Anda di halaman 1dari 14

ZAMAN ABAD MODERN

MATA KULIAH FILSAFAT BAHASA

Dosen Pengampu: Dr. Drs. Prihadi, M. Hum.

Kelompok 7 :

1. Naurah Athaya Putri (20201241006)


2. Alya Aulia Defyo (20201241019)
3. Haifa Aulia Jasmine (20201241032)
4. Safrina Nur Laili (20201241035)
5. Dwista Atik Kurniati (20201241038)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021
ZAMAN ABAD MODERN

A. Pendahuluan
Sejarah manusia menapak terus dipimpin sang waktu. Kekhususan manusia dalam
mensyukuri karunia Sang Maha kuasa nampaknya terusik dengan kemunculan kegelisahan
pada dirinya. Keakraban manusia dengan Tuhannya dilakukan kaum patristik dan sekolastik
terutama dilakukan oleh Thomas Aquina. Pada masa abad pertengahan menjadi sirna dengan
munculnya kesadaran akan dirinya sendiri. Seiring berjalannya waktu muncullah abad
modern yang diawali dari Renaissance yang secara harfiah berarti "kelahiran kembali" dan
secara historis berarti suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya
bangkit kembali di keadaban.
Gerakan tersebut ditandai dengan kebudayaan Romawi yang dihidupkan kembali.
Gerakan pembaharuan ini diawali oleh orang-orang Italia yang biasa dikenal dengan gerakan
humanisme. Pada abad pertengahan orang telah mempelajari karya besar dari para pemikir
dan penulis Yunani dan latin, hal tersebut berbeda dengan orang-orang humanisme pada
zaman Renaissance yang tidak berpedoman pada otoritas teologis. Kaum humanisme zaman
Renaissance mengusahakan ke pustakawan yang lebih baik untuk meningkatkan
perkembangan yang harmonis dan sifat-sifat serta kecakapan alamiah manusia. Oleh sebab
itu, muncullah kebangkitan untuk mempelajari sastra klasik dan penyambutan atas realitas
hidup yang bersifat alamiah. Menurut realis aja sendiri dunia di terima apa adanya sebab
manusia menghargai dan nyaman atas kehidupan yang bersifat alamiah tersebut. Perhatian
manusia yakni optimisme manusia juga timbul karena adanya perspektif baru bagi kesenian
dan kesusastraan, hal ini ditujukan kepada manusia, hidup kemasyarakatan, dan sejarah.
Sejak saat itu manusia menyadari bahwa dunia dan dirinya sendiri adalah dua hal yang
berbeda. Era baru akan penemuan dirinya sendiri oleh manusia menjadikan manusia merasa
bebas dari kungkungan Wahyu. Menurutnya Wahyu memiliki wibawa dalam bidangnya
sendiri. Hal itu, mengakibatkan kebanyakan manusia berpendapat bahwa akal tidak
berwibawa atas kebebasan agama. Dalam khazanah filsafah orang berpendapat bahwa dalam
pengertian ini tiada sedikitpun ikatan kepada suatu wibawa apapun dalam hal kebebasan akal
manusia. Lambat-laun filsafat mulai meninggalkan kemesraannya dengan teologi filsafat
menjadi bersifat individualistis.. tolaknya yaitu kebebasan mutlak bagi pemikiran dan
penelitian bebas dari wibawa atau tradisi. Suatu perkembangan yang maha penting pada
zaman itu adalah mulai timbulnya ilmu pengetahuan alam modern yang berdasarkan metode
eksperimental dan matematis beberapa tokoh peletak dasar ilmu pengetahuan tersebut :
1. Leonardo da Vinci
2. Nicolaus copernicus
3. Johanes Kepler
4. Galileo galilei
( Bertness, 1989 : 64 ) menyatakan bahwasanya seorang tokoh yang meletakkan dasar
filosofis untuk perkembangan dalam ilmu pengetahuan adalah Francis Bacon. Bangsawan
Inggris ini mengarang suatu karya yang bermaksud menggantikan teori Aristoteles tentang
ilmu pengetahuan dengan suatu teori baru yang disebut Novoum Organium. Augklarum
adalah masa dimana manusia keluar dari keadaan tidak akil baligh, yang disebabkan oleh
kegagalan nya sendiri. (Hardiwijojo, 1983:47) kesalahan manusia dikarenakan manusia tidak
mau mempergunakan akalnya. Dalam pengertian ini fairy tail menyebutnya sebagai "zaman
akal "akar filsafat bahasa terutama filsafat analitika bahasa muncul pada zaman filsafat abad
modern ini. Rasionalisme yang merupakan tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia yang
dikembangkan pada ilmu pengetahuan bahkan ia disebut "bapak filsafat modern", Empirisme
antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan David. Ilmu tokoh kritisme Immanuel Kant
serta August Comte sebagai pencetus paham positifisme. Tersebut sangat berpengaruh
terhadap perkembangan filsafat bahasa terlebih lagi dalam pengembanga dasar-dasar analisis
bahasa.

