Anda di halaman 1dari 16

PERLINDUNGAN YURISDIKSI VIRTUAL MELALUI HUKUM POSITIF

INDONESIA DALAM PERMASALAHAN CYBER TERRORISM DI INDONESIA

Disusun untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester

Kelas Teknologi, Informasi dan Komunikasi (Cyber Law)

Disusun oleh :

Anisa Fitri Wibowo (110110200266)

Dosen Pengampu:

- Dr. Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M., FCB.,Arb., FIIArb.


- Dr. Not.Ranti Fauza Mayana, S.H.
- Dr. Prita Amalia, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2023

Jl. Raya Bandung Sumedang KM.21, Hegarmanah, Kec. Jatinangor, Kabupaten Sumedang,
Jawa Barat 45363
I. Pendahuluan

Perkembangan teknologi digital semakin pesat dan berpengaruh terhadap seluruh berbagai
aspek kehidupan, baik dari ekonomi, politik, budaya dan juga pertahanan. Perkembangan ini
membuat perubahan besar dan melahirkan berbagai macam teknologi digital yang semakin
maju. Teknologi digital menggabungkan seluruh jenis media ke dalam kehidupan manusia,
baik secara konteks kemajuan teknologi secara fisik tetapi juga secara luas dalam
berkomunikasi, berinteraksi, bertransaksi serta cara bermasyarakat.1 Hal ini tentunya
memfasilitasi teknologi digital kepada manusia dengan bebas yang memudahkan untuk
mengakses informasi melalui banyak cara. Kebebasan ini sejalan dengan konstitusi Indonesia
yang memberikan perlindungan hak asasi manusia termasuk hak atas privasi dan kebebasan
berbicara. Meskipun tidak secara eksplisit bahwa hak atas privasi merupakan hak asasi
manusia, tetapi hak atas privasi diatur didalam Pasal 28 G ayat (1) Undang - Undang-Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,


martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi.”

Lebih lanjut lagi, MK dalam putusannya memberikan penerjemahan kata “privacy” yang
diterjemahkan sebagai “urusan pribadi/masalah pribadi” atas Pasal 12 UDHR yang diadopsi
Pasal 17 ICPR yang merupakan ketentuan pemberian jaminan terhadap hak atas privasi ,
yang berbunyi2:

“Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah


tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak
diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya.
Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan
atau pelanggaran seperti ini.”

Meskipun hak atas privasi tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Undang - Undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945, nilai-nilai hak atas privasi tetap terkandung di dalam Undang

1
Dr. Ir. Zinggara Hidayat, M.M., M. Si., “Dampak Teknologi Digital terhadap Perubahan Kebiasaan Penggunaan Media Masyarakat,” Laporan
Penelitian Internal Dosen Universitas Esa Unggul, 2018, diakses melalui
https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Research-5702-Laporan_hibah_internal_ZinggaraHidayat.pdf, 2.
2
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
- Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebagai suatu landasan mengenai jaminan
hak atas privasi.

Dengan berkembangnya teknologi digital maka timbul kejahatan baru yang memanfaatkan
perkembangan teknologi tersebut. Perkembangan teknologi telah mengubah struktur
masyarakat dari masyarakat yang berstruktur lokal menjadi masyarakat yang berstruktur
global yang disebabkan oleh hadirnya teknologi informasi.3 Kebutuhan manusia akan
teknologi informasi yang bebas dan tanpa batas ini menimbulkan sisi mengkhawatirkan yang
dapat mengganggu perdamaian dunia. Bahwasannya di dalam Pembukaan Undang - Undang
Dasar Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan bahwa negara republik Indonesia adalah
negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memelihara kehidupan yang damai serta aktif
turut serta dalam memelihara perdamaian dunia.4 Dengan demikian, Indonesia secara
konstitusi sudah mengamanatkan kehidupan yang damai dan juga aktif dalam memelihara
perdamaian dunia.

