Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmad, Taufik Serta
Hidayahnya sehingga kami masih di beri kesempatan untuk menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Asy-syuf’ah” dengan lancar tanpa ada kesulitan sedikitpun.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dosen Pembibing kami yang telah memberikan
arahan kepada kami sehingga kami dapat menerapkan semua yang telah di ajarkan beliau
guna untuk menyempurnakan Makalah yang kami selesaikan ini.

Ucapan terimakasih juga tak lupa saya sampaikan kepada teman-tema yang telah berjuang
dengan keras untuk menyelsaikan makalah ini. Semoga makalah kami ini dapat bermanfaat
bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umunya.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan ini masih banyak sekali kekuranganya
sehingga kami masih memerlukan kritik dan saran yang membangun guna untuk
memperbaiki makalah selanjutnya.

Bogor, 28 Desember 2016

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar............................................................................................. 1

Daftar Isi.......................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................ 3

1.3 Tujuan pembahasan..................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Syuf’ah (Asy-Suf’ah)..................................................... 5

2.2 Landasan Hukum Syuf’ah............................................................ 6

2.3 Rukun-Rukun Dan Syarat-Syarat Syuf’ah..................................... 6

2.4 Pewaris Syuf’ah............................................................................ 9

2.5 Tindakan Pembeli........................................................................ 10

2.6 Hikmah Asy-Syuf’ah................................................................... 10

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.................................................................................. 11

3.2 Saran............................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 12

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, menyingkirkan


kejahatan dan menyingkirkan kemadharatan. Ia memiliki aturan yang lurus dan hukum-
hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud yang mulia. Pengaturannya
didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai dengan hikmah dan kebenaran.
Karena itulah ketika ada persekutuan dalam benda-benda yang tidak bergerak (seperti tanah
dan rumah), seringkali terjadi kerusuhan dan menjurus kapada tindak kejahatan sehingga sulit
dilakukan pembagian terhadap barang itu, maka pembuat syari’at yang bijaksana menetapkan
Syuf’ah bagi sekutu atau mitra usaha.

Dengan kata lain, jika salah seorang dari dua sekutu menjual bagiannya dari benda-
benda yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan diantara keduanya, maka bagi sekutu
yang tidak menjual, dapat mengambil bagian dari pembeli dengan harga yang sama, sebagai
upaya untuk menghindarkan kerugiannya karena persekutuan itu. Hal ini berlaku bagi
seorang sekutu selagi benda-benda yang tidak bergerak yang disekutukan belum dibagi, tidak
diketahui batasan-batasannya dan tidak dijelaskan jalan-jalannya. Tapi jika batasan-batasan
dan garis-garis pemisahnya diketahui antara dua bagian dan jalan-jalannya dijelaskan, maka
tidak ada Syuf’ah karena dampak persekutuan dan percampur adukan hak milik sudah tidak
ada, yang karenanya ada penetapan terhadap permintaan hak untuk melepaskan barang yang
dijual dari pembeli. Dan dalm makalah ini akan diulas lebih jelas lagi apa Syuf’ah itu, dan
bagaimana filsafah dari Syuf’ah itu sendiri.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan Asy-Syuf’ah?

2. Bagaimana Landasan hukum apa yang di pakai adanya Syuf’ah?

3. Apa saja rukun dalam Syuf’ah?

4. Serta apa saja syarat dalam Syuf’ah?

5. Adakah pewaris di dalam Syuf’ah itu?

6. Apa hikmah dengan adanya Syuf’ah?

3
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN

Tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah:

1. Mengetahui definisi dari Asy-Syuf`ah.

2. Mengetahui landasan hukum yang dipakai Syuf’ah.

3. Mengetahui rukun-rukun serta syarat-syarat dalam Syuf’ah.

4. Mengetahui pewarisan dalam Syuf’ah.

5. Mengetahui hikmah adanya Syuf’ah.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI SYUF’AH (ASY-SUF’AH)

Asy-Syuf’ah berasal dari kata Asy-Syaf’u yang berarti Adh-Dhammu


( menggabungkan ), hal ini dikenal di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman jahiliyah,
sedangkan menurut syara’ Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh Syafi’ sebagai
pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan
nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain. [2]