B. Rene Descartes
Profil Rene Descartes
Rene Descartes dilahirkan di La Haye Totiraine, sebuah daerah kecil di Perancis
bagian tengah pada tanggal 31 Maret 1596. Descartes berasal dari keluarga yang mempunyai
tanah yang luas (borjuis), karena ayahnya merupakan ketua parlemen di Inggris pada saat itu.
Descartes menempuh pendidikan di Universitas Jesuites di La Fleche dari tahun 1604-1612
M, yang tampaknya telah memberikannya dasar-dasar keilmuan matematika modern.
Perjalanan kehidupan Descartes tidak cukup hanya dengan pengetahuan matematika
yang membuatnya puas, sehingga akhirnya pada tahun 1612, Descartes memutuskan pergi ke
Paris, ke daerah terpencil (Faubourg St. Germain) untuk belajar Geometri. Hal tidak biasa
yang dilakukan oleh Descartes adalah dirinya sangat menginginkan kehidupan sendiri, tanpa
hiruk pikuk duniawi. Dalam kehidupan seperti itu, biasa dilakukan oleh pertapa untuk
meningkatkan keilmuan yang dimilikinya. Ketika koleganya mengetahui keberadaannya,
justru dirinya pada tahun 1617 malah mendaftar sebagai tentara Belanda(Russell, 2007: 733).
Dari sini kemudian sejarah hidupnya dihabiskan di Swedia sebagai guru yang
mengajarkan matematika dan geometri serta filsafat. Kegiatan ini dilakukannya sampai
meninggal dunia, pada tanggal 11 Februari 1650 di usia 53 tahun, dan dirinya belum sempat
menikah. Dari Swedia Jenazah Descartes dipindahkan ke Prancis pada 1667, dan
tengkoraknya disimpan di Museum d'Histoire Naturelle, Paris

Kritik Rene Descartes Terhadap Filsafat Masa Lampau


Pengembaraan Descartes di bidang filsafat, berawal dari ketidakpuasannya terhadap
filsafat pada zamannya. Menurut Descartes, filsafat masa lampau itu terlalu tergantung dari
dalil-dalil atau doktrin para filsuf zaman dahulu, seperti Aristoteles. Bahkan dalam
pandangan Descartes, filsafat pada masa lampau cenderung terlalu mudah memasukkan
penalaran yang bisa jadi-benar ke dalam penalaran yang sebenarnya dikhususkan pada
insight niscaya.
Pemikiran Descartes sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat
analitika bahasa dan bahkan hal ini ditekankan sendiri oleh Descartes bahwa metode yang ia
kembangkan itu adalah metode analitis. Untuk mencapai kebenaran pengetahuan Descartes
berpangkal pada keragu-raguan terhadap segala sesuatu. Namun, keragu-raguan disini
bersifat metodis dan bukannya skeptisisme mutlak, yaitu keragu-raguan sebagai suatu
pandangan.

