Disusun oleh :
Kelompok 2
JURUSAN AKUNTANSI
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan banyak nikmat sehingga kami dapat menyusun laporan perevisian UU ITE
ini dengan baik. Laporan ini berisi tentang uraian hasil penelitian mengenai UU ITE .
Laporan ini kami susun secara cepat dengan dukungan kerjasama sesama anggota
kelompok. Dalam penyusunan laporan ini, kami menyadari bahwa hasil laporan praktikum
ini masih jauh dari kata sempurna.
Sehingga kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sekalian. Akhir kata Semoga laporan praktikum ini dapat
memberikan manfaat untuk kelompok kami khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya.
23 Oktober 2021
Penyusun : kelompok 2
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
LATAR BELAKANG
BAB 1
Kontroversi UU ITE dan pasal-pasal yang Terindikasi Bersifat Karet
KAJIAN UU ITE BERMASALAH
1. Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi tidak relevan
2. Pasal 27 ayat 1 tentang Asusila
3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defemasi
4. Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian
5. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan
6. Pasal 36 tentang kerugian
7. Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang
8. Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan Akses
9. Pasal 45 ayata 3 tentang Ancaman Penjara Tindakan Defamasi
YANG HARUS DI HAPUS
KESIMPULAN
ii
LATAR BELAKANG
Demokrasi di Indonesia hingga saat ini belum berjalan dengan baik dan
mempunyai kekurangan yang menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia kedepannya.
Demokrasi yang seharusnya mencakup kondisi sosial ,ekonomi dan budaya kurang
berjalan dengan baik sehingga tidak adanya praktik kebebasan politik yang bebas dan
setara, salah satunya ialah UU ITE.
Era reformasi adalah era yang di idam-idamkan oleh seluruh rakyat Indonesia
wajar saja karena pada rezim orde baru, hak untuk kebebasan berpendapat bisa
dibilang dibatasi bahkan tidak ada sama sekali. Cita-cita reformasi salah satunya ialah
terciptanya negara yang demokratis. Demokrasi merupakan bentuk sistem
pemerintahan yang mewujudkan kedaulatan rakyat atau negara yang dijalankan oleh
pemerintah. Artinya setiap warga negara memiliki hak yang setara dalam
pengambilan keputusan dan kebebasan pers yang menempati ruang yang sebebas-
bebasnya oleh karena itu setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat dan
aspirasinya.
“Karet”
UU ITE atau Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik merupakan Undang-undang yang secara khusus mengatur tindak pidana
siber di Indonesia. Berdasarkan Surat Presiden RI No. R./70/Pres/9/2005 tanggal 5
September 2005, naskah UU ITE secara resmi disampaikan kepada DPR RI kemudian
disahkan tanggal 21 April 2008. Tujuan dari UU ITE :
Berikut pasal karet UU ITE yang perlu direvisi karena multitafsir dan menimbulkan
dampak sosial:
Analisis :
Pasal tersebut dianggap cenderung menghambat hak asasi manusia, terutama terkait
hak atas informasi , hak kebebasan berekspresi dan hak berpendapat. Pasal tersebut
juga menutup ruang bagi publik atau penyelenggara sistem elektronik untuk membela
terhadap apa yang dipublikasikan. Selain itu, "Informasi tidak relevan" di dalam pasal
tersebut tidak memiliki penjelasan atau frasa yang lebih detail dan bisa memberikan
makna informasi apa pun yang ada diruang maya untuk dihapus, maka dari itu pasal
tersebut bisa dikatakan multitafsir.
Analisis :
Analisis :
Akibat muatan yang terlalu luas dan multitafsir serta kerap kali digunakan
untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online. Tidak
jarang juga dalam penerapannya Pasal 27 UU ITE menjauh dari Pasal yang ada di
KUHP 310-311 yang seharusnya hanya dapat diproses dengan aduan dari pihak
korban langsung dan tidak boleh menyerang penghinaan apabila demi kepentingan
umum atau terpaksa membela diri. Selain itu juga, membuat jurnalis terhambat dalam
penerimaan maupun penyampaian informasi yang diakibatkan oleh kurangnya fakta.
Analisis :
Ujaran kebencian mencakup penjelasan yang luas, mulai dari ucapan kasar
terhadap orang lain, ucapan kebencian, hasutan kebencian, perkataan ekstrem sampai
hasutan kebencian yang berujung pada kekerasan.
Ada dua unsur dalam rumusan Pasal 28 Ayat 2 yang mungkin menyebabkan
multitafsir. Pertama, frase “menyebarkan informasi”. Sejauh mana suatu informasi
harus menyebar sehingga dapat dikatakan memenuhi unsur ini? Apakah terbatas pada
penyampaian informasi dalam forum publik yang dapat diakses dan dibaca oleh siapa
pun? Atau termasuk penyampaian informasi dalam forum publik yang aksesnya
dibatasi dengan cara misalnya jika disetel privat? Atau termasuk juga penyampaian
informasi dalam grup chat privat?