Menurut bahasa, syuf’ah berarti penggabungan secara paksa atas sesuatu hak yang
sudah dijual kepihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni
anggota perserikatan. Maka syuf’ah berarti pemilikan barang-barang yang diperkongsikan
(Al-masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada persekutuan milik secara paksa dari pihak
yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jualyang sudah dilakukan.

Berbeda dengan para ulama menafsirkan al-syuf’ah adalah sebagai berikut :

1. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri [3] bahwa yang dimaksud dengan al-syuf’ah ialah :

“Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik yang baru
disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (i’wadh) yang dimilikinya, disyariatkan
untuk mencegah kemudharatan.”

2. Menurut Sayyid sabiq, Asy-syuf’ah ialah pemilika benda-benda syuf’ah oleh syafi’i
sebagai pengganti dan pembeli dengan membayar harga brang kepada pemiliknya sesuai
dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain. [4]

3. Menurut Idris ahmad, [5] Asy-syuf’ah ialah hak yang tetap secara paksa bagi syarikat lama
atas syarikat barudengan jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama.

Setelah diketahui pengertian yang dikemukakan oleh para ulama beserta contohnya, kiranya
dapat dipahami bahwa al-syuf’ah ialah pemilikan oleh seorang syar’riq dan dua orang atau
pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.

Dari pengertian para ulama- ulama tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa asy-
syuf’ah adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain
supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah).
Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al-masyfu’)
oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang
membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan[6] .

5
2.2 LANDASAN HUKUM SYUF’AH

Dasar hukum Syuf’ah adalah as-Sunnah, dan umat Islam telah sepakat akan
pensyariatannya, diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :

Dari Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah


saw.menetapkan Syuf’ah untuk barang yang pembagian kepemilikannya belum jelas (untuk
barang yang belum dipecah). Apabila telah ada had (batasan) secara jelas dan dapat
dibedakan, maka tidak lagi berlaku Syuf’ah. [7] (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2028, Fathul
Bari IV: 436 no: 2257 dan lafadz ini milik Imam Bukhari, ’Aunul Ma’bud IX: 425 no: 3497,
Ibnu Majah II: 835 no: 2499 dan Tirmidzi II: 413 no: 1382 tanpa kalimat terakhir).

Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mempunyai (kebun)
kurma, atau sebidang tanah, maka ia tidak boleh menjualnya sebelum menawarkannya
kepada rekan sekongsinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2021 dan Ibnu Majah II: 833 no:
2492 dan Nasa’i VII: 319). [8]

Dari Abu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kawan sekongsi itu lebih
berhak atas apa yang dekat dengan dia.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2027 dan Ibnu
Majah II: 834 no: 2498). [9]

Dalil yang dijadikan argument yang berkaitan dengan syuf’ah adalah hadits Nabi Muhammad
saw, yang berbunyi :

Artinya: “Rosulullah saw, telah menetapkan adanya hak syuf’ah atas setiap perkongsian, terhadap
rumah atau kebun. Tidaklah dihalalkan seseorang diantara anggota persekutuan itu menjual barang
yang mereka miliki sebelum izin persekutuannya. Jika seorang anggota perkongsian itu ingin
(membeli hak-hak yanga akan dijual oleh patnernya) maka ia boleh mengambil dan bila ia tidak
berminat, iapun boleh meninggalkannya. Jika penjual itu berlangsung tanpa izin para kolegannya
dalam pemilikan itu, maka para anggota perkongsian itulah yang paling berhak atas bagian yang
dijual tersebut.”

