Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara alamiah, manusia tidak mungkin dilepaskan dari kemajuan

teknologi yang tujuannya adalah untuk memudahkan kehidupannya. Secara

alamiah pula, manusia tidak mungkin dilepaskan dari hukum yang tujuannya

adalah untuk menjaga eksistensi.1 Pada awalnya, manusia berkomunikasi

dengan bertatap muka secara langsung dan saling memberikan isyarat tertentu,

kemudian berkembang dengan menggunakan suatu perpaduan kata-kata

tertentu yang bisa dipahami satu sama lain. Dalam perkembangannya, telah

ditemukan komputer sebagai suatu produk yang lahir dari teknologi informasi

dan komunikasi. Definisi komputer dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun

2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik adalah suatu alat yang berguna untuk

memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan

fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.2 Sehingga konvergensi antara

teknologi telekomunikasi, media, dan informatika menghadirkan suatu sarana

baru yang disebut dengan internet”.3

Internet merupakan suatu manifestasi dari perkembangan ilmu

pengetahuan di era globalisasi tersebut berkembang semakin pesat sehingga

1
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.7
2
Lihat Pasal 1 angka 14 dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
3
Edmon Makarim, Op,Cit, hlm. 4

1
2

memberikan banyak pengaruh bagi kehidupan manusia, baik pengaruh positif

maupun pengaruh negatif. Perkembangan yang pesat dalam teknologi internet

dapat memunculkan kejahatan dunia maya (cyber crime) akibat

penyalahgunaan media sosial. Cyber crime terjadi pertama kali terjadi di

Amerika Serikat pada tahun 1960-an.4 Cyber crime merupakan salah satu sisi

gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif yang sangat

luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini.5 Cyber crime pula disebut

sebagai kejahatan teknologi yang terjadi karena sikap pengguna tidak hanya

memanfaatkan fasilitas di dunia teknologi secara positif. Perkembangan

teknologi saat ini berkembang secara pesat di seluruh dunia, dan salah satunya

ialah negara Indonesia. Indonesia adalah negara hukum seperti yang tertuang

dalam konstitusi, sebagai sebuah negara hukum tentunya negara wajib

melindungi setiap warga negaranya dari setiap perbuatan yang dapat

merugikan apalagi perbuatan tersebut dapat merusak tatanan kehidupan

berbangsa dan bernegara.6 Seperti halnya kejahatan yang terjadi di dunia maya

atau biasa disebut dengan cyber crime.

Cyber crime merupakan bentuk-bentuk kejahatan yang timbul karena

pemanfaatan teknologi internet, banyak jenis dari kejahatan cyber crime salah

satunya adalah perundungan dunia maya. Perundungan dunia maya

merupakan sebuah fenomena baru dari perkembangan teknologi komunikasi.

4
Edy Junaedi Karna Sudirja, Jurisprudensi Komputer, Tanjung Agung, Jakarta, 1993, hlm.3
5
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005 hlm. 1
6
Dheny Wahyudi, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Cyber Crime di Indonesia,
Vol. 4 No.1, Jambi, Jurnal Ilmu Hukum, hlm. 99
3

Fenomena perundungan dunia maya ini sering kali terjadi di dalam media

sosial yang dilakukan oleh para penggunanya.

Istilah perundungan adalah tindakan yang dilakukan oleh orang lain

secara terus-menerus atau berulang. Tindakan ini kerap kali menyebabkan

korban tidak berdaya secara fisik maupun mental. Sementara itu Williard,

direktur Center for safe and Responsible Internet Use di Amerika,

mendefinisikan perundungan sebagai perbuatan fitnah, penghinaan,

diskriminasi, pengungkapan informasi atau konten yang bersifat privasi

dengan maksud mempermalukan atau juga bisa dimaknai dengan komentar

yang menghina, menyinggung secara terang-terangan.7 Dari penjelasan

tersebut penulis menyimpulkan bahwa perundungan dunia maya merupakan

tindakan penghinaan, kekerasan psikis, atau intimidasi yang dilakukan

seseorang terhadap orang lain, kelompok, atau institusi melalui dunia maya

terhadap orang, kelompok, maupun institusi lainnya. Tindakan perundungan

tersebut dimaksudkan untuk mempermalukan, mengintimidasi, menyebarkan

keburukan serta kebencian di media sosial, baik ditujukan secara khusus

kepada korban maupun dengan cara diketahui publik.

Banyak pengguna media sosial menggunakan hak kebebasan

berekspresi di dunia maya seperti mengutarakan pendapat, mencari informasi

antara individu satu dengan yang lain, berkomunikasi baik secara face-to-face

dan/atau berkelompok. Dalam hal ini, ketika seorang individu berinteraksi

dengan individu lain, akan terjadi hal perbedaan pendapat yang dapat

7
Nasrullah Ruli, Media Sosial, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2015, hlm. 187-189
4

mempengaruhi suatu kebebasan berekspresi didalam suatu frekuensi yang

sama. Kebebasan berekspresi termaktub dalam Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945,8 yaitu:

“ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan


mengeluarkan pendapat”
Perundungan dunia maya dapat terjadi karena akibat pengaruh negatif

dari perkembangan teknologi dimana kejahatan ini merupakan bentuk

perluasan dari istilah bullying dalam bahasa Inggris yang selama ini terjadi

secara konvensional. Perundungan dunia maya berbentuk kejahatan secara

verbal di dalam cyber space.9 Tindakan perundungan dunia maya ini telah

diatur dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik,10 yaitu :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan


dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Maka dalam hal ini, perundungan dunia maya tentu dapat menjadikan

korbannya sebagai subjek yang disudutkan. Artinya, korban memiliki peran

penting dalam terjadinya suatu tindakan kejahatan perundungan tersebut.

Peran korban perundungan dunia maya dapat dilihat dari perbuatan korban

sebelumnya. Baik sebagai korban langsung (direct victims) dan/atau korban

tidak langsung (indirect victims).

Korban langsung (directs victims) yaitu korban yang langsung

mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak kejahatan.

8
Lihat Pasal 28E Ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
9
Novan Andy Wiyana, Save Our Children From School Bullying, AR-RUZZ Media, Yogyakarta,
2012, hlm. 18
10
Lihat Pasal 27 Ayat 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2008
5

Sedangkan korban tidak langsung (indirect victims), yaitu korban dari turut

campurnya seseorang dalam membentuk korban langsung (direct victims) atau

turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi

korban tindak kejahatan. Dalam hal ini pihak ketiga, dan/atau mereka yang

menggantungkan hidupnya kepada korban langsung (direct victims), seperti

istri/suami, anak, dan keluarga terdekat.11

Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan

dalam masyarakat pada umumnya dan pada korban/pihak korban kejahatan

pada khususnya.12 Pengertian korban dalam Undang-undang Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban, Korban adalah orang yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh

suatu tindak pidana.13

Senada dengan pengertian korban dalam Peraturan pemerintah

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan

Saksi Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, bahwa:

“Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang mengalami


penderitaansebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman,
gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.”

Seperti yang dikutip oleh Rena Yulia, pengertian korban menurut Arif

Gosita yang dimaksud dengan korban adalah:14

11
C. Maya indah S, Perlindungan Korban Suatu perspektif Viktimologi dan Kriminologi, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 30-31
12
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2010, hlm. 57
13
Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
14
Rena Yulia, Op,Cit, hlm. 49
6

“Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat


tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri
ataun orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri
atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang
menderita”

Dilihat dari pengertian diatas, korban tindakan perundungan dunia

maya memerlukan perlindungan hukum dari negara yang pada hakikatnya

Indonesia merupakan negara hukum yang memberikan hak-hak perlindungan

untuk korban suatu tindakan kejahatan terkhusus pula pada korban kejahatan

tindakan perundungan dunia maya. Bentuk korban yang disebutkan diatas

ialah sebagai suatu dampak yang dapat ditimbulkan oleh sebuah kejahatan

perundungan dunia maya.

Proses viktimisasi didalam dunia teknologi tentu memiliki hubungan

antara beberapa faktor. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian yang

dilakukan oleh K. Jaishankar,15 dalam bukunya mengatakan bahwa temuan

penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara faktor gaya hidup online

dan viktimisasi kejahatan komputer. Adanya hubungan yang signifikan secara

statistik antara faktor gaya hidup online dan viktimisasi kejahatan komputer.

Koefisien gaya hidup online yang tidak terstandarisasi menegaskan bahwa

pengguna online yang menghabiskan waktu yang signifikan dan terlibat

dalam online yang berisiko perilaku di dunia maya, cenderung menjadi

korban. Selain itu, adapula yang menunjukkan bahwa kegiatan rekreasi online

yang berisiko (mengunjungi situs web yang tidak dikenal, mengunduh game,

musik, dan film) memberikan kontribusi paling besar terhadap viktimisasi

15
K. Jaishankar, Cyber Crimilogy : Exploring Internet Crimes and Criminal Behavior, CRC Press,
New York, 2011, hlm. 241
7

kejahatan komputer di antara kategori gaya hidup online. Ini adalah temuan

yang sangat penting karena penelitian sebelumnya telah gagal

mengidentifikasi jenis perilaku berisiko online tertentu yang lebih rentan

terhadap perilaku online lainnya.

Sebagai contoh, peneliti mengambil pendekatan kasus Sonya Ekarina

Sembiring Depari yang terjadi pada tahun 2016, siswi SMA Methodist I-

Medan, Sumatera Utara yang mengaku anak Irjen Arman Depari, Deputi

Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) saat ditertibkan polisi lalu

lintas karena berkonvoi usai Ujian Nasional yang mengalami trauma, karena

diakibatkan dengan pemberitaan yang bertubi-tubi serta caci maki yang

diterimanya di media sosial, membuat siswi berparas cantik itu ketakutan dan

malu keluar rumah. Ayah kandung Sonya juga dikabarkan jatuh sakit akibat

pemberitaan tersebut, bahkan menyebabkan ayah Sonya meninggal dunia

akibat pemberitaan yang terus terjadi di media.16

Dalam kasus tersebut, Sonya Depari dapat disebut tipe korban

langsung (direct victims) sebagai korban perundungan di dunia maya. Karena

ia telah mengalami penderitaan non-fisik dan mental yang disebabkan adanya

unsur tindakan perundungan di media sosial seperti instagram, facebook,

youtube, atau bahkan dalam pemberitaan yang terus berlanjut. Sedangkan

ayah Sonya Depari merupakan korban tidak langsung (indirect victims),

karena ia menjadi korban atas perundungan terhadap anaknya di media sosial

maupun pemberitaan terkait permasalahan anaknya tersebut secara berulang-

16
Wahyudi Aulia Siregar, Di-Bully di Sosmed, Sonya Depari Trauma, diakses dari
news.okezone.com, pada tanggal 2 Oktober 2018
8

ulang. Serta adapun kasus perundungan dunia maya yang berakhir tragis telah

dialami oleh YC (nama disamarkan) sebagai ketua Festival Musik Lockstock

pada tahun 2013 di Yogyakarta ini menabrakkan dirinya ke kereta api setelah

akun Twitter-nya dibanjiri oleh hujatan akibat kegagalan festival yang ia

tangani. Sebelum bunuh diri, alumnus FISIPOL UGM itu menuliskan salam

perpisahan di akun Twitter-nya pada 25 Mei 2013, yang bertuliskan:17

@effxxx_creatxxx:”Trimakasih atas sgala caci maki @locstockxxx..


Ini gerakan. Gerakan menuju Tuhan.. Salam”

Berbagai kasus di atas menunjukkan bahwa perundungan dunia maya

merupakan masalah serius yang memerlukan penanganan lebih lanjut,

penanganan yang bersifat kebijakan ataupun kode etik yang disepakati

bersama. Karena akan berdampak bagi korban perundungan dunia maya,

seperti mengalami gangguan psikis, depresi, stres bahkan yang paling fatal

hingga sampai bunuh diri atau meninggal dunia karena tekanan diri yang tidak

sanggup menahan beban hidup serta konflik batin dalam diri seseorang. Di

Amerika Serikat telah memiliki situs yang memayungi para korban

perundungan baik dalam perundungang secara langsung maupun perundungan

dunia maya. Situs stop-bullying.gov memiliki sub-konten mengenai aturan-

aturan khusus bagi negara bagian untuk memiliki undang-undang anti-

bullying. Korban perundungan di Amerika Serikat dapat melaporkan diri atau

melaporkan korban lain yang mengalami tindakan perundungan melalui situs

tersebut. Berbanding dengan Amerika Serikat dalam memberikan

17
Tribunnews Jakarta, Yoga Bunuh Diri Diduga Karena Dicaci Maki di Twitter, diakses dari
tribunnews.com/regional, pada tanggal 2 Oktober 2018
9

perlindungan korban perundungan, maka Indonesia perlu melakukan upaya

kebijakan mengenai perlindungan korban tindakan perundungan dunia maya

agar mencegah terjadinya viktimisasi akibat perundungan dunia maya

tersebut.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas perlu dilakukan

penelitian dan pembahasan secara mendalam dan kemudian disajikan dalam

bentuk tulisan (skripsi) dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP KORBAN PERUNDUNGAN DUNIA MAYA DALAM

PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI”.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban perundungan dunia

maya dalam hukum positif menurut perspektif viktimologi ?

2. Bagaimana pembaharuan hukum pidana terhadap perlindungan hukum

bagi korban perundungan dunia maya ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban perundungan

dunia maya dalam hukum positif menurut perspektif viktimologi.

2. Untuk mengetahui pembaharuan hukum pidana terhadap perlindungan

hukum bagi korban perundungan dunia maya.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Secara Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian akan menambah ilmu pengetahuan,

khususnya yang berkenaan dengan studi hukum.


10

2. Kegunaan Secara Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini bisa menambah ilmu pengetahuan

khusus bagi penulis umumnya bagi masyarakat dan dapat dijadikan bahan

kajian oleh para penegak hukum atau lembaga yang memiliki kewenangan

dalam hal memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan.

E. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan salah satu bagian yang memegang

peranan penting dalam suatu penelitian ilmiah. Dalam penelitian ini penulis

menggunakan kerangka pemikiran berdasarkan teori-teori, diantaranya adalah:

1. Teori Hukum Pidana

Menurut Soedarto sebagaimana dikutip Tongat,18 hukum pidana

berpangkal dari dua hal pokok, yaitu:

a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

b. Pidana.

Lebih lanjut Soedarto menjelaskan dengan perbuatan yang memenuhi syarat-

syarat tertentu, dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang

memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat

disebut perbuatan yang dapat dipidana atau dapat disingkat perbuatan jahat.19

Seperti yang dikutip oleh Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin

Tomalili, Moeljanto menegaskan bahwa perbuatan merujuk ke dalam yang

18
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaruan, UMM Press,
Malang, 2009, hlm.12
19
Ibid, hlm. 13
11

melakukan dan kepada akibatnya, dan kata “perbuatan” berarti dibuat oleh

seseorang yang dapat dipidana, adalah kepanjangan dari istilah yang

merupakan terjemahan dari straafbaarfeit.20 Senada dengan Simons,

sebagaimana dikutip oleh Rusli Efendy menyatakan bahwa straafbaarfeit

adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat

melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan, yang dilakukan oleh

orang yang mampu bertanggung jawab.21 Sedangkan Moeljanto menyatakan

bahwa straafbaarfeit atau perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan aman yang disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan

tersebut.22

Dalam literatur Hukum Pidana Belanda dijumpai definisi untuk

“kemampuan bertanggung jawab”. Menurut Simons, kemampuan bertanggung

jawab diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan

adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum

maupun dari orangnya.23

Menurut Van Hamel, kemampuan bertanggungjawab adalah suatu

keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3

(tiga) kemampuan:

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya


sendiri.

20
Moeljanto dalam Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, Mitra Wacana
Media, Jakarta, 2015, hlm. 7
21
Rusli Efendy, dkk, Azaz-azaz Hukum Pidana, Lepen UMI, Ujung Pandang, 1980, hlm. 37
22
Moeljanto, Azas-azas Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 37
23
Soedarto, Hukum Pidana I , Yayasan Sudarto, Semarang, 2009, hlm. 157
12

b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut


pandangan masyarakat tidak dibolehkan
c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-
perbuatannya itu.24

Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan) secara negatif

menyebutkan mengenai pengertian bertanggungjawab itu, antara lain

demikian :

Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat:

a. dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan
tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh
undang-undang.
b. dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa,
sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu,
bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat
perbuatannya.25

Sebagai dasar dapatlah dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya itu

mampu bertanggungjawab, ia mampu untuk menilai dengan fikiran atau

perasumnya bahwa perbuatannya itu dilarang, artinya tidak dikehendaki oleh

undang-undang dan berbuat sesuai dengan fikiran atau peralatannya itu.

Dalam persoalan kemampuan bertanggungjawab itu ditanyakan apakah

seseorang itu merupakan “normadressat” (sasaran norma), yang mampu.

Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap (supossed) mampu bertanggung

jawab, kecuali dinyatakan sebabnya.26

Bagian penting dalam sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu

sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai

apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk

24
Ibid, hlm. 158
25
Ibid, hlm. 158-159
26
Ibid, hlm. 159
13

menegakkan berlakunya norma.27 Jika ditinjau dari sudut teori-teori

pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas.

Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat

dari ancaman yang dapat merugikan masyarakat itu.28 Singkatnya, sanksi

pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu

perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan

masyarakat.29 Dalam hal ini, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif

terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif

terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada

perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan

penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih

terarah pada upaya memberi pertolongan pelaku agar ia berubah.

Teori ini digunakan untuk mengetahui perbuatan, kemampuan

bertanggungjawab, serta aspek-aspek yang berkaitan dengan sanksi bagi

pelaku kejahatan perundungan di dunia maya.

2. Teori Perlindungan Korban

Kebijakan hukum positif pada hakikatnya bukanlah semata-mata

pelaksanaan undang-undang yang dapat dilakukan secara yuridis-normatif

dan sistematik, dogmatik. Disamping pendekatan yuridis faktual yang dapat

berupa pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan

27
Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.
114
28
Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1987, hlm. 360
29
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1986, hlm. 53
14

komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral

dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.30

Pengkajian terhadap perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan

dikemukakan oleh Muladi dengan alasan-alasan sebagai berikut31:

a. Proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian umum


dan konkret. Dalam arti umum, proses pemidanaan sebagai
wewenang suatu asas legalitas, yaitu poena dan crimen harus
ditetapkan lebih dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas
diri pelaku pidana. Dalam arti konkret, proses pemidanaan
berkaitan dengan penetapan pidana melalu infrastruktur penitensier
(hakim, petugas lembaga pemasyarakatan, dan sebagainya). Di sini
terkandung tuntutan moral, dalam wujud keterkaitan filosofis pada
satu pihak, dan keterkaitan sosiologis, dalam kerangka hubungan
antar manusia dalam masyarakat. Secara sosiologis masyarakat
sebagai ‘system of institusional trust’/sistem kepercayaan yang
melembaga, dan terpadu melalui norma yang diekspresikan dalam
struktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
dan lembaga koreksi. Terjadinya kejahatan atas diri korban
bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut, pengaturan
hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut masalah korban
berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan
tersebut.
b. Adanya argument kontrak sosial, yaitu negara memonopoli seluruh
reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan yang
bersifat pribadi, dan argument solidaritas sosial bahwa negara
harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi
kebutuhannya/apabila warga negara mengalami kesulitan, melalui
kerjasama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan
sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa dilakukan baik
melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak.
c. Perlindungan korban dikaitkan dengan salah satu tujuan
pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang
ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Menurut C. Maya Indah. S. dari beberapa pendapat Muladi tersebut

ada beberapa hal yang perlu dikembangkan, yaitu bahwa pertama

30
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Aditya Bakti, Bandung, 2005,
hlm. 22
31
C. Maya Indah S, Op,Cit, hlm.111-112.
15

