Anda di halaman 1dari 16

Tugas matakuliah

Politik Dinasti dan oligarki di Indramayu


Apa yang disebut Oligarki, menurut Winters, penting untuk

menempatkannya dalam dua dimensi. Dimensi pertama, Oligarki memiliki

dasar kekuasaan—kekayaan material—yang sangat susah untuk dipecah

dan diseimbangkan. Kedua, Oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang

luas dan sistemik, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu

komunitas, Dengan demikian, suatu kekuasaan yang Oligarkis harus

didasarkan pada bentuk kekuasaan yang susah dipecahkan dan

jangkauannya yang harus sistemik.

Menurut Winters, teorisasi Oligarki dimulai dari adanya fakta bahwa

ketidaksetaraan material yang ekstrem menghasilkan ketidaksetaraan politik

yang ekstrem pula. Meskipun dalam demokrasi, kedudukan dan akses

terhadap proses politik dimaknai setara, akan tetapi kekayaan yang sangat

besar di tangan minoritas kecil menciptakan kelebihan kekuasaan yang

signifikan di ranah politik pada golongan tersebut. Klaim ini didasarkan pada

distribusi sumber daya material diantara anggota komunitas politik,

demokrasi atau sistem lainnya, yang memiliki pengaruh besar pada

kekuasaan. Semakin tidak seimbang distribusi kekayaan material, makin


besar kekuasaan dan pengaruh orang kaya dalam motif dan tujuan politiknya.

Dengan demikian, ketidaksetaraan yang besar dalam kekayaan

menghasilkan ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan pengaruh politik.

Klaim teoritik tersebut didasarkan pada hubungan yang erat antara

uang (kekayaan) dan kekuasaan yang menyejarah dalam sistem politik

manusia. Studi mengenai Oligark dan Oligarki memusatkan perhatian pada

kuasa kekayaan dan politik yang spesifik di sekitar kuasa tersebut.

Penekanannya ada pada dampak politik kesenjangan material terhadap

“kesenjangan kondisi” yang membuat bentuk-bentuk kekuasaan dan ekslusi

minoritas oligarkis berbeda dengan yang lainnya. Untuk itu, menurut Winters,

teori Oligarki harus menjelaskan bagaimana kekayaan yang terkonsentrasi

menciptakan kapasitas, motivasi, dan masalah politik tertentu bagi mereka

yang memilikinya. Selain juga harus peka terhadap bagaimana dan mengapa

politik seputar kekayaan sebagai kekuasaan telah berubah seiring

perkembangan waktu.

Berdasarkan fakta demikian, Winters memulai penjelasannya

mengenai Oligarki dari apa yang dimaksud dengan Oligark. Winters

mendefinisikan Oligark sebagai “pelaku yang menguasai dan mengendalikan

konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk

mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial

ekslusifnya”[6] Berdasarkan definisi itu, terdapat tiga hal yang saling


bersangkut paut, antara lain, pertama, kekayaan adalah bentuk kekuasaan

material yang berbeda dengan sumber daya kekuasaan lain yang berpusat

pada minoritas; kedua, penguasaan dan pengendalian sumber daya itu

ditujukan untuk kepentingan pribadi; dan ketiga, definisi Oligark tetap

konsisten di berbagai zaman dan kasus.

Sebelum menjelaskan Oligarki sebagai sebuah sistem, Winters

memperkenalkan konsep “pertahanan kekayaan”. Sepanjang perjalanan

sejarah, kekayaan material yang terkonsentrasi pada minoritas selalu

mengundang ancaman dari pihak luar yang ingin menguasai atau

mendistribusi ulang kekayaan tersebut. Ini dimaknai sebagai pengambilalihan

sumber daya material dari Oligark. Oleh karena itu, maka dinamika politik

para Oligark selalu berhubungan dengan ancaman tersebut, dan bagaimana

Oligark mempertahankannya. Pertahanan kekayaan ini mencangkup dua

komponen, yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Winters

memberikan definisi Oligarki sebagai sebuah sistem yang merujuk

pada “politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan

material (Oligark)”. Pada konsep ini, Winters mengetengahkan aspek penting

dari Oligarki, yaitu kekayaan menjadi sumber daya material bagi kekuasaan

para Oligark dan dinamika politik pertahanannya yang dikelola secara politis.

