Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Dengan demikian Islam telah mengatur cara
hidup manusia dengan sistem yang serba lengkap. diantaranya, bermuamalah kepada sesama
manusia. Di antara muamalat yang telah diterapkan kepada kita ialah Al Hiwalah.
Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai untuk diadaptasikan kepada
manusia. Hal ini karena al Hiwalah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia.
hiwalah sering berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu cara untuk
menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah hiwalah.
Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan masalah hutang piutang,akan
tetapi bisa juga digunakan sebagai pemindah dana dari individu kepada individu yang lain
atau syarikat dan firma. sebagai mana telah digunakan oleh sebagian sistem perbankan.
Dalam hal ini penulis berkesempatan untuk mengkaji tentang Hiwalah.yang berkaitan
dengan definisi, dalil yang berkaitan, rukun, macam macam, syarat dan berakhirnya hiwalah.
Penulis juga akan membicarakan mengenai Hiwalah di dalam sistem perbankan dan hal lain
yang berkaitan dengan hiwalah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hadist Tentang Hiwalah?
2. Apa Pengertian Hiwalah ?
3. Apa Saja Macam – Macam Hiwalah ?
4. Apa Saja Rukun Dan Syarat Hiwalah ?
5. Bagaimana Landasan Hukum Hiwalah ?
6. Bagaimana Beban Muhil Setelah Hiwalah ?
7. Apa Saja yang Menyebabkan Berakhirnya Akad Hiwalah ?
8. Pengertian Dhaman?
9. Dasar Hukum Dhaman?
10. Rukun Dhaman?
11. Syarat Dhaman?
12. Hikmah Dhaman?

C. Tujuan Penulisan:
Supaya mahasiswa bisa lebih mengerti dan paham tentang pengertian hiwalah,
macam-macam, rukun, syarat, manfaat, landasan hukum, serta berakhirnya akad hiwalah
dalam versi syariat islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadist Tentang Hiwalah


BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadist Tentang Hiwalah


1. Hadist 1

ٍ ِ‫اُأحلَّت علَى مل‬


‫ىءفَاتَّبِ ْع هُ َواَل تَبِ ْع‬ ِ َ َ‫ص لَّى اهلل َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ق‬
َ َ ْ ‫ال َمطْ ُل الْغَيِن ِّ ظُْل ٌم َوإ َذ‬ َ ِّ ‫َع ِن ابْ ِن عُ َم َر َع ِن النَّيِب‬
‫َأح ُد ُك ْم َعلَى‬ ِ ‫ِإ‬ ِ ‫وعيسى ح ِديث َأيِب هرير َةح ِديث حسن‬ ِ َ َ‫بيعَت ِ ىِف بيع ٍة ق‬
َ ‫صحْي ٌح َو َم ْعنَاهُ َذاُأحْي َل‬ َ ٌ َ َ ْ َ َْ َ ُ ْ َ َ ْ ُ‫ال َأب‬ َ َْ ‫َْ َ نْي‬
‫س لَهُ َأ ْن‬ ‫ي‬ ‫ل‬
َ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ِ ‫الرج ِل علَى م ْل ِي ٍءفَاحتَالَه َف َق ْدب ِرَئ الْم‬
‫ح‬ َّ ‫ل‬ ‫ي‬ ِ ‫ال بعض َأه ِل اْلعِْل ِم ِإ َذا‬
‫ُأح‬ َ ‫ق‬
َ ‫ف‬
َ ‫ع‬ ‫ب‬
َّ ‫ت‬‫ي‬ ‫ل‬
ْ ‫ف‬
َ ‫ي‬ ِ‫مل‬
َ ْ َ ْ ُ َ ُ ْ َ َ ُ َ ْ ْ ُ ْ َ ْ َ ٍّ َ
‫ال َه َذابِِإفْاَل ِس‬ ُ ‫وي َم‬ ‫ِ ِ ِإ‬
َ َ‫ض َْأه ِل الْع ْلم ذَات‬ ُ ‫ال َب ْع‬ َ َ‫َي ْر ِج َع َعلَى الْ ُم ِحْي ِل َو ُه َو َق ْو ُل الشَّاِفعِ ِّي َوَأمْح َ َد َوِإ ْس َح َق َوق‬
‫س َعلَى َم ِال ُم ْس لِ ٍم‬ ِ ِِ ِ ِ
َ ‫احتَ َّج ْواب َق ْول عُثْ َم ان َو َغرْي ه حنْي َ قَاُلو لَْي‬
ِ َّ ‫ال َعلَي ِه َفلَ ه َأ ْن ير ِج ع َعلَى‬
ْ ‫اَألول َو‬ َ ْ َ ُ ْ ُ ‫املْ َح‬
‫َأخ ِر‬ ِ ‫الرج ِل علَى‬ ِ
َ ُ َّ ‫ي َه َذاِإ َذاَأحْي َل‬ ٍِ ِ ِ ِ ‫ِإ‬
َ ‫س َعلَى َم ال ُم ْس لم َت َو‬ َ ‫َت َوى قَ َال ْس َحق َم ْعىَن َه َذاحْلَ ديْث لَْي‬
)‫س َعلَى َم ِال ُم ْسلِ ٍم َت َوى (الرتمذي‬ َ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫ف‬
َ ‫م‬
ٌ ‫د‬ِ ‫وهويرى َأنَّه ملِي فَِإذَا هومع‬
ُْ َُ ٍّ َ ُ ََ َ ُ َ
Artinya: Di ceritakan dari ibnu umar, dari nabi Saw, bersabada penundaan
pembayaran oleh orang kaya, adalah suatu kezaliman (penganiaan), apabila utang seseorang
terhadap orang kaya di alihkan menjadi tanggunganmu maka turutilah dan tidak boleh
mengalihkan dua pengalihan dalam satu alihan. Abu isa berkata, hadist abi hurairoh hadist itu
adalah hadist hasan dan sahih yang artinya apabila utang seseorang terhadap orang kaya di
alihkan menjadi tanggunganmu maka turutlah. Maka sebagian ahli ilmu berkata yaitu imam
syafi'i,ahmad dan ishaq: apabila hutang seseorang terhadap orang kaya di alihkan pada
seseorang dan orang itu menerimanya, maka muhil tersebut sudah bebas dari tanggungannya
dan orang tersebut tidak mengembalikan kepada muhil tersebut. Dan sebagian ahli ulama
berkata, orang yang di alihkan(muhal alaih) boleh mengembalikan kepada yang mengalihkan
(muhil) apabila hartanya hilang/musnah karena bangkrutnya muhal alaih, dan yang di
jadikan dalil oleh ahli ilmu tersebut mereka berpegang teguh terhadap perkataan ustman dan
yang lainnya ketika berkata bahwa tanggungan terhadap harta orang muslim tidak musnah.
Ishaq berkata tentang makna hadist itu, tanggungan terhadap hak orang muslim tidak musnah,
hal itu apabila hutang seseorang di alihkan pada orang yang di anggap kaya, ternyata tidak
kaya,maka tanggungan terhadap harta orang muslim tersebut, tidaklah musnah.(H.R
Turmudzi)
2. Matan Hadis ke-1
Hadis ini menjelaskan bahwa: apabila orang mukmin (A) mengalihkan hutangnya
kepada orang mukmin lainnya (B) maka orang mukmin (B) tersebut wajib menanggungnya
(menuruti)

Makna mufradat

kezaliman maksudnya perbuatan zalim (dosa/salah) : ‫ظلم‬


ٌ
tidak musnah maksudnya masih mempunyai tanggungan : ‫توى‬

muhil (orang yang berutang) :‫احمليل‬

muhal’alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang) :‫عليه‬ ‫احملال‬

4. Hadist ke-2

‫ َمطْ ُل الْغَيِن ِّ ظُْل ٌم فَِإذَا ُأتْبِ َع‬: ‫عن أيب هريرةرضي اهلل عنه قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬
)‫َأح ُد ُك ْم َعلَى َملِ ٍّي َف ْليَْتبَ ْع (رواه البخاري‬
َ
Artinya: Di ceritakan dari Abi Hurairoh RA, Nabi saw bersabda:: Menunda
pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan, jika salah seorang dari
kamu diikutkan (di hawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hawalah itu (H.R
Bukhori).[1]

Matan Hadist ke-2


Hadis ini menjelaskan bahwa: menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah
kedzaliman dan jika terjadi pengalihan hutang maka hendaklah di ikuti

Makna mufradat

kezaliman maksudnya perbuatan zalim (dosa/salah) : ‫ظلم‬


ٌ
hendaklah dia ikuti maksudnya dipenuhi / dituruti : ‫بع‬
ْ ّ‫فليت‬
orang kaya / tidak miskin : ‫الغين‬

B. Pengertian Hiwalah
Al-hawalat atau Al-hiwalat, secara bahasa berasal dari kata Hawwala yang berarti
ghayyara (mengubah) dan naqala (memindahkan).[2]
Sedangkan secara istilah Al-hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama hal ini, merupakan
pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal’alaih
(orang yang berkewajiban membayar hutang)[3]
Menurut ibn ‘Abd al-barr al-Namiri A-hawalat ialah pemindahan tanggung jawab.
Menurut ulama hanafiah definisi Al-hawalah di kategorikan dalam dua versi:
1. Pemindahan hak menuntut utang dari pihak yang berutang kepada pihak lain dimana
pihak lain secara kebetulan memiliki utang kepada yang berutang.
2. Pemindahan penagihan dan pemindahan utang sekaligus.
Berdasarkan pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa Al-hawalat adalah penjualan utang
dengan utang artinya pemindahan utang dari pihak kesatu kepada pihak yang lainnya karena
pihak lain memiliki utang kepada yang berutang dengan nilai yang sama.
Hiwalah timbul sebagai akibat dari peristiwa hukum utang piutang bersegi tiga yaitu terjadi
minimal tiga pihak yang melibatkan diri dalam peristiwa itu secara berkaitan. Misalnya: A
(muhal), memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang
kepada C (muhal alaih). Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia alu
mengalihkan beban utang tersebut pada C. dengan demikian, C yang harus membayar utang
B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap selesai.
C. Macam-macam Hawalah
1. Mazhab Hanafi membagi hawalah menjadi beberapa bagian:
a) Hawalah al Haq: yakni hawalah yang bentuk pengalihannya adalah hak menuntut utang.
b) Hawalah Ad-dain: yaitu hawalah yang bentuk pengalihannya berupa pengalihan hak
menuntut utang dan pengalihan utang.
2. Secara umum hawalah di bedakan menjadi dua:
a) Al Hawalah al Muqayyadah: (Pemindahan bersyarat ) yaitu pemindahan utang kepada
yang lain disertai dengan syarat atau sifat tertentu.
b) Al Hawalah al Muthlaqah: (Pemindahan mutlak) yaitu pemindahan utang kepada yang
lain tanpa disertai syarat atau sifat apapun.
D. Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan kabul yang dilakukan antara
yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah menurut
Hanafiyah ialah:
1. Orang yang memindahkan utang (muhil), adalah orang yang berakal, maka batal
hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
2. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn), adalah orang yang berakal, maka batallah
hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3. Orang yang di hiwalahkan (muhal alaih) juga harus orang berakal dan disyaratkan juga
ia meridhainya.
4. Adanya utang muhil kepada muhal alaih.
Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut :
1. Muhil, yaitu oran yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang.
2. Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang kepada
muhil.
3. Muhal ‘alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
4. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.
5. Shigat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya: “aku hiwalahkan utangku
yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhtal dengan kata-katanya : “aku terima
hiwalah engkau.”.[4]
E. Landasan syariah
Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’
1. Sunnah
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw.
Bersabda:

‫ال َمطْ ُل الْغَيِن ِّ ظُْل ٌم َو َم ْن َأْتبَ َع َعلَى َملِ ٍّي‬


َ َ‫عن أيب هريرةَرضي اهلل عنه عن النيب صلى اهلل عليه وسلم ق‬
)‫بع (ألبخاري‬
ْ ّ‫فليت‬
Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan, jika
salah seorang dari kamu diikutkan (di hawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya,
terimalah hawalah itu
Pada hadist tersebut Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan,
jika orang yang berutang meng-hawalahkan kepada orang yang kaya/mampu, hendaklah ia
menerima hawalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang di hawalahkan
(muhal alaih). Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.

2. Ijma’
Ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada utang yang tidak
berbentuk barang/benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus
pada uang atau kewajiban finansial.[5]
F. Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka
muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil. Hal ini adalah pendapat jumhur ulama.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang kafir
yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada
muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain,
kemudian muhal ‘alaih mengalami kebagnkrutan atau meniggal dunia ia belum membayar
kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal’ alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang mengutangkan (muhal)
kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya..[6]

G. Berakhirnya Akad Hawalah


1. Salah situ pihak yang sedang melakukan akad itu mem-faskh (membatal-kan) akad
hawalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan akad itu, pihak
kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikian pula
hak pihak pertama kepada pihak ketiga. Pihak ketiga melunasi utang yang diahhkan itu
kepada pihak kedua.Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang
mewarisi harta pihak kedua.
2. Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam
akad hawalahitu kepada pihak ketiga.
3. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibanya untuk membayar utang yang
dialihkan itu.
4. Hak pihak kedua, menurut ulama Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena at-tawa, yaitu:
pihak ketiga mengalami mullis (muflis, bangkrut), atau wafat dalam keadaan muflis atau,
dalam keadaan tidak ada bukti otentik tentang akad hawalah.
H. Hiwalah dalam Perbankan Syariah
Al-Hiwalah, yaitu jasa pengalihan tanggung jawab pembayaran utang dari seseorang yang
berutang kepada orang lain.[7] Contoh : Tuan A karena transaksi perdagangan berutang
kepada Tuan C. Tuan A mempunyai simpanan di Bank, maka atas permintaan tuan A, bank
dapat melakukan pemindahbukuan dana pada rekening tuan A untuk keuntungan rekening C.

