Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Empat belas abad yang lalu, Allah telah menurunkan Al-Quran kepada umat
manusia sebagai kitab penuntun. Allah menyeru umat manusia mengikuti Al-Quran
agar dapat menemukan kebenaran. Sejak Al-Quran diturunkan hingga tiba hari
perhitungan, kitab suci terakhir ini menjadi satu-satunya tuntunan bagi manusia.
Gaya bahasa Al-Quran yang tak tertandingi, dan ilmu tinggi di dalamnya adalah
bukti nyata ia merupakan firman ilahi. Di samping itu, Al-Quran mempunyai banyak
sifat ajaib yang membuktikan bahwa ia adalah pengungkapan kebenaran dari Allah.
Salah satu keajaiban itu adalah fakta bahwa sejumlah kebenaran ilmiah yang dapat
diungkap manusia dengan sains dan teknologi abad ke-20 dinyatakan Al-Quran 1400
tahun yang lalu.
Allah berfirman dalam Al-Quran-Nya:
         
          
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka
bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Berkenaan dengan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir berkata, “Kami (Allah) akan
perlihatkan pada mereka tanda-tanda dan dalil-dalil kami bahwa Al-Quran itu adalah
hak dan ia diturunkan dari sisi Allah kepada rasul-Nya dengan tanda-tanda yang terang
(alami)”1
Untuk memahami dan mendapatkan bukti dan dalil dari alam maka ulama
membuat suatu metode tafsir baru, yaitu tafsir sains. Tafsir semacam ini belum ada pada
masa nabi dan sahabat.
Para ulama telah membahas tentang tafsir ini secara mendalam. Secara umum
telah terjadi silang pendapat di antara ulama atas keabsahan tafsir sains. Kontroversi
inilah yang mendorong penulis untuk membuat paper dengan judul “Kontroversi
Tafsir Sains di Kalangan Ulama”, dengan harapan agar kita bisa tahu tentang
1
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azim (Beirut: Darul kutub, 2006) ,hal. 94

1 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


kontroversi tersebut. Dan dalam paper ini penulis juga menyertakan sebagian ayat-ayat
sains, agar keyakinan kita bisa lebih mantap akan kebenaran Al-Quran.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas maka penulis akan merumuskan hal-hal yang akan
dibahas pada paper ini agar tidak terlalu meluas. Adapun rumusan masalahnya sebagai
berikut:
1. Apa saja macam-macam metode tafsir Al-Quran?
2. Apa yang dimaksud tafsir sains?
3. Bagaimana pandangan ulama tentang tafsir sains?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan paper ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui macam-macam metode tafsir Al-Quran.
2. Untuk mengetahui maksud tafsir sains.
3. Untuk mengetahui pandangan ulama tentang tafsir sains.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat yang bisa diambil dari makalah ini di antaranya sebagai berikut:
 Bagi penulis
a. Dapat mengetahui bermacam-macam metode penafsiran Al-
Quran.
b. Dapat mengetahui kontroversi tafsir sains secara lebih
mendalam.
c. Lebih menguatkan keimanan pada Al-Quran dengan sains di
dalamnya.
 Bagi pembaca
a. Sebagai bahan informasi untuk mengetahui ilmu alam dalam Al-
Quran.
b. Sebagai pemantap keimanan atas kemukjizatan Al-Quran.
 Bagi lembaga
a. Dapat dipakai sebagai rujukan dalam kegiatan
belajar-mengajar, terutama dalam pelajaran tafsir pada program IPA.
b. Sebagai tambahan koleksi paper di sekolah.

2 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Macam-Macam Metode Tafsir


Di saat Al-Quran diturunkan, rasulullahlah yang berfungsi sebagai penjelas,
menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran. Akan
tetapi, setelah rasulullah wafat mereka terpaksa melakukan ijtihad dalam menafsirkan
Al-Quran. Dan pada saat itu timbullah beberapa metode tafsir yang berbeda-beda karena
tidak ada lagi seorang penjelas tentang arti dan kandungan Al-Quran.
Syekh Khalid Abdurrahman membagi metode-metode itu menjadi beberapa
bagian, yaitu: metode an-naqli (tafsir bil-ma’tsur), metode sastra bahasa (tafsir
lughawi), metode al-‘aqli (tafsir bir-ra’yi) atau disebut juga metode penalaran, metode
ijtihad (tafsir ijtihadi), metode filsafat dan teologi, metode filsafat sufistik (metode
tasawuf), metode ilmiah (tafsir al-‘ilmi) atau disebut juga tafsir sains, dan metode sastra
sosio-kultural.2 Insya Allah akan kami bahas satu-persatu.

2.1.1 Metode an-Naqli (Tafsir Bil-Ma’tsur)


Metode ini menurut Dr. Quraish Shihab adalah metode penafsiran yang
bersumber dari tiga bagian, yaitu penafsiran rasulullah, penafsiran sahabat, dan
penafsiran tabiin.3 Berbeda dengan Ustad Muzammil, beliau mendefinisikan metode
tafsir ini sebagai tafsir yang berlandaskan atas sumber yang sahih. Sumber tersebut
mencakup ayat Al-Quran yang menjelaskan dan memperinci ayat yang lain, penafsiran
rasulullah, penafsiran sahabat, dan penafsiran tabiin.4
Contoh tafsir bil-ma’tsur yang berupa ayat yang menerangkan dan memperinci
ayat yang lain, yaitu firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 187, sebagai berikut:
         
  
Artinya:
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar.”
Dalam ayat di atas, kata al-fajr menjadi penjelas terhadap makna kata “benang
putih” yang ada sebelumnya. Sedangkan contoh penafsiran rasulullah terhadap salah

2
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 72-73
3
Ibid, p. 71
4
Muzammil Imron, Dhiya’ at-Taysir, (tt: tp, tth), hal. 14

3 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


satu ayat Al-Quran adalah penafsiran beliau terhadap kata adz-dzulmu (kegelapan)
dengan syirik pada ayat berikut:
         
 
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”5

2.1.2 Metode Sastra Bahasa


Metode sastra Arab yang disebut juga tafsir lughawi adalah menjelaskan makna-
makna Al-Quran dengan kosakata dan susunan bahasa Arab yang dipakai oleh Al-
Quran pada masa ia diturunkan.6
Metode ini timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama
Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga
dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan
kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang ini7.
Contoh tafsir sastra bahasa ialah ketika Umar bin Khatthab pernah bertanya
tentang arti kata takhawwuf dalam ayat berikut:
        
Artinya:
“Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa).
Maka sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.”
Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah
”pengurangan”. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan
syair pra-Islam. Ketika itu Umar merasa puas dan menganjurkan untuk mempelajari
syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al-Quran.