Aspek pertahanan kekayaan sebagai sumber daya kekuasaan ini kemudian

menentukan bagaimana Oligarki akan berdiferensiasi dalam berbagai bentuk.


Cara pertahanan ini mengacu pada beragam konteks politik dan periode

sejarah. Oleh karena itu, definisi dari Oligarki bisa tetap, akan tetapi

bentuknya bisa berbeda-beda. Dalam suatu masa, Oligarki bisa terlibat

secara langsung dalam politik, tapi dalam suatu masa juga tidak. Dalam satu

masa, Oligark terlibat secara aktif dalam mempertahankan kekayaan dengan

senjata, tapi dalam masa yang lain tidak bersenjata, dan sebagainya.

Perbedaan tersebut sebagai taktik yang berhubungan dengan bagaimana

pertahanan atas kekayaan dilakukan. Semakin tinggi kebutuhan untuk

mempertahankan kekayaan, maka terjadi kecenderungan bahwa Oligark

akan semakin banyak terlibat dalam kekuasaan politik. Hal tersebut terjadi

juga bila didukung oleh sistem politik yang memungkinkan adanya gangguan

atas hak milik dan kekayaan. Hal sebaliknya, bila dalam sebuah sistem

politik, hak milik dan kekayaan dilindungi secara ketat, maka Oligark bisa saja

tidak perlu terlibat secara aktif dalam perebutan kekuasaan.

Dalam ilmu sosial, teori Oligarki sering mengalami kerancuan dengan

teori elit. Kerancuan ini terletak pada posisinya yang sama dalam kekuasaan

dan pengaruh minoritas. Namun, pada usaha teorisasi Oligarki yang

dikonstruksi oleh Winters ini, ia berusaha membedakannya dengan jelas.

Oligarki dan elit menurutnya berbeda. Keduanya memang menggunakan

kekuasaan dan pengaruh minoritas. Namun, kemampuan melakukannya

didasarkan pada jenis kekuasaan yang berbeda, yang kemudian berimplikasi


pada hasil politik yang berbeda pula. Bukti adanya perbedaan yang

mendasar antara elit dan Oligarki ini terletak pada pengaruh minoritas pada

elit yang selama ini telah ditantang oleh perubahan demokratis, sedangkan

Oligarki bahkan belum memiliki kemampuan untuk menyesuaikan. Hal

demikian berhubungan dengan sumber daya kekuasaan yang digunakan

untuk menjadi seorang elit dan Oligark.

Sumber daya kekuasaan yang dimaksud mencakup hak politik formal,

jabatan resmi (baik di dalam maupun di luar pemerintahan), kuasa

pemaksaan (coercive power), kekuatan mobilisasi dan kekuasaan material

(kekayaan). Empat sumber daya yang pertama, ketika didistribusikan dengan

cara sangat eksklusif atau terkonsentrasi, adalah dasar yang umumnya

dikenal sebagai politik “elit.” Sumber daya yang terakhir, kekuasaan material

adalah basis oligarki. Oligark adalah aktor yang diberdayakan oleh kekayaan

sumber daya paling menonjol di antara bentuk-bentuk kekuasaan lainnya.

Kekayaan jelas paling serba guna, dalam arti mudah diubah menjadi

pengejawantahan kekuasaan yang lain. Sehingga dengan itu, elit dan

Oligarki dapat dipisahkan secara konseptual.

Kategori Oligark dan elit bisa saling tumpang tindih dengan kekuasaan

oligarkis yang berpotensi mengarah pada kekuasaan elit—begitu pula

sebaliknya. Namun, keduanya tidak mesti bertumpang tindih. Banyak Oligark

hanya memiliki sumber daya kekuasaan material, dan banyak elit tidak
pernah menghimpun kekayaan yang mendatangkan kekuasaan. Dalam suatu

sistem politik, Oligark selalu menjadi seorang elit, tetapi seorang elit belum

tentu menjadi seorang Oligark.

Salah satu bentuk oligarki dapat dilihat dalam sebuah pemerintahan di

daerah yang terbentuk berdasarkan system “kekerabatan” atau secara umum

dapat di sebut sebagai Politik dinasti,Menguatnya fakor kekerabatan (familial

ties) terutama pada periode 2010-2014 ditandai dengan banyaknya kepala

daerah yang terpilih pada kurun waktu tersebut merupakan istri atau anak

dari politisi laki-laki yang lebih dulu menjabat atau memiliki pengaruh kuat di

daerahnya1

Fenomena masih kuatnya faktor kekerabatan ini juga ditemukan pada

Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut dengan Pilkada) 9 Desember

2015. Sebanyak 12 dari 24 (50%) perempuan kepala daerah terpilih memiliki

latar belakang sebagai petahana dan kader partai, disusul dengan

perempuan kepala daerah terpilih yang mempunyai hubungan kekerabatan

dengan elite yaitu sebanyak 45,83%2

1
Kurniawati Hastuti Dewi, “Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders:
Impact Study of Direct Local Elections,” Indonesian Feminist Journal Feminist Journal, Vol.3,
No. 1 (2015), hlm.52-54.
2
Lihat data dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, “Jalan Terjal Perempuan Kepala
Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Pro
Perempuan”
Adapun dampak dari keputusan tersebut adalah para calon kepala

daerah yang memiliki kekerabatan memiliki peluang untuk maju dalam

pilkada dan membangun konsolidasi politik. Hal ini menjadi persoalan pelik

dalam kaitannya dengan upaya mendorong demokratisasi lokal. Terlebih lagi

adanya kecenderungan kekerabatan di sini terkait erat dengan jaringan

oligarki di tingkat lokal yang pada dasarnya berkepentingan dalam

mempertahankan dan memperluas sumber daya material yang mereka

kuasai. Dalam kajian mengenai desentralisasi, Vedi R. Hadiz dan Richard

Robison (2014) menyebutkan bahwa menguatnya desentralisasi yang

dicirikan dengan menguatnya oligarki di tingkat lokal, disebabkan oleh

perubahan kelembagaan lokal paska reformasi yang tidak dibarengi dengan

perubahan tatanan dari rezim sebelumnya, sehingga memungkinkan oligarki

lama bertahan atau membentuk jejaring oligarki baru di tingkat lokal 3

Kemunculan Anna Sophanah sebagai Bupati Indramayu dipengaruhi

kuat oleh fenomena menguatnya jejaring oligarki politik di tingkat daerah,

dalam hal ini yang terjadi di Kabupaten Indramayu. Kuatnya kuasa politik

suaminya, Irianto MS Syaifudin (selanjutnya disebut Yance), menjadi faktor

yang mempengaruhi kemunculan dan kemenangan Anna dalam dua periode

Pilkada langsung di Kabupaten Indramayu, yaitu pada tahun 2010 dan 2015,

Yance merupakan tokoh politik perpanjangan Orde Baru yang kuat di

3
Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian
Kembali Kekuasaan di Indonesia,” Prisma, Vol. 33, No. 1 (2014), hlm. 35-56.
Indramayu dan menjabat sebagai bupati selama dua periode berturut-turut

sebelum Anna. Ia juga adalah ketua ormas Pemuda Pancasila (PP)