Terorisme menjadi permasalahan global yang serius oleh seluruh dunia. Terorisme ini
mengakibatkan kerusakan yang sangat besar terhadap ketahanan negara, infrastruktur serta
kehilangan nyawa. Definisi terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention
against Terrorism (ECST) pada tahun 1977, memperluas paradigma maknanya dari crime
against the state menjadi Crimes against Humanity. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
tindakan kriminal yang menciptakan situasi di mana individu,kelompok, dan masyarakat
umum hidup dalam suasana teror. Perkembangan teknologi juga mengarah pada
perkembangan berbagai bidang dan menciptakan globalisasi yang mempengaruhi berbagai
bidang seperti politik, masyarakat, bisnis dan kejahatan, salah satunya adalah terorisme.5 Dari
perspektif ketahanan politik, terorisme merupakan ancaman terhadap kedaulatan Negara
KesatuanRepublik Indonesia. Fleksibilitas politik didasarkan pada kehidupan dan sistem
politik. Terorisme sudah menjadi sesuatu yang sangat berbahaya dan dianggap sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan. Terorisme dianggap sebagai ancaman serius bagi keamanan
dan stabilitas di seluruh dunia maka dari itu seluruh dunia berusaha untuk memberantas
terorisme dengan berbagai cara.

3
Raodia, “Pengaruh Perkembangan Teknologi terhadap Terjadinya Kejahatan Mayantara (Cybercrime), Jurisprudentie, Vol. 6 No. 2
(Desember:2019), 234.
4
Susan W. Brenner. 2007, Cybercrime: Re Thinking Crime Control Strategies, Crime Online, USA: Willan Publishing,. 13.
5
Andrew Michael Colarik, Cyber Terrorism: Political and Economic Implications, USA: Idea Group, 2006, 15.
Akan tetapi, bagaimana jika kejahatan terorisme ini merambah teknologi digital yang bebas
dan tanpa batas? Terorisme yang sedang terjadi di dunia bukan saja menyerang fisik.
Terorisme telah berkembang dan hidup melalui penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi. Kompleksitas dunia maya telah menginspirasi para pelaku teroris Indonesia
untuk menggunakannya sebagai alat untuk mengembangkan jaringan teroris. Serangan
terhadap infrastruktur nasional yang kritis atau penggunaan jaringan dan teknologi komputer
untuk mengintimidasi warga sipil dan pegawai pemerintah diidentifikasi sebagai
cyberterrorism.6Cyber terorism atau terorisme dunia maya merupakan bentuk dari kejahatan
baru yang memiliki karakteristiknya sendiri.7 Pelaku teror melakukan manuver di ruang
cyber, yaitu serangan cyber (cyber attack) terhadap target yang diinginkannya. Menurut
Sieber dan Brunst, cyber attack sebagai cyber teror menyasar infrastruktur melalui internet
dengan virus dan spyware di dalam jaringan komputer.

Cyberterrorism diperhitungkan sebagai serangan ilegal pada jaringan komputer, jaringan data
yang disimpan, dengan tujuan mengintimidasi pemerintah atau rakyatnya. Serangan semacam
itu mengakibatkan kekerasan terhadap individu, kelompok atau properti pemerintah,
menimbulkan bahaya dan ketakutan. Sasaran termasuk sistem satelit, telekomunikasi,
perbankan, kontrol lalu lintas udara, sistem navigasi maritim, jaringan telekomunikasi,
jaringan distribusi listrik, pertahanan dan keamanan, termasuk sistem pengawasan pemusnah
massal, termasuk senjata nuklir, perawatan kesehatan, dan layanan publik lainnya. kejahatan
teroris.8 Tindakan kejahatan cyber terrorism ini menyerang sistem informasi yang dapat
merusak sistem teknologi informasi yang vital dan mengancam stabilitas dan keamanan
nasional dan juga internasional. Terorisme yang tumbuh dan berkembang melalui teknologi
ini menjadi salah satu ancaman yang perlu menjadi fokus utama dalam membangun
ketahanan nasional.

Meskipun cyber terrorism dan terorisme memiliki kesamaan atas tujuan tindakannya, tetapi
mereka memiliki ancaman yang berbeda-beda. Terorisme adalah suatu gerakan kriminal
terorganisir dengan berbagai bentuk dan jenis jaringan,dimotivasi oleh motif yang berbeda
dan tujuan tertentu, yang dirancang (secara diam-diam) dengan menggunakan alat atau
fasilitas yang dirancang untuk membuat objek (orang, bangunan, dan ruang publik lainnya)