Atas jasa pengalihan utang ini bank memperoleh fee.

DHAMAN

A. Pengertian Dhaman

Dhaman adalah suatu ikrar atau lafadz yg disampaikan berupa perkataan atau perbuatan
untuk menjamin pelusanan hutang seseorang. Dengan demikian, kewajiban menbayar utang
atau tanggungan itu berpindah dari orang yg berhutang kepada org yg menjamin pelunasan
hutangnya.

Hadist:

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َكا َن يُؤ تِى بِا َّلر ُج ِل الْ ُمَت َوىَّف َعلَْي ِه‬ َ ‫َع ْن َأيِب هريرة رضى اهلل عنه اَ َّن َر ُس ْو ُل اهلل‬
ِِ ِ ِِ ِ ِ ْ َ‫الدَّين َفيسَأ َل هل َتر َك لِ َد ينِ ِه ف‬
َ ‫صلَّى َو اَل قَا َل ل ْل ُم ْسلمنْي‬ َ ‫ث َأنَّهُ َتَر َك ل َد يْنه َوفَا ء‬ َ ‫ضاًل فَا َّن َح َد‬ ْ َ ْ َ ْ َ ُْ
‫صا ِحبِ ُك ْم َفلَ َّما َفتَ َح اهللُ َعلَْي ِه الْ ُفُت ْوح قَا َل ناَ اَْوىَل باِ ملُؤ ِمنِنْي َ ِم ْن اَْن ُف ِس ِه ْم فَ َم ْن َت َوىَّف ِم َن‬
َ ‫اعلَى‬َ ‫صلُّ ْو‬
َ
ْ
ِ ِِ
ُ‫ضا ء َها َو َم ْن َتَر َك َما اًل فَلو ِر ْثتُه‬َ َ‫الْ ُمْؤ مننْي َ َفَتَر َك د ْينًا َف َعلَى ق‬

Terjemahan Hadist:
“Dari Abi Hurairah bahwasannya Rasulullah SAW biasanya dibawa kepadanya orang
yang mati yang menanggung hutang, maka ia bertanya: Adakah ia tinggalkan apa-apa buat
membayarnya? Jika dikatakan bahwa ia ada meninggalkan pembayarannya, ia shalatkan dia,
dan jika tidak, ia bersabda: Shalatkanlah sahabat kamu. Tetapi setelah Allah beri kepadanya
beberapa kemenangan, ia bersabda: Aku lebih hampir kepada mu’minin dari pada diri
mereka, dari itu siapa-siapa yang mati meninggalkan hutang, maka aku tanggung
membayarnya”.[8]
Asbabul Wurud
Dari sepanjang usaha pemakalah dalam mencari asbabul wurud hadist ini, pemakalah tidak
menemukan asbabul wurudnya.
Syarahan Hadist
Hadist diatas menjelaskan tentang penanggungan hutang/pengambil alihan hutang, menurut
ketentuan syari’at islam penanggungan hutang ini di istilahkan dengan “kafalah”
(menggabungkan), “dhamman” (jaminan).
Menurut ketentuan syara’ kafalah/dhamman ini diartikan sebagai: proses penggabungan kafil
menjadi tanggungan ashiil dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama atau hutang, atau
barang atau pekerjaan.[9]
Syarat-syarat penanggungan hutang:
1. Kafiil
Kafil adalah seseorang yang mempunyai kewajiban untuk melakukan penanggungan.
2. Ashiil
Ashiil adalah orang yang mempunyai hutang, atau orang yang ditanggung.
3. Makfullahu
Makfullahu adalah orang yang memberikan hutang, oang yang memberikan hutang
disyaratkan harus dikenal oleh kafiil, hal ini dimaksudkan untuk kemudahan.
4. Makfulfihi
Makfulfihi adalah sesuatu yang djadikan sebagai jaminan atau tanggungan dalam hal ini
dapat berupa jaminan kebendaan atau jaminan perorangan.[10]
Dasar hukum Dhamman:

B. Dasar Hukum Dhaman

Dhaman hukumnya boleh dan sah dlm arti diperbolehkan dalam syariat islam selama tdk
menyangkut kewajiban yg berkaitan dg hak-hak Allah.
- Firman Allah SWT:

ِ ِِ ٍ ِ ‫ِِ مِح‬ ِ ِِ ِ
ٌ ‫اع الْ َملك َول َمن َجاء به ْ ُل بَعري َوَأنَاْ به َزع‬
‫يم‬ َ ‫ص َو‬
ُ ‫قَالُواْ َن ْفق ُد‬
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya". (QS.Yusuf:72)

Sabda Nabi Muhammad SAW:

‫يم َعا ِر ُم‬ ِ ِ


ُ ‫اْلعاريةُ هَؤ َّادةُ َو َزع‬
“Penghutang hendaknya mengembalikan pinjamannya dan penjamin hendaklah
membayar(HR.Abu Daud dan Turmudzi).
C. Rukun Dhaman

1. Penjamin(dhamin),
2. Orang yg dijamin hutangnya(madhmun’ anhu),
3. Penagih yg mendapat jaminan(madhmun lahu),
4. Utang atau sesuatu harta yg dijamin,
5. Lafadz/ikrar.

D. Syarat Dhaman
Syarat penjamin:

 Dewasa(baligh),
 Berakal,
 Atas kemauan sendiri(tidak dipaksa)
 Orang yg diperbolehkan membelanjakan harta,
 Mengetahui jumlah,atau kadar hutang yg dijamin

Syarat orang yang dijamin,yaitu orang yang berdasarkan hukum diperbolehkan untuk
membelanjakan harta,
Syarat orang yg menagih hutang,dia diketahui keberadaannya oleh orang yg menjamin,
Syarat harta yang dijamin :

 Diketahui jumlahnya,
 Diketahui Ukurannya,
 Diketahui kadarnya,
 Diketahui Keadaannya,
 Diketahui Waktu jatuh tempo pembayarannya.

Syarat lafadz/ikrar yaitu dapat dimengerti yang menunjukan adanya jaminan serta
pemindahan tanggung   jawab dalam memenuhi kewajiban pelunasan hutang dan jaminan ini
tdk dibatasi oleh sesuatu,baik waktu atau keadaan tertentu.

E. Hikmah Dhaman

1. Munculnya rasa aman dari peminjam,


2. Munculnya rasa lega dan tenang dari pemberi hutang,
3. Terbentuknya sikap tolong-menolong dan persaudaraan,
4. Menjamin akan mendapat pahala dari Allah SWT.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-hawalat adalah penjualan utang dengan utang artinya pemindahan utang dari pihak kesatu
kepada pihak yang lainnya karena pihak lain memiliki utang kepada yang berutang dengan
nilai yang sama.
Hukum hawalah bisa berbeda-beda tergantung kondisinya:
1. Sunnah, dengan syarat muhal ‘alaih mempunyai kemammpuan untuk membayar, tepat
janji dan tidak ada subhat (tidak diragukan akan kehalalan hartanya).
2. Haram, apabila hartanya jelas keharamannya.
3. Makruh, apabila hartanya masih diragukan keharamannya.
Akad hawalah dapat memberikan beberapa manfaat dan keuntungan diantaranya:
1. Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
2. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
3. Dapat menjadi salah satu fee-based income / sumber pendapatan nonpembiayaan bagi
bank syariah.

B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar, kami juga
manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Hakim Atang, Fiqih Perbankan Syariah, PT Refika Adita, Bandung, 2011.
Ismail, Perbankan Syariah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011.
Nor Dumairi, Ekonomi Syariah Versi Salaf, Pustaka Sidogiri, Sidogiri, 2007.
Syafi’i Antonio Muhammad, Bank syariah, Sema Insani, Jakarta, 2001.
Wirdyaningsih. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana. 2005.

[1] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah (Jakarta: Sema insani, 2001) hlm. 126
[2] Dr.H. Atang Abd Hakim.MA, Fiqh Perbankan Syariah (Bandung: PT Refika Aditya,
2011) hlm. 282
[3] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah (Jakarta: Sema insani, 2001) hlm. 126
[4] Asy-Syekh Muhammad bin Qosim Al-ghazy, Fathul Qorib Terjemah (Surabaya: Al-
hidayah, 1991)hlm.376-378
[5] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah (Jakarta: Sema insani, 2001) hlm. 126-127
[6] Drs. Ismail, MBA., Ak, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana, 2011) hlm. 209.
[7] Wirdyaningsih, SH., MH. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. (Prenada Media :
Jakarta). 2005. Hal. 164.

Anda mungkin juga menyukai