Anda di halaman 1dari 27

1

PROPOSAL PENELITIAN
TUGAS AKHIR

JUDUL :

PENERAPAN PASAL 28 AYAT (2) UNDANG-UNDANG INFORMASI


DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM PENEGAKAN HUKUM
TERHADAP TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN (STUDI
PERBANDINGAN KASUS EMAK-EMAK KAMPANYE HITAM DAN
KASUS PIDATO ULAMA NU)

DISUSUN OLEH :
RADITYA ADI WICAKSONO
NIM : 15410075

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2019
2

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana bunyi dalam


Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum.1 Negara Indonesia adalah negara demokrasi karena Indonesia dalam
sistemnya menganut sistem pemerintahan demokrasi dalam pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang
berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.”2, pasal tersebut menekankan bahwa dalam Negara
Republik Indonesia pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan tertinggi
adalah ditangan rakyat Indonesia.

Rakyat Indonesia memiliki sejumlah hak-hak yang mendasar yang dijamin


secara konstitusional seperti halnya dalam hak kebebasan berpendapat. Hal
tersebut dinyatakan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca Amandemen
kedua telah diatur dalam pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.3
Hak kebebasan berpandapat tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia
yang bersumber pada pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “setiap orang bebas untuk
mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati
nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan melalui media cetak maupun
elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban
kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”4

Namun secara khusus hak kebebasan berpendapat diatur dalam Pasal 1


ayat (1) Undang-Undang No 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan
Menyatakan Pendapat di Depan Umum. Menurut Undang-undang dasar

1
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1954
3
Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
4
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
3

dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak untuk menyampaikan pikiran


dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.5

Adanya berbagai kemajuan teknologi informasi mengantarkan pada


perubahan dan berkembangnya zaman, kemajuan internet pun juga ikut
berkembang sesuai dengan majunya teknologi informasi saat ini. Indonesia
telah terkena pengaruh perkembangan teknologi informasi di era moderen ini.
Salah satu perkembangan dan kemajuan teknologi informasi saat ini yaitu
dengan adanya berbagai macam media sosial yang menyebar ke pengguna di
berbagai kalangan.

Kemudahan dalam menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan pun saat
ini berjalan seiring dengan semakin berkembang dan majunyanya teknologi
informasi. Perkembangan teknologi informasi sudah sangat canggih, cepat dan
mudah, sehingga tidak asing apabila telah menjadi bagian dari gaya hidup
masyarakat milenial tidak terkecuali masyarakat Indonesia yang juga
mengikuti setiap perkembangan teknologi informasi di era milenial ini. Salah
satu pemanfaatan teknologi informasi dengan munculnya berbagai macam
media sosial yang menyebar luas ke berbagai macam kalangan baik anak-
anak, remaja, orang dewasa, pekerja, bahkan ibu rumah tangga, ekonomi atas
sampai ekonomi bawah dan masih banyak yang lainnya dapat menggunakan
media sosial untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pengguna.

Perkembangan teknologi ini lah yang mengakibatkan setiap orang dapat


berekspresi dan bebas mengeluarkan pendapat, kritik ataupun saran melalui
media sosial yang dimiliki. Penggunaan media sosial yang dapat dilakukan
secara meluas ini memiliki dampak yang diibaratkan seperti dua sisi mata
uang. Di satu sisi dapat memberi dampak positif seperti bidang sosial,
pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan sebagainya. Namun di sisi lain

5
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan berpendapat di
muka umum
4

dapat menimbulkan dampak negative berupa munculnya berbagai jenis


kejahatan.

Salah satu dampak negatif yang sering terjadi dengan semakin mudahnya
komunikasi dan bertukar informasi melalui media sosial antara sesama
pengguna adalah mudahnya suatu pendapat yang memiliki muatan
penghinaan, pencemaran nama baik atau ujaran kebencian (+) tersebar dan di
akses oleh semua orang. Ujaran Kebencian (Hate Speech) sendiri adalah
“Tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok
dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau
kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender,
cacat, orientasi seksual kewarganegaraan, agama dan lain-lain”6.Tindak
pidana ujaran kebencian (Hate Speech) saat ini semakin menjadi perhatian
masyarakat nasional maupun internasional seiring dengan meningkatnya
kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia. Media terbesar yang
memudahkan munculnya tindak pidana ujaran kebencian adalah melalui
media sosial seperti facebook, twitter, instagram dan media sosial lainnya.

Dari sisi yuridis normatif, perbuatan ujaran kebencian memang bukan


merupakan perbuatan pidana baru karena telah dikenal dalam Kitab Undang-
Undang hukum Pidana (KUHP). Hanya saja keberadaan perbuatan ujaran
kebencian ini dalam perkembangannya mendapatkan pengaturan khusus
dalam Undang-Undang pidana khusus. Ketentuan hukum pasal 28 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 juncto Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
memperkenalkan perbuatan ujaran kebencian sebagai salah satu perbuatan
yang dilarang dalam UU ITE.7 Keberadaan perbuatan ujaran kebencian ini
memang dapat dipandang sebagai perbuatan yang dilarang oleh undang-

