionalisme yang berkembang pada masa Descartes berlangsung secara signifikan dan

bias dikatakan mencapai puncak kematangannya. Pada masa ini ditandai dengan penggunaan

nalar (rasio) secara eksklusif unutk menemukan suatu kebenaran. Terbukti, upaya ini tidaklah

sia-sia, bahkan mampu memberikan tambahan ilmu pengetahuan yang sangat berkualitas akbat

perkembangan pesat dari ilmu-ilmu alam. Realitas ini membuat orang-orang semakin percaya
terhadap peran akal sebagai sumber kebenaran secara mutlak. Mereka akhirnya berpandangan

bahwa akal merupakan faktor fundamental dalam suatu pengetahuan.2

Kerasionalan dalam berpikir Rene Descartes membuat saya tertarik untuk meneliti dan

mengkaji bukunya yang berjudul “Discourse on Method” Part IV. Didalam part IV membahas

tentang bukti-bukti keberadaan Tuhan dan jiwa manusia atau asas-asas metafisika. Sudah kita

ketahui Rene Descartes merupakan filsuf rasionalisme dan bahkan merupakan kaum skeptisisme,

tentu sangat menarik dalam pembahasan kali ini seorang rasionalis dan skeptis membahas

tentang metafisika yang tak ampak oleh indra manusia.

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitain ini akan membahas tentang:

1. Bagaimana riwayat singkat Rene Descartes ?

2. Bagaimana pandangan Rene Descartes terhadap keberadaan Tuhan?

3. Bagaimana pandangan Rene Descartes terhadap jiwa?

4. Apa saja metode yang dilakukan Descartes dalam berfilsafat ?

C. Tujuan penelitian

Adapun dengan diadakannya penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memaparkan tentang riwayat singkat biografi Rene Descartes.

2. Memaparkan pemikiran Rene Descartes tentang metafisika khususnya keberadaan

Tuhan dan Jiwa.

3. Memaparkan bagaimana metode berfilsafat yang dilakukan oleh Descartes.

D. Kegunaan Penelitian

2
Muhammad Bahar Akkase Teng, “Rasionalis dan Rasionalisme dalam Perspektif Sejarah”,
dalam Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 4, No. 2, Desember 2016, hal.16
Adapun dengan adanya penelitian ini diharapkan berguna untuk :

1. Menambah khazanah pengetahuan tentang filsafat khususnya Filsafat Modern.

2. Diharapakan dengan adanya penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan tambahan

yang dapat digunakan bagi penelitian tentang filsafat modern, terutama tentang

metafisika.

3. Menambah studi kritis pemikiran filsuf modern.

4. Diharapkan dapat digunakan sebagai pelengkap dari penelitian khususnya pada kajia

pustaka mahasiswa jurusan filsafat.


ISI

A. Riwayat singkat Rene Descartes

Rene Descartes dilahirkan pada 31 Maret 1569 di La Haye, Touraine, Perancis.

Beliau dilahirkan kira-kira 100 tahun setelah Cristoper Colombus berlayar ke Benua

Amerika atau kira-kira 50 tahun selepas Nicholas Copernicus menerbitkan hasil kerjanya

yang penuh kontroversi (beliau menulis mengenai teori beliau bahwa bumi yang

mengelilingi matahari dan menolak teori lama yang dikemukakan oleh Ptolemus (150

SM) bahwa bumi adalah pusat alam sejagat dan matahari serta planet-planet lain

mengelilinginya dalam orbit masing-masing). Pada zaman kelahiran Descartes,

Shakeaspear sedang berada pada kemuncak kemasyhurannya. Descartes meninggal dunia

pada tahun 1650. Kira-kira 40 tahun selepas kematiannya, Isaac Newton menerbitkan

hasil kerja fisikanya yang terkenal.3

Descartes termasuk golongan bangsawan. Ayahnya bernama Joachim adalah

seorang staf parlemen di Paris sedangkan Ibunya bernama Jeanne Brochard seorang dari

keluarga saudagar dan pegawai kerajaan. Ibu Descartes mengidap penyakit tuberculosis

dan meninggal setelah setahun Descartes dilahirkan. Pasca kematian ibunya, Descartes

tinggal bersama nenek dan pengasuhnya, sebab ayahnya seringkali keluar kota karena

profesinya.

Semasa kecil, Descartes sangatlah lemah fisiknya hal ini dikarenakan faktor

genetik bawaan dari ibunya. Kemudian ketika ia berusia 4 tahun, ayahnya menikah lagi

dan dari pernikahan barunnya ini, ayahnya dikaruniai 4 anak. Hal ini menyebabkan

Descartes merasa kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya, sehingga ia banyak
3
Hj. Solehah Yacoob dan Hj. Hairunnaja Najmuddin, “Rene Descartes (1596-1650) dan Metode
Cogito”, Jurnal Ushuluddin, edisi 27, 2008, hal. 126
menghabiskan waktu untuk menyendiri. Dalam kesendiriannya ini ia banyak merenung

dan semakin terasahlah akalnya secara tajam dalam berpikir.

Menginjak usia sekolah, Descartes tidaklah kesulitan dalam memperoleh

pendidikan karena ia adalah keturunan bangsawan. Ia memulai karir intelektualnya di

College Royal de La Fleche. Di sekolah ini ia mempelajari ilmu logika, filsafat,

matematika, dan fisika. Pada tahun 1615, Descartes kemudian melanjutkan studinya di

Poitiers University hingga memperoleh gelar sarjana dibidang ilmu hukum tahun 1616.

Namun, gelar sarjananya ini belum dapat memuaskan kehausannya akan ilmu karena

menurunya ilmu-ilmu itu belum berhasil menetapkan fondasi yang kebenarannya absolut.

Dari sini, Descartes mulai meragukan segalanya, termasuk dirinya sediri. Ia kemudian

mencari pengetahuan yang pasti berdasarkan rasionya.4

Perjalanannya dalam mencari kebebasan berpikir dilanjutkannya ke Belanda pada

tahun 1618-1628. Di belanda ia memilih untuk mengikuti latihan kemiliteran dan

bergabung dengan pasukan khusus Duck de Baviera. Di Negara ini Descartes merasakan

kebebasan berpikir yang tidak ia temukan di tempat lain. Disinilah akirnya ia menulis

karya-karyanya dibidang ilmu dan filsafat. Diantaranya, yakni Discourse de la Methode

(1637), Meditation Metphysiques (1641), Principes de la Philosophie (1644), dan Traite

des Passions de l’Ame. Pada tahun 1649, Descartes berangkat ke Swedia memenuhi

panggilan Ratu Christina untuk mengajarkan filsafat di istana kerajaan bersama

sekelompok cendekiawan yang lainnya. Karena fisiknya yang tidak kuat akibat dari

system kerja di kerajaan, Descartes akhirnya meninggal dengan vonis penyakit

pneumonia pada februari 1650.

4
Mochammad Arifin, “Epistemologi Rasionalisme Rene Descartes dan Relevansinya Terhadap
Penafsiran Al Qur’an”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol.17 No-2, Juli-Desember 2018, Hal. 150
B. Keberadaan Tuhan

Sebelum jauh kepada filsafat metafisikanya Descartes, sebelumnya ia sering

merenung tentang hal-hal yang berada di sekitarnya. Seperti halnya langit, bumi, cahaya,

panas, dan berbagai hal lainnya ia beranggapan bahwa jika kesemuanya itu benar-benar

ada, maka mereka merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sesuatu yang memiliki

kesempurnaan. Salah satu gagasannya yang terkenal yakni “Orang-orang yang tidak

percaya adanya Tuhan tidak dapat memastikan bahwa sebuah segitiga mempunyai tiga

sudut”.

Descartes menyatakan bahwa ada dualisme dalam kehidupan. dualisme yang

dimaksud disini adalah bahwa keberadaan itu terdiri dari dua substansi yang saling

terkait, bukan terpisah. Dua substansi itu adalah ada Tuhan adapula manusia. Dan kedua

wujud itu, Tuhan dan manusia saling terkait, bukan terpisah. Tuhan menciptakan manusia

dan manusia tersambung dengan Tuhan sebagai hamba.

Descartes meyakini adanya Tuhan dengan dalil bahwa Tuhan dapat menjamin

manusia sebagai ide-ide yang jelas dan terpilah serta tidak tertipu oleh setan jahat.

Kareananya, Tuhan sebagai penyebab ide yang sempurna dalam pemikiran kita.5

Descartes mengakaji kembali pemahamannya tentang Tuhan. Dimana ia mendapati

bahwa keberadaan-Nya itu tercakup dalam hakikat-Nya sendiri, sama halnya seperti

keberadaan segitiga yang diungkapkan oleh kenyataan bahwa ketiga sudutnya sama

dengan dua sudut siku-siku, atau seperti sebuah bola yang letak semua titik

dipermukaannya berjarak sama jauh dari titik pusatnya; sejelas itu atau bahkan masih

lebih jelas lagi. Oleh sebab itu, setidaknya dapat dipastikan bahwa Tuhan, yang maha
5
Mursyid Fikri, Rasionalisme Descartes dan Implikasinya Terhadap Pemikiran Pembaharuan
Islam Muhammad Abduh, Tarbawi Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 3 No-2, Juli Desember 2018. Hal.
136
sempurna itupun ada atau hadir, dengan kepastian yang tak tertandingi oleh pembuktian

geometri manapun.6

Keberadaan Tuhan, lebih jelasnya oleh Descartes terdapat dua pendapat yang

menjelaskannya. Pendapat pertama, Descartes memulai pemikirannya dengan mengakui

dirinya adalah tidak sempurna. Namun, ia dapat mengungkapkan ide tentang

‘kesempurnaan”, yang mana ia mengganggap hanya dapat berasal dari “Yang Maha

Sempurna”. Pendapat kedua, mengacu pada eksistensi dan esensi dari “Perfect Being” itu

sendiri. Ia beranggapan bahwa ide yang paling sempurna adalah mahluk yang

mengandung kesempurnaan itu sendiri. Oleh karenanya, ia setuju bahwa tidak mungkin

Tuhan yang maha sempurna itu menipu, sehingganya pikiran kita (manusia) yang jelas

dan nyata adalah benar dan segala sesuatu yang ada pada kita itu berasal dari Tuhan.

Tuhan yang maha sempurna dan yang maha benar telah meletakkan gagasan dan

pengertian didalam diri kita dengan landasan kebenaran.

Pembuktian akan keberadaan Tuhan baginya harus tetap berada dalam kerangka

berpikir yang sedang dibangunnya. Pembuktian ini tidak boleh berdasarkan prinsip

kausalitas dan gerak yang terjadi dunia empiris. Ia mengatakan bahwa dalam rasio

manusia terdapat tiga ide bawaan. Pertama ide pemikiran yaitu ide tentang subyek yang

sadar akan dirinya sendiri sebagai mahkluk yang berpikir. Kedua ide keluasan yaitu ide

tentang adanya dunia eksternal. Ketiga ide kesempurnaan yaitu ide tentang Tuhan yang

Maha-Sempurna. Jadi menurut prinsip kausalitas, sesuatu tidak dapat diturunkan dari

ketiadaan atau sesuatu yang kurang sempurna. Satu-satunya kemungkinan logis untuk

memahami itu ialah harus ada sesuatu yang menjaminnya. Kemungkinan itu tidak lain
6
Rene Descartes, Diskursus & Metode, Mencari Kebenaran dalam Ilmu-Ilmu Pengetahuan, Terj.
Ahmad Faridl Ma’ruf (Yogyakarta : IRCiSoD, 2015), Hal. 73
dari Tuhan. Karena hanya Tuhan yang dapat menciptakan sesuatu yang jelas dan terpilah-

pilah dalam kesadaran subyek. Atas penelusuran seperti ini, maka Descartes yakin bahwa

Tuhan yang dikenal dalam kesadaran setiap orang itu pasti bereksistensi riil.