Pada riwayat lain disebutkan bahwa rosulullah saw bersabda:

Artinya: “Barang siapa yang mengadakan persekutuan dlam kepemilikan kebun atau rumah, maka
salah seorang diantara mereka tidak boleh menjual haknya, sebelum mendapat izin dari semua pihak
uyang ikut dalam persekutuan itu. Bila ia ingin juga menjualnya, sedangkan para anggota persekutuan
tersebut ada yang berminat kepada bagian yang dijual tersebut, maka orang yang berminat itu berhak
mengambil (membelinya), dan bila ia tidak berminat, maka ia berhak untul meninggalkannya.”

2.3 RUKUN-RUKUN DAN SYARAT-SYARAT SYUF’AH

a. Rukun-rukun Syuf’ah [10] :

a. Pihak yang mempunyai hak beli paksa (Syafi’)

Yaitu angota yang berserikat atas pemilikan barang yang sudah dijual. jika sudah ditentukan
bagian masing-masing, maka syuf’ah tidak bisa dilakukan.

6
Artinya: “(pasal) Syuf’ah itu wajib lantaran percampuran, bukan pergandengan, dalam hal
yang terbagi, bukan yang tidak terbagi, juga dalam setiap yang tidak dapat dipindah dari
bumi, seperti rumah dan lainnya, dengan harga yang terjadi saat penjualan.”

Dasar ketentuan tersebut adalah hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Jbir RA, katanya:

Artinya: “Rasulullah saw memutuskan dengan syuf’ah terhadap setiap yang tidak dapat
dibagi. Menurut riwayat Muslim: terhada tanah, rumah atau kebun, oleh sebab itu, apabila
dibuatkan batas dan disendirikan jalan maka tidak ada syuf’ah.”

b. Objek syuf’ah

Adalah barang yang berhak dibeli secara paksa (Al-masyfu’ ‘alaih). Ada sebagian yang
berpendapat megenai harta bendanya. Ada yang mengharuskan benda yang tidak bergerak
seperti tanah atau kebun ada juga yang memperbolehkan dalam barang lain. Dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu majah, Abu daud, Nasaiy, Ahmad bin hanbal dalam
kitab hadits merka masing-masing.

‫ﺟ َﻌ َﻞ ﺭ ُﺳﺎُﻠ ﻪﻠﻟِ ﺻﻠَّﻰ ﻪﻠﻟﺍُ ﻋﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠّﻢ ﺑِﺎﻟ ُّﺸ ْﻔ َﻌ ِﺔ ﻓِﻰ ُﻛ ِّﻞ َﺷﻴ ٍْﺊ َﺣﺎ ٍﻝ‬

Artinya:”Rasulullah saw, sudah menentukan bahwa hak syuf’ah itu bisa berlaku atas segala
jenis harta. ”

c. Orang yang harus menjual kembali harta syuf’ah kepada anggota persero (Al-masyfu’ fih).

Para ulama’ sepakat bahwa orang yang harus menjual kembali barang syuf’ah kepada
anggota persekutuan adalah orang yang menerima pemindahan milik anggota persekutuan
melalui jual beli atau dari tetangga, bagi yang mengakui adanya hak syuf’ah bagi tetangga.
Adapun pemindahan hak milik yang bukan dengan cara jual beli, diperselisihkan oleh para
fukaha.

d. Cara melakukan syuf’ah

Syuf’ah harus dilakukan secepat mungkin, dalam arti, bila syafi’ hendak melakukan syuf’ah
maka ia mestilah melaksanakannya setelah ia mengetahui adanya pemindahan hak milikoleh
anggota persekutuannya. Bila ia memperlambat pelaksanaan syuf’ah tanpa suatu halangan
yang bisa diterima, maka hak syuf’ah akan menjadi gugur.

Ibnu majah meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, katanya:

Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Syuf’ah itu seperrti melepas tali pengikat”.”

Maksudnya, Syuf’ah itu akan hilang kalau tidak segera diminta, seperti halnya onta ketika
lepas dari tali pengikatnya akan lari menghilang kalau tidak segera didahului.