6
Meri Febriyani, “Analisis Penyebab Pelaku Melakukan Ujaran Kebencian (Hate Specch) Dalam
Media Sosial”, terdapat dalam
http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/pidana/article/download/1285/1122 diakses pada tanggal
1 Mei 2019 pada pukul 10.05
7
Hwian Christianto, 2018, Perbuatan Ujaran Kebencian Ragam dan Studi Kasus, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hlm. 1
5

undang (yaitu UU ITE) serta disertai ancaman sanksi pidana (pidana penjara
maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).8

Penyebaran ujaran kebencian (Hate Speech) di media sosial bertujuan


untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antara individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) yang mampu mengakibatkan perubahan besar dan
sering digunakan untuk kepentingan politik beberapa kalangan. Hal tersebut
menjadi salah satu alasan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor SE/06/X/2015
tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) yang ditandatangani
oleh Kapolri Badrodin Haiti. Ini menunjukan bahwa tindak pidana ujaran
kebencian (Hate Speech) adalah suatu bentuk kejahatan yang tidak bisa
dipandang sebelah mata mengingat bentuk ujaran kebencian dan media
penyebarannya yang kompleks serta akibat yang ditimbulkannya dapat
mengganggu keutuhan bangsa dan negara.9

Berikut adalah beberapa contoh kasus ujaran kebencian (hate speech) yang
dilakukan melalui media massa :

Kasus video viral emak-emak melakukan kampanye hitam10 :

Pada tanggal 23 Februari 2018

Tiga orang ibu-ibu yakni Engqay Sugiyanti (ES), Ika Peranika (IP), dan
Citra Widaningsih (CW), berputar door to door keliling kampung mereka di
Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Saat itu CW sambil berdialog dengan
warga, sambil mengambil video dengan HP. Dari video itu terungkap
8
Ibid
9
Gusti Ayu Made Gita Permatasari, Komang Pradnyana Sudibya, “Tinjauan Yuridis Mengenai
Peraturan dan Pertanggugjawaban Pidana Terhadap Tindap Pidana Ujaran Kebencian di Media
Sosial”, terdapat dalam
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/39787/24178 diakses pada tanggal 1
Mei 2019 pada pukul 10.20 wib
10
https://kumparan.com/@kumparannews/kronologi-3-emak-emak-sebar-kampanye-hitam-
soal-jokowi-di-karawang-1551090702274647487 diakses pada tanggal 1 Mei 2018 pada pukul
13.35
6

percakapan soal kampanye hitam. Emak-emak itu datang ke rumah warga dan
menyampaikan bahwa apabila Jokowi menang, maka azan dan jilbab tidak
diperbolehkan, pernikahan sesama jenis juga dilegalkan.

Pada pukul 15.00 WIB, CW memposting percakapan dengan warga itu di


akun instagramnya, kemudian dalam waktu cepat menjadi viral.

Tanggal 24 Februari 2019,

Kepolisian Resor Karawang menangkap ketiga tersangka yakni ES (49)


dan IP (45) yang merupakan warga Desa Wancimekar, Kecamatan Kota Baru
serta CW (44), warga Telukjambe, Desa Sukaraja. Mereka diamankan sejak
Minggu malam 24 Februari 2019 sekitar pukul 23.30 WIB setelah adanya
laporan dugaan kampanye hitam melalui video yang tersebar dari akun media
sosial twitter @citrawida5 atas dugaan ujaran kebencian terhadap pasangan
calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo
atau Jokowi - Ma'ruf Amin.

Video yang diposting CW di instagramnya semakin viral. Media-media


juga ramai-ramai melakukan klarifikasi ke pihak Prabowo - Sandi dan juga
Jokowi - Amin. Namun CW sudah menghapus postingan dan juga akun
instagramnya. Ketiga emak-emak itu diketahui tergabung dalam relawan
Prabowo - Sandi yaitu Partai Emak-emak Pendukung Prabowo-Sandi (Pepes).

Pukul 23.00 WIB, ketiga emak-emak itu dijemput polisi dari Polres
Karawang. Kemudian kasus ditarik ke Polda Jabar yang bermarkas di
Bandung. Ketiga emak-emak tersebut langsung dibawa ke Kepolisian
Daerah (Polda) Jawa Barat untuk penyelidikan lebih lanjut.

Tanggal 25 Februari 2019

Polisi menetapkan tiga orang emak-emak ini sebagai tersangka. Ketiga


tersangka tersebut yang melakukan penghinaan atau ujaran kebencian ke
Presiden Joko Widodo kini sudah ditahan dan berada di Polres Karawang.
Ketiganya diancam Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) UU Nomor 19
7

Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang


Informasi dan Transaksi Elektronik, dan/atau Pasal 14 atau Pasal 15 UU
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Berita Viral video ulama NU11 :

Sebuah video viral di media masa mempelihatkan seorang kiai berpidato di


depan Ma'ruf Amin dan puluhan kiai.

Video itu berdurasi 1 menit 26 detik dan direkam di kawasan Kemang,


Jakarta Selatan, Sabtu (16/3/2019). video tersebut diunggah oleh akun Twitter
@RajaPurwa, Senin (18/3/2019).

Dalam Video tersebut terdapat ratusan orang dengan busana seperti ulama
dan kiai berkumpul duduk lesehan di sebuah ruangan. Di kursi, sosok calon
wakil presiden Ma'ruf Amin duduk bersama beberapa kiai. Di tengah
kumpulan, berdiri seorang kiai berpidato atau orasi. Suasana seperti acara
internal.

Sosok yang berpidato disebut-sebut adalah Wakil Rais Syuriah Pengurus


Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, Anwar Iskandar.

Jadi polemik karena isi pidato menyinggung ajakan memenangkan pasangan


calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Nahdlatul Ulama
disebut akan jadi fosil jika Jokowi tak menang pada Pemilihan Presiden 2019.

Ulama itu menyampaikan ada kelompok yang tidak suka dengan kalangan
ahlussunnah wal Jamaah seperti warga NU. Menurutnya, kelompok ini kerap
menyebut ritual keagamaan yang dijalankan NU sebagai bidah, musyrik,
bahkan kafir. Kelompok tersebut aakan membuat sebuah kekuatan yang
apabila terjadi maka akan menjadikan Islam mainstream seperti NU,
pesantren hanya akan menjadi fosil di masa depan, tahlil, zikir di Istana, dan
hari Santri mungkin akan tidak ada lagi apabila sampai Kiai Ma'ruf kalah.

11
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190319090242-32-378565/di-depan-maruf-
ulama-resah-nu-jadi-fosil-jika-jokowi-kalah diakses pada tanggal 1 mei 2019 pada pukul 13. 50
8

Dari kedua video viral diatas terdapat perbedaan dalam penanganan


perkara. Padahal berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016
tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik sudah memenuhi unsur pidana dan dapat ditetapkan
status tersangka pada saat proses tingkat pemeriksaan penyidikan oleh pihak
yang berwenang yaitu Kepolisian Karawang Namun, senyatanya pada kasus
video viral pidato ulama NU tidak diproses lebih lanjut.

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan dengan cermat


diatas, oleh karena itu penulis mengambil judul skripsi yang berjudul
“Penerapan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik Terhadap Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Ujaran
Kebencian (Studi Perbandingan Kasus Emak-Emak Kampanye Hitam Dan
Kasus Pidato Ulama NU”

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Mengapa terjadi perbedaan praktik penegakan hukum terhadap kasus ujaran
kebencian yang melibatkan emak-emak kampanye hitam dan pidato ulama
NU ?
2. Bagaimana kebijakan Upaya non penal yang tepat untuk meminimalisir
terjadinya tindak pidana ujaran kebencian di Indonesia terhadap kasus
emak-emak Kampanye Hitam dan Pidato Ulama NU ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulis dalam penelitian
ini, adalah :
1. Untuk mengetahui penyebab faktor perbedaan penegakan hukum terhadap
kasus ujaran kebencian emak-emak Kampanye Hitam dan Pidato Ulama
NU.
9

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan non penal yang tepat


dilakukan dalam rangka meminimalisir tindak pidana ujaran kebencian di
Indonesia.

D. Keaslian Penelitian
Sepengetahuan peneliti, belum ada peneliti yang secara komprehensif
mengulas, mengkaji, dan menulis sama seperti apa yang akan diteliti oleh
peneliti. Namun ada beberapa karya ilmiah memiliki sedikit kesamaan, tapi
berbeda dengan penelitian yang berjudul “Penerapan Pasal 28 ayat (2) Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Terhadap Dalam Penegakan
Hukum Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Studi Perbandingan Kasus Emak-
Emak Kampanye Hitam Dan Kasus Pidato Ulama NU”. Karya ilmiah tersebut
antara lain :
1. Skripsi oleh Alan Bastian Kusuma, yang berjudul “Analisis Kriminologi
Dan Proses Penyelesaian Perkara Pada Tindak Pidana Ujaran Kebencian
Yang Dilakukan Oleh Anak Di Media Sosial Pada Tingkat Penyidikan”.
Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta 2018.12 Dalam penelitian ini, yang menjadi rumusan masalah
adalah Apakah yang melatarbelakangi anak melakukan Ujaran Kebencian
ditinjau dari aspek kriminologis dan bagaimana penyelesaian perkara ujaran
kebencian pada diversi yang diterapkan pad tingkat penyidikan.
Dalam penelitian ini menyimpulkan, yang menyebabkan anak
melakukan suatu tindak pidana ujaran kebencian ada 3 faktor, pertama
faktor intern, kedua faktor ekstern, dan ketiga faktor kemajuan teknologi.
Pertama adalah faktor intern berupa pengaruh keterikatan dengan
orang tua berupa kesenjangan kasih sayang dengan orang tua yang tidak
harmonis yang seperti dijelaskan dalam attachment berupa keterikatan yang
dari keluarga kurang merasa dihargai sehingga kurang bisa menghargai
orang lain mudah melakukan ucapan-ucapan negatif.
12
Alan Bastian Kusuma, Analisis Kriminologi Dan Proses Penyelesaian Perkara pada Tindak Pidana
Ujaran Kebencian Yang Dilakukan Oleh Anak Di Media Sosial Pada Tingkat Penyidikan, Skripsi,
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas hukum Universitas Islam Indonesia, 2018, Yogyakarta.
10

Kedua faktor ekstern tidak adanya keterlibatan dan kegiatan-kegiatan


positif baik hobi dan kegiatan yang jelas sehingga mudah dipengaruhi hal-
hal negatif sebagaimana dijelaskan dalam commitment tidak ada keterikatan
yang menjadi rem hasrat untuk melakukan hal negatif.
Ketiga faktor kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak di
imbangi dengan mental anak yang masih labil.
Dalam penelitian ini juga menyimpulkan, dalam proses penyelesaian
perkara ujaran kebencian pada diversi yang telah dilakukan dalam tahap
penyidikan mulai dari awal perkara masuk, pemanggilan para pihak, dan
musyawarah diversi sudah baik dan sejalan dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Perbedaan karya ilmiah diatas hanya fokus meneliti tindak pidana
ujaran kebencian yang dilakukan oleh anak di media social Sedangkan
peneliti dalam penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis apa yang
melatarbelakangi anak melakukan ujaran kebencian ditinjau dari aspek
kriminologi dan bagaimana penyelesaian perkara ujaran kebencian pada
diversi yang diterapkan pada tingkat penyidikan. Dengan demikian,
memiliki sangat perbedaan dengan rencana yang akan diteliti oleh peneliti
saat ini yaitu mengenai “Penerapan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik Terhadap Penegakan Hukum Berita
Ujaran Kebencian (Studi Perbandingan Kasus Ibu Kampanye Hitam Dan
Kasus Pidato Ulama NU.”
2. Skripsi oleh Indri Kusumawati, yang berjudul “Penegakan Hukum terhadap
Tindak pidana Yang Terkait Dengan Ujaran Kebencian“. Prodi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 2018.13 Dalam
penelitian, yang menjadi rumusan masalah adalah pertama, Apa batasan
pengertian tindak pidana yang terkait dengan ujaran kebencian, yang kedua,
Bagaimana praktik penegakan hukum tindak pidana yang terkait dengan
ujaran kebencian, dan ketiga, Apakah terdapat kesamaan interpretasi yang
13
Indri Kusumawati, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Terkait Dengan Ujaran
Kebecian, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2018,
Yogyakarta.
11

dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap norma hukum pidana yang
mengatur tentang ujaran kebencian.
Dalam penelitian ini menyimpulkan, Untuk memberikan batasan
tindak pidana biasa dengan tindak pidana ujaran kebencian memerlukan
identifikasi. Caranya adalah dengan memperhatikan unsur-unsur ujaran
kebencian dalam isi ujaran kebencian. Penegakan hukum tindak pidana
yang terkait dengan ujaran kebencian harus dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang telah mengatur tindak pidana tersebut
Dalam penulisan ini juga menyimpulkan, Undang-undang itu tidak
sempurna. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya
undang-undang itu tidak jelas. Manakala hukumnya tidak jelas atau tidak
lengkap dibutuhkan metode untuk menemukan hukumnya (rechtsvinding).
Jika hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi hukum atau
penafsiran hukum. Sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau
tidak ada maka perlu digunakan metode argumentasi (argumentum per
analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum) dan
metode eksposisi (konstruksi hukum) untuk membentuk pengertian-
pengertian hukum baru.
Perbedaan karya ilmiah diatas hanya fokus meneliti mengenai apa saja
batasan pengertian tindak pidana yang terkait dengan ujaran kebencian,
mengenai bagaimana penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak
pidana ujaran kebencian dan mengenai untuk mengetahui ada atau tidaknya
kesamaan interpretasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam
menerapkan norma hukum pidana yang mengatur tentang tindak pidana
ujaran kebencian
Dengan demikian, memiliki sangat perbedaan dengan rencana yang
akan diteliti oleh peneliti saat ini yaitu mengenai “Penerapan Pasal 28 ayat
(2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Terhadap
Penegakan Hukum Berita Ujaran Kebencian (Studi Perbandingan Kasus Ibu
Kampanye Hitam Dan Kasus Pidato Ulama NU.”
12

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Akademis
Secara teoritis penelitian ini akan memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana, yakni
mengenai pengembangan ilmu hukum pidana yang memperkaya wawasan
tentang hukum.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini akan memberikan manfaat bagi :
a. Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan tersendiri bagi peneliti,
serta di dalam masyarakat dapat berperan membantu untuk menginfokan
kepada masyarakat, tidak diperbolehkan melakukan tindak pidana ujaran
kebencian.
b. Polisi
Polisi sebagai alat penegak hukum yang mempunyai kewenangan
penyelidikan dan penyidikan dalam menangani suatu perkara pidana,
agar memberikan keadilan bagi Tersangka maupun korban tindak pidana.
c. Pembentuk Undang-Undang
Berkaitan dengan rumusan masalah kedua dalam penelitian, dengan
adanya hasil penelitian dapat menjadi suatu masukan dan rumusan bagi
pembentuk undang-undang agar dapat membentuk kebijakan-kebijakan
yang dapat meminimalisir perbuatan ujaran kebencian.
F. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar hukum pidana (yuridis
normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara
yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti
yuridis normatif adalah seperti yang terwujud in-abstracto dalam
peraturan pidana. sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah
13

perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat


secara konkret.14
Tindak pidana adalah terjemahan dari pendekatan Strafbaar Feit
atau delik dalam bahasa inggrisnya Criminal Act, ada beberapa
beberapa pendapat dari pakar-pakar hukum pidana :15
Menurut Simons, menyatakan tindak pidana ialah suatu tindakan
atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh Undang-undang
Hukum Pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan
dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.
Menurut E. Utrecht menyatakan tindak pidana ialah dengan istilah
peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu
merupakan suatu perbuatan atau sesuatu yang melalaikan maupun
akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan melalaikan
itu)
Namun Moeljatno dalam bukunya menggunakan istilah perbuatan
pidana dibandingkan dengan istilah tindak pidana. Kedua istilah ini
memiliki pemahaman yang sama hanya terdapat perbedaan
penggunaan istilah saja.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat
juga dikatakan bahwa pernuatan pidana adalah perbuatan yang oleh
suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam
pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu
suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu.16

14
http://digilib.unila.ac.id/9703/3/BAB%20II.pdf diakses pada tanggal 4 Mei 2019 pada pukul
19.45 wib
15
http://repository.unpas.ac.id/13455/4/BAB%20II.pdf diakses pada tanggal 4 Mei 2019 pada
pukul 19. 50 wib
16
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Ctk. Kesembilan, Rineka Cipta: Jakarta, 2015, hlm. 59
14

b. Unsur-unsur Tindak Pidana


Pada hakikatnya setiap tindak pidana harus ada unsur-unsur yang
dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan itu dapat dikatakan
sebagai tindak pidana. Berikut ini yang merupakan unsur-unsur
tindak pidana adalah:17
1. Kelakuan dan akibat (perbuatan);
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4. Unsur melawan hukum yang objektif; dan
5. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan tindak
pidana tidak ada unsur melawan hukum, suatu perbuatan tersebut
sudah bisa dikatakan melawan hukum. Sehingga tidak perlu
dinyatakan tersendiri. Unsur melawan hukum juga tidak hanya
dilihat dari segi objektif, perlu juga dilihat dari segi subjektif.18

Elemen elemen perbuatan pidana yang lebih sederhana di


kemukakan oleh Schaffmeiister, Keijzer, dan Sutorius yang
menyatakan unsur-unsur atau elemen-elemen perbuatan pidana
terdiri dari memenuhi unsur delik, melawqan hukum dan dapat
dicela. Pendapat demikian juga dikemukakan oleh Pompe yang
menyatakan, perbuatan pidana merupakan suatu kelakuan dengan
tiga hal sebagai suatu kesatuan melawan hukum, kesalahan yang
dapat dicela dan dapat dipidana.19

Bila dilihat dari elemen-elemen perbuatan pidana yang


dikemukakan oleh Schaffmeiister, Keijzer, Sutorius, dan Pompe,
maka dapat disimpulkan bahwa eleman memenuhi unsur delik
identik dengan perbuatan pidana itu sendiri, sedangkan gabungan

17
Ibid, hlm. 69
18
Ibid, hlm. 70
19
Eddy O.S Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm.
96
15

elemen melawan hukum dan elemen dapat dicela melahirkan


pertanggungjawban pidana.20

2. Tinjauan Umum Tentang Ujaran kebencian


Penggunaan istilah “ujaran kebencian” sebenarnya dikenal dalam
istilah “hate crimes”. Robert Posts sebagaimana dikutip oleh Hare &
Weinstein menjelaskan istilah “hate crimes” dengan “speech expressing
hatred or intolerance of other social group especially on the basis of race
and sexuality”. Per definisi ini maka ujaran kebencian dimaknai sebagai
perkataan yang menunjukan rasa benci atau tidak toleran kepada
golongan masyarakat lain berdasarkan ras dan seks.21

Secara yuridis normatif penyebutan istilah “ujaran kebenciaan”


sendiri terdapat dalam Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/ 6/ 2015 tanggal
8 Oktober 2015 tentang Penanganan Ujaran kebencian (Hate Speech) (SE
Kapolri). Pemahaman akan ruang lingkup ujaran kebencian diatur dalam
SE Kapolri terdiri dari tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan hukum pidana lainnya
yang bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap
individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas atas
dasar suku, agama, aliran, keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras,
antargolongan, warna, kulit, etnis, gender, kaum difabel (cacat) dan
orientasi seksual dengan media orasi kegiatan kampannye, spanduk, atau
banner, jejaring media social, demonstrasi, ceramah keagamaan, media
massa cetak maupun elekronik dan pamflet.22

Ujaran kebencian berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya dalam tulisan ini

20
Ibid, hlm. 97
21
Hwian Christianto, Perbuatan Ujaran Kebencian Ragam dan Studi Kasus, Graha Ilmu:
Yogyakarta, 2018, hlm. 2
22
Ibid, hlm. 3
16

disebut dengan KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang
berbentuk antara lain:23

a. Penghinaan;
b. Pencemaran nama baik;
c. Penistaan;
d. Perbuatan tidak menyenangkan;
e. Memprovokasi;
f. Menghasut;
g. Penyebaran berita bohong; dan semua tindakan di atas memiliki
tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan,
penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.