Bagi Descartes, memang ada perbedaan Tuhan sebagai ide (ada dalam pikiran)

dengan  Tuhan yang ada secara riil (tidak kelihatan tetapi ada). Karena Tuhan Maha-

sempurna, tidak mungkin Tuhan yang ada dalam ide atau kesadaran tidak ada secara riil.

Karena itu bagi Descartes, jika Tuhan ada dalam ide saja berarti Tuhan itu tidak

sempurna. Tuhan yang sempurna adalah Tuhan yang  bereksistensi pada ide dan pada

kenyataan. Dengn demikian, ide kesempurnaan yang ada dalam kesadaran manusia justru

menjadi jaminan bagi eksistensi Tuhan itu. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa

Tuhan bereksistensi secara nyata dan Dialah yang merupakan kebenaran yang Maha-

Sempurna.

C. Jiwa Manusia

Jiwa esensinya adalah kesadaran dan berpikir, keberadaannya tidak bergantung

pada ruang dan waktu. Jiwa tanpa tubuh bisa mempunyai kesadaran, tetapi ia hanya akan

memiliki ide-ide bawaan saja. Jiwa menambah rasionalitas dan kehendak pada sebab-

musabab perilaku.

Pandangan Descartes mengenai manusia dikenal dengan Cartesian Dualism. Ia

melakukan pemisahan antara tubuh dengan jiwa. Pemisahan ini sifatnya sebagai

komposisi dan membentuk sebagai sebuah kesatuan yang sangat erat. Mengenai letak

jiwa, ia beragumentasi dengan kinerja sebuah indera yang melihat objek, dari indera,

kemudian cairan-cairan kelenjar dari indera tersebut membawa informasi ke otak. Dari
sini ia berkesimpulan bahwasanya jiwa terletak di sela-sela kelenjar otak. Ia berfungsi

untuk memfungsikan organ tubuhnya.

Otak menyebarkan jiwa yang sehat kedalam otot-otot agar anggota badan

melakukan berbagai gerakan, sesuai dengan tampilannya berbagai objek pada indera, dan

sejalan dengan cita-rasa yang berada didalamnya, sehingga anggota badan kita dapat

bergerak tanpa dikendalikan kehendak.7 Jiwa dalam konteks Descartes sebagai energi

kekuatan dan sebagai “sesuatu” yang melakukan atau menggerakan tindakan. Oleh

karenanya, konsep jiwa menurut Descartes lebih mengarah kepada “penggerak” atau

lebih tepatnya “tugas menjalani tindakan berpikir dan menyadari”.8

Rene Descartes hadir dengan ide yang menakjubkan tentang jiwa; Ia menunjuk

tata letak jiwa dalam tubuh manusia. Dalam buku L'homme Machine (1748), menurut

Descartes, bahwa harus ada satu bagian dari organik tubuh (organ fisik yang bersifat

tunggal) yang dapat menjadi penghubung (perantara) dan yang berfungsi menyatukan

antara jiwa dengan tubuh agar memungkinkan jiwa dapat beraktivitas (misalkan berpikir

dan menyadari). Rene Descartes menunjuk pada kelenjar pineal adalah organ fisik

tunggal, sebagai terminal seluruh sistem syaraf otak yang terletak di tengah-tengah kepala

manusia.9 Kelenjar pineal inilah yang mengolah dan meyatukan objek yang berbeda

dalam suatu persepsi dan satu gambaran ide sebelum mereka sampai pada jiwa.