7
b. Syarat-syarat Asy Syuf’ah [11] :

1. Barang yang di Syuf’ahkan berbentuk barang tak bergerak, seperti: tanah, rumah dan yang
berkaitan dengannya secara tetap, misalnya: tanaman, bangunan, pintu-pintu, atap-atap
rumah, dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat dilepas.

Berdalil kepada hadits dari Jabir r.a.:

‫ ُﺭ ْﺑ َﻌ ٍﺔ ﺃَﻭْ َﺣﺎﺋِ ٍﻂ‬: ‫ﻓﻰ ُﻛ ِّﻞ ِﺷﺮْ َﻛ ٍﺔ ﻟَ ْﻢ ﺗُ ْﻘ َﺴ ْﻢ‬


ِ ‫ﺻﻠَّﻰ ﻪﻠﻟﺍُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻬ َﻮ َﺳﻠَّ َﻢ ﺑِﺎﻟ ُّﺸ ْﻔ َﻌ ِﺔ‬ َ َ‫ﻗ‬
َ ِ‫ﻀﻰ َﺭﺳُﻮْ ُﻝ ﻪﻠﻟﺍ‬

“ Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala macam barang syirkah (perseroan) yang tidak
dapat dibagi-bagi seperti: rumah atau kebun ”.

Berbeda dengan pendapat penduduk Makkah dan ad-Dhahiriyah, serta suaturiwayat


dari Ahmad. Mereka mengatakan: “ Bahwa Syuf’ah berlaku untuk segala jenis ”. Karena
bahaya yang mungkin dapat terjadi pada partner dalam jual-beli barang tak bergerak, dapat
pula terjadipada barang yang dapat dipindahkan. Mereka berdalil kepada hadits yang
diriwayatkan oleh Jabir:

ِ ‫ﺻﻠَّﻰ ﻪﻠﻟﺍُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠَّ َﻢ ﺑِﺎﻟ ُّﺸ ْﻔ َﻌ ِﺔ‬


‫ﻓﻰ ُﻛ ِّﻞ َﺷ ْﻲ‬ َ َ‫ﻗ‬
َ ِ‫ﻀﻰ َﺭﺳُﻮْ ُﻝ ﻪﻠﻟﺍ‬

“ Rasulullah menetapkan Syuf`ah untuk segala jenis ”.

Dalil lain adalah hadits riwayat Ibnu Abbas r.a., bahwa Nabi saw., bersabda:

‫ﺍَﻟ ُّﺸ ْﻔ َﻌﺔُ ﻓِ ْﻲ ُﻛ ِّﻞ َﺷﻴ ٍْﺊ‬

“ Syuf’ah berlaku untuk segala jenis ”.

Ath-Thahawi mengeluarkan kesaksian dari hadits Jabir dengan isnad yang dapat dipercaya,
dan Ibnu Hazm mendukung hadits ini. Ia mengtakan: “Syuf’ah wajib pada setiap penjualan
barang musya’ yang tidak dapat dibagi antara dua orang atau lebih, dalam bentuk apapun
yang pada awalnya terbagi-bagi berupa, tanah pohon (satu atau lebih), budak pria, budak
wanita, pedang, makanan, binatang atau apa saja yang tidak dapat dijual”.

2. Orang yang membeli secara Syuf’ah, adalah partner dalam barang tersebut. Dan
perkongsian mereka lebih dulu terjalin sebelum penjualan, dan tidak adanya perbedaaan
batasan antara keduanya, hingga barang itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan.

Dari Jabir r.a., berkata: “ Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala jenis yang belum
dibagi/dipecah. Dan apabila terjadi had (batasan hak) kemudian pembedaan hak sudah jelas,
maka tidak ada lagi Syuf’ah”. Riwayat Al-Khamsah.

Jika didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku
untuk barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia dapat
memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi. Oleh karena itu,

8
Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi/dipecah manfaatnya menjadi tidak
ada.