perlindungan terhadap korban diartikan sebagai apabila pelaku telah

dipidana dan diproses.32 Padahal proses pemidanaan tidak hanya pada saat

hakim mulai bekerja, namun dalam saat tingkat kepolisian pun proses

pemidanaan tersebut telah dimulai, dan korban terlibat didalamnya. 33 Oleh

karena itu, perlindungan korban perlu pula ditekankan perhatian terhadap

bagaimana bekerjanya proses peradilan pidana tersebut dilangsungkan oleh

aparat penegak hukum mulai dari kepolisian. Apakah bekerjanya penegak

hukum tersebut justru menimbulkan ‘second viktimization’ terhadap

korban.34

Untuk mengatasi kesulitan yang harus dihadapi seringkali seseorang

membutuhkan bantuan orang lain, apalagi jika kesulitan tersebut berada

jauh di luar kemampuan diri untuk mengatasi. Demikian pula dengan

kesulitan yang dihadapi oleh korban untuk memulihkan diri akibat dari

tindak pidana yang terjadi. Maka perlu adanya program untuk

mengentaskan korban dari penderitaan yang dialami juga dibutuhkan

adanya pelayanan. Keberadaan program pelayanan itu bermanfaat dalam

hal35 :

a. Untuk membantu korban dalam memulihkan segala

penderitaannya.

b. Sebagai imbangan terhadap sistem peradilan pidana yang

terfokus pada pelaku.

32
Ibid, hlm.113.
33
Ibid, hlm.113.
34
Ibid, hlm.113.
35
Ibid, hlm. 89
16

Teori ini digunakan untuk mengetahui segala aspek perlindungan

hukum bagi korban perundungan dunia maya.

3. Teori Perbandingan Hukum

Istilah perbandingan hukum dalam bahasa asing diterjemahkan

Comparative Law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa

Belanda), Droit Compare (bahasa Perancis). Istilah ini dalam pendidikan

tinggi hukum di Amerika Serikat sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai

conflict law atau dialih bahasakan menjadi hukum perselisihan yang

artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia.36 Romli

Atmasasmita yang berpendapat perbandingan hukum adalah ilmu

pengetahuan yang memperlajari secara sistematis hukum (pidana) dari dua

atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metode perbandingan.37

Betapa pentingnya perbandingan hukum terbukti dari kenyataan bahwa

kemudian timbul sub-spesialisasi diantaranya:

a. Descriptive Comparative Law Merupakan studi yang bertujuan untuk


mengumpulkan bahan-bahan tentang sistem hukum berbagai masyarakat.
Cara menyajikan perbandingan dapat didasarkan pada lembaga-lembaga
hukum tertentu yang merupakan bagian dari lembaga tersebut. Yang
sangat dititikberatkan adalah analisa deskriptif yang didasarkan pada
lembaga hukum.
b. Comparative History of Law Berkaitan erat dengan sejarah, sosiologi
hukum, antropologi hukum dan filsafat hukum.
c. Comparative Legislation atau Comparative Jurisprudence Bahan-bahan
yang dipergunakan dalam perbandingan hukum dapat berupa bahan yang
langsung didapat dari masyarakat (data primer), maupun bahan
kepustakaan (data sekunder). Bahan-bahan kepustakaan tersebut dapat
berupa bahan hukum primer, sekunder ataupun tersier (dari sudut
kekuatan mengikatnya). Bahan hukum primer antara lain mencakup
peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang dikodifikasi,
yurisprudensi, traktat. Sedangkan bahan hukum sekunder antara lain

36
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana, Gramedia,
Bandung, 2000, hlm. 6
37
Ibid, hlm. 12
17

peraturan perundang-undangan, hasil penelitian terdahulu. Dan bahan


hukum terseier dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mencari dan
menjelaskan bahan primer dan sekunder.
Seperti yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, menurut Rudolf D.

Schlessinger dalam bukunya (Comparative Law, 1959) mengemukakan antara

lain:38

a. Comparative Law merupakan metode penyelidikan dengan

tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang

bahan hukum tertentu.

b. Comparative Law bukanlah suatu perangkat peraturan dan

asas-asas hukum, bukan suatu cabang hukum (is not a body

of rules and principles);

c. Comparative Law adalah teknik atau cara menggarap unsur

hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum (is

the technique of leading with actual foreign law elements of

a legal problem).

Selanjutnya dalam buku Barda Nawawi Arief, perbandingan

hukum sebagai suatu moetode yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn,39

ia mengemukakan bahwa objek ilmu hukum sebagai gejala

kemasyarakatan. Ilmu hukum tidak hanya menjelaskan apa yang menjadi

ruang lingkup dari hukum itu sendiri, tetapi juga menjelaskan hubungan

antara gejala-gejala hukum dengan gejala sosial lainnya, untuk mencapai

tujuannya itu, maka digunakan metode sosiologis, sejarah, dan

perbandingan hukum.

38
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm.
5
39
Ibid, hlm. 6
18

a. Metode sosiologis dimaksudkan untuk meneliti hubungan

antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya;

b. Metode sejarah, untuk meneliti perkembangan hukum, dan

c. Metode perbandingan hukum, untuk membandingkan

berbagai tertib hukum dari bermacam-macam masyarakat.

Teori ini digunakan untuk mengetahui perbandingan perlindungan

hukum bagi korban perundungan dunia maya di beberapa negara.

4. Teori Pembaharuan Hukum Pidana

Menurut Barda Nawawi Arief, upaya melakukan pembaharuan

hukum pidana (penal reform) pada hakekatnya termasuk bidang "penal

policy" yang merupakan bagian dan terkait erat dengan "law enforcement

policy / "criminal policy" dan "social policy". Hal ini berarti pembaharuan

hukum pidana merupakan :

a. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk


memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam
rangka lebih mengefektifkan penagakan hukum;
b. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/
menanggulangi tindak pidana dalam rangka perlindungan
masyarakat;
c. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi
masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional (yaitu "social
defence" dan "social welfare");
d. Upaya peninjauan dan penilaian kembali ("reorientasi dan
reevaluasi") pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar atau
nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik dan sosio-kultural
yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan
(penegakan) hukum pidana selama ini. Bukanah
pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi
nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja
19

dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan


penjajah (KUHP lama atau WVS).40

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna,

suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana

yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan

sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,

kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara

singkat, beliau menyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada

nilai (value-oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada

kebijakan (policy oriented approach).41

Selanjutnya, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa

pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan

karena memang pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana hanya

merupakan bagian saja dari kebijakan atau politik hukum pada umumnya,

dan khususnya bagian dari politik hukum pidana (criminal law/penal

policy atau strafrechtspolitiek). Lebih luas lagi, politik hukum pidana itu

sendiri pada hakikatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

politik penegakan hukum, politik kriminal dan politik sosial. Didalam

setiap kebijakan (policy atau politik) dipertimbangkan berbagai nilai, maka

40
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
Citra Adhya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 3
41
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik Aduan,
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol.1 No.
4, 1994, hlm. 2
20

jelas pula pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada

pendekatan nilai.42

Dalam bukunya yang lain, Barda Nawawi Arief menjelaskan

bahwa, pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan-

kebijakan adalah :

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum


pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya
untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah
kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang rujuan
nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya);
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan
hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari
upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya
penanggulangan tindak pidana);
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum,
pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan
bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal
substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan
hukum.

Sedangkan pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut

pendekatan-nilai merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian

kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik

dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan

normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.43 Jika di lihat

pada hukum pidana yang dipergunakan selama ini baik itu hukum pidana

materil (KUHP) dan hukum pidana formil (KUHAP) sebagai peraturan

induk hukum pidana di Indonesia, maka secara substansi yang menjadi

sorotan utama selama ini adalah menyangkut perlindungan atau

42
Ibid, hlm. 3
43
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op,Cit, hlm. 28-29
21

kepentingan pelaku tindak pidana (offenders). Sedangkan terkait dengan

hukum pidana khusus walaupun secara substansi memiliki perkembangan

untuk menyoroti perlindungan/kepentingan korban tindak pidana, akan

tetapi pada fenomenanya kerap kali masih timbul kekecewaan dari pihak

korban tindak pidana khususnya menyangkut korban tindak pidana yang

dilakukan di bidang medis, oleh karenanya dalam hal ini perlu dilakukan

pembenahan konsep perlindungannya..44

Teori ini digunakan untuk mengetahui pembaharuan hukum pidana

terhadap perlindungan hukum bagi korban perundungan dunia maya.

F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode kualitatif. Menurut

Soerjono Soekanto,45 metode kualitatif adalah suatu tata cara penelitian

yang menghasilkan data deskriptif analitis.

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

yuridis-normatif. Menurut Zainudin Ali46 penelitian yuridis-normatif adalah

penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu

hukum.

Penelitian terhadap doktrin-doktrin atau asas-asas hukum yang akan

diteliti adalah yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-

44
Sri Sumiati, Kebijakan Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Tindak Pidana Di
Bidang Medis, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm. 18-19
45
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke-3, UI-press, Universitas Indonesia,
1986, hlm.32.
46
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.24.
22

hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya.47

Dalam hal ini dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian

yang akan diteliti adalah terkait dengan perlindungan hukum bagi

perundungan dunia maya.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang peneliti gunakan adalah pendekatan

perundang-undangan mengenai perundungan dunia maya dan perbandingan

hukum dengan negara lain terkait perlindungan bagi korban perundungan

dunia maya. Menurut Peter Mahmud Marzuki,48 pendekatan perundang-

undangan adalah pendekatan yang menggunakan legislasi dan regulasi.

Undang-Undang yang akan diteliti di antaranya adalah Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016

tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

3. Sumber Data

Sumber data yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah

data sekunder. Data sekunder digolongkan menjadi 3 (tiga) yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

objek penelitian.49 Bahan-bahan hukum primer yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah Undang-undang Nomor 1 tahun 1946

47
Soerjono Soekanto, Op,Cit, hlm.12.
48
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (edisi revisi), Prenadamedia Group, Jakarta, 2005,
hlm.137
49
Zainudin Ali, Op,Cit, hlm.106
23

Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab

Undang-undang Hukum Pidana), serta Undang-undang Nomor 19

Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah

hukum yang terkait dengan objek penelitian.50 Buku-buku dan

tulisan ilmiah hukum yang akan dikaji adalah buku-buku yang

berkaitan dengan perlindungan korban perundungan dunia maya

melaui perspektif viktimologi, peraturan hukum positif di

Indonesia terkait perundungan dunia maya, serta pembaharuan

hukum pidana terhadap perlindungan korban perundungan di dunia

maya.

3. Bahan hukum tersier atau bahan non-hukum adalah bahan-bahan

yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia,

majalah, surat kabar dan lain sebagainya.51 Bahan hukum tersier

yang akan diteliti adalah yang berkaitan dengan segala aspek yang

berkaitan dengan proses penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan

dalam melakukan penelitian ini dengan cara mengumpulkan data

berdasarkan pada benda-benda berbentuk tulisan, dilakukan

50
Ibid, hlm.106.
51
Sutarman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, 2013, hlm 66.
24

dengan cara mencari, membaca, mempelajari dan memahami

data-data sekunder yang berhubungan dengan hukum sesuai

permasalahan yang dikaji.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh berdasarkan pada metode penelitian di atas,

baik dari jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data

serta teknik pengumpulan data kemudian dianalisis secara

deskriptif analitis. Deskriptif analitis menurut Soerjono Soekanto

yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau

lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari

sebagai sesuatu yang utuh.52 Dengan kata lain peneliti tidak

semata-mata bertujuan mengungkapkan kebenaran belaka,

melainkan dapat memahami kebenaran tersebut.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab pertama berisi pendahuluan yang menguraikan

tentang latar belakang masalah, identifikasi

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

kerangka pemikiran, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan.

52
Soerjono Soekanto, Op,cit, hlm.250.
25

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

KORBAN KEJAHATAN

Bab dua akan menjelaskan teori-teori yang akan

digunakan dalam penelitian. Teori-teori yang akan

digunakan dalam penelitian yaitu, teori hukum

pidana, teori perbandingan hukum, teori

perlindungan korban, dan teori pembaharuan hukum

pidana.

BAB III PENGATURAN MENGENAI KEJAHATAN

PERUNDUNGAN DUNIA MAYA DALAM

HUKUM POSITIF DI INDONESIA.

Bab tiga akan menjelaskan mengenai pengertian

tentang korban, pengaturan mengenai perlindungan

hukum bagi korban, dan pengertian tentang tindak

pidana perundungan dunia maya, dan pengaturan

perundungan dunia maya.


26

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN

PERUNDUNGAN DUNIA MAYA DALAM

HUKUM POSITIF MENURUT PERSPEKTIF

VIKTIMOLOGI DAN PEMBAHARUAN

HUKUM PIDANA TERHADAP

PERLINDUNGAN KORBAN PERUNDUNGAN

DUNIA MAYA.

Bab empat ini akan menjelaskan mengenai

perlindungan hukum terhadap korban tindakan

perundungan di dunia maya dalam hukum positif,

yang dapat dikaji melalui perspektif viktimologi,

serta mengetahui pembaharuan hukum pidana

terhadap perlindungan korban perundungan di dunia

maya sebagai bagian dari kejahatan siber (cyber

crime).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab lima berisi simpulan dan saran.


BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP KORBAN KEJAHATAN

A. Teori Hukum Pidana

Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu

menunjukkan sanksi dalam hukum pidana.53 Hukum pidana memiliki unsur

perbuatan, sanksi dan pidana. Menurut Roeslan Saleh,54 pidana adalah

reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja

ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Hukum pidana menurut

Soedarto yang dikutip oleh Tongat,55 berpangkal dari dua pokok, yaitu :

a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

b. Pidana.

Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang

memiliki unsur dan dua sifat yang berkaitan, unsur-unsur yang dapat dibagi

menjadi dua macam yaitu :

a. Subyektif adalah berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk ke

dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dihatinya.

b. Obyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau

yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaannya, yaitu dalam

53
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum
Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 23.
54
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 9
55
Tongat, Op, Cit, hlm. 12

27
28

keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus

dilakukan.56

Lebih lanjut Soedarto menjelaskan dengan perbuatan yang memenuhi

syarat-syarat tertentu, dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang,

yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu

dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau dapat disingkat perbuatan

jahat.57 Terdapat beberapa pendapat para pakar hukum seperti yang dikutip

oleh Teguh Prasetyo,58 Simons mengatakan bahwa dalam arti sesungguhnya

berbuat (handelen) mengandung sifat aktif, yaitu tiap gerak otot yang

dikehendaki dan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan akibat.

Namun, Pompe tidak menyetujui rumusan tersebut, karena gerakan otot

tidak selalu ada pada setiap tindak pidana, juga mengenai kehendak tidak

selalu ada. Ia mengatakan, perbuatan (gedraging) itu dapat ditetapkan

sebagai suatu kejadian yang berasal dari manusia, yang dapat dilihat dari

luar dan diarahkan kepada tujuan yang menjadi sasaran norma.

Selebihnya makna dari kata perbuatan seperti yang dikutip oleh

Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Moeljanto menegaskan

bahwa perbuatan merujuk ke dalam yang melakukan dan kepada akibatnya,

dan kata “perbuatan” berarti dibuat oleh seseorang yang dapat dipidana,

adalah kepanjangan dari istilah yang merupakan terjemahan dari

56
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 69
57
Ibid, hlm. 13
58
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2012
29

straafbaarfeit.59 Senada dengan Simons dalam hal ini, yang dikutip oleh

Rusli Efendy menyatakan bahwa straafbaarfeit adalah kelakuan (handeling)

yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang

berhubungan dengan kesalahan, yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggung jawab.60 Sedangkan Moeljatno menyatakan bahwa

straafbaarfeit atau perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum larangan aman yang disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

Dalam literatur Hukum Pidana Belanda dijumpai definisi terkait

“kemampuan bertanggung jawab” kepada seseorang yang melakukan

perbuatan. Menurut Simons, kemampuan bertanggung jawab diartikan

sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya

penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun

dari orangnya.61 Kemampuan bertanggung jawab merupakan salah satu

unsur kesalahan yang tidak dapat dipisahkan dengan dua unsur tindak

pidana lain yaitu perbuatannya adalah bersifat melawan hukum dan tidak

ada alasan pemaaf. Dalam bahasa Belanda istilah ‘kemampuan bertanggung

jawab’ dikenal dengan ‘toerekeningsvatbaarheid’.62 Unsur kemampuan

bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya

setiap orang normal batinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau

59
Moeljanto dalam Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, Mitra Wacana
Media, Jakarta, 2015, hlm. 7
60
Rusli Efendy, dkk, Azaz-azaz Hukum Pidana, Lepen UMI, Ujung Pandang, 1980, hlm. 37.
61
Soedarto, Hukum Pidana I , Yayasan Sudarto, Semarang, 2009, hlm. 157.
62
Teguh Prasetyo, Op, Cit, hlm. 85.
30

ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak

normal.

Menurut Van Hamel, kemampuan bertanggungjawab adalah suatu

keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3

(tiga) kemampuan, yaitu:

d. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya


sendiri.
e. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut
pandangan masyarakat tidak dibolehkan
f. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-
perbuatannya itu.63

Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan) secara negatif

menyebutkan mengenai pengertian bertanggungjawab itu, antara lain

demikian :

Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat:

a. dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan

tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh

undang-undang.

b. dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa,

sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu,

bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat

perbuatannya.64

Sebagai dasar dapatlah dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya

itu mampu bertanggungjawab, ia mampu untuk menilai dengan fikiran atau

63
Ibid, hlm. 158
64
Ibid, hlm. 158-159
31

perasumnya bahwa perbuatannya itu dilarang, artinya tidak dikehendaki

oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan fikiran atau peralatannya

itu. Dalam persoalan kemampuan bertanggungjawab itu ditanyakan apakah

seseorang itu merupakan “normadressat” (sasaran norma), yang mampu.

Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap (supossed) mampu bertanggung

jawab, kecuali dinyatakan sebabnya.65

Bagian penting dalam sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu

sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai

apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk

menegakkan berlakunya norma.66

Dalam hukum pidana, ancaman sanksi pidana bukan saja berfungsi

sebagai alat pemaksa agar orang tidak melanggar hukum, tetapi juga sebagai

alat pemaksa agar semua orang mentaati norma lain yang ada dalam

masyarakat. Atas dasar hal itu, hukum pidana seringkali disebut sebagai

hukum sanksi. Apabila sanksi sudah dijatuhkan pada si pelanggar, maka

perkara dianggap sudah selesai. Dengan demikian, maka penjatuhan sanksi

pidana menjadi parameter keadilan dalam mengadili pelanggaran hukum

pidana. Mengingat akibat yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran hukum

pidana sangat kompleks, bukan hanya menjangkau kehidupan pada saat ini,

melainkan dapat mempengaruhi kehidupan masa yang akan datang, model

penyelesaian disederhanakan dengan bentuk penjatuhan sanksi pidana yang

paling diandalkan yaitu pidana penjara. Dalam perkembangan saat ini,

65
Ibid, hlm. 159
66
Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.
114
32

paradigma berpikir demikian harus segera diubah, di mana parameter

kcadilan bukan lagi didasarkan kepada upaya penjatuhan sanksi pidana

(penjara), melainkan mencari alternatif sanksi yang dapat mengatasi dampak

pelanggaran huktam pidana secara lebih luas sesuai dengan nilai-nilai yang

berlaku baik secara nasional maupun global.67

Pengertian tentang pidana dikemukakan oleh beberapa pakar Belanda,

yaitu:

a. Van Hamel menyatakan bahwa arti dari pidana atau Straf menurut
hukum positif adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus oleh
yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk
menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab
dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-
mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum
yang harus ditegakkan oleh negara.68
b. Menurut Simons, pidana atau straf itu adalah suatu penderitaan yang
oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran
terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah
dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.69
c. Menurut Alga Jassen, pidana atau straf adalah alat yang
dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka
yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.
Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari
perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atasa nyawa,
kebebasan, atau harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak
melakukan tindak pidana.70