Khusus untuk huruf (d) yaitu perbuatan tidak menyenangkan, tidak


termasuk dalam ujaran kebencian. MK dalam putusan No. 1/PUU-
XI/2013 menghapus kekuatan mengikat frasa “sesuatu perbuatan lain
maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam pasal 335 ayat (1)
butir 1 KUHP. Dengan demikian perbuatan tidak menyenangkan tidak
lagi ada dalam hukum pidana Indonesia.
Ujaran kebencian yang bertujuan untuk menghasut dan menyulut
kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam
berbagai komunitas dibedakan dari aspek :24
1. Suku
2. Agama;
3. Aliran keagamaan;
4. Keyakinan/kepercayaan;
5. Ras;
6. Antargolongan;
7. Warna kulit;
8. Etnis;
9. Gender:
10. Kaum difabel (cacat);
11. Orientasi seksual

Ujaran kebencian dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:


1. Dalam orasi kegiatan kampanye;25

23
Angka 2 huruf f Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/06/X/2015 Tentang Penanganan ujaran
Kebencian (hate speech). Hlm 3.
24
Angka 2 huruf g Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran
Kebencian (hate speech), hlm 3.
17

2. Spanduk atau banner;


3. Jejaring media social;
4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi);
5. Ceramah keagamaan;
6. Media massa cetak maupun elektronik;
7. Pamflet.

3. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum


Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut
hukum, apabila hukum tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum
dapat disebut konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang
harus dilaksanakan. Hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui
kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah-kaidah
atau peraturan-peraturan hukum terkandung tindakan-tindakan yang harus
dilaksanakan, seperti penegakan hukum.26
Menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional, maka inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-
nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan memepertahankan kedamaian
pergaulan hidup.27
Bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan
perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia
kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement
begitu popular. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan
penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.28
Prof, Dr. Soerjono Soekanto dalam bukunya menjelaskan, bahwa
masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor

25
Angka 2 huruf h Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran
Kebencian (hate speech), hlm 3.
26
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing: Yogyakarta,
2009, hlm. 1
27
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo
Persada: Jakarta, 2007, hlm. 5
28
Ibid, hlm. 7
18

yang mungkin memepengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti


yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi
faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut yaitu :29
1.Faktor hukumnya sendiri;
2.Faktor penegak hukum;
3.Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4.Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku dan diterapkan;
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergulan hidup.
4. Tinjauan Umum Tentang Kebebasan Berpendapat
Kebebasan berbicara (Freedom of speech) adalah kebebasan yang
mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya
tindakan sensor atau pembatasan. akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk
dalam hal untuk menyebarkan kebencian.30
Pengertian kemerdekaan menyampaikan pendapat, lebih tepatnya jika
dikaji secara etimologi (kebahasaan), kemerdekaan berarti keadaan tanpa
tekanan atau bebas. Pengertian pendapat secara umum diartikan sebagai
gagasan atau buah pikiran bebas. Berpendapat berarti mengemukakan
pikiran atau mengeluarkan gagasan. Dengan demikian, kemerdekaan
menyampaikan pendapat adalah keadaan bebas dari tekanan untuk
mengemukakan gagasan atau buah pikiran, baik secara lesan maupun
tertulis dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.31
Dalam rangka kebebasan menyampaikan pendapat tersebut, maka
setiap orang berhak mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkannya,
sehingga harus dijamin haknya untuk mencari, emperoleh, memiliki,

29
Ibid, hlm. 8
30
Peiroll Gerard Notanubun, Tinjauan Yuridis Terhadap Kebebasan Berbicara Dalam Ketentuan
Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE Dalam Hubungan Dengan Pasal 28 UUD
1945, Jurnal Ilmu Hukum, https://media.neliti.com/media/publications/240089-tinjauan-yuridis-
terhadap-kebebasan-berb-c58d5036.pdf, diakses pada 17 Mei 2019 pada pukul 13.10
31
Amira rahma Sabela, Dian Wahyu Pritaningtias, Kajian Freedom and Expression Dalam
Perlindungan Hukum Terhadap Demonstran Di Indonesia,
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/lslr/article/download/19484/9291/, diakses pada 17
Mei 2019 pada pukul 13. 22
19

menyimpan, mengolah dan menyampaikannya. Di balik ini harus pula ada


ketentuan undang-undang yang melarang siapapun, termasuk pemerintah
yang ingin mengurangi, membatasi atau meniadakan kebebasan tersebut.
Di negara Indonesia seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau
mengeluarkan pikirannya dijamin secara konstitusional. Hal tersebut
dinyatakan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca Amandemen kedua
telah diatur dalam pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat”.32 Yang dimaksudkan setiap orang berhak atas kebebasan
mengeluarkan pendapat dapat berbentuk ungkapan atau pernyataan dimuka
umum atau dalam bentuk tulisan ataupun juga dapat berbentuk sebuah aksi
unjuk rasa atau demonstrasi.33

G. Definisi Operasional
Untuk memberikan penjelasan serta batasan dalam pengerjaan
penelitian ini, maka penulis disertakan definisi operasional sebagai cakupan
penelitian, yaitu sebagai berikut :
1. Penerapan Undang-Undang ITE melalui proses pidana dalam penegakan
hukum oleh penyelidikan dan penyidikan kepolisian.
2. Tindak pidana ujaran kebencian adalah tindak pidana yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan hukum
pidana lainnya yang bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian
terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai
komunitas atas dasar suku, agama, aliran, keagamaan,
keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna, kulit, etnis, gender,
kaum difabel (cacat) dan orientasi seksual dengan media orasi kegiatan
kampannye, spanduk, atau banner, jejaring media social, demonstrasi,
ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elekronik dan pamflet.
3. Penegakan hukum ditingkat penyelidikan dan penidikan oleh kepolisian
terhadap dua kasus yang diteliti.

32
Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
33
Krisna Harahap, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Grafitri, Bandung, 2003, hlm. 70
20

H. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas
hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan
perbandingan hukum, sedangkan penelitian empiris terdiri dari penelitian
terhadap identifikasi hukum, dan terhadap efektifitas hukum.34
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian hukum
empiris, dimana penelitian ini akan mengkonsepsikan hukum sebagai
norma yang meliputi hukum positif Indonesia serta melakukan penelitian
langsung ke lapangan guna mendapatkan data yang erat kaitannya
dengan penelitian dan proses penyelesaian.
2. Bahan Penelitian
Mengingat penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris
normatif, maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini lebih
mengutamakan pada data primer yang diperoleh langsung dari sumber
aslinya dan data sekunder yang bersumber dari bahan-bahan
kepustakaan. Data primer disini dapat diperoleh dari responden melalui
wawancara sedangkan data sekunder di sini terdiri atas bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.35 Bahan hukum
primer merupakan bahan hukum yang memilki kekuatan mengikat dan
erat hubungannya dengan permasalahan yang diteliti meliputi berbagai
peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 juncto Undang-Undang
nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
d. Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/ 06/ x/ 2015 Tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech)

34
Soejono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 51.
35
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13.
21

e. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan


Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
f. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang digunakan
dan erat hubungannya dengan bahan hukum primer, serta memberikan
petunjuk penjelasan, dan membantu memahami bahan hukum primer.
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini terdiri dari berbagai literatur
yang membahas perlindungan hukum, korban tindak pidana, pemberian
ganti kerugian dalam perkara pidana, serta buku-buku, makalah, jurnal
yang erat berkaitan dengan penelitian ini, serta situs internet yang dapat
dipercaya kebenaran datanya yang membahas perlindungan bagi korban
tindak pidana dalam pemberian ganti kerugian.
Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang memberikan
informasi dan penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum tersier dalam penelitian
ini terdiri atas beberapa bahan rujukan di bidang hukum seperti Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, dan
Ensiklopedia.
Bertolak dari pembedaan jenis penelitian diatas dapat dikemukakan
bahwa apabila penelitian ini dilihat dari sumber datanya, maka penelitian
ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Hal tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini lebih mengutamakan
pada penggunaan data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan dan tidak menggunakan data perimer yang berasal dari
subyek penelitian.
3. Objek Penelitian
a. Faktor penyebab terjadinya diskriminasi dalam penegakan
hukum terhadap kasus ujaran kebencian emak-emak kampanye
hitam dan pidato ulama NU.
b. Kebijakan non penal yang dapat dilakukan untuk meminimilasir
terhadap kasus tindak pidana ujaran kebencian di Indonesia
22

4. Subjek Penelitian
a. Ahli hukum pidana
b. Penyelidik dan penyidik kepolisian
5. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Wawancara yaitu mengajukan pertanyaan kepada narasumber
atau subyek penelitian tentang obyek yang akan diteliti
berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun
sebelumnya untuk mendapatkan informasi yang diinginkan.
Adapun narasumber dari penelitian ini adalah ahli hukum pidana
dan pihak penyidik Kepolisian.
b. Studi dokumen atau bahan pustaka yang terkait dengan
penelitian ini, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan pasal-pasal yang terkait dengan ujaran kebencian, UU
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 Tentang
Penanganan Ujaran kebencian (hate speech), Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum, buku-buku, jurnal, karya ilmiah,
berita, peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
pengadilan.
6. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini terdapat beberapa metode pendekatan
digunakan untuk mencari dan menemukan jawaban permasalahan.
Pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
kasus (Case Approach).
Pertama, pendekatan undang-undang (statute approach) yang
dimana peneliti perlu memahami hierarki, asas-asas dalam peraturan
perundang-undangan, serta melainkan juga menelaah materi muatannya
23

sehingga mempelajari dasar ontologis lahirnya undang-undang, dan


ratio legis dari ketentuan undang-undang.36
Kedua, peneliti juga menggunakan pendekatan kasus (case
approach). Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang merujuk pada
ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim
untuk sampai kepada putusannya, dengan melihat pada konsiderans
menimbang pada pokok perkara.37
7. Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis
dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Metode analisis
kualitatif yaitu suatu metode analisis bahan hukum yang dilakukan
dengan cara mengelompokan dan memilih bahan hukum dari hasil
penelitian yang relevan dan sesuai dengan tujuan penelitian. Dari
pengelompokan dan pemilihan tersebut kemudian bahan hukum tersebut
dicocokkan dengan permasalahan yang diteliti menurut kualitas
kebenarannya sehingga dapat digunakan untuk memberikan jawaban atas
permasalahan penelitian. Sehingga dalam melakukan analisis, terlebih
dahulu Penulis akan mengumpulkan berbagai bahan hukum penelitian.
Berdasarkan analisis tersebut, akan diungkapkan permasalahan,
kelebihan, kekurangan, manfaat, dan/atau ketimpangan antara das sollen
dan das sein. Permasalahan yang ditemui tersebut nantinya dicari
alternatif solusinya.
I. Kerangka Skripsi
Untuk dapat mengetahui dan memberikan gambaran skripsi ini
secara sistematis, maka penulis akan menjabarkan secara singkat apa saja
yang akan dibahas dalam skripsi ini dari Bab Pertama sampai dengan Bab
Keempat.

36
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenadamedia Group, Jakarta,
hlm. 136-142.
37
Ibid, hlm. 158-161.
24

BAB I Bab ini berisi tentang pendahuluan dari skripsi.


Pendahuluan ini terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, orisinalitas penelitian, tinjauan
pustaka, definisi operasional, dan metode penelitian.
BAB II Bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang tindak pidana,
tinjauan umum tentang ujaran kebencian, dan tinjauan
umum tentang penegakan hukum tindak pidana yang terkait
dengan ujaran kebencian serta pada sub bab terakhir
terdapat tinjauan umum tentang ujaran kebencian dilihat
dari perspektif Islam.
BAB III Bab ini berisi tentang pembahasan mengenai batasan
pengertian tindak pidana yang terkait dengan ujaran
kebencian yang mana menjelaskan tindak pidana yang dapat
dikategorikan sebagai ujaran kebencian, pembahasan
mengenai praktik penegakan hukum mengenai tindak
pidana yang terkait dengan ujaran kebencian yang mana
menjelaskan kesesuaian realitas materi praktik penegakan
hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan pembahasan mengenai interpretasi norma hukum
pidana yang mengatur tentang ujaran kebencian, terhadap
perbandingan beberapa kasus ujaran kebencian yang
memiliki perbedaan penanganan perkara.
BAB IV Bab ini berisi tentang penutup. Dalam bab terakhir ini
terdapat kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi ringkasan
jawaban atas rumusan masalah yang diteliti penulis. Serta
saran berisi hal-hal yang diusulkan untuk perbaikan dari
penelitian yang dikaji oleh penulis
25

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT
Raja Grafindo Persada: Jakarta

Eddy O.S Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma


Pustaka, Yogyakarta

Moeljatno, 2015, Asas-asas Hukum Pidana, Ctk. Kesembilan, Rineka Cipta:


Jakarta

Hwian Christianto, 2018, Perbuatan Ujaran Kebencian Ragam dan Studi


Kasus, Graha Ilmu: Yogyakarta

Krisna Harahap, 2003, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Grafitri:


Bandung

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenadamedia


Group: Jakarta

Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta


Publishing: Yogyakarta

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada: Jakarta

Soejono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press: Jakarta

Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta

Wirjono Prodjodikoro, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, dikutip dari


Amir Ilyas, Asasasas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang
Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia: Yogyakarta

P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra


Aditya Bakti: Bandung

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


26

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 juncto Undang-Undang nomor 11


Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/ 06/ X/ 2015 Tentang Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan


Pendapat di Muka Umum

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

C. INTERNET DAN KARYA ILMIAH

a. Internet
Meri Febriyani, Analisis Penyebab Pelaku Melakukan Ujaran Kebencian
(Hate Specch) Dalam Media Sosial,
http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/pidana/article/download/1285/1122
diakses pada tanggal 1 Mei 2019 pada pukul 10.05
Gusti Ayu Made Gita Permatasari, Komang Pradnyana Sudibya, Tinjauan
Yuridis Mengenai Peraturan dan Pertanggugjawaban Pidana Terhadap
Tindap Pidana Ujaran Kebencian di Media Sosial,
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/39787/24178
diakses pada tanggal 1 Mei 2019 pada pukul 10.20 wib
https://kumparan.com/@kumparannews/kronologi-3-emak-emak-sebar-
kampanye-hitam-soal-jokowi-di-karawang-1551090702274647487 diakses
pada tanggal 1 Mei 2018 pada pukul 13.35
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190319090242-32-378565/di-
depan-maruf-ulama-resah-nu-jadi-fosil-jika-jokowi-kalah diakses pada
tanggal 1 mei 2019 pada pukul 13. 50
Peiroll Gerard Notanubun, Tinjauan Yuridis Terhadap Kebebasan
Berbicara Dalam Ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008
Tentang ITE Dalam Hubungan Dengan Pasal 28 UUD 1945, Jurnal Ilmu
Hukum, https://media.neliti.com/media/publications/240089-tinjauan-
yuridis-terhadap-kebebasan-berb-c58d5036.pdf, diakses pada 17 Mei 2019
pada pukul 13.10
Amira rahma Sabela, Dian Wahyu Pritaningtias, Kajian Freedom and
Expression Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Demonstran Di
Indonesia,
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/lslr/article/download/19484/9291/,
diakses pada 17 Mei 2019 pada pukul 13. 22
27

b. Karya Ilmiah
Alan Bastian Kusuma, 2018, Analisis Kriminologi Dan Proses Penyelesaian
Perkara pada Tindak Pidana Ujaran Kebencian Yang Dilakukan Oleh Anak
Di Media Sosial Pada Tingkat Penyidikan, Skripsi, Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Indri Kusumawati, 2018, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang
Terkait Dengan Ujaran Kebecian, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai