Anda di halaman 1dari 5

Tolok ukur demokrasi bukan kehendak penguasa, betapa pun baiknya, melainkan pembatasan

kekuasaan oleh konstitusi.

Oleh
YONKY KARMAN
7 Desember 2023 05:01 WIB · 5 menit baca

Bermula dari sebuah brosur politik di Inggris bertajuk ”Vox populi, vox Dei” (1709),
ungkapan Latin itu kemudian menjadi slogan perjuangan politik menentang kedigdayaan
Louis XIV (1643-1715). Raja Perancis itu dengan jemawa berkata di hadapan parlemen,
”l’État, c’est moi.” Akulah (yang berkuasa di) negara. Kekuasaan negara terpusat pada diriku.

Montesquieu (1689-1755) menggambarkan raja yang paling berkuasa di Eropa masa itu
sebagai pesulap hebat, ”memerintah negaranya dengan menguasai cara berpikir rakyatnya:
rakyat diharuskan berpikir seperti yang dikehendakinya” (Les Lettres persanes, Surat 24).

Kehendak rakyat mengikuti kehendak raja. Dengan restu agama, kehendak itu bahkan
representasi kehendak Tuhan yang tak boleh digugat.

Tolok ukur demokrasi bukan kehendak penguasa, betapa pun baiknya, melainkan pembatasan
kekuasaan oleh konstitusi.

Dalam monarki tradisional, takhta bukan dari rakyat, melainkan hak putra mahkota.
Demikian berlaku sistem dinasti (keturunan raja-raja yang memerintah yang berasal dari satu
keluarga).

Akhirnya, Revolusi Perancis (1789) mengakhiri absolutisme raja dan sistem pemerintahan
dinasti. Sejak itu, dunia Barat identik dengan demokrasi yang bertumpu pada kehendak
rakyat.

Sistem dinasti diakhiri bukan karena tidak pernah ada penguasa baik yang berasal dari
dinasti. Sistem demokrasi diterima bukan karena dijamin produknya selalu penguasa yang
baik.

Isunya adalah kehendak untuk terus berkuasa harus dibatasi. Tolok ukur demokrasi bukan
kehendak penguasa, betapa pun baiknya, melainkan pembatasan kekuasaan oleh konstitusi
(representasi kehendak rakyat).

Kebebasan politik
Agar suara rakyat tidak direkayasa atau diarahkan penguasa, Montesquieu menggarisbawahi
kebebasan politik yang harus terjamin penuh, idealnya dalam pemerintahan demokratis.

Demokrasi pun didefinisikan sebagai ”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”,
meminjam ungkapan terkenal dari Abraham Lincoln dalam pidato singkatnya—tidak lebih
dari 275 kata—pada 19 November 1863 di Gettysburg, Pennsylvania.
Rakyat sepenuhnya bebas menentukan masa depannya sendiri dengan memilih pemimpin dan
wakil mereka di parlemen. Namun, kebebasan politik tidak selalu ada dan hanya ada jika
tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Montesquieu, sejarah pemerintahan
memperlihatkan bahwa penguasa yang baik pun memiliki kecenderungan penyalahgunaan
kekuasaan dan membawa kekuasaan itu sejauh mungkin sehingga kebaikan itu sendiri perlu
batas.

Pemisahan ketat di antara tiga pilar demokrasi (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) menjadi
prasyarat kebebasan politik. Terkait politik elektoral, konstitusi biasanya membatasi jabatan
penguasa eksekutif hanya dua periode berturut-turut, tanpa bisa terpilih kembali.

Pada akhir setiap periode, penguasa mengembalikan takhta kepada rakyat yang menilai
kinerjanya dan yang akan memilih pemimpin untuk periode selanjutnya. Di sisa masa
jabatannya, ia terlibat menangani proses pemilu, tetapi hanya sebatas pesta rakyat itu berjalan
sesuai prinsip luber jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil).

Lebih dari sebagai event organizer, keterlibatan penguasa justru akan merusak demokrasi dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Preferensi pilihan penguasa tak boleh terbaca publik dan penampilan publiknya harus
menjaga jarak sama dari para kontestan. Sekali preferensi penguasa terbaca publik, bukan
hanya rakyat pendukungnya terpengaruh dengan pilihan itu; bawahannya (termasuk polisi
dan tentara) juga akan terpengaruh. Ketidaknetralan itu menodai kebebasan politik dalam
demokrasi.

Itulah yang terjadi di Filipina pada 2022 ketika Sara Duterte, Wali Kota Davao, mencalonkan
diri sebagai wakil presiden untuk mendampingi calon presiden Bongbong Marcos Jr, putra
mantan presiden otoriter Ferdinand Marcos yang pernah berkuasa selama 21 tahun.
Pemilu Filipina itu digelar menjelang berakhirnya periode kedua kepemimpinan Presiden
Rodrigo Duterte, ayah Sara. Suatu fenomena politik elektoral yang asing di negara demokrasi
maju.

Batu uji demokrasi


Ada dua makna batu uji. Pertama, batu gosok (touchstone), keras dan berwarna hitam, untuk
menguji kadar emas. Kedua, percobaan (makna kias).

Kedua makna itu bisa untuk menggambarkan demokrasi Indonesia yang masih terlalu muda
dan kini mengalami ujian. Demokrasi Indonesia masih terlalu muda dibandingkan dengan
tradisi demokrasi di Barat, apalagi jika era kepemimpinan dua presiden pertama tak dihitung
(Orde Lama 1945-1965, Orde Baru 1965-1998).

Trias politika sudah terlembaga, tetapi belum bebas dari intervensi eksekutif. Demokrasi
Terpimpin (Soekarno) ataupun Demokrasi Pancasila (Soeharto) adalah praktik berdemokrasi
dalam kendali eksekutif. Era Reformasi (1998-sekarang) mengembalikan demokrasi dari
kendali eksekutif ke rakyat, sekaligus mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme.

Rakyat memilih presiden baru bukan menurut skenario presiden lama.

Demokrasi rakyat (perwakilan) di Indonesia pun semakin maju dengan proses pemilu luber
jurdil. Rakyat memilih langsung pemimpin eksekutif (mulai dari kepala daerah sampai
presiden) dan wakil rakyat di parlemen untuk menjalankan fungsi kontrol. Rakyat memilih
presiden baru bukan menurut skenario presiden lama.

Meski intervensi antarlembaga kekuasaan negara tidak kasatmata, tak bisa ditampik bahwa
kelembagaan trias politika belum bebas dari pengaruh konflik kepentingan, yang pada
akhirnya melanggengkan politik dinasti.

Netralitas penguasa
Keberpihakan Presiden Joko Widodo dalam perhelatan akbar demokrasi kali ini tampak dari
dukungan terbukanya dalam iklan politik partai yang mengusung putranya sebagai kontestan
pemilu. Ironisnya, secara formal ia masih menjadi bagian dari partai lain yang berseberangan
dalam politik elektoral. Drama politikkah? Ataukah sebuah pragmatisme politik?

Yang jelas, kerja-kerja untuk rakyat dari seorang presiden kini juga menjadi bagian dari
investasi elektoral bagi calon preferensinya. Netralitas bukan lagi harga mati dalam politik
elektoral kali ini.

Kehendak penguasa terbukti sudah berhasil memengaruhi kekuasaan yudikatif. Sudah bisa
dibayangkan pengaruh preferensi presiden juga akan berdaya pancar ke segala arah, bahkan
turun ke tataran desa.

Sementara itu, ada keberlanjutan yang harus dikoreksi. Kekuasaan eksekutif sudah
menjinakkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lagi independen dan kini
mencapai titik terendah dengan status tersangka ketua komisi antirasuah. Skor Indeks
Persepsi Korupsi kini 34, sama dengan skor 2014. Pemberantasan korupsi kita sedang
mundur sembilan tahun.

Ilustrasi

Skor Indeks Demokrasi (versi EIU) 6,71 (peringkat ke-54), sama dengan tahun lalu, tetapi
turun dari peringkat ke-52. Indonesia sudah beralih dari rezim otoritarian, tetapi belum
demokrasi penuh, masih demokrasi tidak sempurna (flawed democracy).

Pemilu berlangsung bebas, tetapi ada masalah dengan kebebasan pers, pembatasan gerak
oposisi dan suara kritis, masih kuat keterbelahan masyarakat antara bangga dan tidak suka
(budaya politik kawula), dan ketidaknetralan aparat pemerintah.

Penurunan indeks demokrasi ada hubungannya dengan penurunan skor Indeks Kemerdekaan
Pers 71,57 (skor tahun sebelumnya 77,88).

Penurunan 6,31 poin (hampir 10 persen) berarti pers masih cukup bebas, tetapi semakin besar
intervensi penguasa dan kriminalisasi yang dialami wartawan yang hendak menyuarakan
kepentingan publik. Padahal, di era demokrasi masa kini, pers adalah pilar keempat
demokrasi.

Kontestasi elektoral sudah dimulai. Semua memang tergantung pilihan rakyat. Selamat
datang demokrasi presidensial!

Baca juga : Puisi Zaman Keraguan

Yonky KarmanPengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta


KERJAKAN SOAL DI BAWAH INI

1. Menurut Montesquieu, apa yang dianggap sebagai prasyarat


kebebasan politik dalam pemerintahan demokratis, dan bagaimana
trias politika berperan dalam mencapai tujuan tersebut?

2. Bagaimana pemilihan umum di Indonesia menjadi batu uji bagi


demokrasi, dan apa makna batu uji tersebut dalam konteks
demokrasi Pancasila?

3. Mengapa netralitas penguasa dianggap penting dalam menjaga


kebebasan politik dalam demokrasi? Berikan contoh konkret dari
kasus politik di Filipina pada tahun 2022.

4. Apa dampak dari intervensi penguasa terhadap kekuasaan


yudikatif dan pemberantasan korupsi terhadap demokrasi di
Indonesia, khususnya dalam konteks demokrasi Pancasila?

5. Bagaimana penurunan skor Indeks Kemerdekaan Pers dapat


menjadi indikator ketidaksempurnaan demokrasi di Indonesia, dan
mengapa pers dianggap sebagai pilar keempat demokrasi?

Anda mungkin juga menyukai