6
Janet J. Prichard Laurie E. MacDonald,, “Cyber Terorism: A study of the extent coverage in computer security textbook, Journal of
Information technology education”, Volume 3: 2004, 280
7
Ibid.
8
Gilang Muhammad Mumtaaz, Thariq Rafif Wardhana, Fibiya Harnung Diastutui, “Anti Cyber Terorism sebagai Upaya Strategi dalam
Menanggulangi Cyber Terrorism di Indonesia, Al-Hakam Islamic Law & Contemporary Issues, Vol. 2 Edisi 2: Oktober 2021, hlm.51.
yang menjadi sasaran tindak pidana terorisme dapat dilakukan keluar secara tepat dan
terukur.9 Cyber terrorism menyerang segala sesuatu yang terhubung ke Internet, terutama
aset vital pemerintah, yang dapat mengganggu operasi dan menimbulkan korban yang lebih
besar daripada terorisme.10 Perbedaan terbesar dapat terlihat dari jenis tindakan yang
dilakukan serta dampaknya, bahwa terorisme melibatkan tindakan kekerasan yang dapat
menyebabkan kerusakan fisik dan kehancuran. Sedangkan cyber terrorism melibatkan
serangan terhadap teknologi informasi yang merusak sistem informasi dan kehancuran di
dunia maya.

Kejahatan yang dilakukan oleh manusia dalam kejahatan cyber terrorism ini menitikberatkan
terhadap kemajuan di bidang teknologi informasi, dapat melalui internet maupun handphone.
Dengan cyber crime berada di dunia maya, maka cyber crime berada di dunia bebas.
Pengguna internet dapat mengakses tanpa batas dan dapat menjelajah berbagai situs dan
melewati dari batas suatu negara. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh
rakyat Indonesia di dunia maya atau dunia maya.11 Atas hal tersebutlah, hadir sebuah konsep
dimana hal tersebut menjadi batas-batasan dalam pengguna internet di dunia maya, yaitu
yurisdiksi virtual. Negara mempertahankan yurisdiksi hampir penuh dan tindakan yang
merugikan tidak diizinkan tanpa sanksi hukum hal ini menghadirkan keadilan hukum dan
keadilan sosial adalah platform utama untuk implementasi keadilan virtual.12 Yurisdiksi
virtual menjadi sangat penting dengan semakin berkembangnya teknologi yang merujuk
kepada kemampuan negara untuk menegakkan hukum di lingkungan digital dan memeriksa
tindakan kejahatan yang dilakukan di dalamnya. Selain itu, yurisdiksi virtual memegang
peranan penting sebagai penjaga keamanan dan stabilitas di dunia maya. Hal ini menjadi
kompleks serta tantangan besar karena yurisdiksi virtual melawan cyber terrorism yang
memiliki sifat global, bebas dan tidak terbatas ini. Yurisdiksi virtual di Indonesia sudah
memiliki payung hukumnya sendiri, tetapi jika terjadi permasalahan yang melewati
batas-batas negara dan menjadi suatu kejahatan yang serius terhadap kemanusiaan bagaimana
penyelesaiannya? Oleh karena itu, penulis merumuskan permasalahan hukum atas latar
belakang tersebut.

9
Hamzah Junaid, “Pergerakan Kelompok Terorisme dalam Perspektif Barat dan Islam,” Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 8 No. 2: 2011,
122.
10
A. Josianto, “Tindak Pidana Cyber Terrorism dalam Transaksi Elektronik,” Jurnal Lex Administratum, Vol. 3 No.3: 2015, 165.
11
Danrivanto Budhijanto. “Yurisdiksi Virtual Kebocoran Data Pribadi Facebook,”
12
Ibid.
II. Permasalahan Hukum

Pada dasarnya, tulisan ini bertujuan untuk memperkenalkan ancaman cyber terrorism serta
bagaimana penegakannya melalui yurisdiksi virtual. Hal ini memungkinkan pembaca untuk
memahami dan mewaspadai adanya tantangan cyber terrorism sebagai kejahatan. Dalam
artikel ini, sebagai rumusan masalah, kami juga ingin memaparkan urgensi keberadaan
yurisdiksi virtual dan pentingnya mengalahkan cyber terrorism dalam pelaksanaan
pembangunan ketahanan nasional. Latar belakang masalah membuat penulis mengidentifikasi
beberapa permasalahan yang dapat dikaji, permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Cyber Terrorism di Indonesia?