3. Barang yang di Syuf’ahkan keluar dari pemilikan tuannya dengan jalan penggantian harta,
seperti dijual atau yang berpengertian dijual seperti pengakuan (pernyataan) dengan jalan
damai, atau karena adanya faktor jinaya t, atau hibah dengan penjualan dengan cara tertentu.
Karena pada hakekatnya ini adalah penjualan.

Madzhab Hanafi berpendapat bahwa Syuf’ah hanya berlaku bagi barang yang dijual saja,
dengan berlandaskan pada makna lahiriah hadits dalam Bab ini.

4. Syafi` meminta dengan segera.

Maksudnya, bahwa Syafi’ jika telah mengetahui penjualan ia wajib meminta dengan
segera, jika hal itu memungkinkan. Jika ia telah mengetahuinya lalu mengulur waktu tanpa
adanya halangan, maka haknya menjadi gugur.

Sebabnya, karena jika Syafi’ memintanya dengan segera atau ia memperlambat


permintaannya, hal ini akan berbahaya bagi si pembeli. Kerena pemilikanya terhadap barang
yang dijual tidak sesuai (stabil) dan tidak memungkinkan ia bertindak untuk membangunnya,
karena takut tersia-sia oleh usaha dan karena ia takut diambil segera Syuf’ah.

5. Syafi’ menyerahkan kepada pihak pembeli sejumlah harga sesuai yang telah diakadkan.
Kemudian Syafi’ mengambil Syuf’ah harga yang sama, apabila jual beli itu Mitslian , atau
dengan suatu nilai yang dihargakan.

Di dalam hadits Marfu` dari Jabir:

) ‫ﻖ ﺑِ ِﻪ ﺑِﺎﺍﻟﺜّ َﻤ ِﻦ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺠﻮﺯﺟﺎﻥ‬


ُّ ‫ﻫ َُﻮﺃَ َﺣ‬

“ Dia (syafi’) lebih berhak dengan harga”. Riwayat Al-Jauzjani

Bila ia tidak mampu menyarahkan keseluruhan harga, gugurlah Syuf’ah. Imam Malik
dan mazdhab Hanbali berpendapat: “Bahwa apabila harga itu ditangguhkan semuanya atau
sebagiannya, maka Syafi’ boleh menangguhkannya, atau membayarnya secara kredit sesuai
dengan akad di awal.

2.4 PEWARIS SYUF’AH

Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa Syuf’ah dapat diwariskan dan tidak batal
karena kematian. Apabila sesorang memperoleh hak Syuf’ah, kemudian ia meninggal dunia
sebelum hak itu atau ia sudah mengetahuinya lalu meninggal dunia sebelum sempat
mewariskan haknya itu kepada ahli waris, maka hukumnya dianalogikan dengan kasus yang
sama dalam persoalan harta benda.

Imam Ahmad mengatakan: “Tidak diwariskan, kecuali jika mayit menuntutnya”. Dan
para pengikut madzhab Hanafi mengatakan: Bahwa hak ini tidak dapat diwariskan, dan juga

9
tidak dapat dijual sekalipun mayit menuntut Syuf’ah, kecuali jika hakim telah
memutuskannya dan kemudian ia meninggal dunia. [12]

2.5 TINDAKAN PEMBELI

Tindakan pembeli terhadap harta sebagai Syafi’i menerima syuf’ah dinyatakan sah
karena ia bertindak terhadap miliknya. Jika suatu ketika pembeli menjualnya lagi kepada
orang lain, syafi’i berhak melakukan syuf’ah terhadap salah satu dari dua penjualan. Jika
pembeli harta mengibahkannya, mewakafkannya, menyedekahkannya atau yang sejenisnya,
Syafi’i kehilangan hak syuf’ahnya sebab pemilikan barang tersebut tanpa ganti.