Menurut Descartes, yang dipandang sebagai pengetahuan yang benar adalah apa yang
jelas dan terpilah-pilah, artinya bahwa gagasan atau ide itu seharusnya dapat dibedakan
dengan gagasan-gagasan atau ide-ide yang lain. Pengamatan indrawi tidak memberi
keterangan kepada kita tentang hakikat dan sifat-sifat dunia di luar kita. Pengamatan indrawi
hanya memberi nilai praktis. Benda-benda di luar kita hanya memberi ide yang samar-samar
saja. Ide yang samar-samar itu hanya memberitahukan kepada kita tentang perasaan subjek
yang mengamatinya. Hanya pemikiran yang jelas dan terpilah-pilah yang dapat mengajar
kepada kita secara sempurna tentang hakikat segala sesuatu dan sifat-sifatnya yaitu melalui
pengertian-pengertian atau ide-ide yang secara langsung jelas. Yang diketahui pikiran secara
langsung tanpa melalui perantaraan adalah dirinya semata-mata. Segala sesuatu di luarnya
hanya dikenal secara tidak langsung, melalui perantaraan.

Pengertian atau ide-ide itu semula dikenal dalam realitasnya sendiri. Pikiran
menemukan dalam dirinya sendiri ide-ide itu sebagai gagasan-gagasan yang menampakkan
diri sebagai pencerminan objek atau sasaran di luar kita. Oleh karena itu, ide-ide itu juga
menjadi alat untuk mengenal hal-hal yang di luar pikiran. Pengertian yang jelas dan terpilah-
pilah tadi ternyata benar-benar sesuai dengan apa yang digambarkan (Hadiwijono, 1983: 22
melalui Kaelan, 2013). Oleh karena itu, untuk mencapai kebenaran pengetahuan yang kedap
dengan keragu-raguan, tahapan metodenya sebagai berikut:

(a) Bertolak dari keragu-raguan metodis bahwa tidak ada yang diterima sebagai sesuatu
yang benar. Konsekuensinya kita harus menghindarkan diri dari sikap tergesa-gesa
dan prasangka. Adapun dalam keputusan-keputusan hanya menerima sesuatu yang
dihadirkan pada akal dengan sedemikian jelas dan tegas sehingga mustahil untuk
disangsikan.

(b) Semua bahan dan persoalan yang diteliti, dibagikan dalam sebanyak mungkin bagian,
manakala kiranya perlu untuk pemecahan yang memadai.

(c) Sistematik pikiran dilakukan dengan bertitik tolak dari pemahaman objek dari yang
paling sederhana dan mudah, berangsur-angsur tahap demi tahap sampai pada
pengertian yang lebih kompleks. Jadi dari pengertian yang simpel dan absolute
sampai pada pengertian yang kompleks dan relative.

(d) Akhirnya sampailah pada tinjauan permasalahan yang bersifat universal, sehingga
ditemukan suatu kepastian. Maka dengan demikian tiada lagi keraguan (Bakker,
1984: 74-78 melalui Kaelan, 2013).

Setelah menyangsikan segala sesuatu, Descartes menemukan bahwa ada satu hal yang
tidak dapat diragukan, yaitu saya yang sedang menyangsikan segala sesuatu, sedang berpikir,
dan jika saya sedang berpikir itu berarti tidak dapat diragukan lagi bahwa saya pasti ada.
Karena itu, dengan yakin Descartes berkata “Je Pense, donc je suis” (aku berpikir, maka aku
ada) yang terkenal dalam terjemahan bahasa Latin: cogito ergo sum. Bagi Descartes, manusia
harus menjadi titik berangkat dari pemikiran yang rasional demi mencapai kebenaran yang
pasti itu, karena rasio harus berperan semaksimal mungkin. Di sinilah sesungguhnya
sumbangan besar Descartes, yakni berhasil menjadikan manusia sebagai subjek dunia.
Dimana sebelumnya manusia justru menjadi objek yang hanya tergantung dengan dalil-dalil.
Doktrin Descartes tentang cogito ergo sum yang ditindaklanjuti dengan keragu-raguan
metodis beserta langkah-langkahnya ini dikhususkan untuk mendapatkan kebenaran. Pada
hakikatnya, pemikiran ini menerapkan metode yang yang bersifat analitik yang dikemukakan
sendiri oleh Descartes. Langkah-langkah metode ini nampaknya memiliki kemiripan dengan
metode yang dikembangkan dan oleh tokoh-tokoh Atomisme logis. Pemikiran Atomisme
logis menjelaskan realitas melalui bahasa logic yang diungkapkan melalui proposisi-
proposisi atomik untuk mengungkapkan fakta Atomic. Realitas ini, tersusun atas fakta-fakta,
dari fakta Atomic sampai pada fakta yang bersifat komplek. Dan yang dimaksud fakta dalam
pengertian ini adalah keberadaan suatu peristiwa (State of affairs).
Terdapat kesamaan antara metode Descartes dengan metode Atomisme logis yaitu
keduanya menggunakan metode analitis atau dengan lain perkataan bahwa kedua pemikiran
ini sama-sama menggunakan metode analitis dalam mengungkapkan kebenaran. Namun
demikian, terdapat perbedaan diantara keduanya yaitu, atomisme logis dalam memecahkan
masalah-masalah filosofis menggunakan analisis logis tentang ungkapan-ungkapan filsafat
untuk mencapai suatu putusan. Adapun Rene Descartes melalui pendekatan ontologi yaitu
cogito ergo sum, menjelaskan bahwa pencapaian tidak didasarkan pada analisis logis tetapi
didasarkan pada intuisi dan akal murni, walau titik tolak pemikiran Descartes adalah pada
rasio.
Pemikiran Descartes ini memberikan informasi bahwa keberadaan akal dalam
pencarian kebenaran merupakan hal penting yang perlu untuk diungkap. Dalam bahasa
agama, mungkin ini terkait dengan “kesyukuran” atas nikmat terbesar Allah berupa akal.
Selain pemikiran di atas, dirinya dianggap sebagai bapak filsafat modern, dan pencetus
rasionalisme kontinental (Yusuf, 2002: 16). Pertautan Descartes dengan akal sebagai alat
pencari kebenaran, disamping perseteruan dengan beberapa filsuf pada zamannya,
menjadikannya sebagai filsuf terkenal. Inilah Rene Descartes, selain dijuluki sebagai Bapak
filsafat modern, Ia juga dipandang sebagai peletak dasar-dasar filsafat analitik paham
rasionalisme, yang terus dikembangkan oleh para tokoh filsafat analitik yang
mengungkapkan konsep konsep tentang proposisi formal yang bersumber pada rasio
manusia.

C. Thomas Hobbes

Thomas Hobbes lahir pada 5 April 1588 di Westport, Wiltshire, Inggris. Lalu,
meninggal 4 Desember 1679 di Hardwick Hall, Derbyshire. Thomas Hobbes dari
Malmesbury adalah seorang filsuf Inggris yang beraliran empirisme. Pandangannya yang
terkenal adalah konsep manusia dari sudut pandang empirisme-materialisme, serta pandangan
tentang hubungan manusia dengan sistem negara.
Hobbes memiliki pengaruh terhadap seluruh bidang kajian moral di Inggris serta
filsafat politik, khususnya melalui bukunya yang amat terkenal Leviathan (1651) yang
bercakap tentang struktur warga, pemerintahan resmi, dan kontrak sosial dengan relevansi
menciptakan negara kuat bersyarat yang ditakuti oleh warga negaranya agar tercipta keadaan
yang aman dan manusia tidak saling memangsa ataupun menyerang satu sama lain. Buku ini
memiliki keterkaitan erat dengan konsep pemikiran Hobbes, yaitu bahwa manusia bukanlah
makhluk yang gemar bersosialisasi, cenderung individu dan mementingkan diri sendiri sifat
alamiah manusia yang memiliki hasrat rakus dan ingin menguasai bahkan Hobbes mengibarat
manusia sebagai serigala bagi manusia yang lain yaitu Homo Homini Lupus. Hobbes tidak
hanya terkenal di Inggris tetapi juga di Eropa Daratan. Selain dikenal sebagai filsuf, Hobbes
juga terkenal sebagai ahli matematika dan sarjana klasik. Ia pernah menjadi guru matematika
Charles II serta menerbitkan terjemahan Illiad dan Odyssey karya Homeros.