2. Bagaimana Penanggulangan Cyber Terrorism demi menegakkan Yurisdiksi Virtual?

III. Pembahasan

Cyber terrorism bukan lagi fenomena melainkan bentuk kejahatan. Hal ini berdampak negatif
terhadap sistem komunikasi dan sistem infrastruktur yang sudah menggunakan jaringan
internet dan satelit. Cakupan Internet yang luas (lintas batas) menawarkan keuntungan bagi
pelaku Cyber Terrorism.

Cyber terrorism didefinisikan oleh Dorothy Denning (profesor ilmu komputer Amerika) di
hadapan Komite Perwakilan Layanan Angkatan Bersenjata pada Mei 2000 sebagai perluasan
dunia maya dan terorisme. Menurutnya, menurut interpretasinya, terorisme dunia maya
mengacu pada serangan dan penyerangan terhadap komputer, jaringan, dan informasi dengan
tujuan mengintimidasi dan menindas pemerintah dan rakyatnya, serta kepentingan politik
atau sosial.13 Serangan ini mengarah pada tindakan kekerasan terhadap orang atau properti.
Tujuannya adalah untuk menciptakan rasa takut. Lalu, Zeviar Geese bersama dengan The
United Nations Manuals on the Prevention and Control of Computer Related Crime
merumuskan definisi cyber terrorism lebih luas dengan mencantumkan penipuan,
pengaksesan secara tidak sah, ponografi anak, cyberstalking, serta pemalsuan kedalam
definisi cybercrime.14 Dapat disimpulkan bahwa cyber terrorism adalah tindakan yang
bertujuan untuk menyerang sistem komputer dan jaringan internet dengan tujuan
13
Aa Bambang A.S., Idealisa Fitriana, “Cyberterrorism: Suatu Tantangan Komunikasi Asimetris bagi Ketahanan Nasional,” Jurnal Komunikasi,
Vol. 2 No.1: 2017, 4.
14
Okti Putri Andini, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Cyber Terrorism dalam Perspektif Kejahatan Transnasional Terorganisir, S-1 Skripsi,
Universitas Negeri Semarang, 2020, 24.
menyebabkan kehancuran atau kerusakan pada infrastruktur penting, melumpuhkan
pemerintahan, mencuri data penting, atau menyebarkan teror dan ketakutan.

Terdapat beberapa alasan para pelaku memilih cyber terrorism sebagai pilihan dalam menuju
tujuannya, yakni15:

1. Cyber terrorism menjadi pilihan yang lebih murah dibandingkan tindakan terorisme
yang dilakukan. Para pelaku, baik secara individu atau kelompok, hanya
membutuhkan komputer dan jaringan internet. Bahan-bahan destruktif yang cukup
menguras biaya, seperti senjata atau peledak tidak perlu mereka beli dan mereka dapat
hanya menggunakan internet dan menciptakan kerusakannya melalui dunia maya.
2. Para pelaku cyber terrorism lebih dapat menutupi identitas mereka karena dapat
menggunakan identitas yang bukan sebenarnya atau palsu. Tindakan ini dapat
memanipulasi aparat penegak hukum untuk mencari identitas para pelaku cyber
terrorism yang sebenarnya.
3. Jumlah target yang disebabkan oleh cyber terrorism dapat lebih meluas dan besar.
Cyber terrorism dapat menyerang jaringan komputer milik perorangan, pemerintah,
komunitas, maskapai swasta, dan lainnya. Kompleksitas penargetan atau pemilihan
target memungkinkan teroris menemukan celah kelemahan yang dapat para pelaku
manfaatkan.
4. Mobilitas dari cyber terrorism sangat mudah dan cepat. Dikarenakan cyber terrorism
memanfaatkan dunia maya yang bebas dan tak terbatas, maka cyber terrorism dapat
dilakukan dengan berpindah-pindah. Para pelaku dapat lebih leluasa untuk
melangsungkan aksinya.
5. Cyber terrorism selalu dikaitkan dengan dampak yang lebih besar pada manusia. Oleh
karena itu,metode ini juga memobilisasi media yang lebih besar untuk publisitasnya.