2.1.3 Metode al-‘Aqli (Metode Penalaran)


Metode al-‘aqli atau metode bir-ra’yi adalah penafsiran secara ijtihadi
setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab, cara bicara pemakainya, lafad-

5
Ibid.
6
Ibid, hal. 24
7
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 83-84

4 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


lafad Arab dan penunjukannya. Di samping itu, juga mengetahui asbabun-nuzul dan
nasikh-mansukh serta berpedoman pada syair-syair Arab pra-Islam. Metode ini bisa
diterima apabila mufassirnya menjauhi lima perkara:
1. Memaksakan diri untuk menjelaskan makna yang dimaksud Al-Quran,
sedangkan dia tidak tahu tentang kaidah-kaidah bahasa Arab dan prinsip-
prinsip syariat.
2. Mendalami ayat yang maknanya hanya diketahui secara pasti oleh Allah.
Seperti ayat-ayat mutasyabbihat yang tidak diketahui maksudnya secara
pasti, kecuali oleh Allah sendiri.
3. Mengikuti hawa nafsu dan bersikap istihsan (menganggap baik). Seorang
mufassir tidak boleh menafsirkan Al-Quran berdasarkan hawa nafsunya dan
menguatkan dengan menganggap baik hal tersebut.
4. Tafsir yang didasarkan pada ideologi yang keliru. Contohnya, seorang
mufassir menjadikan ideologinya sebagai dasar dari penafsirannya itu, dan
dia juga memaksakan penafsirannya agar cocok dengan ideologinya,
bagaimanapun caranya.
5. Menafsirkan dengan cara memastikan bahwa yang dimaksud oleh Al-Quran
adalah begini dan begitu, tanpa ada dalil dari syariat.
Dengan ketentuan di atas maka tafsir al-‘aqli bisa dibagi menjadi dua
bagian: bagian yang dipuji dan diterima dan bagian yang dicela dan ditolak. Contoh
tafsir yang dicela adalah pendapat ath-Thabrasi dan ulama-ulama syiah bahwa
kepemimpinan adalah hak Sayidina Ali dan bahwasanya beliaulah pengganti
rasulullah. Dia juga berpendapat bahwa para imam syiah terpelihara dari segala
dosa. Dan dia juga membatasi ahlulbait hanya pada rasulullah, Fatimah, Hasan dan
Husein. Untuk memperkuat pendapatnya ini, dia berlandaskan pada ayat berikut:
          
Artinya:
“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Dia menafsirkan ayat di atas dengan penafsiran yang hanya memuaskan
hawa nafsunya sendiri dan menguatkan pendapatnya. Akhirnya dia sampai pada
kesimpulan bahwa para imam syiah itu ma’sum (terpelihara dari dosa) seperti nabi.

2.1.4 Metode Ijtihadi

5 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


Metode ijtihadi adalah metode tafsir yang mana mufassir memberikan
pemaparan dengan ijtihadnya dalam memahami makna nas-nas Al-Quran dan
menyingkap tentang sasaran-sasaran lafad dan yang dimaksudkan oleh nas-nas
tersebut.8
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad
masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah bahasa dan arti yang dikandung
oleh kosakata. Namun, sejalan dengan laju perkembangan masyarakat, berkembang
dan bertambah besar pula peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-
Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka
ragam coraknya.9
Sebenarnya metode ijtihadi ini hampir sama dengan tafsir bir-ra’yi.
Perbedaannya terletak pada istilah dan cara pengungkapannya saja. Sedangkan
makna atau maksud yang dituju adalah sama.10

2.1.5 Metode Filsafat dan Teologi


Metode ini timbul akibat penerjemahan kitab-kitab filsafat yang
mempengaruhi sebagian pihak, serta akibat masuknya penganut-penganut agama
lain ke dalam Islam, yang secara sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal
dari kepercayaan mereka.11
Dari itu maka timbullah kontroversi mengenai metode tafsir ini. Secara garis
besar mereka terbagi dalam dua kelompok:
Kelompok pertama. Mereka menolak metode ini karena menemukan
pertentangan antara metode ini dengan agama. Adapun yang menolak tafsir ini ialah
al-Ghazali dan ar-Razi. Mereka telah menentang dalam kitab tafsirnya terhadap
pandangan-pandangan filsafat yang di dalamnya jelas mengandung pertentangan
dengan agama dan Al-Quran.
Kelompok kedua. Mereka mencocokkan antara fisafat dan agama serta
menghilangkan pertentangan di antara keduanya. Ulama yang mendukung metode
ini salah satunya adalah al-Farabi dalam kitabnya Fushushul-Hikam.12

2.1.6 Metode Filsafat Sufistik


8
Muzammil Imron, Dhiyaut-Taysir, (tt: tp, tth ), hal. 22
9
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 72
10
Muzammil Imron, Op.Cit, hal. 24
11
Quraish Shihab, Lop. Cit
12
Muzammil Imron, Op.Cit, hal. 30-31.

6 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


Dalam bidang studi Al-Quran dikenal adanya corak penafsiran sufistik.
Corak tafsir seperti itu dibagi menjadi dua: tafsir sufistik teoritis dan tafsir sufistik
isyari. Kedua metode ini timbul karena berdirinya gerakan-gerakan sufisme sebagai
reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi atau sebagai kompensasi
terhadap kelemahan yang dirasakan.13
Jenis pertama, yakni penafsiran sufistik teoritis, didasarakan atas prinsip-
prinsip yang telah ditetapkan oleh para pemikir ilmu tasawuf. Dalam jenis yang
pertama ini seorang mufassir akan memahami Al-Quran melalui prinsip-prinsip itu,
bukan memahaminya secara tekstual.
Contohnya adalah penafsiran Ibnu Arabi yang dipengaruhi oleh teori
“wihdatul-wujud”.
        