Indramayu4, ketua Gabungan Pengusaha Seluruh Indonesia (Gapensi) di

Indramayu, dan ketua DPD Golkar tahun 2009-2016. Selama

kepemimpinannya di Indramayu, Yance dikenal tidak segan menggunakan

kekerasan terhadap siapapun yang beroposisi terhadapnya. demokratisasi

tidak dirasakan publik Indramayu selama Yance berkuasa. Semua sektor

(birokrasi, ekonomi, serta penguasaan semua project) dikuasai oleh Yance

dan kerabatnya

Selama Yance menjabat bupati Indramayu, selaku istri Yance, secara

otomatis Anna kemudian menjadi Ketua PKK 5. Karir politik Anna praktis

dimulai ketika ia menjadi anggota DPRD Kabupaten Indramayu periode

2009-2014. Adapun dalam keterlibatannya di berbagai organisasi seperti

GOW, kemudian Muslimat NU, dan sebagainya, Anna tidak begitu

menunjukkan performa yang membuatnya dapat dilihat sebagai figur kepala

daerah di luar dari figur suaminya. Untuk memperlancar upayanya

mencalonkan istrinya, Anna, sebagai bupati Indramayu penerusnya, Yance

mengangkat latar belakang Anna yang berasal dari desa yang cenderung
4
Seperti diketahui, Pemuda Pancasila merupakan organisasi paramiliter yang memusatkan
aktivitasnya dalam menjaga kepentingan bisnis kelas dominan yang berkuasa. Kini posisi
ketua tersebut telah digantikan oleh anaknya yang bernama Daniel Muttaqin
5
Lihat Ani W. Soetjipto dan Shelly Adelina, Suara dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK,
(Tangerang: Marjin Kiri, 2013), hlm. 9. Hingga saat ini kepemimpinan PKK masih didasarkan
pada posisi jabatan publik suami.
agamis untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang dimiliki Anna. Yance

mampu membalikkan tradisi kampanye politik di wilayah Islam yang secara

umum bicara mengenai pelarangan perempuan menjadi pemimpin dengan

mengampanyekan istrinya menjadi pemimpin daerah 6. Dalam sebuah

wawancara yang disiarkan secara nasional oleh sebuah stasiun televisi

swasta, Anna secara terbuka mengungkapkan bahwa pencalonan dirinya

sebagai Bupati memang didasarkan pada kiprah politik suaminya, dan bukan

pada keputusan dirinya sendiri sebagai perempuan dengan gagasan yang

hendak dibawa. Hal itu memperlihatkan dengan jelas bahwa majunya Anna

dalam Pilkada langsung berkaitan dengan skema perluasan jejaring oligarki

yang dibangun Yance disana.

Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif 2009, Golkar menjadi kekuatan

politik terbesar di Indramayu, sebanyak 24 orang anggota DPRD Indramayu

berasal dari Partai Golkar7. Hal ini tentu saja menjadi kondisi politik lokal yang

semakin memuluskan langkah sang oligark, Yance, untuk memenangkan

istrinya, Anna, pada Pilkada langsung pertama yang diikuti Anna, yaitu tahun

2010. Kemenangan Anna untuk kedua kalinya dalam Pilkada langsung 2015

di Kabupaten Indramayu bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Sejalan

6
Lihat rekaman wawancara wawancara Anna Sophanah dan Irianto.M.S.Syaifudin dengan
Najwa Shihab dalam video berjudul “Kuasa Gono Gini Mata Najwa,” 23 November 2016,
https://www.youtube. com/watch?v=HMM7uopd4iY
7
Jariungu, “Daftar Anggota DPRD Kabupaten Indramayu Periode 2009-2014,” http://www.
jariungu.com/parlemen
dengan konsep oligarki yang dikemukakan oleh Hadiz dan Robison,

kemenangan Anna merupakan kemenangan jejaring oligarki yang telah

terbangun di tingkat lokal, dalam hal ini oleh suaminya, Yance, yang telah

membangun kuasa politik di Indramayu dengan menggunakan otoritas politik

yang dimilikinya. Sebagaimana temuan dalam penelitian ini, para informan

menyatakan bahwa Yance menjalankan otoritas politiknya di Indramayu

dengan maksimal, tidak terkecuali dengan melakukan tindakan represif

terhadap siapa saja yang menentangnya.