Dengan demikian, maka terdapat alasan-alasan para pelaku cyber terrorism dalam mencapai
tujuannya. Alasan tersebut dari berbagai sisi, dari sisi efektivitas, anonimitas, skala global,
kemudahan serta tujuan politik yang memudahkan para pelaku cyber terrorism. Dengan
memanfaatkan internet atau dunia maya sebagai wadah dari tindakan cyber terrorism, maka
kejahatan ini memiliki bentuk atau jenis dalam pelaksanaannya. Terdapat bentuk-bentuk

15
Aa Bambang A.S., Idealisa Fitriana, Op. Cit., 4–5.
komunikasi, perencanaan dan serangan cyber terrorism yang dilaksanakan melalui dunia
maya. Bentuk-bentuk tersebut meliputi16:

1. Propaganda

Propaganda adalah salah satu alat yang sering digunakan oleh kelompok teroris dalam
melakukan serangan cyber terrorism. Propaganda digunakan untuk mempengaruhi
opini publik dan memperoleh dukungan untuk tujuan mereka, serta untuk
memperkuat identitas dan ideologi kelompok teroris. Harold D. Laswell, melalui
karyanya, Propaganda Technique in The World War, pada tahun 1927 mengemukakan
bahwa salah satu upaya untuk mendefinisikan propaganda adalah mengacu pada
peranan propaganda untuk mengontrol pendapat umum melalui pesan-pesan simbolis
yang signifikan, atau untuk berbicara lebih konkrit dilakukan lewat cerita, rumor,
laporan, gambar yang belum tentu akurat.

Dapat diartikan bahwa propaganda merupakan gagasan atau informasi yang ditujukan
untuk mempengaruhi seseorang melalui informasi-informasi yang belum tentu benar.
Dengan menggunakan propaganda, kelompok teroris dapat memanipulasi opini
publik, menyebar rasa takut, dan memperoleh dukungan untuk tujuan mereka. Oleh
karena itu, penting untuk mengekang dan melawan propaganda kelompok teroris
dengan mengedukasi publik dan mempromosikan nilai-nilai damai dan saling
menghormati.

2. Presentasi Perspektif

Bentuk propaganda ini tampak dengan menampilkan perspektif atau idealisme pelaku
teror ke depan khalayak ramai. Terdapat berbagai pandangan dari presentasi
perspektif dalam cyber terrorism. Contoh pelaku cyber terrorism melalui presentasi
prspektif yaitu oleh Mujahidin Indonesia Timur yang merupakan jaringan terorisme,
populer di Poso yang pesannya dipublikasikan melalui youtube setelah melakukan
aksi bom di Poso.

16
Ibid., 6–9.
3. Indoktrinasi

Indoktrinasi adalah proses mengajarkan ideologi dan keyakinan tertentu kepada


seseorang atau kelompok orang dengan tujuan mengubah perilaku mereka. Dalam
konteks cyber terrorism, indoktrinasi dapat dilakukan oleh kelompok teroris untuk
merekrut anggota baru, mengubah pandangan dan keyakinan orang, serta
mempersiapkan mereka untuk melakukan serangan cyber terrorism.

Indoktrinasi dalam cyber terrorism dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti,
sosialisasi, dimana kelompok teroris dapat melakukan sosialisasi terhadap calon
anggota atau simpatisan melalui media sosial, forum online, dan website yang mereka
kelola. Mereka dapat memberikan informasi yang salah atau menyesatkan tentang
pemerintah, agama, atau kelompok tertentu dengan tujuan untuk mengubah
pandangan orang dan membuat mereka tertarik untuk bergabung dengan kelompok
tersebut.

Terdapat juga pelatihan dimana mereka akan diberikan pelatihan untuk


mempersiapkan mereka untuk melakukan serangan cyber terrorism. Pelatihan ini
mencakup teknik hacking, perangkat lunak pengendali jaringan komputer, dan
teknologi lainnya yang diperlukan untuk melancarkan serangan.

Selanjutnya para pelaku cyber terrorism dapat menggunakan pengaruh psikologis


untuk mengubah pandangan orang dan membujuk mereka untuk melakukan serangan
cyber terrorism.

4. Radikalisasi

Radikalisasi dalam cyber terrorism adalah proses di mana seseorang atau kelompok
orang diperkenalkan kepada ideologi ekstremis melalui penggunaan teknologi dan
media digital. Begitu seseorang terpapar ideologi atau paham radikal, maka orang
tersebut lebih mudah di indoktrinasi untuk percaya, percaya dan mau bertindak sesuai
dengan keinginan radikal tersebut. Itu bisa berupa kekerasan, partisipasi dalam
pemboman, dll. Bentuk radikalisasi dalam cyber terrorism dapat berupa propaganda,
sosialisasi online, permainan online, grup online.
5. Pembentukan Paramiliter Melawan Secara Hukum

Penyediaan logistik dalam cyber terrorism dapat berupa dukungan finansial,


teknologi, dan informasi yang diberikan oleh sumber eksternal untuk membantu
kelompok teroris dalam merencanakan dan melaksanakan serangan cyber terrorism.
Logistik ini dapat berasal dari perorangan atau organisasi yang berbagi ideologi atau
kepentingan dengan kelompok teroris.

Dukungan finansial dapat mendapatkan sumber eksternal dapat memberikan dana


kepada kelompok teroris untuk membantu mereka dalam memperoleh perangkat dan
infrastruktur yang diperlukan untuk melakukan serangan cyber terrorism. Dukungan
teknologi dapat memberikan perangkat dan perangkat lunak kepada kelompok teroris
untuk membantu mereka dalam melakukan serangan cyber terrorism. Ini termasuk,
misalnya, komputer, telepon, modem, dan perangkat jaringan lainnya. Dukungan
informasi dapat berupa pemberian informasi dan intelijen kepada kelompok teroris
untuk membantu mereka dalam merencanakan dan melaksanakan serangan cyber
terrorism.

Berangkat dari permasalahan hukum yang menjadi tantangan besar, maka penulis akan
membahas permasalahan yang telah disebutkan diatas.

1. Bagaimana Pengaturan Cyber Terrorism di Indonesia?

Ancaman terhadap cyber terrorism semakin nampak dan terlihat bahwasannya tindakan
ini akan mengakibatkan kerugian yang sangat besar di berbagai aspek kehidupan.
Indonesia hingga sekarang masih belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur secara terang mengenai cyber terrorism di Indonesia. Padahal cyber terrorism
merupakan konvergensi dari cyberspace dan terorisme serta memiliki motif tersendiri dan
unsur yang berbeda dari terorisme.17 Cyber terrorism tidak diatur di Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan juga peraturan perundang-undangan yang memuat
ketentuan terkait terorisme, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
menjadi Undang-undang jo. Penetapan Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

17
Zephirinus Jondong, “Kebijakan Hukum Pidana bagi Tindak Pidana Cyber Terrorism dalam Rangka Pembentukan Hukum Positif di
Indonesia,” Jurnal Preferensi Hukum, Vol. 1 No.2: 2020, 23.
Tindak Pidana Terorisme serta Undang- undang RI No. 9 Tahun 2013 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Dengan demikian, masih terjadi kekosongan hukum yang mengatur mengenai tindak
pidana cyber terrorism di Indonesia. Akan tetapi, Indonesia memiliki peraturan yang
menekankan kepada penggunaan atau keamanan sistem informasi elektronik, yakni
Undang - Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang undang ini mengatur terkait kejahatan yang berbasis teknologi (cyber crime).18
Terdapat beberapa perbuatan cyber terrorism yang menjadi karakteristik tindakan teror
terhadap sistem19:

a. Unauthorized access to computer and service, yaitu pelanggaran penggunaan


sistem komputer melalui jaringan secara tidak benar dan tanpa izin dari
pemiliknya.
b. Denial of service (DoS), yaitu serangan dimana jaringan dibanjiri permintaan
layanan data dalam hitungan detik, sehingga mengakibatkan kemacetan
jaringan, shutdown atau perlambatan kinerja jaringan.
c. Cyber ​sabotage and extortion yaitu tindak pidana yang dilakukan dengan cara
mengganggu,menghancurkan atau menghancurkan data, program komputer
atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.
d. Virus, yaitu tindak pidana yang dilakukan dengan menyebarkan perangkat
lunak seperti program, scriptatau macro yang dirancang untuk menginfeksi,
merusak, memodifikasi dan menimbulkan masalah pada komputer atau
program komputer.
e. Serangan fisik, yaitu serangan secara fisik terhadap sistem komputer atau
jaringan komputer dengan cara membakar atau melepas komputer atau
perangkat jaringan sehingga menyebabkan sistem komputer mengalami crash.

Mengacu pada karakteristik cyber crime terhadap sistem, maka melalui Undang Undang -
Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka bagian
dari perbuatan - perbuatan yang dilarang yakni Pasal 30, 32, 33 berikut pemaparannya:

Pasal 30 Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:

18
Gilang Muhammad Mumtaaz, Thariq Rafif Wardhana, Fibiya Harnung Diastuti, Op. Cit., 57.
19
Zephirinus Jondong, Op. Cit., hlm. 23.
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan
untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan
melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Pada pasal ini mengatur terkait pengaksesan komputer dan/atau sistem elektronik milik orang
lain dengan cara apapun. Tafsir undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
menyatakan bahwa seseorang melakukan perbuatan melawan hukum/ melawan hukum
terhadap sistem elektronik orang lain untuk mendapatkan informasi/dokumen elektronik
dan/atau pencurian, pencurian dan percobaan pencurian. melanggar dan melewati sistem
keamanan. Sifat melawan hukum dalam Pasal 30 UU Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut memiliki dua corak, yakni melawan hukum
objektif dan melawan hukum subjektif.20

Pasal 32 Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:

(1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan
keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.”

Berdasarkan pasal tersebut, Pasal 32 Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik memiliki dua corak sifat melawan hukum, serta sifat melawan hukum

20
Ibid., 23.
yang objektif dalam rumusan pasal ini terdapat pada unsur objeknya yakni Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut milik orang lain.21 Agar unsur tersebut
sesuai dengan sifat yang secara objektif, harus dibuktikan bahwa itu milik orang lain dan
keberadaannya melalui perubahan dll. tidak boleh diizinkan oleh pemiliknya.Sifat melawan
hukum yang subjektifnya, di sisi lain, terletak pada keadaan internal pelaku dibandingkan
dengan legalitas tindakan objektif. Pencipta mengetahui bahwa ia ingin mengubah,
menambah, menghapus,mentransmisikan, merusak, menghapus, dan mentransmisikan serta
menyembunyikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau
milik umum sebagai perbuatan yang memalukan.

Pasal 33 Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik
dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja
sebagaimana mestinya.”

Selanjutnya pada Pasal 33 Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ingin terletak pada akibat perbuatan pelaku tersebut yang berdampak terhadap
terganggunya atau tidak bekerjanya sistem tersebut sebagaimana mestinya.22 Aksi kejahatan
cyber terrorism ini lebih menyangkut kepada tindakan unauthorized access to computer
system and service. Perspektif pada pasal ini lebih menonjolkan aspek penggunaan/keamanan
sistem informasi elektronik atau dokumen elektronik, dan penyalahgunaan di bidang
teknologi dan transaksi elektronik dalam cyber terrorism.

Meskipun beberapa tindakan cyber terrorism dapat masuk kepada Undang Nomor 19 tahun
2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, masih terdapat kekosongan yang masih
belum mengatur dari melawan hukum. Dalam Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik hanya mengatur terkait ancaman secara melawan hukum
tersebut hanya dilakukan terhadap komputer, jaringan komputer dan data yang tersimpan
dalam jaringan tersebut.

Seperti terorisme konvensional yang mengarah pada kehancuran umum atau suasana teror
atau ketakutan yang meluas di kalangan masyarakat. Sama halnya dengan unsur dampak

21
Ibid.
22
Ibid.
serangan dalam terorisme konvensional, suatu kegiatan dapat digolongkan sebagai terorisme
dunia maya jika serangan tersebut menimbulkan rasa takut dan menimbulkan korban di
sekitar atau jarak jauh, meskipun itu bukan tujuan utamanya menyerang. Hal ini
menimbulkan kekosongan hukum pengaturan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme
Siber Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Bagaimana Penanggulangan Cyber Terrorism demi menegakkan Yurisdiksi Virtual?

Tentunya, cyber terrorism juga dapat berdampak besar pada individu dan masyarakat secara
keseluruhan. Serangan keamanan cyber dapat menyebabkan kehilangan informasi pribadi
seperti identitas, nomor rekening, atau informasi kartu kredit. Identitas yang dicuri bisa
digunakan untuk melakukan kejahatan lebih lanjut, seperti pencurian identitas atau penipuan,
dan mempengaruhi kehidupan pribadi seseorang. Selain itu, serangan cyber dapat
menyebabkan ketakutan dan kekhawatiran dalam masyarakat, meningkatkan tingkat
kecemasan dan ketidakpastian.

Sementara dampak serangan cyber bisa sangat merugikan, namun para pelaku cyber terrorism
cenderung bisa bertindak tanpa terdeteksi atau tertangkap oleh pihak yang berwenang. Dalam
hal ini, peran yang diambil oleh pemerintah dan institusi keamanan menjadi sangat penting
dalam menegakkan hukum dan menghentikan pelaku kejahatan cyber terrorism.
Penanggulangan cyber terrorism untuk menegakkan yurisdiksi virtual melibatkan berbagai
strategi dan upaya untuk mencegah serangan cyber dan menangani serangan yang telah
terjadi.

Timbulah pertanyaan, bagaimana penanggulangan cyber terrorism di dunia maya yang bebas
dan tanpa batas? Hadirlah yurisdiksi secara universal yang didefinisikan, sebagai berikut :
jurisdiction of the authority of a state to affect legal interests. Menurut Black’s Law
Dictionary, jurisdiction :

a) The word is a term of large and comprehensive import, and embraces every kind of
judicial action;
b) it is the authority by which courts and judicial officers take cognizance of and decide
cases;
c) the legal right by which judges exercise their authority;
d) it exists when courts has cognizances of class of cases involved, proper parties are
present, and point to be decided is within powers of court;
e) the right of power of a court to adjudicate concerning the subject matter in a given
case.

Menghadapi masalah yurisdiksi di internet , ada pendapat yang menggunakan pendekatan


“minimum contacts”, yang utamanya hal ini digunakan di Amerika Serikat yang
menyatakan23:

“These “minimum contacts” consist of physical presence, financial gain, stream of


commerce, and designation of the forum by contract. This means that even non-
residents who are not physically present in the U.S. can be sued there as long as the
person or entity has minimum contacts with the forum. In era of computer
communication, simple action online may satisfy the minimum contacts analysis.”

Masalah penegakan hukum yang menangani kejahatan online membutuhkan analisis,


pendekatan tertentu dan kemampuan untuk menggabungkan beberapa teori yurisdiksi, yang
disebabkan oleh karakteristik khusus komunitas online, serta informasi. Teknologi yang
mendukung keberadaannya.

Dalam rangka mengatasi masalah ini, pendekatan yang harus diambil adalah kombinasi
antara perlindungan dan deteksi. Perlindungan meliputi memastikan keamanan sistem dan
jaringan, termasuk mengembangkan dan menerapkan teknologi keamanan terbaru. Deteksi
melibatkan penggunaan teknologi canggih seperti sistem pemantauan dan deteksi ancaman,
serta bekerja sama antara institusi keamanan dalam mengidentifikasi dan menghentikan para
pelaku kejahatan cyber terrorism.

Yurisdiksi virtual dan cyber terrorism memiliki hubungan yang erat karena serangan
keamanan cyber dapat melintasi batas negara secara virtual dan sulit untuk ditangkap dan
diadili secara hukum. Yurisdiksi virtual mengacu pada kekuasaan hukum yang dimiliki oleh
negara atau organisasi untuk menegakkan hukum dalam ruang maya atau dunia digital.
Sementara itu, cyber terrorism adalah bentuk kejahatan yang melibatkan penggunaan
teknologi informasi untuk menyebarkan teror dan merusak infrastruktur komputer yang kritis,
baik di tingkat nasional maupun internasional. Serangan cyber terrorism dapat dilakukan dari

23
John W.Yeargain & Zhu Jing, Jurisdiction in Cyberspace : Whose Law Controls?, tersedia pada “jurisdiction in Cyberspace”, Southeastern
Lousiana University.
jarak jauh dan seringkali melintasi batas negara, membuatnya sulit untuk ditangkap dan
diadili secara hukum.

IV. Penutup

Oleh karena itu, penting untuk terus memperkuat keamanan siber dan memonitor aktivitas
kelompok teroris di dunia digital. Pemerintah, perusahaan teknologi, dan organisasi
internasional harus bekerja sama untuk mengembangkan strategi yang efektif untuk
menangani ancaman terorisme di dunia digital. Oleh karena itu, yurisdiksi virtual menjadi
sangat penting dalam memerangi cyber terrorism. Negara-negara harus dapat menegakkan
hukum mereka secara efektif dalam ruang maya dan memastikan bahwa serangan keamanan
cyber dapat dihentikan dan pelaku diadili secara hukum. Secara keseluruhan, yurisdiksi
virtual dan cyber terrorism memiliki hubungan yang sangat penting dan kompleks.
Negara-negara perlu bekerja sama secara aktif dalam mengatasi ancaman keamanan cyber
dan memastikan bahwa kejahatan cyber terrorism diadili secara hukum dan efektif.

Anda mungkin juga menyukai