Jiwa esensinya adalah kesadaran dan berpikir, keberadaaannya tidak bergantung

pada ruang dan waktu karena ia merupakan “substansi” yang immaterial atau non fisik.

Substansi dalam pengertian Descartes adalah apa yang berada sedemikian rupa sehingga

7
Rene Descartes, Ibid. hal 73-74.
8
Phillo Dominikus Pius Jacobus Naraha, Tesis : “Konsep Jiwa Manusia Menurut Aristoteles dan
Sigmund Freud, Suatu Telaah Filosofi”, (Depok : Universitas Indonesia, 2011) hal 18
9
Phillo Dominikus, Ibid Hal. 52
tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Dalam hal ini, Descartes memasukkan

jiwa kedalam pengertian substansi. Descartes memandang bahwa manusia sebagai

makhluk dualitas (substansi) yaitu jiwa sebagai pemikiran dan tubuh sabagi keluasan. Dia

mencontohkan tubuh sebagai mesin dan jiwa menjalankannya.10

Descartes menempatkan rasio dan fungsi-fungsi intelektual jiwa sebagai suatu

yang lebih fundamental daripada pengalaman indera. Jiwa dengan tubuh merupakan

suatu hal yang berbeda.11 Sistem filsafat Descartes menempatkan ide-ide bawaan sebagai

sesuatu yang mendahului pengalaman konkret. Roh dan jiwa pada prinsipnya muncul dari

pengalaman konkret. Descartes mengatakan bahwa jiwa pada dasarnya bersifat simple,

kesatuan, entitas yang tak berubah, sebuah kesadaran yang abstrak. Konsep jiwa

Descartes, setiap jiwa berada dalam “menara gading” masing-masing. Kita adalah

“pengada sosial” di mana kehidupan dalam kita (inner live) terbentuk oleh hal-hal di

sekeliling kita.12

METODE BERFILSAFAT DESCARTES

Metode adalah cara yang tersusun dan teratur, untuk mencapai tujuan, khususnya dalam

hal ilmu pengetahuan.13 Dalam hal ini metode adalah hal yang dilakukan Descartes dalam

berfilsafat. Ia mengenalkan metode keragu-raguan. Jika seseorang ragu terhadap sesuatu, maka ia

akan berpikir. Sebab, yang sedang berpikir itu jelas ada dan terang-benderang. Oleh karenanya,

10
Ngismatul Choiriyah, Rasionalisme Rene Descartes, (Anterior Jurnal, Vol 13 No-2, Juni 2014).
Hal. 242
11
Naely Fiddiana, “Filsafat Manusia Pertarungan Jiwa dan Tubuh-Rene Descartes ”
(https://www.kompasiana.com, diakses pada 23 April, 2020)
12
Hasan Saifuddin, Filsafat Mengenai Tubuh dan Jiwa Manusia, (makalah, 2010) hal. 12
13
Daryanto S.S, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabyaa : Apollo, 1998). Hal. 406
perkataannya yang paling fenomenal sepanjang masa adalah “Cogito Ergo Sum” yang artinya

adalah aku berpikir maka aku ada.

Pada masa Rennaisance, pemikiran masih dipengaruhi oleh khayalan-khayalan, maka

dari itu Descartes merasa terdorong untuk membebaskan diri dari segala pola pemikiran

tradisional dan system pemikiran filsafat masa lalu. Agar dapat memulai era pemikiran baru,

maka kita harus mempunyai landasan pemikiran yang pasti, yang menurut Descartes tidak lain

yaitu keraguan.14 Descartes dikenal sebagai filosof yang skeptis. Tipe skeptis yang dilakukan

Descartes dinamakan “skeptisme metodologikal”, yang artinya menggunakan keraguan secara

metodologis untuk mencapai pengetahuan sejati. Descartes menjelaskan cara matematis dan

mengelompokkannya untuk mengetahui apakah ada satu keyakinan yang tidak bias diragukan

dengan memenuhi tiga kriteria yaitu :

1. Dalilnya mustahil diragukan

2. Keyakinan itu merupakan kebenaran akhir

3. Keyakinan itu merupakan sesuatu yang ada, dan juga kelas demi kelas, kelompok

demi kelompok, ia tidak melewatkan satupun keyakinannya.15

Menurut Descartes, matematika merupakan metode yang terbukti dan pasti. Metode

matematika menurut Descartes, bahwa matematika terletak pada penggunaan dua pengoperasian

mental dimana pengetahuan sejati dapat dicapai lewat intuisi dan deduksi. Namun, ia juga

meragukan keyakinan matematis. Katanya, “Aku baru bangun tidur, namun dua ditambah tiga

pasti sama dengan lima dan persegi empat pasti tidak memiliki lebih dari empat sisi, dan

14
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta : Penerbit Yayasan Kanisius,
1980). Hal. 20
15
T.Z Lavine, From Socrates to Sartre : The Philosophic Quest, (New York : Bantam Book, Inc, 1984) Hal.
94
kelihatannya tidak mungkin kebenaran yang begitu jelas dianggap keliru. Keyakinan ini

diketahui oleh pikiranku, bukan oleh inderaku, namun apakah mustahil untuk meragukannya,

walaupun ahli matematika sering juga melakukan kesalahan.”16 Seperti dalam tertuang dalam

bukunya, bahwa seberapa jauh pikiran-pikiran cemerlang yang ada, tidak akan mampu

menghilangkan keraguan itu.17

Kemudian dia sampai pada jawaban keberhasilannya yang terkenal yaitu: bahkan jika aku

tertipu oleh semua keyakinanku, aku harus tetap ada untuk ditipu. Jika aku meragukan segala hal

yang aku yakini, termasuk metematika, ada suatu keyakinan yang tidak bias diragukan : tiap kali

aku ragu, aku harus tetap ragu. Dalam meragukan kebenaran semua keyakinan lainnya, aku tidak

bisa meragukan keyakinan bahwa aku ragu. Dalam meragukan kebenaran semua keyakinan yang

lainnya, aku tidak bisa meragukan keyakinan bahwa aku ragu, karenanya aku ada. Bahkan jika

segala keyakinan yang kuketahui keliru, satu keyakinan tetap benar, pada saat apa pun, di mana

aku melakukan aktivitas pemikiran, atau tindakan mental apa pun seperti melakukan merasa ragu

atau berkeinginan, aku berada dalam keadaan memikirkan sesuatu. Disinilah, Descartes

menemukan kepastian absolutnya, bukti dirinya, dan prinsip pertama yang benar-benar pasti, di

rumuskannya dengan bahasa Latin: Cogito ergo sum (Aku berfikir, maka aku ada).

Dapat dijelaskan lebih lanjut maksud dari Cogito ergo sum, Aku berada karena aku

berfikir, jadi aku adalah sesuatu yang berfikir, suatu substansi yang seluruh tabiat dan

hakekatnya terdiri dari pikiran dan yang untuk berada tidak memerlukan suatu tempat atau

sesuatu yang bersifat bendawi. Cogito atau aku berfikir adalah pasti, sebab Cogito adalah jelas

dan terpilah-pilah.18

16
Dr. Industri Ginting Suka, Keragu raguan Menjadi Keyakinan Metode Fisafat Rene Descartes (makalah,
2008). Hal 7
17
Rene Descartes, Diskursus & Metode… hal 75
18
Harun Hadiwijono, op.cit
PENUTUP

Setelah pemaparan beberapa hal diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Secara umum, pemikiran Descartes dipandang sebagai jalan mulainya filsafat Modern. Ia

disebut sebagai Bapak Filsafat Modern. Filsafatnya lebih mengedepankan rasio (akal).

