Anda di halaman 1dari 22

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR ... TAHUN ....
TENTANG
ETIKA KESADARAAN DAN KETERTIBAN BUZZER POLITIK DALAM MEDIA
SOSIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi maka adanya kebebasan


berpendapat yang bertanggungjawab dan tidak merugikan orang lain
merupakan hak yang dimiliki setiap warga Negara Indonesia sebagaimana
amanat UUD 1945;
b. bahwa dengan adanya perkembangan teknologi, maka semakin mudahnya
memberikan dan menerima informasi lewat media sosial terutama
mengenai isu politik seperti pemilihan umum dan kebijakan baru yang
memunculkan buzzer politik untuk menyebarkan informasi hoax, ujaran
kebencian, fitnah, dan diskriminasi SARA untuk menjatuhkan pihak lain;
c. bahwa untuk mengatasi fenomena keberadaan buzzer politik yang
menyebarkan informasi hoax, ujaran kebencian, fitnah, dan diskriminasi
SARA dalam media sosial dapat memicu persatuan dan kesatuan bangsa,
maka perlu dibentuk Undang-Undang tentang Etika Kesadaran dan
Ketertiban Buzzer Politik dalam Media Sosial;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Etika
Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik dalam Media Sosial;

Mengingat : 1. Pasal 20, dan Pasal 21, Pasal 28F, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


MEMUTUSKAN;

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ETIKA KESADARAN DAN


KETERTIBAN BUZZER POLITIK DALAM MEDIA SOSIAL

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Buzzer adalah orang atau sekelompok orang yang bergerak secara terorganisir dengan
menggunakan media sosial untuk menyuarakan satu pendapat yang sama atau senada
dengan tujuan mempengaruhi opini publik.
2. Buzzer politik adalah orang atau sekelompok orang yang bekerja secara bayaran dan/atau
sukarela dengan memanfaatkan media sosial untuk menggiring opini masyarakat untuk
mendukung suatu partai politik atau calon legislatif tertentu menggunakan cara
menjatuhkan lawan politik.
3. Akun robotik adalah akun yang digerakkan buzzer politik secara masif sebagai strategi
untuk menggiring dan menyampaikan pesan dengan menggunakan otomatis mesin dan
algoritma media sosial sehingga dapat menghasilkan frekuensi tinggi untuk menaikkan
opini di media sosial.
4. Media sosial adalah media daring yang digunakan buzzer politik untuk kebutuhan
komunikasi antar pengguna lain, menyebarkan, dan mengirim informasi melalui
perangkat aplikasi khusus menggunakan jaringan internet.
5. Internet adalah jaringan komunikasi elektronik yang menghubungkan jaringan
komputeryang menghubungkan berbagai macam web dan fasilitas komputer yang
terorganisasi di seluruh dunia melalui telepon atau satelit.
6. Kebebasan berekspresi dalam media sosial adalah bagian dari hak asasi manusia untuk
merdeka dalam menyampaikan pendapat termasuk di dalamnya yaitu kritik atas situasi
politik yang berfungsi sebagai kontrol atas tindakan pemerintah dan dilakukan secara
tanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Isu politik dalam media sosial adalah sesuatu hal yang menjadi perbincangan banyak
pengguna media sosial terkait dengan pembuatan kebijakan publik dengan cara tertentu
untuk mencapai tujuan bersama yang jika tidak ditangani secara baik akan memberikan
efek negatif dan berlanjut pada tahap krisis.
8. Hoax adalah berita palsu yang mengandung informasi tidak benar dan mudah tersebar di
media sosial, dibuat secara sengaja oleh oknum untuk menyesatkan banyak orang dan
mengambil keuntungan atas perbuatannya.
9. Fitnah adalah komunikasi kepada satu orang atau lebih yang banyak diutarakan di media
sosial dengan tujuan untuk memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang
dilakukan oleh pihak lain berdasarkan fakta palsu yang dapat memengaruhi
penghormatan, wibawa, atau reputasi seseorang.
10. Ujaran kebencian adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun perbuatan yang dilarang
karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak
pelaku, pernyataan tersebut, atau korban dari tindakan tersebut dengan menggunakan
situs media sosial.
11. Diskriminasi SARA dengan menggunakan media sosial adalah sikap membedakan
secara sengaja terhadap golongan-golongan yang berhubungan dengan kepentingan
tertentu seperti suku, agama, ras, dan antargolongan.
12. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
Komputer atau Sistem Elektronik.
13. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang
berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi
Elektronik.
14. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
15. Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia adalah kementerian yang
bertanggung jawab kepada Presiden dan memiliki tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara.
16. Pemerintah adalah sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul tanggung
jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan dan wewenangnya untuk mengatur
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya.
17. Kampanye hitam adalah sebuah upaya yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
dengan menggunakan berbagai cara termasuk media sosial yang bertujuan untuk
melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik,
perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2

Etika kesadaran dan ketertiban buzzer politik dalam media sosial didasarkan pada asas :
a. Asas kebebasan berpendapat;
b. Asas kemanusiaan;
c. Asas kepastian hukum;
d. Asas mengenai perlindungan hak warga negara terkait informasi media sosial;
e. Asas demokrasi dan pemilu; dan
f. Asas keadilan.
Pasal 3

(1) Etika Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik dalam Media Sosial bertujuan :
a. Mencegah makin tersebarnya buzzer politik yang dapat memecah belah persatuan dan
kesatuan;
b. Menciptakan kenyamanan dan ketertiban pengguna media sosial lainnya;
c. Melindungi masyarakat sebagai kontrol untuk pemerintah dalam memberikan kritik
agar tidak diserang buzzer politik; dan
d. Membuktikan dan menindak pelaku termasuk pihak yang ada di balik buzzer politik.
(2) Etika Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik sebagaimana diatur pada ayat (1) meliputi
isu politik tentang:
a. Pemilihan Umum; dan
b. Kebijakan Politik.
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 4
(1) Etika Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik dalam Media Sosial meliputi :
a. Pencegahan;
b. Perlindungan;
c. Pembuktian; dan
d. Sanksi;
(2) Etika Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik dalam Media Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi kewajiban negara untuk melindungi masyarakat dari
perilaku buzzer politik yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan.
BAB IV
PENCEGAHAN
Pasal 5
(1) Lembaga Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan
mengenai Etika Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik dalam Media Sosial.
(2) Pencegahan mengenai Etika Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik dalam Media
Sosial sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi pada media sosial
yang memuat antara lain:
a. Hoax;
b. Fitnah;
c. Ujaran Kebencian; dan
d. Diskriminasi SARA.
(3) Pencegahan mengenai Etika Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik dalam Media
Sosial sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) merupakan tugas dan tanggung jawab
kementerian yang mengkoordinasikan urusan komunikasi dan informatika.
Pasal 6
Bentuk Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a meliputi:
a. Mengecek terlebih dahulu fakta atau keaslian data dan/ atau informasi tentang politik
yang diakses melalui media sosial;
b. Mengikuti forum diskusi mengenai anti-hoax tentang politik untuk mendiskusikan
sebuah informasi yang diterima dengan tujuan melihat pendapat pengguna media sosial
lainnya mengenai suatu berita;
c. Menghentikan segala bentuk penyebaran informasi politik yang hoax sebelum
mengetahui dan mengecek fakta dari informasi yang ada; dan
d. Memberikan penyuluhan hukum dengan tema pencegahan penyebaran hoax di media
sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah masing-masing wilayah
Pasal 7
Bentuk Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b meliputi:
a. Mengecek terlebih dahulu fakta atau keaslian data dan/ atau informasi tentang politik
yang sedang diperbincangkan di media sosial;
b. Mengikuti forum diskusi di media sosial yang netral tentang politik untuk mendiskusikan
sebuah informasi yang diterima tanpa melibatkan kepentingan pendukung salah satu
pihak politik;
c. Menghentikan segala bentuk penyebaran informasi politik yang memuat fitnah sebelum
mengetahui dan mengecek fakta dari informasi yang ada; dan
d. Memberikan penyuluhan hukum dengan tema pencegahan fitnah di media sosial yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah masing-masing wilayah.
Pasal 8
Bentuk Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c meliputi:
a. Memilah terlebih dahulu antara informasi yang memuat dan tidak memuat tindakan
ujaran kebencian di media sosial;
b. Mengikuti forum diskusi di media sosial mengenai ujaran kebencian pada isu politik
untuk mendiskusikan sebuah informasi yang diterima dengan tujuan melihat pendapat
pengguna media sosial lainnya mengenai suatu berita;
c. Menghentikan segala bentuk penyebaran informasi politik yang memuat ujaran
kebencian sebelum mengetahui dan mengecek fakta dari informasi yang ada; dan
d. Memberikan penyuluhan hukum dengan tema pencegahan ujaran kebencian di media
sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah masing-masing wilayah.
Pasal 9
Bentuk Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d meliputi:
a. Memilah terlebih dahulu antara informasi yang memuat dan tidak memuat tindakan
diskriminasi SARA di media sosial;
b. Mengikuti forum diskusi di media sosial mengenai diskriminasi SARA pada isu politik
untuk mendiskusikan sebuah informasi yang diterima dengan tujuan melihat pendapat
pengguna media sosial lainnya mengenai suatu berita;
c. Menghentikan segala bentuk penyebaran informasi politik yang memuat diskriminasi
SARA sebelum mengetahui dan mengecek fakta dari informasi yang ada; dan
d. Memberikan penyuluhan hukum dengan tema pencegahan diskriminasi SARA di media
sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah masing-masing wilayah.
BAB V
TINDAK PIDANA BUZZER POLITIK DI MEDIA SOSIAL
Pasal 10
(1) Setiap orang sebagai pengguna media sosial dilarang melakukan tindakan sebagai
buzzer politik
(2) Pengguna media sosial yang bertindak menjadi buzzer politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari:
a. Akun robotik; dan
b. Akun pribadi yang diorganisir.
(3) Akun pribadi yang diorganisir sebagaimana dimaksud pada pasal 10 ayat (2) huruf b
merupakan akun bayaran yang diorganisir oleh aktor politik sebagai dukungan dengan
cara menggiring opini yang menjatuhkan lawan politik.
Pasal 11
(1) Isu politik yang menjadi sasaran munculnya tindakan sebagai buzzer politik sebagaimana
dimaksud pada pasal 10 ayat (1) meliputi:
a. Kampanye pemilihan umum; dan
b. Kebijakan politik.
(2) Kampanye pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada pasal 11 ayat (1) huruf a
merupakan kampanye hitam yaitu kampanye yang dapat memecah belah persatuan dan
kesatuan yang dilakukan dengan cara membuat berita hoax, fitnah, ujaran kebencian, dan
diskriminasi SARA pada kandidat pemilihan umum lainnya yang bertujuan untuk
menggiring opini dan mendapatkan dukungan masyarakat menggunakan media sosial.
(3) Kebijakan politik sebagaimana dimaksud pada pasal 11 ayat (2) huruf b merupakan
kebijakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pejabat dan mengandung tujuan
politik serta dilaksanakan oleh aparat birokrasi yang dapat memecah belah persatuan
seperti adanya muatan diskriminasi SARA.
BAB VI
HAK PENGGUNA MEDIA SOSIAL DAN KORBAN BUZZER POLITIK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 12
(1) Ketentuan mengenai Hak Pengguna Media Sosial dan Korban Buzzer Politik yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan tetap berlaku, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-Undang ini.
(2) Pelaksanaan perlindungan Korban Buzzer Politik diselenggarakan sesuai dengan undang-
undang yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini.
Pasal 13
(1) Hak Pengguna Media Sosial meliputi:
a. Hak memperoleh informasi; dan
b. Hak kebebasan berpendapat.
(2) Pemenuhan atas hak pengguna media sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan menguatkan sistem pengawasan terhadap interaksi di media sosial
yang dapat dilakukan oleh lembaga negara yang terkait
Pasal 14
(1) Hak korban buzzer politik meliputi:
a. Hak mengembalikan nama baik; dan
b. Hak mendapat perlindungan.
(2) Pemenuhan atas hak untuk mengembalikan nama baik sebagaimana dimaksud pada pasal
14 ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara menghapus seluruh riwayat dalam berita yang
terbukti berisi hoax, fitnah, ujaran kebencian, dan diskriminasi SARA yang diperbuat
oleh buzzer politik.
(3) Pemenuhan atas hak untuk mengembalikan nama baik sebagaimana dimaksud pada pasal
14 ayat (1) huruf b dilakukan dengan menguatkan sistem pengawasan terhadap interaksi
di media sosial yang dapat dilakukan oleh lembaga negara yang terkait.
Bagian Kedua
Perlindungan terhadap Korban Buzzer Politik

Pasal 15
Ruang lingkup Hak Korban atas Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1) meliputi:
a. Perlindungan dari segala macam bentuk berita hoax, fitnah, ujaran kebencian, dan
diskriminasi SARA dari buzzer politik yang diorganisir atau pihak lain serta mencegah
adanya pengulangan kegiatan;
b. Perlindungan menyangkut nama baik korban yang sudah dijatuhkan oleh buzzer politik;
dan
c. Perlindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas
peristiwa tindakan buzzer politik yang dilaporkan.
Pasal 16
(1) Pelaksanaan Perlindungan Hak Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
diselenggarakan oleh aparat penegak hukum dalam setiap proses peradilan pidana.
(2) Perlindungan hak korban dapat dilakukan dengan kebutuhan dan keinginan Korban,
yaitu dengan meminta bantuan Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk
menghapus berita hoax, fitnah, ujaran kebencian, maupun diskriminasi SARA yang
dapat menurunkan reputasi korban.
BAB VII
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 17
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan media sosial sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum pengguna media sosial lain dari segala jenis
gangguan adanya buzzer politik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi terkait Komunikasi dan Infomatika yang
memiliki data elektronik strategis mengenai korban dari buzzer politik yang
menyebarkan informasi hoax, fitnah, ujaran kebencian, dan diskriminasi SARA untuk
wajib dilindungi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan media sosial yang sesuai melalui
ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan melalui
lembaga yang dibentuk oleh masyarakat yang memiliki fungsi konsultasi dan mediasi

BAB VIII
PEMBUKTIAN
Bagian Kesatu
Alat Bukti

Pasal 19
(1) Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terkait buzzer
politik adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya di media sosial.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Bagian Kedua
Penyidikan
Pasal 20
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini,
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 21
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Komunikasi dn Informatika diberi wewenang khusus sebagai penyidik.
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap
kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan
dugaan tindak pidana buzzer politik harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri
setempat dengan menjaga kepentingan pelayanan umum.
(4) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa
sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di
bidang terkait dengan ketentuan Undang-Undang ini;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana buzzer politik berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
d. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan
kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak
pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan
e. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak
pidana berdasarkan Undang-Undang ini.
(5) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum
wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali
dua puluh empat jam.
(6) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi
dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada penuntut umum.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 22
(1) Setiap Orang yang bertindak sebagai buzzer politik dengan sengaja dan tanpa hak
membuat dan/atau mendistribusikan informasi hoax yang dapat diakses oleh pengguna
media sosial lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang bertindak sebagai buzzer politik dengan sengaja dan tanpa hak
membuat dan/atau mendistribusikan informasi fitnah yang dapat diakses pengguna media
sosial lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang bertindak sebagai buzzer politik dengan sengaja dan tanpa hak
membuat dan/atau mendistribusikan informasi ujaran kebencian yang dapat diakses
pengguna media sosial lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) huruf c
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang bertindak sebagai buzzer politik dengan sengaja dan tanpa hak
membuat dan/atau mendistribusikan informasi diskriminasi SARA yang dapat diakses
pengguna media sosial lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) huruf d
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), dan (4) merupakan delik aduan.
Pasal 22A
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan
sebagai buzzer politik dengan cara menggunakan akun robotik untuk memanipulasi data ,
menciptakan, dan mengubah Informasi Elektronik dengan tujuan agar Informasi
Elektronik tersebut dianggap seolah-olah fakta sebagaimana dimaksud pada pasal 10 ayat
(2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan
sebagai buzzer politik dengan cara membayar orang lain untuk memanipulasi data,
menciptakan, dan mengubah Informasi Elektronik dengan tujuan agar Informasi
Elektronik tersebut dianggap seolah-olah fakta sebagaimana dimaksud pada pasal 10 ayat
(2) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal 22B
Setiap orang atau kelompok orang dalam masa pemilihan umum terbukti melakukan
kampanye hitam yang memuat unsur fitnah, ujaran kebencian, dan diskriminasi SARA pada
calon dan/peserta pemilihan umum dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta).
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan Perundang-undangan dan
kelembagaan yang berhubungan dengan Etika Kesadaraan dan Ketertiban Buzzer Politik
dalam Media Sosial yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap
berlaku.

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah
diundangkannya Undang-Undang ini.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal…..
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…


PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN… TENTANG
ETIKA KESADARAAN DAN KETERTIBAN BUZZER POLITIK DALAM MEDIA
SOSIAL
I. UMUM

Pemenuhan keseluruhan hak asasi manusia termasuk hak asasi untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia merupakan Kewajiban
Negara dan tanggung jawab Pemerintah, sebagaimana tertuang dalam dalam Pasal 28F
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Keberadaan buzzer makin banyak ditemukan akhir-akhir ini terutama terkait dengan isu
politik sangat meresahkan pengguna media sosial lainnya. Hal ini karena dapat memecah
belah persatuan dan kesatuan bangsa dengan cara membuat informasi secara hoax, fitnah,
ujaran kebencian, dan diskriminasi SARA. Buzzer politik mempunyai strategi untuk
merealisasikan keinginannya dengan membuat akun robotik demi tujuan menaikkan
trending. Selain itu para elite politik memiliki kepentingan sendiri untuk menjatuhkan
lawannya terutama saat pemilihan umum dengan cara menjatuhkan calon dan/atau peserta
pemilu lain .

Maka dari itu perlu pengaturan yang berkaitan dengan Etika Kesadaran dan Ketertiban
Buzzer Politik di Media Sosial karena belum adanya kepastian hukum. Materi muatan
yang terdapat di dalamnya mencangkup keberlakuan hukum terhadap buzzer politik media
sosial yang terbukti melakukan aksi yang menimbulkan fitnah, hoax, ancaman dengan
menggunakan isu SARA dan ujaran kebencian yang merugikan orang lain. Selanjutnya
adalah kekuatan pembuktian terhadap masalah dari perbuatan buzzer politik yang
menyimpang etika dalam penggunaan medial sosial, sanksi terkait buzzer politik yang
terbukti melakukan, pihak yang turut serta mengorganisir kegiatan yang dilakukan buzzer,
serta peran serta dari banyak pihak terhadap keberadaan buzzer politik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kebebasan pendapat” adalah bahwa pengaturan
mengenai Etika Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik di Media Sosial harus
melindungi kepentingan pengguna media sosial lain yang ingin berpendapat
dengan fakta yang jelas dan terpercaya agar tidak disalahgunakan oleh Undang-
Undang ini.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa pengaturan mengenai
Etika Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik di Media Sosial harus melindungi
hak asasi manusia lain dengan tidak menebarkan informasi hoax, fitnah, ujaran
kebencian, dan diskriminasi SARA.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah bahwa adanya Etika
Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik di Media dapat menertibkan dan
menjamin kepastian hukum dalam menciptakan ketentraman dan ketertiban
masyarakat sebagai pengguna media sosial.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas perlindungan hak warga negara terkait informasi
media sosial” adalah bahwa Etika Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik di
Media Sosial dapat melindungi hak warga negara untuk menerima dan mengakses
informasi untuk menambah pengetahuan dan rasa ingin tahu akan perkembangan
isu politik terkini.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas demokrasi dan pemilu” adalah bahwa isu politik
terkait pemilihan umum dan kampanye harus sesuai dengan pemilu yaitu
langsung, umum, bebas, jujur, adil, dan rahasia serta menghindari adanya
kampanye hitam yang menjatuhkan lawan politik untuk memenangkan suara
masyarakat.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa segala bentuk keputusan
hukum yang terbukti menyalahi Etika Kesadaran dan Ketertiban Buzzer Politik di
Media Sosial harus dilakukan dengan adil oleh penegak hukum tanpa berat
sebelah.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Pasal 7
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Pasal 8
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Yang dimaksud “akun pribadi yang diorganisir” adalah akun yang memiliki
identitas atau bukan robotik yang dibayar elite politik untuk bertindak sebagai
buzzer politik.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Kebijakan politik” adalah kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah di yang dijadikan peluang oleh tim oposisi untuk
menjatuhkan dengan informasi yang hoax, fitnah, ujaran kebencian, dan
diskriminasi SARA.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud “lembaga negara yang terkait” adalah lembaga pemerintah
melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika yang terdiri dari Pegawai
Negeri Sipil yang berkoordinasi dengan Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Yang dimaksud “korban” adalah pihak yang nama baik serta reputasinya jatuh
akibat tindakan buzzer politik yang menyebarkan informasi hoax, fitnah, ujaran
kebencian, dan diskriminasi SARA serta pengguna media sosial lain yang telah
dirugikan akibat informasi yang salah.
Huruf c
Cukup Jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Pasal 20
Cukup Jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Huruf e
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas,
Ayat (5)
Yang dimaksud “delik aduan” adalah delik yang hanya bisa diproses apabila
diadukan oleh orang atau pihak yang merasa dirugikan dan telah menjadi korban.
Pasal 22A
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 22B
Cukup Jelas.
Pasal 23
Cukup Jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR…

Anda mungkin juga menyukai