Thomas Hobbes adalah filsuf Inggris pertama yang mengembangkan aliran


empirisme. Empirisme berasal dari bahasa Yunani empeiria yang berarti 'berpengalaman
dalam, berkenalan dengan’. Empirisme menyatakan bahwa pengalaman adalah asal dari
segala pengetahuan. Yang nyata adalah yang dapat diamati oleh indera manusia, dan sama
sekali tidak tergantung pada rasio manusia. Dengan menyatakan yang benar hanyalah yang
inderawi. Pengamatan indrawi terjadi karena gerak benda-benda di luar manusia yang
menyebabkan adanya rangsangan terhadap indra manusia. Rangsangan tersebut diteruskan ke
otak, dan dari otak ke jantung. Di dalam jantung timbullah reaksi tertentu yang merespons
pengamatan tersebut. Jadi, pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman
adalah tanpa arti. Ilmu itu harus dapat diuji melalui pengalaman. Dengan demikian,
kebenaran yang diperoleh bersifat a posteriori yang berarti post to experience (setelah
pengalaman). Walaupun sebelum Hobbes, Francis Bacon telah menerapkan prinsip-prinsip
empirisme namun Bacon tidak mengembangkan suatu ajaran yang lengkap, ia hanya
mengembangkan aplikasi di bidang ilmu pengetahuan empiris. Biarpun demikian ia
menerima juga prinsip metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam sebagaimana
dikembangkan oleh Bacon yaitu metode empiris matematis. Thomas Hobbes termasuk filsuf
yang unik dan kreatif yaitu menyatukan pandangan empirisme dengan rasionalisme dalam
suatu sistem filsafat materialisme. Hobbes mengatakan bahwa seluruh alam semesta adalah
kebendaaan dan apa saja yang bukan benda sesungguhnya tidak ada. Pemikiran filsafat
materialisme sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat bahasa, baik yang
berkaitan dengan pemikiran filsafat analitik maupun terhadap perkembangan. Pemikiran
hakikat bahasa yang merupakan dasar-dasar perkembangan ilmu linguistik periode
berikutnya.

Menurut Hobbes FiIsafat adalah suatu ilmu pengetahuan bersifat umum, sebab filsafat
adalah ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-
penampakan yang sedemikian sebagaimana yang kita peroleh dengan merasionalisasikan
pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat
adalah fakta-fakta yang diamati, yaitu untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun instrumennya
adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan melalui bahasa yang menggambarkan fakta-
fakta itu. Di dalam proses pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk
pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan dengan
perantara pengertian-pengertian ruang, waktu, bilangan, dan gerak yang diamati pada benda-
benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu
adalah nyata, yang nyata menurutnya adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu.
Segala gejala pada benda-benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan
yang ada pada subjek. Dengan ini, Hobbes menegaskan bahwa obyek filsafat adalah obyek-
obyek lahiriah yang bergerak beserta ciri-cirinya. Segala yang ada ditentukan oleh sebab, yang
hukumnya sesuai dengan hukum alam dan ilmu pasti. Dunia adalah suatu keseluruhan sebab-
akibat dan kesadaran kita termasuk di dalamnya. Demikian kiranya filsafat Hobbes nampak
ciri-ciri empirisme, rasionalisme, dan materialisme (Hadiwijoyo, 1989:51).

Walaupun tidak secara langsung pengaruh Hobbes terhadap berkembangnya filsafat


bahasa, namun demikian sebenarnya berdasarkan ajaran-ajaran yang dikembangkannya
terdapat tiga hal yang mempengaruhi berkembangnya filsafat bahasa terutama filsafat
analitika bahasa. Pertama ajaran empirisme Hobbes memberikan warna bagi berkembangnya
paham-paham filsafat analitika bahasa, terutama atomisme logis dan positivisme logis.
Proposisi itu mengungkapkan fakta-fakta, bahkan menurut posititivisme logis, ungkapan
yang bermakna adalah yang dapat diverifikasi secara empiris. Hobbes memberikan dasar-
dasar ini karena dalam empirisme Hobbes juga mengangkat otoritas rasio (logika) dan fakta.
Kedua, menurut Hobbes fakta-fakta itu diungkapkan dengan menggunakan bahasa sebagai
instrumennya, dan hal ini dilakukan oleh atomisme logis dan postivisme logis dalam logika.
Ketiga, empirisme Hobbes memberikan warna bagi penentuan sistem logika bahasa filsafat
analitik yaitu proposisi meliputi pengertian proposisi empiris (atau faktual) yaitu proposisi
yang mengungkapkan realitas empiris (yaitu yang berasal dari pengalaman indra), dan
proposisi formula yang bersumber dari rasio manusia dan memiliki kebenaran yang bersifat
tautologis.

D. John Locke

John Locke lahir di Wrington, Somerset, Inggris pada tanggal 29 Agustus tahun 1632
dan wafat pada tanggal 28 Oktober 1704. Beliau merupakan seorang filsuf dari Inggris yang
menjadi salah satu tokoh utama dari pendekatan empirisme. Istilah empirisme diambil dari
bahasa Yunani “empiria” yang berarti coba-coba atau pengalaman. Empirisme adalah lawan
dari kata rasionalisme. Empirisme yaitu suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa
semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia.
John Locke dipandang sebagai salah satu figur terpenting di era Pencerahan. Selain
itu, Locke menandai lahirnya era Modern dan juga era pasca-Descartes (post-Cartesian),
karena pendekatan Descartes tidak lagi menjadi satu-satunya pendekatan yang dominan di
dalam pendekatan filsafat waktu itu. Kemudian Locke juga menekankan pentingnya
pendekatan empiris dan juga pentingnya eksperimen-eksperimen di dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan.
Filsafat Locke dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang
diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descartes. Ia juga
menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan
pengalaman; jadi, induksi. Bahkan, Locke juga menolak akal (reason). Ia hanya menerima
pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.
Tulisan-tulisan Locke tidak hanya berhubungan dengan filsafat, tetapi juga tentang
pendidikan, ekonomi, teologi, dan medis. Karya-karya Locke yang terpenting adalah "Esai
tentang Pemahaman Manusia" (Essay Concerning Human Understanding), "Tulisan-Tulisan
tentang Toleransi" (Letters of Toleration), dan "Dua Tulisan tentang Pemerintahan" (Two
Treatises of Government) (Wikipedia).
Pemikiran empirisme John Locke merupakan sintesa rasionalisme Rene Descartes
dengan empirisme Thomas Hobbes. Walaupun Locke menggabungkan beberapa pemikiran
Descartes, ia menentang ajaran-ajaran pokok Descartes. Ia menentang teori rasionalisme
mengenai ide dan asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut Locke
segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal atau rasio bersifat
pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya
sendiri, akan tetapi diperolehnya dari luar akal melalui pengalaman inderawi (Hadiwijono,
1983: 36 melalui Kaelan, 2013: 61). Semula akal semacam secarik kertas yang putih bersih
tanpa tulisan dan seluruh isinya berasal dari pengalaman inderawi manusia (Bartens, 1989: 51
melalui Kaelan, 2013).
Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akal. Satu-
satunya sasaran atau objek pengetahuan adalah gagasan atau ide yang timbul karena
pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection) yang berada dalam
psikis manusia. Gagasan-gagasan tersebut dibedakan atas:

a. Gagasan tunggal (simple ideas)


Gagasan tunggal datang langsung dari pengalaman tanpa pengolahan logis apapun.
b. Gagasan majemuk (complex ideas)
Gagasan majemuk timbul dari percampuran atau penggabungan gagasan-gagasan tunggal.

Jikalau beberapa gagasan secara bersama-sama menampilkan diri, subjek menanggapi


gagasan-gagasan itu sebagai satu hal yang sama, yang berdiri sendiri yang disebut substansi.
Selain dari substansi, gagasan-gagasan majemuk juga dapat meliputi pengertian tentang
keadaan. Tugas roh manusia terbatas pada memberi sebutan kepada gagasan-gagasan tunggal
tadi, menggabung-gabungkannya, merangkumkannya, dan menjadikannya bersifat umum.
Dari gagasan-gagasan itulah timbul isi pengetahuan kita yang bermacam-macam.
Pengetahuan umum adalah suatu sebutan kolektif bagi segala gagasan yang tunggal dan
majemuk dari rumpun yang sama. Jadi, bahasa yang tersusun atas kata-kata berfungsi sebagai
tanda bagi suatu isi kesadaran manusia.
Sasaran pengenalan manusia adalah gagasan semata-mata. Pengenalan manusia
adalah pengenalan tentang gagasan atau ide yaitu kesan-kesan yang dimiliki subjek yang
mengenal. Gagasan-gagasan tunggal dari pengalaman batiniah adalah objektif. Gagasan-
gagasan itu kita kenal dalam kesadaran seperti keadaan yang sebenarnnya. Segala gejala
psikis yang disaksikan oleh kesadaran kita tampil sebagai kenyataan bagi manusia. Gagasan
tunggal dari pengalaman lahiriah semuanya adalah benar sejauh gagasan-gagasan itu
disebabkan oleh realitas yang ada di luar subjek serta menghadirkan realitas itu dalam
kesadaran kita. Pengamatan tentang dua gagasan tunggal yang ada atau yang tidak ada
persesuaiannya dinyatakan di dalam suatu putusan. Gagasan yang satu dengan yang lain
dapat muncul dalam beberapa bentuk antara lain: (a) dalam bentuk identitas atau perbedaan,
(b) dalam bentuk hubungan, (c) dalam bentuk koeksistensi atau berada bersama-sama, dan (d)
dalam bentuk kenyataan. Bagaimanapun bentuknya, gagasan-gagasan itu senantiasa
dihubungkan dengan yang lain dalam suatu putusan. Putusan itu dapat benar, tetapi dapat
juga salah. Ada putusan yang hanya mengenai pengetahuan tentang gagasan-gagasan kita
(ilmu pasti, etika), ada putusan yang mengenai gagasan-gagasan tunggal dan kesesuaiannya
dengan kenyataan di luar kita (misalnya mengenai sifat primer dan sekunder), dan ada pula
putusan yang mengenai gagasan-gagasan kompleks dan kesesuaiannya dengan kenyataan
(dalam hal ini khususnya timbul soal mengenai substansi). Segala putusan terjadi di kawasan
roh. Putusan yang benar diperoleh karena pengenalan intuitif. Segala kepastian dan kejelasan
dalam pengetahuan bersandarkan intuisi, pembuktian kurang memberi kepastian dibanding
dengan intuisi (Hadiwijoyo, 1983: 36 melalui Kaelan, 2013)
Empirisme John Locke lebih memiliki sifat analitis dibandingkan dengan Thomas
Hobbes, sehingga dalam hubungannya dengan pemikiran filsafat analitika bahasa, empirisme
Locke banyak memberikan sumbangan terutama dasar-dasar fakta empiris beserta bentuk
susunan gagasan-gagasan. Dalam konsep filsafat analitika bahasa dikenal konsep proposisi
erlementer atau sederhana yang melukiskan fakta elementer (atomis), serta proposisi
kompleks yang melukiskan fakta yang kompleks pula. Hal ini sesuai dengan konsep Locke
tentang ide-ide yang sederhana dan ide-ide yang kompleks. Jastifikasi pengetahuan empiris
juga memiliki kesamaan dengan jastifikasi proposisi menurut konsep analitika bahasa yaitu
keduanya bukan hanya sampai pada klarifikasi, melainkan sampai pada putusan. Namun,
perbedaannya, Locke tidak menentukan susunan gagasan atau ide itu berdasarkan pada sistem
logika seperti yang dilakukan oleh atomisme logis maupun positivisme logis.

Dalam kaitannya dengan bahasa, isi pengetahuan yang timbul dari gagasan-gagasan
manusia diungkapkan melalui bahasa, adapun menurut filsafat analitik yang diungkapkan
melalui bahasa adalah fakta, yang tersusun atas prinsip-prinsip logika sehingga menentukan
bermakna atau tidaknya ungkapan tersebut.
E. Kesimpulan
Sejarah manusia menapak terus dipimpin sang waktu. Kekhususan manusia
dalam mensyukuri karunia Sang Maha kuasa nampaknya terusik dengan kemunculan
kegelisahan pada dirinya. Keakraban manusia dengan Tuhannya dilakukan kaum
patristik dan sekolastik terutama dilakukan oleh Thomas Aquina. Pada masa abad
pertengahan menjadi sirna dengan munculnya kesadaran akan dirinya sendiri. Seiring
berjalannya waktu muncullah abad modern yang diawali dari Renaissance yang
secara harfiah berarti "kelahiran kembali" dan secara historis berarti suatu gerakan
yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya bangkit kembali di
keadaban.

 Rene Descartes
Descartes membedakan adanya tiga ide dalam diri manusia, antara lain:
1. Innate ideas adalah ide atau pemikiran bawaan sejak manusia tersebut
dilahirkan.
2. Adventitious idea adalah ide yang berasal dari luar diri manusia
3. Factitious idea adalah ide yang dilahirkan oleh pikiran itu sendiri.
Dengan metode Descartes itulah akhirnya memunculkan kembali bahwa
segala sesuatu haruslah dipecahkan dengan rasio (rasionalisme), melalui
pembuktian, logika, dan analisis bersadarkan fakta-fakta daripada melalui
dogman, iman maupun ajaran agama.
 Thomas Hobbes
Hobbes memiliki pengaruh terhadap seluruh bidang kajian moral di Inggris
serta filsafat politik, khususnya melalui bukunya yang amat terkenal
Leviathan (1651) yang bercakap tentang struktur warga, pemerintahan resmi,
dan kontrak sosial dengan relevansi menciptakan negara kuat bersyarat yang
ditakuti oleh warga negaranya agar tercipta keadaan yang aman dan manusia
tidak saling memangsa ataupun menyerang satu sama lain. Thomas Hobbes
adalah filsuf Inggris pertama yang mengembangkan aliran empirisme.
Empirisme berasal dari bahasa Yunani empeiria yang berarti 'berpengalaman
dalam, berkenalan dengan’. Empirisme menyatakan bahwa pengalaman adalah
asal dari segala pengetahuan.
 John Locke
Pemikiran Locke yang paling berpengaruh di dalam sejarah filsafat adalah
mengenai proses manusia mendapatkan pengetahuan. Menurut Locke, seluruh
pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia, posisi ini adalah posisi
empirisme yang menolak pendapat kaum rasionalis yang mengatakan sumber
pengetahuan manusia yang terutama berasal dari rasio atau pikiran manusia.
Meskipun demikian, rasio atau pikiran berperan juga di dalam proses manusia
memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, Locke berpendapat bahwa
sebelum seorang manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio manusia itu
belum berfungsi atau masih kosong.

DAFTAR PUSTAKA

Kaelan. (2013). Pembahasan Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma.

Anda mungkin juga menyukai