Bentuk-bentuk tindakan represif yang dilakukan Yance terhadap para

penentangnya pun dilakukan dengan beragam cara, mulai dari intimidasi,

pengancaman serta pembubaran diskusi. Pegawai Negeri Sipil (PNS) di

Indramayu pun tidak luput dari tindakan represif ini. Mereka diancam bahwa

jika tidak loyal maka akan dimutasi ke tempat yang jauh. Tindakan represif

tersebut kemudian berimplikasi pada tidak adanya kekuatan politik alternatif

yang muncul di luar kekuasaan jejaring Yance. Indramayu seolah menjadi

daerah yang masih menggunakan pola-pola Golkar di masa Orde Baru.

Yance berusaha mengkondisikan agar segala sesuatu di Indramayu

tergantung pada dirinya, termasuk diantaranya terkait parpol disana.

Sehingga, tidak ada oposisi murni di Indramayu. Kalaupun ada, hubungannya

proyek dan cuma bersifat sementara.


Wilayah kemenangan Anna pada Pilkada langsung 2015 terdapat di

25 kecamatan dari 31 kecamatan yang ada di Indramayu. Adanya selisih

suara yang cukup besar terutama terjadi di kecamatan Bongas (13.093),

Gantar (9.356), Haurgeulis (10.860) dan Juntinyuat (9.808) 8 menunjukkan

kuatnya jejaring birokrasi, yang mana wilayah-wilayah tersebut dikenal

sebagai wilayah “aman” bagi pasangan Anna-Supendi. Kedua puluh lima

kecamatan terebut merupakan wilayah pedesaan dengan sosiologis

masyarakatnya cenderung berpendidikan dan bertaraf ekonomi rendah, serta

kerap merasa takut terhadap ancaman-ancaman birokrasi, seperti misalnya

tidak akan diperbaikinya jalan, kesulitan dalam mengurus KTP, serta

kesulitan untuk memperoleh kartu pintar. Sehingga, mereka memilih karena

rasa takut dan mengikuti arahan tokoh-tokoh di daerahnya. Sementara itu, di

enam kecamatan lainnya, yaitu di kecamatan Cantigi, Indramayu, Jatibarang,

Patrol, Sindang, dan Tukdana, suara dimenangkan oleh lawan dari pasangan

Anna-Supendi, yakni Toto Sucartono-Rastawiguna yang diusung oleh PDIP.

Keenam kecamatan tersebut merupakan wilayah kota yang masyarakatnya

lebih memiliki kecerdasan politik.

Meskipun sama-sama ditopang oleh faktor kekerabatan yang kuat,

namun tidak seperti Airin di Tangerang Selatan yang masih berusaha

menampilkan dirinya yang seolah dapat memisahkan diri antara sikap politik
8
Data diolah dari “Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Kabupaten Indramayu
Model DBKWK, DB1-KWK, DB2-KWK, dan Model DB5- KWK) pada Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Indramayu tahun 2015
dirinya dengan persoalan bisnis keluarga Chasan, di Indramayu, Anna justru

memperlihatkan sikap yang sebaliknya. Dalam sebuah wawancara di salah

satu TV nasional, Anna mengakui bahwa ia mengusung program yang sama

dengan program yang diusung suaminya, Yance, ketika masih menjabat

sebagai bupati Indramayu. Lebih lanjut, Anna pun mengatakan secara

eksplisit bahwa dirinya tidak memiliki inovasi program dalam menjalankan

pemerintahannya dan hanya murni melanjutkan program-program yang telah

dijalankan oleh suaminya selama dua periode.

Padahal, permasalahan yang ada di Kabupaten Indramayu,

khususnya permasalahan yang terkait dengan kehidupan perempuan di

Indramayu cukup parah dan membutuhkan penanganan tepat. Idealnya,

Anna sebagai perempuan kepala daerah semestinya mampu

memprioritaskan permasalahan-permasalahan perempuan dalam kebijakan-

kebijakannya dan berupaya memenuhi kepentingan praktis gender. Namun

nyatanya, Anna bahkan belum merasa sepenuhnya sebagai bupati

Indramayu9 Jika ada warganya yang datang hendak menyampaikan aspirasi,

Anna pun tidak pernah menemuinya secara langsung 10 Dalam menjalankan

pemerintahannya, posisi Anna sebagai bupati Indramayu pun berada di

bawah kontrol penuh suaminya, Yance. Hal ini diakui secara terbuka oleh
9
“Kuasa Gono Gini Mata Najwa,” 23 November 2016, https://www.youtube.com/watch?
v=HMM7uopd4iY,
10
“Ormas Indramayu: Bupati Anna Tak Layak Memimpin Indramayu,”
http://www.indramayupost. com/2012/02/ormas-indramayu-bupati-anna-taklayak.html,
Yance bahwa ia bahkan memiliki ruangan khusus di kantor bupati atau yang

lebih sering disebut dengan ”pendopo” untuk mengontrol penuh kebijakan-

kebijakan serta keputusan yang dibuat oleh istrinya, Anna. Begitu kuatnya

pengaruh Yance pada pemerintahan Anna, berdampak pada sulit

terwujudnya demokratisasi lokal di Indramayu.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Oligarki memiliki beragam

bentuk tergantung dengan politik pertahanan kekayaan yang dijalankannya.

Perubahan bentuk Oligarki ini didasarkan pada ancaman kekayaan darimana

ia berasal, misalnya apakah ancaman itu muncul dari kaum tak berpunya

di bawah, dari samping yaitu antar Oligark itu sendiri, atau dari atas yang

berasal dari negara/kekuatan pemerintah. Beragam ancaman itu, membuat

Oligark membentuk pertahanan kekayaan dengan mengikuti konteksnya.

Dalam hal ini, Winters menyatakan bahwa, Untuk memperjelas itu, Winters

membuat tipologi ideal mengenai Oligarki. Menurutnya, semua Oligarki bisa

digolongkan menurut empat ciri utama, yaitu kadar keterlibatan langsung

Oligarki dalam pemaksaan yang menyokong hak milik atas harta dan

kekayaan; keterlibatan Oligark dalam kekuasaan atau pemerintahan; sifat

keterlibatan dalam pemaksaan dan kekuasan itu, apakah terpecah atau

kolektif; dan Oligark bersifat liar atau jinak

Dari ciri di atas, Winters membuat empat tipe ideal dari Oligarki, antara

lain, pertama, Oligarki Panglima, yaitu Oligarki yang muncul dengan


kekuasaan pemaksa (kekerasan) secara langsung ada pada dirinya. Setiap

Oligark memiliki senjata untuk mendapatan kekayaan. Ia memiliki tentara dan

berebut secara langsung sumber daya material dengan Oligark lain. Pada

dunia seperti itu, perpecahan antar Oligark berada di tingkat tertinggi,

sehingga persekutuan tidak stabil. Konflik dan ancaman umumnya bersifat

lateral antar Oligark panglima. Dapat dikatakan di sini bahwa pengumpulan

kekayaan dilakukan dengan cara penaklukan satu panglima ke panglima lain

sehingga ancaman paling dominan terdapat pada klaim harta daripada

pendapatan. Oligarki panglima ini terjadi dari masa pra sejarah, Eropa zaman

pertengahan, dan berakhir dengan keluarga yang berseteru di Pegunungan

Apalachia.