Tindakan pembeli yang telah didahului oleh tindakan syuf’ah oleh Syafi’i adalah
bathil sebab Syafi’i telah melaksanakan haknya dan ada kemungkinanpembeli bermaksud
mempermainkan hak Syafi’i.

Apabila seseoran berdamai dalam masalah syuf;ah aatau menjalnya dari pembeli,
menurut al-syafi’i perbuatan tersebut dinyatakan bathal dan menggugurkan hak syuf’ahnya
serta berkewajiban mengembalikan benda-benda yang telah diambil. Menurt Imam Hanafi,
Maliki dan Hanbali perbuatan itu sah dan dia berhak memiliki apa yang telah dia usahakan
untuk dia miliki dari pembeli.

2.6 HIKMAH ASY-SYUF’AH

Islam mensyari’atkan Syuf’ah untuk mencegah kemadharatan dan menghindari


permusuhan. Karena hak kepemilikan Syafi’ dari pembelian orang lain (pihak lain) akan
dapat mencegah kemungkinan adanya kemudharatan dari orang lain yang baru saja ikut serta.
Imam Syafi’i memilih pendapat bahwa yang di maksud dengan madharat (bahaya) adalah
kerugian biaya pembagian, risiko adanya pihak baru yang ikut serta dan lainnya. Ada juga
ulama yang berpendapat bahwa maksud kemadharatan adalah risiko persekutuan.

Adanya syuf’ah ini diatur oleh agama untuk memelihara ketenangan dan keutuhan
para pemilik harta bersama itu dari berbagai gangguan,baik gangguan terhadap hak milik atau
ketenangan para anggota. Dalam hal ini, unsure ketenangan dan kedamaian, sebagai salah
satu asas dalam lapangan muamalat, haruslah benar-benar diperhatikan. Berangkat dari
sasaran ingin menciptakan ketenangan dalam kelompok perkongsian itu, maka inti pokok
bagaiamana cara pembagian masyfu’ serta berapa kadar bagian masing-masing haruslah
dipulangkan pada kesepakatan para syafi’ atau pada kebiasaan yang berlaku pada masyarakat.

BAB III

10
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Syuf’ah adalah pemilikan barang syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan
membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh
pembeli lain.

Jika didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku untuk
barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia dapat
memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi. Oleh karena itu,
Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi/dipecah manfaatnya menjadi tidak
ada.

Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua orang yang bersekutu dan ingin menjual bagian
dari rumah atau tanahnya. Kemudian datanglah seorang pembeli yang barangkali adalah
musuh bagi sekutu yang lain dan membeli bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga)
dengannya. Dan, kita tahu bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi kriteria yang
ditentukan akan mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati. Terlebih
jika ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang telah menyakiti teman
sekutunya yang lain dengan adanya tetangga ini.

3.2 SARAN

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi tentang Asy-syuf’ah, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

11
Sayyid Sabiq, 1988. Fiqih Sunnah . Bandung: Al-Ma’arif.

Rasjid Sulaiman, 1976. Fiqh Islam . Jakarta: Attahiriyah.

Tamrin Dahlan, 2012. Filsafat Hukum Islam . Malang: UIN Press.

alislami.com/muamalah/11-jual-beli/290-bab-syuf`ah.html

[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah , PT:Al-ma`arif. Bandung: 1988, hal 45

[2] Ibid, 45

[3] Syaikh Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri , (Usaha Keluarga: Semarang, t.t), hl 15.

[4] Ibid, hl 45.

[5] Idris Ahmad, fiqh al- Syafiiyah, (Karya Indah: Jakarta, 1986), hl 121.

[6] Karim,helmi Fiqh Muamalah, Rajawali Press, 1993

[7] Ibid, 45

[8] Alislamu.com/muamalah/11-jual-beli/290-bab-syuf`ah.html

[9] Ibid,

[10] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam , Attahiriyah. Jakarta: 1976, hlm 321

[11] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah ..hlm, 48-53

[12] Ibid, 54

12
13

Anda mungkin juga menyukai