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya” (QS, an-Nisa’: 1)
Dalam menafsirkan ayat itu, ia berkata, “Jadikanlah bagian luar dirimu
sebagai pemelihara Tuhanmu dan jadikanlah bagian dalam dirimu (Tuhanmu)
pemelihara dirimu.” Ia juga berkata, “Setiap sesuatu bisa saja terpuji atau tercela.
Maka dari itu, jadilah kamu sekalian pemelihara Allah dari ketercelaan; dan
jadikanlah Dia (Tuhan) pemeliharamu dari hal-hal terpuji, maka kamu sekalian akan
menjadi orang-orang yang beradab.”
Jenis yang kedua, yakni penafsiran sufistik isyari, tidak menggunakan
prinsip-prinsip sufistik tertentu dalam memahami Al-Quran. Akan tetapi,
menggunakan sarana intuitif dalam mencapai makna-makna yang tersirat dalam ayat
Al-Quran. Para penafsir isyari berpendapat bahwa apa yang didapatnya dengan
sarana intuitif bukanlah keseluruhan makna Al-Quran, melainkan sebagian dari
yang dikandungnya saja.14
Pada jenis kedua ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar diterima
keabsahannya. Yakni sebagai berikut:
1. Makna tersirat yang dipahami melalui tafsir isyari tidak meniadakan
makna tersurat Al-Quran.

13
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 72
14
Muzammil Imron, Op.Cit, hal. 35-36.

7 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


2. Penafsir isyari tidak boleh mengklaim bahwa makna tersirat itu
adalah satu-satunya makna yang benar, ia juga harus mengakui
keberadaan makna tersurat dari Al-Quran.
3. Secara keagamaan (syar’i) dan logika tidak mengandung kontradiksi.
Contohnya adalah penafsiran al-Alusi terhadap ayat ke-55 surah al-Baqarah
sebagai berikut:
          
   
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan
beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu
kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.”
Dalam rangka aplikasi tafsir isyari ia berpendapat bahwa ayat tersebut dapat
dipahami sebagai berikut:
“Dan ketika kamu sekalian berkata wahai Musa, kami tidak akan beriman
secara hakiki hingga kami mencapai posisi musyahadah (menyaksikan) dan ‘iyan
(jelas). Maka mereka disambar petir “kematian” yang tak lain merupakan fana
dalam penampakan Zat Tuhan, dan kamu sekalian melihatnya. Kemudian kami
bangkitkan semua dengan kehidupan yang sebenarnya dan kekekalan setelah fana,
supaya kamu mensyukuri nikmat tauhid dan mencapai Allah. Dan kami naungi
kamu semua dengan naungan penyingkapan sikap, karena sikap itu menyelubungi
matahari Zat.”15

2.2 Definisi Tafsir Sains

2.2.1. Definisi Tafsir Sains


Tafsir sains secara etimologi terdiri dari dua kata, yaitu tafsir dan sains. Kata
tafsir adalah kata serapan dari bahasa Arab yang ikut wazan taf’il dari fiil madi
fassara yang diderivasikan dari akar kata al-fasru dan makna kamusnya adalah
menerangkan atau menyatakan.16 Ahmad bin Faris berkata dalam kitab Maqayis al-
Lughah bahwa lafad fasru adalah kalimat yang menunjukkan arti menerangkan

15
Ibid. hal. 36
16
Ahmad Warson Munawwir, AL-Munawwir Kamus Arab-indonisia (Surabaya: Pustaka Proggresif , 1997)
P. 1055.

8 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


sesuatu dan menjelaskannya.17 Sedangkan sains adalah ilmu pengetahuan sistematik
yang dapat dibuktikan kebenarannya.18
Sedangkan secara terminologis, tafsir sains diartikan berbeda-beda oleh
ulama. Menurut Abdul Majid az-Zandani tafsir sains adalah mengungkap makna
ayat-ayat Al-Quran atau hadis yang kebenarannya didukung oleh teori-teori ilmu
alam. Sedangkan, menurut Dr. Muhammad Zarzur tafsir sains adalah tafsir yang
berlandaskan percobaan-percobaan dan teori ilmiah dalam membahas ayat-ayat
kealaman dan penciptaan manusia, yang mana ayat-ayat tersebut ada di beberapa
tempat dan dengan susunan yang berbeda.19
Dari beberapa definisi di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
tafsir sains adalah mengungkap makna ayat-ayat Al-Quran dengan menggunakan
kenyataan ilmiah sesuai dengan makna kebahasaan dan hasil-hasil penelitian alam
semesta.

2.2.2 Syarat-Syarat Tafsir Sains


Untuk menerapkan tafsir sains terhadap ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran
diharuskan terpenuhinya beberapa ketentuan. Secara garis besar ketentuan itu dapat
dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, memperhatikan gaya Al-Quran dalam menyampaikan hakikat alam
semesta. Dengan penelitian secara mendalam terhadap Al-Quran dapat kita temukan
dasar-dasar yang menjadi landasan gaya-gaya Al-Quran dalam menyampaikan
hakikat alam semesta, yaitu sebagai berikut:
 Al-Quran menyampaikan ayat-ayat yang berisi hakikat alam semesta sebagai
pendukung terhadap tujuan utama dari penurunan Al-Quran. Tujuan utama
itu tak lain adalah memberi petunjuk dan mengarahkan manusia menuju
kehidupan yang lebih baik.
 Posisi Al-Quran dalam menyebut persoalan ilmu pengetahuan adalah
sebagai titik awal mengkaji ilmu-ilmu itu.
 Dalam penyebutan beberapa ilmu, Al-Quran menggunakan susunan bahasa
yang mengandung unsur memuliakan manusia, dengan anggapan bahwa
objek apapun yang dikaji manusia pada dasarnya dipersiapkan untuk

17
Muzammil Imron, Dirosah anit-Tafsir al-Ilmi (t.t:t.p,t.th),hal. 1.
18
Pius A partanto dan M. Dahlam AL-Barry, Kamus ilmiah popular (Surabaya: Arloka, tth)
19
Muzammil Imron, Loc.cit.

9 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


kemaslahatannya. Jadi, bukan hanya untuk memuaskan gairah keingintahuan
saja.
 Al-Quran memberikan informasi tentang alam semesta secara sekaligus dua
macam; global dan mendetail, dengan demikian informasi yang diberikannya
selaras dengan generasi-generasi selanjutnya.
 Al-Quran menyebutkan cabang ilmu pengetahuan yang sedang berlalu di
masanya.20
Kedua, memperhatikan ketentuan-ketentuan yang harus dimiliki seseorang yang
akan menerapkan tafsir sains. Ketetuan-ketentuan itu sebagai berikut:
 Harus memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati oleh ulama dalam
menafsirkan Al-Quran secara umum.
 Pembahasan ilmiah harus tidak menyeleweng dari tujuan utama Al-Quran,
yaitu memberi petunjuk dan bimbingan. Maka dari itu, penggunaan tafsir
sains hendaknya tidak berlebihan dalam membahas cabang-cabang dan
persoalan yang mendetail.
 Dalam praktiknya, penafsiran saintifik terhadap cabang-cabang ilmu tertentu
harus menyesuaikan dengan masa kini dan cocok dengan pendapat
mayoritas. Karena pembahasan alam semesta dan sastra, secara pasti dapat
memberikan kemanfaatan tertentu jika digunakan dalam menafsirkan Al-
Quran.
 Penafsiran dilakukan dengan menggunakan hasil-hasil kajian ilmiah yang
pasti yang bagi semua orang dapat diindra dengan pasti.
 Bahan-bahan kajian yang ada dalam Al-Quran dianggap sebagai kenyataan
yang pasti bahkan sebagai kenyataan yang mungkin alias perlu diteliti lebih
lanjut. Juga tidak diperkenankan menakwil ayat tertentu jika lafad al-Quran
tidak mengizinkan. Takwil diperkenankan selama ayat al-Quran tertentu
mungkin dimaknai demikian, tanpa dibuat-buat dan menyimpang dari
makna-makna yang dikandung lafad tertentu.
 Tafsir sains tidak menimbulkan pertentangan di antara ayat tertentu dengan
ayat yang lain.
 Kandungan tafsir sains masih tergolong dalam makna ayat al-Quran tertentu,
bahkan tafsir sains sesuai dengan susunan bahasa al-Quran (dalam tatanan
penafsiran).
20
Ibid, hal. 2.

10 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


 Memerhatikan ketentuan-ketentuan kebahasaan, diantaranya sebagai berikut:
 Memperhatikan makna kosakata al-Quran pada waktu ia diturunkan.
 Memperhatikan kaidah sintaksis dan penunjukannya.
 Memperhatikan kaidah balaghah dan penunjukannya, khususnya kaidah
yang berbunyi “Tidak boleh mengganti makna denotatif dengan makna
konotatif kecuali terdapat alasan (qarinah) yang cukup.
 Mengumpulkan ayat-ayat yang saling berkaitan dalam suatu permasalahan
tertentu. Hal ini akan menghasilkan sebuah tema dalam bentuk idealnya.
 Tafsir sains digunakan dalam rangka memperkuat suatu teori, dan bukan
sebaliknya. Jika hal ini terjadi (teori memperkuat tafsir sains) maka ini sama
halnya dengan memutlakkan pengertian ayat tertentu. Hal ini dapat
menimbulkan kesalahan-kesalahan yang tak mungkin dihindari karena ilmu
pengetahuan itu terus berubah (teori-teori selalu diperbaharui). Jadi, ilmu
pengetahuan tidak bisa digunakan untuk memutlakkan (memastikan)
pengertian ayat (lafad) tertentu.

2.3 Pandangan Ulama tentang Hukum Tafsir Sains


Para ulama telah membahas tentang tafsir sains secara mendalam. Secara umum,
ulama dalam menghukumi tafsir sains terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama adalah kelompok yang melegalkan dan memperbolehkan penggunaan tafsir
sains dalam menafsirkan al-Quran, sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang
melarang dan menolak penggunaan tafsir sains.

2.3.1 Para Pendukung Tafsir Sains


Dewasa ini, tafsir sains memang sedang menjadi tren di dunia penafsiran
al-Quran dan mendapat banyak perhatian dari para pakar di bidang ini. Fenomena
ini tidak lepas dari kecenderungan masyarakat modern pada hal-hal yang bersifat
ilmiah. Para pendukung tafsir ini percaya, bahwa dengan menafsirkan al-Quran
dengan perangkat-perangkat keilmuan modern merupakan upaya mengungkap
mukjizat-mukjizat al-Quran yang tidak akan pernah habis, dan demikian menjadi
terbukti jika al-Quran memang selalu sesuai dengan zaman sampai kapanpun.21

21
Ahmad Qusyairi Ismail dan Mohammad Achyat Ahmad, Menelaah Pemikiran Agus Mustofa ,(Pasuruan:
Pustaka Sidogiri, 1430H), hal. 82.

11 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


Salah satu mufasir kontemporer yang paling populer dalam memberikan
perhatian yang cukup besar terhadap metode penafsiran ini, serta telah
mengaplikasikannya dalam bentuk kitab tafsir yang sangat tebal adalah syekh
Thanthawi Jauhari, dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Jawahir (25 jilid).22
Ulama-ulama lain yang mendukung dan membenarkan penggunaan tafsir sains di
antaranya ialah, al-Ghazali, as-Suyuthi, Fakhruddin ar-Razi dan yang lain.
Para mufassir yang mendukung dan memperbolehkan tafsir sains secara
umum berlandaskan pada firman Allah berikut:
        
   
Artinya:
“Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas
mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan
langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?”
Dalam ayat di atas jelas menunjukkan bahwa Allah menggalakkan
supaya mengkaji bagaimana langit dibangun, dan tidak ada cara lain untuk
mengetahui bagaimana ia dibangun kecuali dengan kajian sains. Selain itu, tafsir
sains juga adalah satu cara baru dalam menunjukkan mukjizat-mukjizat Al-Quran
dan menguatkan lagi mukjizat yang telah ada.
Al Ghazali sebagai salah satu pendukung tafsir sains telah
mengemukakan secara panjang-lebar alasan-alasan untuk membuktikan
pendapatnya itu. Ia mengatakan bahwa segala macam ilmu pengetahuan, baik
yang terdahulu (masih ada atau telah punah) maupun yang kemudian; baik yang
telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Quran.
Hal ini menurut al Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam
af’al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan Al-Quran
menjelaskan tentang Zat, perbuatan, dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak
terbatas. Dalam Al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip
pokoknya.23 Hal terakhir ini dibuktikan dengan mengemukakan ayat dalam
kitabnya, Jawahirul Quran:
    
Artinya:

22
Ibid
23
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumid-Din (Beirut: Dar Al-kutub, 2005), hal. 405

12 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, (As-
Syuu’aara: 80)
Obat dan penyakit, menurut Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh
seseorang yang berkecimpung dalam bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat
di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.24
Selain itu, secara luas Suyuthi, yang mendukung tafsir sains,
mengemukakan beberapa landasan teoritis yang membenarkan pemakaian tafsir
sains sebagai berikut:
1. Landasan dari ayat al-Quran

a. Firman Allah Surat Al-An’am Ayat 38


           
Artinya:
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan”.

b. Firman-Nya Surat An-Nahl ayat 89


       
  
Artinya:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.”
2. Landasan dari hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi

:‫ وما املخرج منها؟ قال‬:‫ قيل‬،!‫ ستكون فنت‬:‫ان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قال‬
‫ رواه الرتمذي‬.‫كتاب اهلل فيه نبأ ما قبلكم و خرب ما بعدكم وحكم ما بينكم‬
Artinya:
Sesungguhnya rosulullah bersabda, “akan datang beberapa fitnah
(cobaan)” Lalu beliah ditanyakan, “Apa yang bisa menyelamatkan kami
darinya?” Kitab Allah (al Quran), di dalamnya terdapat peristiwa-
peristiwa yang telah lampau, yang akan terjadi dan hokum diantara
kalian. (HR. Tirmidzi)

24
Al-Ghazali, Jawahirul Quran, (Beirut: Darul- Ihya’ Al-Ulum:1985), hal. 45.

13 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


Tentang masalah di atas Muzammil Imron (tth, 1) mengutip perkataan
Syekh Thanthawi Jauhari yang berbunyi:
”Mengapa para ulama mengarang beribu-ribu kitab tentang
permasalahan fiqih, padahal dalam al-Quran sedikit sekali ayat-ayat yang
menerangkan tentangnya? Dan kenapa kebanyakan karangan hanya
menjelaskan tentang ilmu fiqih dan sedikit sekali yang menerangka ilmu-
ilmu kealaman, padahal setiap surat dalam al-Quran tidak luput dalam
membahasnya? Bahkan ayat-ayat kealaman iyu mencapai 750 ayat yang
jelas dan disana masih terdapat ayat-ayat yang lain yang membahasnya
secara samar, dan apakah boleh menurut akal dan syara’, mendalami
sebuah ilmu yang ayat-ayatnya sedikit, sementara kita tidak tahu-menahu
tentang ilmu yang ayatnya sangat banyak? Nenek moyang kita telah
mendalami ilmu fiqih, dan bagi kita selayaknya mendalami ilmu
kealaman pada masa sekarang agar dengannya kita bisa mendidik umat”
Dari beberapa argumentasi dan landasan yang telah dikemukakan di atas,
menjadi jelas bahwa corak penafsiran seperti itu telah dikenal oleh banyak ulama
dari generasi salaf dan sesudahnya. Maka dari itu, penafsir al-Quran
diperkenankan menerapkan tafsir sains dengan persyaratan yang telah ditetapkan.

2.3.2. Para Ulama yang Menolak Tafsir Sains


Sebetulnya, tafsir sains belum disepakati ulama, sebagian menerima dan
penukisan tafsirnya terpengaruh oleh corak tafsir ini, seperti yang telah
dicontohkan di atas dan sebagian yang lain justru menolak sebagian yang lain
justru menolak dan enggan menulis tafsir dengan corak pemikiran ini. Mereka
hawatir melenceng dari maksud asal diturunkannya l-Quran sebagai petunjuk bagi
manusia.
Ulama yang menentang tafsir sains ialah Atthabari, Imam Al-Khazin,
Imam Ibnu Katsir, Imam As-Syatibi, Dr. Mahmud syaltut, Dr. Muhammad
Husain Adz-Zahabi, Dr. M. Quraish Shihab dan masih banyak yang lain.
Di antara tokoh yang menolak corak tafsir ini adalah Dr. Muhammad
Husain Adz-Dzahabi. Sikap tegas Adz-Dzahabi tampak dalam kitab beliau yang
berjudul At-Tafsir Wal-Mufassirun. Dalam kitab itu beliau memaparkan argumen-
argumen kuat dalam menolak corak tafsir ini, antara lain sebagai berikut:
Pertama, dari segi kebahasaan. Bahwa penggunaan arti untuk suatu kata
bisa berbeda-beda dalam berbagai periode yang berbeda, sejak kata itu
dimunculkan hingga masa kini. Bahkan arti suatu kata bisa berkembang, sesuai
dengan perkembangan indikasi-indikasi yang dimunculkannya di setiap periode.
Dari sini kita bisa memastikan, bahwa suatu kata yang pada masa diturunkannya

14 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


al-Quran menunjuk pada suatu arti tertentu, bisa jadi pada masa yang berbeda
menunjukkan arti baru yang sama sekali berbeda dengan arti yang dikehendaki
pada masa diturunkannya al-Quran.
Kedua, dari segi balaghah. Kita tahu, bahwa arti dari balaghah adalah
kesesuaian ungkapan dengan keadaan yang menjadi sasarannya. Dan tentu sudah
maklum, jika ungkapan-ungkapan dalam al-Quran menempati posisi tertinggi
tingkat ke-balaghahan-nya. Nah, jika kita mengikuti pendapat yang menyatakan
bahwa ayat-ayat sains dalam al-Quran tidak mungkin dipahami kecuali dengan
teori-teori sains modern, sudah barang tentu pernyataan ini memberangus segi ke-
balaghahan al-Quran, dan ayat-ayat al-Quran bisa dituduh tidak sesuai dengan
objek yang menjadi sasaran ketika diturunkannya (tidak muqtadhal-hal), yakni
masyarakat Arab periode nabi bersama para sahabatnya.
Ketiga, segi keyakinan. Umat Islam sejak periode nabi hingga hari
kiamat tiba, harus meyakini bahwa kebenaran al-Quran adalah selama-lamanya
tanpa mempedulikan perkembangan yang dicapai ilmu pengetahuan pada
periode-periode yang berbeda-beda. Artinya, kebenaran al-Quran yang mutlak ini
tidak terpengaruh oleh kondisi apapun yang terjadi di luarnya.
Karena itu, jika kemudian diyakini bahwa ayat-ayat kauniyah dalam al-
Quran tidak bisa dipahami kecuali dengan teori-teori sains yang terus
berkembang dari waktu ke waktu, itu sama artinya dengan mendistorsi keyakinan
yang telah final ini. Sebab teori-teori dan kebenaran-kebenaran ilmiah bersifat
relatif; yang saat ini dianggap sebagai kebenaran, sangat mungkin kelak akan
dicampakkan, sebab ada bukti-bukti ilmiah baru yang mementahkannya. Karena
itu mustahil jika pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat sains dalam al-Quran
bertumpu pada teori-teori ilmiah yang terus berkembang dan relatif.25
Selanjutnya Dr. Quraish Shihab yang merupakan penentang corak tafsir
ini menjelaskan bahwa memang ada sekian banyak kebenaran ilmiah yang
dipaparkan al-Quran, akan tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah
untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan keesaannya. Serta mendororng manusia
seluruhnya untuk mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan
iman dan kepercayaan kepada-Nya.26

25
Ahmad Qusyairi dan Muhammad Achyat Ahmad, Menelaah Pemikiran Agus Musthofa, (Pasuruan:
pustaka sidogori, 2010), hal. 85-88
26
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2004)

15 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


Berkenaan dengan ini, Mahmud Syaltut (Tth:21) dalam tafsirnya berkata:
“Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan al-Quran untuk menjadi satu kitab yang
menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, prolem-problem seni,
serta aneka ragam pengetahuan”. Artinya al-Quran tidak diturunkan sebagai kitab
sains, namun sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Untuk memperkuat pendapat ini, Dr. Quraish Shihab menampilkan
beberapa ayat terkait dengan asbabun-nuzul-nya. Beliau berkata, “Di dalam
asbabun-nuzul diterangkan, bahwa pada suatu hari, datang seseorang kepada rasul
dan bertanya, ‘Mengapakah bulan kelihatan kecil bagaikan benang kemudian
membesar sampai menjadi purnama yang sempurna?’ Lalu rasulullah
mengembalikan jawaban pertanyaan tersebut kepada Allah yang berfirman:
         
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.
(QS. Al-Baqarah: 189)
Jawaban al-Quran bukan jawaban ilmiah (sains), akan tetapi jawaban-
jawabannya itu sesuai dengan tujuan-tujuan pokoknya.
Ada juga yang bertanya mengenai ruh, lalu al-Quran menjawab:
            
  
Artinya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’: 85)
Al-Quran tidak menerangkan hakikat ruh, karena tujuan pokok al-Quran
bukan menerangkan persoalan-persoalan ilmiah. Akan tetapi, tujuannya adalah
memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya di dunia dan
di akhirat kelak.27
Dengan alasan dan argumen di atas, jelaslah bahwa teori-teori sains
modern tidak perlu mengambil peran dalam tafsir al-Quran, dan karena itu jelas
pulalah, bahwa pernyataan tentang ayat-ayat sains tidak bisa dipahami kecuali
dengan teori-teori sains, merupakan pernyataan yang riskan, sebab bisa

27
Ibid.

16 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


memunculkan pemahaman bahwa para sahabat, tabiin, dan para ulama yang tidak
membahas ayat-ayat sains dengan teori-teori ilmiah modern, tidak mengetahui
arti al-Quran secara tepat, mendalam dan holistik. Padahal bagaimanapun telah
disepakati, bahwa pemahaman para sahabat adalah yang terbaik daripada yang
sesudahnya, sebab merekalah yang langsung belajar al-Quran kepada nabi,
mengenai arti kata dan tafsirnya, mengetahui sebab diturunkanya, nasikh
mansukh-nya, dan lain sebagainya.28

2.3.3 Contoh Ayat-Ayat Sains dalam Al-Quran


Seperti yang telah diketahui, al-Quran memang bukan buku sains.
Namun, banyak fakta ilmiah yang dinyatakan secara sangat mendalam dan padat
dalam ayat-ayatnya, baru ditemukan dengan teknologi abad ke-20. Fakta-fakta
ini tidak mungkin bisa diketahui pada saat al-Quran diturunkan, dan ini justru
lebih membuktikan bahwa al-Quran adalah firman Allah. Sekarang mari kita
cermati contoh-contoh ayat sains yang diungkapkan al-Quran.

A. Penciptaan Alam Semesta


Asal mula alam semesta diuraikan al-Quran dalam beberapa ayat berikut:
1. surat al-An’am ayat 101
         
           
Arinya:
“Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak
Padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala
sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.”
2. surat al-Ankabut ayat 44
         
 
Arinya:
Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-
orang mukmin.
Informasi yang diberikan al-Quran ini sepenuhnya sesuai dengan temuan
sains masa kini. Harun Yahya sebagai ilmuwan kontemporer berpendapat bahwa
28
Ahmad Qusyairi dan Muhammad Achyat Ahmad, Menelaah Pemikiran Agus Musthofa, (Pasuruan:
pustaka sidogori, 2010), hal. 92-93.

17 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


kesimpulan yang dicapai astrofisika saat ini adalah bahwa seluruh alam semesta,
bersamaan dengan dimensi dan waktu, muncul sebagai akibat dari ledakan besar
yang terjadi dalam ketiadaan waktu. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai “Big
Bang”, membuktikan bahwa alam semesta telah diciptakan dari ketiadaan
sebagai hasil ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmuwan modern sependapat
bahwa “Big Bang” adalah satu-satunya penjelasan masuk akal yang dapat
dibuktikan untuk permulaan dan penciptaan alam semesta.
Sebelum Big Bang, materi itu tidak ada dari kondisi “ketiadaan” ketika
materi energi bahkan waktu, tidak ada dan kondisi itu hanya dapat digambarkan
secara metafisis materi, energi dan waktu diciptakan. Fakta yang ditemukan
baru-baru ini oleh fisika modern, telah diterangkan oleh al-Quran kepada kita
1400 tahun lalu.29

B. Meluasnya Alam Semesta


Di dalam al-Quran, ketika ilmu astronomi masih primitif, perluasan alam
telah digambarkan pada ayatnya:
     
Artinya:
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan
sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”
Para ahli tafsir menafsirkan berbeda-beda pada lafad “wa inna
lamusi’un”. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai “laqadirun” artinya yang
kuasa, ada juga yang menafsirkannya dengan “ladzu sa’ah” (yang mempunyai
keluasan), maksudnya Allah tidak akan kesulitan untuk menciptakan langit atau
yang lain yang diinginkannya, dan ada pula yang mengartikan sebagai
“lamusi’un ar-rizqi ‘ala kholqina” artinya Allah adalah yang meluaskan rizki
atas makhluknya.30
Tentang masalah ini Dr. Kamalul Muwail berpendapat bahwa yang
tampak pada kita sesungguhnya lafad tersebut berhubungan dengan bangunan,
yang dalam ayat ini adalah langit, dan di sana tidak ada sesuatu yang
menunjukkan bahwa sesungguhnya lafad tersebut berhubungan dengan rizki dan

29
Harun Yahya, Al-Quran dan Sains, (Badung: Dzikra, 2007), hal. 80-81
30
Al-qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkamil-Quran, (Beirut: Darul-Kutub Al-Misriyyah ), juz. 17, hal. 52

18 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


kekuasaan Allah. Jadi, makna ayat tersebut menurut beliau adalah
“Sesungguhnya Kami benar-benar meluaskan bangunan (langit) itu.”31
Sementara itu Harun Yahya dalam bukunya menjelaskan kata langit.
Menurut beliau, kata langit, seperti yang dinyatakan dalam ayat di atas,
digunakan di pelbagai tempat dalam al-Quran dengan arti ruang angkasa dan
alam semesta. Di sini, kata itu digunakan lagi dengan arti tersebut. Dengan kata
lain, dalam al-Quran diungkapkan bahwa alam semesta mengalami perluasan,
dan ini tepat sama dengan kesimpulan yang dicapai sains saat ini.32
Pada awal abad ke-20, seorang fisikawan Rusia, Alexander Friedman
dan ahli kosmologi Belgia George Lemaitre telah membuat pengiraan secara teoritis
bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan berkembang.
Fakta ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada tahun
1929. ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble, seorang astronom
Amerika, menemukan bahwa bintang-bintang dan galaksi terus bergerak saling
menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak menjauhi
satu sama lain, berarti juga alam semesta tersebut terus-menerus berkembang.
Pengamatan yang dilakukan di tahun-tahun berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam
semesta terus mengembang.33
Sampai hari ini, dengan bantuan alat yang lebih canggih banyak penemuan-
penemuan lain yang semakin menguatkan teori pengembangan alam. Pada tanggal 16
Maret 2006, di bawah tajuk “Astronomers Defect First Split-Second Of The Unifers”,
space.com melaporkan bahwa pakar-pakar astronomi NASA menemukan bukti-bukti
baru yang nengukuhkan lagi teori Big Bang. Mereka mendapatkan, pada tahap awal
terjadinya kosmos, alam ini adalah lebih kecil daripada atom. Kemudian pada masa satu
perstriliun, ia mengembang sehingga menjadi kosmos yang luas. Penemuan ini
dilaporkan data yang disalurkan oleh satelit NASA yang diumumkan pada tahun 2001.
Satelit ini dikenal sebagai “Wilkinson Microwave Anistropi Probe” atau WMAP.34
Dari beberapa penemuan di atas maka jelaslah bahwa teori alam
mengembang telah diterangkan dalam al-Quran pada saat tidak seorang pun
mengetahuinya. Ini dikarenakan al-Quran adalah firman Allah Sang Pencipta,
dan Pengatur keseluruhan alam semesta.

31
Kamal Al-Muwail, Ayatut-Thabi’iyyah Fil-Quran, (Suriah: Maktabah Al-Farabi, 2002), hal. 6
32
Harun Yahya, Al-Quran dan Sains, (Bandung: Dzikra, 2007 ), hal. 82
33
Ibid, hal. 82-83
34
http://harunyahya.com/tafsirilmi//, Tafsir Sains dan Kontroversinya,

19 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


C. Bentuk Bulat Planet Bumi
Tentang bentuk bumi, terjadi perdebatan antara para ilmuwan sampai
pada awal abad ke-16. dan pada waktu itu mayoritas pelajar menyatakan bahwa
bentuk bumi itu datar, serta sedikit yang mengatakan bumi itu bulat.35
Sedangkan Allah telah menyinggung tentang bentuk bulat bumi dalam
al-Quran-Nya yang berbunyi:
        
Artinya:
“Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas
malam”. (QS. Az-Zumar: 5)
Dalam al-Quran, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan tentang
alam semesta sungguh sangat penting. Kata Arab yang diterjemahkan sebagai
”menutupkan” adalah lafad “Takwir”. Menurut Dr. Kamal, makna “Takwir”
adalah berputar dan menyelubungi, dan yang dimaksud ayat di atas adalah
bahwa malam dan siang memutari bumi dan menyelimutinya. Dan
sesungguhnya konsep yang seperti ini tidak mungkin terjadi kecuali kalau bumi
bulat.36
Ini berarti bahwa al-Quran yang telah diturunkan pada abad ke-7 telah
mengisyaratkan tentang bentuk planet bumi yang bulat. Namun, perlu diingat
bahwa ilmu astronomi kala itu memahami bumi secara berbeda. Di masa itu,
bumi diyakini berbentuk bidang datar dan ada gunung-gunung tinggi pada
sisinya yang berguna sebagi tiang langit, dan semua perhitungan dan penjelasan
ilmiah didasarkan pada keyakinan ini.37 Sebaliknya, ayat-ayat al-Quran berisi
informasi yang hanya mampu kita pahami dalam satu abad terakhir.

D. Atmosfer
Dalam al-Quran, Allah mengarahkan perhatian kita kepada sifat yang
sangat menarik tentang langit, yaitu:
         
Artinya:

35
Kamal Al-Muwail, Ayatut-Thabi’iyyah Fil-Quran, (Suriah: Maktabah Al-Farabi, 2002), hal. 20
36
Ibid, hal. 20-21
37
Harun Yahya, Al-Quran dan Sains, (Bandung: Dzikra, 2007 ), hal. 80

20 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang
mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang
terdapat padanya”. (QS. Al-Anbiya’: 32)
Ayat ini menyatakan bahwa langit memiliki pelindung. Sifat ini telah
dibuktikan oleh penelitian abad ke-20.
Atmosfer yang melingkupi bumi berperan sangat penting bagi
berlangsungnya kehidupan. Tentang kegunaan atmosfer, Harun Yahya telah
menjelaskannya secara luas. Menurut beliau, atmosfer berguna untuk
menghancurkan sejumlah meteor besar ataupun kecil. ketika mereka mendekati
bumi, atmosfer mencegah mereka jatuh ke bumi dan membahayakan makhluk
hidup.
Selain itu, atmosfer juga menyaring sinar-sinar dari ruang angkasa yang
membahayakan kehidupan. Menariknya, atmosfer hanya membiarkan agar
ditembus oleh sinar-sinar yang berguna seperti cahaya tampak, sinar ultraviolet
tepi dan gelombang radio.38
Tidak hanya atmosfer yang melindungi bumi dari pengaruh berbahaya.
Selain atmosfer, sabuk Van Allen, suatu lapisan yang tercipta akibat adanya
medan magnet bumi, juga berperan sebagai perisai melawan radiasi berbahaya
yang mengancam planet kita. Radiasi ini, yang terus-menerus dipancarkan oleh
matahari dan bintang-bintang lainnya, sangat mematikan bagi mahluk hidup.39
Singkatnya, sebuah sistem sempurna sedang bekerja jauh tinggi di atas
bumi. Ia melingkupi bumi kita dan melindunginya dari berbagai ancaman dari
luar angkasa.
Para ilmuwan baru mengetahuinya sekarang, sementara berabad-abad
lampau, kita telah diberi tahu oleh al-Quran tentang atmosfer bumi yang
berfungsi sebagai lapisan pelindung bumi.

38
Ibid. hal. 84-85.
39
http://harunyahya.com/tafsirilmi//, Tafsir Sains dan Kontroversinya,

21 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Setelah wafatnya rasulullah, muncullah beberapa metode tafsir baru karena tidak
ada lagi seorang mubayyin (penjelas) terhadap arti dan kandungan Al-Quran. Metode-
metode tersebut antara lain, metode an-Naqli, yaitu metode yang memakai Al-Quran,
penafsiran rasulullah, sahabat, dan tabiin sebagai landasannya; metode sastra bahasa,
yaitu metode penjelasan al-Quran dengan memandang lafad-lafad dan susunan bahasa
Arab ketika Al-Quran diturunkan; metode al-Aqli, yaitu penafsiran dengan jalan ijtihad
setelah mengetahui beberapa hal yang berhubungan dengan bahasa Arab; metode
ijtihad, yakni menafsirkan Al-Quran dengan jalan ijtihad, dan metode ini sama dengan
an-Naqli, metode filsafat dan teologi, yaitu metode yang dipengaruhhi oleh ilmu filsafat
dan teologi; dan metode sufistik. Metode filsafat sufistik dibagi menjadi dua bagian,
tafsir sufistik teoritis dan tafsir sufistik ‘isyari’. Jenis pertama didasarkan atas prinsip-
prinsip yang telah ditetapkan dan bukan memahami secara tekstual. Jenis kedua tidak
menggunakan prinsip-prinsip sufistik tertentu, akan tetapi menggunakan sarana intuitif
dalam mencapai makna-makna tersirat ayat Al-Quran.
Tafsir ilmi atau tafir sains menurut bahasa terdiri dari dua kata tafsir dan sains,
tafsir berarti menerangkan dan menjelaskan sesuatu, sedangkan sains adalah ilmu
pengetahuan sistematik yang dapat dibuktikan kebenarannya. Menurut istilah, tafsir
sains diartikan berbeda-beda oleh ulama dan dapat disimpulkan sebagai metode untuk
mengungkap makna ayat-ayat Al-Quran dengan menggunakan kenyataan ilmiah sesuai
dengan makna kebahasaan dan hasil-hasil penelitian alam semesta.
Syarat-syarat tafsir sains secara garis besar terdiri dari dua syarat, yaitu
memperhatikan gaya Al-Quran dalam menyampaikan hakikat-hakikat alam semesta dan
memperhatikan ketentuan yang harus dimiliki seseorang yang akan menerapkan tafsir
sains.
Para ulama menghukumi tafsir sains secara berbeda-beda, ada yang mendukung
dan ada juga yang menolaknya. Para pendukung tafsir sains berlandaskan pada firman
Allah yang artinya “Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang luas di atas
mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasinya, dan langit itu tidak
mempunyai retak-retak sedikitpun” (QS. Qaf:6). Pada ayat tersebut Allah menggalakkan
kita supaya mengkaji bagaimana langit dibangun dan tentunya harus memakai sains.

22 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


Sedangkan yang menolak tafsir sains, berlandaskan pada firman Allah yang artinya
”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”. Pada ayat ini al-Quran tidak
memberikan jawaban ilmiah tentang bulan, akan tetapi penjelasannya sesuai dengan
tujuan pokok al-Quran. Banyak teori sains yang cocok dengan al-Quran seperti
penciptaan alam semesta, meluasnya alam semesta, bulatnya bumi, atmosfer dan lain-
lain yang mana teori itu telah diperkuat dengan penelitian-penelitian ilmiah.

B. Saran
Tafsir sains adalah salah satu cara yang tepat untuk menunjukkan konsep bahwa
Al-Quran adalah kitab yang sesuai dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, baik
yang klasik maupun yang kontemporer. Maka dari itu selayaknya kita mempelajarinya
guna sebagai salah satu jalan pengokoh iman kita dan untuk menjawab tantangan kaum
kuffar, yang secara implisit telah mempertanyakan keabsahan kitab kita. Akan tetapi,
seandainya kita melihat pada kaidah usulfikih yang menyatakan bahwa al-khuruj minal-
ikhtilaf mustahabbatun, maka kita baiknya untuk tidak menggunakan tafsir sains dalam
metode penafsiran al-Quran.

23 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama


DAFTAR PUSTAKA

 Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 2005. Ihya’ Ulumiddin. Beirut: Darul


Kutub
 Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 1985. Jawahirul-Quran. Beirut: Darul
Ihya’ al-Ulum
 Al-Muwail, K. 2002. Ayatut-Thabi’iyah fil-Quran. Suriah: Maktabah al-Farabi
 Al-Qurthubi, Abu Abbdillah Muhammad bin Muhammad Al-Anshari. 1964.
Al-Jami’li Ahkamil-Quran. Beirut: Darul Kutub Al-Mishriyah
 Ibnu Katsir, Abil-Fada’ Al- Hafidz. 2006. Tafsir al-Quran Al-Karim. Beirut:
Darul Kutub
 Imron, M. Tth. Dhiyaut-Taysir fi Ilmami Manahijut-Tafsir. Tt: Tp
 Imron, M. Tth. Dirosah anit-Tafsir ‘Ilmi. Tt: Tp
 Ismal, A.Q & Ahmad, M.A. 1430H. Menelaah Pemikiran Agus Mustofa.
Pasuruan: Pustaka Sidogiri
 Munawwir, A.W. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif
 Partanto, P.A.Tth. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka
 Shihab, M.Q. 2004. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan
 Syaltut,M. Tth. Tafsir Al-Quran Al-Karim. Kairo: Darul Qolam
 Yahya, H. 2007. Al-Quran dan Sains. Bandung: Dzikra
 Yahya,H. 2004. Tafsir Sains dan Kontroversinya. (Online).
(http://harunyahya.com/tafsirilmi//)

24 Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama

Anda mungkin juga menyukai