Tipe kedua adalah Oligarki penguasa kolektif. Oligark jenis ini memiliki

kekuasaan dan berkuasa secara kolektif melalui lembaga yang memiliki

norma atau aturan main. Perbedaan mendasar antara Oligarki panglima

dengan oligarki penguasan kolektif ini terletak pada kadar kerja samanya.

Dalam Oligarki penguasa kolektif ini, para Oligark bekerja sama untuk

mempertahankan kekayaannya dan memerintah suatu komunitas. Dalam

kebanyakan kasus, pemerintah kolektif dilembagakan dalam suatu badan

pemerintah yang isinya Oligark semuanya. Secara historis, contoh dari

bentuk oligarki penguasa kolektif bisa ditemui dari komisi mafia,


pemerintahan Yunani-Roma, juga menurut Winters adalah praktek politik di

Indonesia pasca Soeharto.

Ketiga, bentuk Oligarki terjadi ketika monopoli sarana pemaksaannya

terletak pada satu tangan Oligark. Hubungan antara Oligark bersifat patron-

klien terhadap Oligark yang berkuasa tersebut. Oligarki jenis ini disebut

sebagai Oligarki Sultanistik. Wewenang dan kekerasan hanya dikuasai oleh

penguasa utama, sedangkan para Oligark lainnya menggantungkan

pertahanan kekayaan dan hartanya pada Oligark tunggal tersebut. Para

penguasa Oligark mengalahkan kapasitas Oligark di bawahnya, biasanya

dengan mekanisme alat kekerasan negara atau mencampurkan dengan

sarana pemaksa individu. Para Oligark bawahan yang tidak bersenjata

kemudian mempertahankan kekayaan dengan menginvestasikan sebagian

sumber daya yang dimilikinya kepada Oligark Sultanistik. Dengan itu, oligark

penguasa berkewajiban melindungi Oligark-Oligark di bawahnya. Salah satu

contoh mengenai Oligarki Sultanistik ini pada rejim Soeharto di Indonesia.

Keempat, Oligarki yang sepenuhnya tak bersenjata dan tidak

berkuasa langsung. Oligark menyerahkan kekuasaannya pada lembaga non-

pribadi dan terlembaga dimana hukum lebih kuat. Oligarki jenis ini disebut

dengan Oligarki Sipil. Karena hak milik dan pertahanan harta telah

disediakan oleh negara, maka fokus Oligark hanya pada pertahanan

pendapatan, yaitu upaya untuk mengelak dari jangkauan negara untuk


meredistribusi kekayaan, misal melalui pajak progresif. Oligarki Sipil tidak

selalu bersifat demokratis dan melibatkan pemilu. Misalnya, Amerika dan

India memang bersifat demokratis secara prosedural, tetapi di Singapura dan

Malaysia bersifat otoriter. Dari beragam contoh itu, semuanya bersifat oligarki

sipil.

Tipe ideal yang dibuat oleh Winters ini tidak statis, artinya dalam suatu

wilayah yang memiliki satu tipe oligarki tertentu bisa memungkinkan berubah

menjadi tipe oligarki yang lain. Hal itu terjadi dengan mengikuti

perkembangan situasi yang spesifik. Ini misalnya terjadi di Indonesia. Oligark

merupakan aktor sangat berpengaruh dalam ekonomi politik Indonesia,

mereka muncul dan memperoleh kekuasaan semasa Orde Baru Soeharto,

dan transisi menuju demokrasi bukan merupakan gangguan signifikan atau

menyusutkan kekuasaan mereka. Oligarki itu sendiri berubah secara

dramatis seiring tumbangnya rezim Soeharto—dari sultanistik ke penguasa

kolektif—dengan konsekuensi penting bagaimana cara pertahanan kekayaan

diupayakan dan dijamin di Indonesia. Namun, Oligarki tidak lantas

menghilang. Penekanan pada bagian ini adalah bagaimana kekuasaan

oligarkis terejawantah di Indonesia kontemporer.

Anda mungkin juga menyukai