Dari tiga buah rumusan mengenai pidana di atas dapat diketahui,

bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu

alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan

67
Reinald Pinangkaan, Pertanggungjawaban Pidana Dan Penerapan Sanksi Dalam Pembaharuan
Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia, Vol.2 No. 1 , Lex Crimen, hlm. 11
68
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Panitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010, hlm. 19
69
P.A.F. Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984, hlm. 35
70
Marlina, Hukum Panitensier, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 13
33

tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.71 Pidana di satu sisi tidak hanya

dimaksudkan untuk memberikan penderitaan kepada pelanggar atau

membuat jera, tetapi di sisi yang lain juga agar membuat pelanggar dapat

kembali hidup bermasyarakat sebagai layaknya.72 Apabila ditinjau dari

sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang

tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni

melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan masyarakat

itu.73 Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi

terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi

pada ide perlindungan masyarakat.74

Dalam hal ini, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap

suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif

terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada

perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan

penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan

lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pelaku agar ia berubah.

Teori hukum pidana yang dijelaskan diatas digunakan untuk

mengetahui bagaimana perbuatan, kemampuan bertanggung jawab seorang

yang berbuat, serta sanksi yang diberikan bagi pelaku perundungan dunia

maya.

71
P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm. 36
72
Tolib Setiady, Op, Cit, hlm. 21
73
Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1987, hlm. 360
74
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1986, hlm. 53
34

B. Teori Perlindungan Korban

Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional

nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih

sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam

perundang-undangan nasional.75 Korban kejahatan pada dasarnya

merupakan pihak yang paling dirugikan dalam suatu tindak pidana. Namun

dalam penegakan hukum hak korban kejahatan dan perlindungan terhadap

korban kejahatan tidak mendapatkan pengaturan yang memadai.

Kedudukan korban dalam mencari keadilan cukup diwakili oleh jaksa.76

Korban hanya ditempatkan sebagai saksi yang tujuannya hanya untuk

pelengkap alat bukti guna menjerat tersangka.77 Hak korban untuk

memperoleh ganti rugi dari penderitaannya sebagai objek kejahatan pun

terlalaikan.78

Penyelesaian perkara pidana seringkali hukum terlalu mengedepankan

hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan,

sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah dalam membahas hukum

acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada

kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak

tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban.79 Dalam penyelesaian

perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh

75
Ratih Putri, Peran Korban dalam SPP, Kompasiana, diakses pada tanggal 5 Januari 2015.
76
Rena Yulia, Sekelumit tentang Korban Kejahatan Upaya Pemenuhan Keadilan Bagi Korban,
Op,cit, hlm.36.
77
Ibid, hlm.36.
78
Ibid, hlm.36.
79
Ratih Putri, Op,cit.
35

perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya

immateriil maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai saksi

yang memberikan keterangan guna melengkapi alat bukti, sehaingga

kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam

memperjuangkan haknya adalah kecil.80

Secara teoritis dan praktik pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia

kepentingan korban kejahatan diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai

bagian perlindungan masyarakat.81 Secara umum dalam teori perlindungan

korban dikenal dengan dua model perlindungan yaitu :

a. Model hak-hak prosedural (the procedural rights model)


Secara singkat model ini menekankan dimungkinkan berperan

aktifnya korban dalam proses peradilan pidana seperti membantu jaksa

penuntut umum, dilibatkan dalam setiap pemeriksaan perkara, wajib

didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat, dan lain

sebagainya. Selain itu, dengan turut sertanya secara aktif dalam proses

peradilan pidana, korban bisa mendapatkan kembali harga diri dan

kepercayaan dirinya. Akan tetapi, dengan adanya keterlibatan korban

mempunyai segi prositif dalam penegakan hukum, dan juga mempunyai

segi negatif karena partisipasi aktif korban dalam pelaksanaan proses

peradilan pidana dapat menyebabkan kepentingan pribadi terletak diatas

kepentingan umum.82

80
Ibid.
81
Edy Tarsono, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi, Lentera Hukum Indonesia,
Jakarta, 2014, hlm.29
82
Ibid, hlm.29.
36

Lebih jauh lagi alasan lain dikemukakan kelompok yang menentang

diberikannya hak prosedural kepada korban adalah dengan diberikannya

peran individual kepada korban dalam proses persidangan atau penuntutan

terhadap pelaku, berarti membuatnya ikut bertanggung jawab atas jalannya

persidangan serta hasil dari proses itu sehingga beban tanggung jawab ini

akan menjadi tekanan yang cukup berat bagi korban dalam berbagai segi.

Tekanan bisa muncul dari orang dengan siapa korban melakukan kontak

dan/atau disebabkan oleh polisi atau jaksa yang akan memanfaatkan hak-

haknya untuk kepentingan umum. Pelaku dan pengacaranya akan berusaha

mempengaruhi tingkah laku korban selama proses dan kadang dengan

menggunakan intimidasi.83

b. Model pelayanan (the services model)

Yang menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk

kompensasi,restitusi,dan upaya pengambilan kondisi korban yang menglami

trauma, rasa takut dan tertekan akibat kejahatan. Apabila

diperbandingkan,ternyata baik model hak-hak prosedural maupun model

pelayanan masing-masing mempunyai kelemahan. Model hak-hak

prosedural ini dapat menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan

individual si korban, disamping suasana peradilan yang bebas dan dilandasi

asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dapat terganggu

oleh pendapat korban tentang pemidanaan yang dijatuhkan karena

didasarkan atas pemikiran yang emosional sebagai upaya untuk

83
Ibid, hlm.30.
37

mengadakan pembalasan.84 Selain hal di atas,yang menetapkan jaksa

penuntut umum mewakili korban maka sering dalam praktiknya,aspirasi

korban dalam proses peradilan pidana kurang di perhatikan sehingga

menimbulkan ketidakpuasan dari dan atau keluarganya terhadap tuntutan

jaksa dan putusan hakim. Aspek ini salah satunya dipicu karena secara

prosedural korban tidak mempunyai peluang untuk menyatakan

ketidakpuasannya terhadap tuntutan jaksa dan putusan hakim.

Berkolerasi dengan hal tersebut, Declaration of Basic Principles of

Justic for Victims of Crime and Abuse of Power yang disetujui oleh Majelis

Umum PBB 29 November 1985 (resolusi 40/34) atas rekomendasi Kongres

ketujuh, menyatakan perlindungan korban antara lain dalam wujud sebagai

berikut85 :

1. Korban kejahatan harus diperlakukan dengan penuh rasa


hormat terhadap martabatnya, serta diberi hak untuk menuntut
ganti rugi. Mekanisme hukum dan administrasinya harus
dirumuskan dan disahkan untuk memungkinkan korban
kejahatan memperoleh ganti rugi.
2. Korban kejahatan harus diberi informasi mengenai peran
mereka, jadwal waktu, dan kemajuan yang telah dicapai dalam
penanganan kasus mereka. Penderitaan dan keprihatinan korban
kejahatan harus selalu ditampilkan dan disampaikan pada setiap
tingkatan proses. Jika ganti rugi yang menyeluruh tidak dapat
diperoleh dari pelaku kenakalan, dalam kasus-kasus kerugian
fisik atau mental yang parah, Negara berkewajiban memberi
ganti rugi kepada korban kejahatan atau keluarganya.
3. Korban kejahatan harus menerima ganti rugi dari pelaku atau
keluarganya.

84
Ahmad Sofian, Pemberian Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia, business-law.binus.ac.id, di akses pada agustus 2014.
85
C. Maya Indah S, Op,cit, hlm.123.
38

Muladi mengemukakan bahwa perlunya perlindungan terhadap korban

memiliki alasan-alasan sebagai berikut86 :

a. Proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian umum


dan konkret. Dalam arti umum, proses pemidanaan sebagai
wewenang suatu asas legalitas, yaitu poena dan crimen harus
ditetapkan lebih dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas
diri pelaku pidana. Dalam arti konkret, proses pemidanaan
berkaitan dengan penetapan pidana melalu infrastruktur penitensier
(hakim, petugas lembaga pemasyarakatan, dan sebagainya). Di sini
terkandung tuntutan moral, dalam wujud keterkaitan filosofis pada
satu pihak, dan keterkaitan sosiologis, dalam kerangka hubungan
antar manusia dalam masyarakat. Secara sosiologis masyarakat
sebagai ‘system of institusional trust’/sistem kepercayaan yang
melembaga, dan terpadu melalui norma yang diekspresikan dalam
struktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
dan lembaga koreksi. Terjadinya kejahatan atas diri korban
bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut, pengaturan
hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut masalah korban
berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan
tersebut.
b. Adanya argument kontrak sosial, yaitu negara memonopoli
seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan
yang bersifat pribadi, dan argument solidaritas sosial bahwa negara
harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi
kebutuhannya/apabila warga negara mengalami kesulitan, melalui
kerjasama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan
sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa dilakukan baik
melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak.
c. Perlindungan korban dikaitkan dengan salah satu tujuan
pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang
ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Menurut Barda Nawawi Arief pemikiran untuk menggeser perspektif

tersebut diatas merupakan jalan keluar dalam menghadapi persoalan korban

kejahatan dalam hukum pidana, karena apa yang dilakukan hukum pidana

dan sistem peradilan pidana saat ini tidak memberikan keadilan yang

langsung dirasakan bagi masyarakat yang menjadi korban kejahatan sebagai

86
Ibid, hlm.111.
39

pencari keadilan.87 Selanjutnya, berkembanglah alternatif penyelesaian

sengketa yang berorientasi terhadap korban. Dalam perkembangan wacana

teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai

Negara, ada kecenderungan kuat untuk mediasi pidana/penal sebagai salah

satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.88

Teori perlindungan korban digunakan untuk menjawab bagaimana

perlindungan hukum bagi korban perundungan dunia maya dalam perspektif

viktimologi.

C. Teori Pembaharuan Hukum Pidana

Menurut Barda Nawawi Arief, upaya melakukan pembaharuan hukum

pidana (penal reform) pada hakekatnya termasuk bidang "penal policy"

yang merupakan bagian dan terkait erat dengan "law enforcement policy /

"criminal policy" dan "social policy". Hal ini berarti pembaharuan hukum

pidana merupakan :

e. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk


memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam
rangka lebih mengefektifkan penagakan hukum;
f. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/
menanggulangi tindak pidana dalam rangka perlindungan
masyarakat;
g. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi
masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional (yaitu "social
defence" dan "social welfare");
h. Upaya peninjauan dan penilaian kembali ("reorientasi dan
reevaluasi") pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar atau
nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik dan sosio-kultural
yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan
(penegakan) hukum pidana selama ini. Bukanah
87
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Pidana Di Luar Pengadilan, Pustaka
Magister, Semarang, 2016, hlm.3.
88
Ibid, hlm.3.
40

pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi


nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja
dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan
penjajah (KUHP lama atau WVS).89

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna,

suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang

sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-

kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan

kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat,

beliau menyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya

harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-

oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan

(policy oriented approach).90

Selanjutnya, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pembaharuan

hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan karena

memang pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana hanya merupakan

bagian saja dari kebijakan atau politik hukum pada umumnya, dan

khususnya bagian dari politik hukum pidana (criminal law/penal policy atau

strafrechtspolitiek). Lebih luas lagi, politik hukum pidana itu sendiri pada

hakikatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari politik penegakan

hukum, politik kriminal dan politik sosial. Didalam setiap kebijakan (policy

89
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
Citra Adhya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 3
90
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik Aduan,
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol.1 No.
4, 1994, hlm. 2
41

atau politik) dipertimbangkan berbagai nilai, maka jelas pula pembaharuan

hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.91

Dalam bukunya yang lain, Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa,

pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan adalah

d. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum


pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya
untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah
kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang rujuan
nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya);
e. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan
hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari
upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya
penanggulangan tindak pidana);
f. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum,
pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan
bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal
substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan
hukum.

Sedangkan pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan-

nilai merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali

(reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik dan

sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif

dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.92 Jika di lihat pada hukum

pidana yang dipergunakan selama ini baik itu hukum pidana materil

(KUHP) dan hukum pidana formil (KUHAP) sebagai peraturan induk

hukum pidana di Indonesia, maka secara substansi yang menjadi sorotan

utama selama ini adalah menyangkut perlindungan atau kepentingan pelaku

91
Ibid, hlm. 3
92
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op,Cit, hlm. 28-29
42

tindak pidana (offenders). Sedangkan terkait dengan hukum pidana khusus

walaupun secara substansi memiliki perkembangan untuk menyoroti

perlindungan/kepentingan korban tindak pidana, akan tetapi pada

fenomenanya kerap kali masih timbul kekecewaan dari pihak korban tindak

pidana khususnya menyangkut korban tindak pidana yang dilakukan di

bidang medis, oleh karenanya dalam hal ini perlu dilakukan pembenahan

konsep perlindungannya..93

Teori pembaharuan hukum pidana digunakan untuk mengetahui

bagaimana pembaharuan hukum pidana terhadap perlindungan hukum bagi

korban perundungan dunia maya.

93
Sri Sumiati, Kebijakan Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Tindak Pidana Di
Bidang Medis, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm. 18-19

Anda mungkin juga menyukai