2. Pernyataannya yang paling fenomenal adalah Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku

ada) ini telah membawanya kedalam metode berfilsafat. Metode yang diperkenalkan

adalah metode keragu raguan. Bahwa dengan meragukan suatu hal maka itu akan

membuatnya berpikir dan dengan berpikir maka aku ada (eksistensi). Keragu-raguan

harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki.

3. Tuhan menurut Descartes itu ada. Ia membuktikan eksitensi Tuhan dengan melihat

bahwa ide yang dimiliki manusia adalah sempurna, karenanya pastilah ada suatu yang

maha sempurna diluar dirinya yang menghendaki kesempurnaan tersebut.

4. Jiwa esensinya adalah kesadaran dan berpikir, keberadaannya tidak bergantung pada

ruang dan waktu.

Adapun dengan mengulas kembali pemikiran Descartes yang tertuang dalam bukunya yang

berjudul Diskursus dan Metode, saya berpendapat bahwa memang Descartes bukanlah

seorang filsuf muslim, akan tetapi ia mampu mengajak kita untuk lebih memahami Islam

secara rasio bukan hanya terpaku oada teks (nash) yang telah diwahyukan kepada Nabi

Muhammad Saw. Kemudian, dengan mempelajari bagaimana Descartes dalam memahami

keberadaan Tuhan dan Jiwa manusia itu ia telah mengajak kita untuk berpikir kritis tentang

segala sesuatu yang tak nampak namun melekat dalam kehidupan, sehingganya diperlukan

sikap kritis dan keragu-raguan akan hal tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

Akkase Teng, Muhammad Bahar. “Rasionalis dan Rasionalisme dalam Perspektif

Sejarah”, dalam Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 4 No. 2, Desember 2016

Arifin, Mochammad. “Epistemologi Rasionalisme Rene Descartes dan

Relevansinya Terhadap Penafsiran Al Qur’an”. Jurnal Ilmu Ushuluddin. vol.17 No-2.

Juli-Desember 2018

Choiriyah, Ngismatul, Rasionalisme Rene Descartes, (Anterior Jurnal, Vol 13

No-2, Juni 2014)

Descartes, Rene. Diskursus & Metode, Mencari Kebenaran dalam Ilmu-Ilmu

Pengetahuan, Terj. Ahmad Faridl Ma’ruf (Yogyakarta : IRCiSoD, 2015)

Fiddiana, Naely, “Filsafat Manusia Pertarungan Jiwa dan Tubuh-Rene Descartes

” (https://www.kompasiana.com, diakses pada 23 April, 2020)

Fikri, Mursyid. “Rasionalisme Descartes dan Implikasinya Terhadap Pemikiran

Pembaharuan Islam Muhammad Abduh”. Tarbawi Jurnal Pendidikan Agama Islam.

Vol 3 No-2. Juli Desember 2018

Ginting Suka, Dr. Industri, Keragu raguan Menjadi Keyakinan Metode Fisafat

Rene Descartes (makalah, 2008)

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. (Yogyakarta : Penerbit

Yayasan Kanisius, 1980)

Jacobus Naraha, Phillo Dominikus Pius. Tesis : “Konsep Jiwa Manusia Menurut

Aristoteles dan Sigmund Freud, Suatu Telaah Filosofi”. (Depok : Universitas

Indonesia, 2011)
Lavine, T.Z. From Socrates to Sartre : The Philosophic Quest. (New York :

Bantam Book, Inc, 1984)

S.S, Daryanto. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. (Surabaya : Apollo, 1998)

Saifuddin, Hasan, Filsafat Mengenai Tubuh dan Jiwa Manusia, (makalah, 2010)

hal. 12

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James.

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997)

Yacoob, Hj. Solehah dan Hj. Hairunnaja Najmuddin. “Rene Descartes (1596-

1650) dan Metode Cogito”. Jurnal Ushuluddin. edisi 27. 2008

Anda mungkin juga menyukai