Analisis :
Analisis :
Pada pasal 36 ini adalah pasal yang membuat masyarakat terbatas untuk
mengekspresikan pendapatnya diruang lingkup media sosial. Karena pada pasal ini
merajuk pada pasal 27-34 yang dimana pasal ini sebagai pasal pendukung untuk
memberatkan korban menjalani hukuman pidana dan denda. Pasal ini juga sangat
tidak adil karena sanksi dari pasal ini tidak sesuai dengan ketentuan yang ada di nilai-
nilai Pancasila ke 5 dan terlalu memberatkan bagi tersangka pidana.
7. Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang
Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet
shutdown dengan dalih memutus informasi hoax. “Pemerintah wajib melakukan
pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Analisis :
Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet
shutdown dengan dalih memutus informasi hoax. Yang bisa menjadi salah satu
"upaya" pemerintah untuk memutus atau menutup kritik dari masyarakat.
- Ayat (1): “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong,
dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman
penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
Pasal 15 KUHP berbunyi : “Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau
kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-
tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat
menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara
setinggi-tingginya dua tahun.”
Unsur barang siapa yang diatur oleh KUHP adalah setiap orang yang menjadi
subyek hukum yang kepadanya dapat dimintai pertanggung jawaban menurut hukum
atas perbuatan yang dilakukannya. Perlindungan Hukum bagi Masyarakat terhadap
Berita Bohong melalui Penegakan Hukum. Penegakan hukum terhadap berita bohong,
dilakukan oleh Kepolisian RI, dengan membentuk Divisi Cyber Crime, Bareskrim,
Mabes Polri yang juga berkoordinasi dan berkolaborasi dengan beberapa instansi
lainnya. Sebagaimana perkembangan yang terjadi di berbagai belahan dunia di mana
upaya penegakan hukum tidak saja hanya terfokus kepada pengguna media sosial,
perusahaan penyedia aplikasi sosial dianggap mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab khususnya terkait penyebaran berita bohong.
Analisis :
Berlakunya norma pasal ini melanggar due process of law yang benar, karena
negara mengambil alih kewenangan hakim dalam menjatuhkan hukuman. Bukan
melalui proses peradilan yang benar melalui teks norma UU yang diinterpretasikan
secara sepihak oleh pemerintah.
Pasal 40 ayat 2b juga dinilai telah melanggar hak asasi manusia. Serta
berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya Pasal 28D ayat 1 UU 1945.
Norma aquo yang jelas melanggar hak asasi manusia justru menegasikan semangat
negara hukum yang mana elemen terpenting di dalamnya adalah hak asasi manusia.
Pasal 40 ayat (2b) UU ITE belum secara jelas menyebutkan jenis-jenis konten
yang melanggar undang-undang dan jenis bahaya (harmfull) apa yang mengancam.
Selain itu, undang-undang juga belum mengatur prosedur dalam melakukan
pembatasan, termasuk peluang untuk melakukan pengujian terhadap tindakan
pembatasan tersebut (judicial oversight).
Analisis :
Pasal ini menjadi senjata untuk menjebloskan masyarakat ke penjara atas tudingan
pencemaran nama baik dan digunakan untuk hal-hal yang dikaitkan dengan
pembungkaman atas kebebasan berekspresi. Lalu pada pasal ini bermasalah karena
“memperbolehkan penahanan pada saat penyidikan” itu sedikit menjadi kekeliruan
dimana, penahanan harus dilakulan dengan hati hati dan dilatar belakangi oleh
hukum. Pihak kepolisian tidak boleh semena mena melakukan penahanan tanpa bukti
yang kuat karena tersangka juga memiliki hak.
Harus dihapus
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Jakarta, LBH Pers, YLBHI, ICJR,
SAFENet, dan para aktivis lainnya dalam keterangan tertulis yang diterima
hukumonline menyatakan pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi
dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Sebab hal ini menyebabkan banyaknya
pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal
duplikasi dalam UU ITE.
Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur “melanggar kesusilaan”.
Pasal ini seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam
Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten
melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan
untuk publik.
“Bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas. Selama ini Pasal 27
ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan
diterapkan berbasis diskriminasi gender,” ujar koalisi.
Selain itu Pasal 27 ayat (3) juga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan
berekspresi dan berpendapat di ruang online. Meskipun dalam penjelasan telah
dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311, namun dalam praktik seringkali diabaikan sebab
unsur “penghinaan” masih terdapat di dalam pasal. Pasal ini seharusnya dirumuskan
dengan sangat jelas.
Secara jelas sebagaimana sudah tercantum pada pasal tersebut bahwa bukan
hanya kebebasan berpendapat dimuka umum saja yang telat dijamin dalam hukum
positif namun kebebasan berpendapat diruang digital yang dalam hal ini dilakukan
secara baik atau lisan baik berupa tulisan maupun elektronik sudah mempunyai
instrument hukumnya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA