Anda di halaman 1dari 17

KAJIAN MENGENAI PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERMASALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendididikan Pancasila

Dosen Pengampu : Dr. Sumiyati, S.H.,SPI

Disusun oleh :

Kelompok 2

1. Ilham Dermawan Dwiyantara 215134044

2. Listy Alfianty 215134048

3. Melisa Marseliana 215134050

4. Mia Nur Rizky 215134053

5. Rianti Suhaemi 215134060

PROGRAM STUDI D-IV AKUNTANSI MANAJEMEN PEMERINTAHAN

JURUSAN AKUNTANSI

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG


Tahun 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan banyak nikmat sehingga kami dapat menyusun laporan perevisian UU ITE
ini dengan baik. Laporan ini berisi tentang uraian hasil penelitian mengenai UU ITE .

Laporan ini kami susun secara cepat dengan dukungan kerjasama sesama anggota
kelompok. Dalam penyusunan laporan ini, kami menyadari bahwa hasil laporan praktikum
ini masih jauh dari kata sempurna.

Sehingga kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sekalian. Akhir kata Semoga laporan praktikum ini dapat
memberikan manfaat untuk kelompok kami khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya.

23 Oktober 2021

Penyusun : kelompok 2

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
LATAR BELAKANG
BAB 1
Kontroversi UU ITE dan pasal-pasal yang Terindikasi Bersifat Karet
KAJIAN UU ITE BERMASALAH
1. Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi tidak relevan
2. Pasal 27 ayat 1 tentang Asusila
3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defemasi
4. Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian
5. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan
6. Pasal 36 tentang kerugian
7. Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang
8. Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan Akses
9. Pasal 45 ayata 3 tentang Ancaman Penjara Tindakan Defamasi
YANG HARUS DI HAPUS
KESIMPULAN

ii
LATAR BELAKANG

Demokrasi di Indonesia hingga saat ini belum berjalan dengan baik dan
mempunyai kekurangan yang menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia kedepannya.
Demokrasi yang seharusnya mencakup kondisi sosial ,ekonomi dan budaya kurang
berjalan dengan baik sehingga tidak adanya praktik kebebasan politik yang bebas dan
setara, salah satunya ialah UU ITE.

Pasca kemerdekaan tanggal 17 Agustus tahun 1945, Indonesia telah


mengalami berbagai proses dan rintangan untuk menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang utuh dan merupakan cita-cita para leluhur dan pendiri bangsa ini.
Kurang lebih 76 tahun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka banyak sistem
pemerintahan yang diterapkan oleh penguasa terdahulu, setelah rezim orde baru
tumbang tepatnya tahun 1998 mulai lah era reformasi hingga saat ini.

Era reformasi adalah era yang di idam-idamkan oleh seluruh rakyat Indonesia
wajar saja karena pada rezim orde baru, hak untuk kebebasan berpendapat bisa
dibilang dibatasi bahkan tidak ada sama sekali. Cita-cita reformasi salah satunya ialah
terciptanya negara yang demokratis. Demokrasi merupakan bentuk sistem
pemerintahan yang mewujudkan kedaulatan rakyat atau negara yang dijalankan oleh
pemerintah. Artinya setiap warga negara memiliki hak yang setara dalam
pengambilan keputusan dan kebebasan pers yang menempati ruang yang sebebas-
bebasnya oleh karena itu setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat dan
aspirasinya.

UU ITE adalah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang


mengatur mengenai tekonologi informasi secara umum. Undang Undang ini
mencangkup siapapun yang terlibat dalam penggunaan teknologi informasi baik
sebagai pengguna, maupun pengembang. Sejak diresmikan, UU ITE atau UU No. 11
Tahun 2008 tentang defarmasi menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bahkan
para pengamat mengungkapkan Pasal Pasal yang terdapat pada UU ITE.
BAB 1

Kontroversi UU ITE dan Pasal-Pasal yang Terindikasi


Bersifat

“Karet”

UU ITE atau Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik merupakan Undang-undang yang secara khusus mengatur tindak pidana
siber di Indonesia. Berdasarkan Surat Presiden RI No. R./70/Pres/9/2005 tanggal 5
September 2005, naskah UU ITE secara resmi disampaikan kepada DPR RI kemudian
disahkan tanggal 21 April 2008. Tujuan dari UU ITE :

1. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi


dunia
2. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
3. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik
4. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan
pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi
Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab
5. Memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara Teknologi Informasi.

UU ITE dirumuskan bertujuan untuk melindungi hak pengguna internet dan


menjaga stabilitas arus internet dari hal-hal yang dapat merusak. Apabila melihat
subtansi mengenai UU ITE secara garis besar, tujuan ini dapat jelas terlihat. Tetapi, di
dalam berbagai kajian yang membahas mengenai UU ITE ditemukan kejanggalan-
kejanggalan dalam UU ITE tersebut. Hal tersebut membuat pemerintah dan DPR
untuk menyepakati revisi terhadap UU ITE pada tanggal 27 Oktober 2016, yakni
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Setelah direvisi, UU ITE masih menuai kritik dari berbagai pihak bahkan subtansi
yang baru ditambahkan pada UU ITE turut pula dikritisi. Dalam sebuah kicauan,
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safanet), Damar
Juniarto memberikan pendapatanya mengenai UU ITE bahkan beliau menyebutkan
ada 9 Pasal bermasalah atau Pasal karet di dalam UU ITE tersebut, yaitu:

1. Pasal 26 ayat 3 tentang Penghapusan Informasi yang Tidak Relevan


2. Pasal 27 ayat 1 tentang Asusila
3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi
4. Pasal 28 ayat 2 tentang Ujaran Kebencian
5. Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan
6. Pasal 36 tentang Kerugian
7. Pasal 40 ayat 2a tentang Muatan Konten yang Dilarang
8. Pasal 40 ayat 2b tentang Pemutusan Akses
9. Pasal 45 ayat 3 tentang Ancaman Penjara dari Tindakan Defamasi

Setelah UU ITE direvisi pun masih berpotensi untuk mengancam kebebasan


warga negara untuk berekspresi karena didalam revisi UU ITE hanya ada revisi
mengenai penurunan ancaman pidana, tanpa mengahapusnya. Selain itu, banyak
ketentuan-ketentuan ini yang multitafsir, sehingga sangat mudah untuk
disalahgunakan. Setelah disahkan menjadi Undang-Undang, UU ITE seringkali
menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bahkan beberapa Pasal tersebut sering
dijuluki sebagai “Pasal Karet”, karena di dalam kehidupan negara yang demokratis ini
Pasal tersebut dianggap membatasi kebebasan ruang berekspresi baik warga negara,
aktivis maupun jurnalis. Selain itu, butir Pasal ini juga sering digunakan sebagai
tuntutan apabila ada kritik terhadap pemerintah yang disuarakan melalui media sosial.
KAJIAN PASAL UU ITE YANG BERMASALAH

Berikut pasal karet UU ITE yang perlu direvisi karena multitafsir dan menimbulkan
dampak sosial:

1. Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan


Pasal ini bermasalah soal sensor informasi. “Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik
wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak
relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan
berdasarkan penetapan pengadilan”.

Analisis :

Pasal tersebut dianggap cenderung menghambat hak asasi manusia, terutama terkait
hak atas informasi , hak kebebasan berekspresi dan hak berpendapat. Pasal tersebut
juga menutup ruang bagi publik atau penyelenggara sistem elektronik untuk membela
terhadap apa yang dipublikasikan. Selain itu, "Informasi tidak relevan" di dalam pasal
tersebut tidak memiliki penjelasan atau frasa yang lebih detail dan bisa memberikan
makna informasi apa pun yang ada diruang maya untuk dihapus, maka dari itu pasal
tersebut bisa dikatakan multitafsir.

2. Pasal 27 Ayat 1 tentang Asusila


Pasal ini rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender
online. “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Penjelasan : Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau


menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak
Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik; Yang dimaksud dengan
“mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik; Yang
dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain
mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau
publik.

Analisis :

Pasal tersebut dianggap cenderung penyalahgunaan teknologi dalam bidang


informasi, dan selama ini banyak orang yang merasa rancu karena informasinya tidak
relevan dalam Pasal 27 ayat 1 UU ITE tersebut tidak memiliki penjelasan atau frasa
yang lebih detail . Selain itu, unsur kesusilaan dalam UU ITE juga tak jelas merujuk
pada bagian mana dalam KUHP nilai kesusilaan juga harus disesuaikan dengan
konteks, tergantung pada tempat terjadinya perbuatan itu. Sedangkan dalam Pasal 27
ayat 1 UU ITE tidak ada batasannya karena konteksnya semua yang disebarkan di
internet. Orang yang tidak menghendaki ataupun menghendaki bisa melihat atau
mengaksesnya. Selain itu ada beberapa kata dalam pasal itu akan berdampak pada
penerapan yang serampangan. Misalnya kata 'mendistribusikan, mentransmisikan,
membuat dapat diakses, ketiga kata itu tidak memberikan batasan untuk tidak
menyerang ranah privat, serta tidak membatasi pelaku untuk tidak menjerat korban.

3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi


Rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan
represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden.

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau


mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik”.

Analisis :

Akibat muatan yang terlalu luas dan multitafsir serta kerap kali digunakan
untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online.  Tidak
jarang juga dalam penerapannya Pasal 27 UU ITE menjauh dari Pasal yang ada di
KUHP 310-311 yang seharusnya hanya dapat diproses dengan aduan dari pihak
korban langsung dan tidak boleh menyerang penghinaan apabila demi kepentingan
umum atau terpaksa membela diri. Selain itu juga, membuat jurnalis terhambat dalam
penerimaan maupun penyampaian informasi yang diakibatkan oleh kurangnya fakta.

Komentar umum PBB No. 34 juga merekomendasikan dihapusnya pidana


defamasi, jika tidak memungkinkan aplikasi diperbolehkan hanya untuk kasus paling
serius dengan ancaman bukan pidana penjara. Selain itu, pidana penghinaan pun tidak
lagi relevan dalam banyak aspek menggunakan hukum pidana.

4. Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian


Rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden,
polisi, atau pemerintah. “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA)”.

Analisis :

Ujaran kebencian mencakup penjelasan yang luas, mulai dari ucapan kasar
terhadap orang lain, ucapan kebencian, hasutan kebencian, perkataan ekstrem sampai
hasutan kebencian yang berujung pada kekerasan.

Ada dua unsur dalam rumusan Pasal 28 Ayat 2 yang mungkin menyebabkan
multitafsir. Pertama, frase “menyebarkan informasi”. Sejauh mana suatu informasi
harus menyebar sehingga dapat dikatakan memenuhi unsur ini? Apakah terbatas pada
penyampaian informasi dalam forum publik yang dapat diakses dan dibaca oleh siapa
pun? Atau termasuk penyampaian informasi dalam forum publik yang aksesnya
dibatasi dengan cara misalnya jika disetel privat? Atau termasuk juga penyampaian
informasi dalam grup chat privat?

Kedua, standar “rasa kebencian”. Menurut Robert Post, profesor hukum di


Yale Law School, Amerika Serikat (AS), dalam buku Extreme Speech and
Democracy, suatu ucapan harus memenuhi standar intensitas tertentu agar dapat
dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian yang dapat dipidana. Dengan kata lain,
tidak semua ujaran kebencian dapat dipidana. Dalam rumusan Pasal 28 Ayat 2, unsur
“rasa kebencian” tidak dijelaskan ukurannya. Ini berpotensi menyamaratakan semua
jenis ucapan kebencian tanpa melihat intensitasnya.
5. Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan
Rentan dipakai untuk mempidana orang yang mau melapor ke polisi. “Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi”.

Analisis :

Seperti yang kita ketahui bahwa banyak masyarakat telah menggunakan


berbagai sosial media untuk saling berbagi informasi dalam berbagai hal. Dalam
penerapan Pasal 29 tersebut , dapat membatasi ruang gerak hak masyarakat dalam
penggunaan teknologi/sosial media seperti contohnya (wa,instagram,facebook,twitter
dll) dan dalam kalimat "menakut nakuti" itu tidak dijelaskan secara spesifik sehingga
akan menimbulkan perbedaan pandangan masyarakat. Juga dengan pasal 29 tersebut
dapat mempermudah masyarakat untuk dipidana.

6. Pasal 36 tentang Kerugian


Rentan dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi. “Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang
mengakibatkan kerugian bagi Orang lain”. 

Analisis :

Pada pasal 36 ini adalah pasal yang membuat masyarakat terbatas untuk
mengekspresikan pendapatnya diruang lingkup media sosial. Karena pada pasal ini
merajuk pada pasal 27-34 yang dimana pasal ini sebagai pasal pendukung untuk
memberatkan korban menjalani hukuman pidana dan denda. Pasal ini juga sangat
tidak adil karena sanksi dari pasal ini tidak sesuai dengan ketentuan yang ada di nilai-
nilai Pancasila ke 5 dan terlalu memberatkan bagi tersangka pidana.
7. Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang
Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet
shutdown dengan dalih memutus informasi hoax. “Pemerintah wajib melakukan
pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.

Analisis :

Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet
shutdown dengan dalih memutus informasi hoax. Yang bisa menjadi salah satu
"upaya" pemerintah untuk memutus atau menutup kritik dari masyarakat.

Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana


atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), telah
mengatur perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong Pasal 14 KUHP
berbunyi :

- Ayat (1): “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong,
dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman
penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”

- Ayat (2) “Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan


pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia
patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong,
dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.”

Pasal 15 KUHP berbunyi : “Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau
kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-
tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat
menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara
setinggi-tingginya dua tahun.”

Unsur barang siapa yang diatur oleh KUHP adalah setiap orang yang menjadi
subyek hukum yang kepadanya dapat dimintai pertanggung jawaban menurut hukum
atas perbuatan yang dilakukannya. Perlindungan Hukum bagi Masyarakat terhadap
Berita Bohong melalui Penegakan Hukum. Penegakan hukum terhadap berita bohong,
dilakukan oleh Kepolisian RI, dengan membentuk Divisi Cyber Crime, Bareskrim,
Mabes Polri yang juga berkoordinasi dan berkolaborasi dengan beberapa instansi
lainnya. Sebagaimana perkembangan yang terjadi di berbagai belahan dunia di mana
upaya penegakan hukum tidak saja hanya terfokus kepada pengguna media sosial,
perusahaan penyedia aplikasi sosial dianggap mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab khususnya terkait penyebaran berita bohong.

8. Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang Pemutusan Akses


Pasal ini bermasalah karena penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari
putusan pengadilan. “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau
memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan
pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar hukum”.

Analisis :

Pasal 40 ayat 2b UU ITE ini memberikan kewenangan pemerintah menilai


secara sepihak. Dimana suatu informasi atau dokumen elektronik memiliki muatan
yang melanggar hukum atau tidak dan memutusnya tanpa proses peradilan.

Berlakunya norma pasal ini melanggar due process of law yang benar, karena
negara mengambil alih kewenangan hakim dalam menjatuhkan hukuman. Bukan
melalui proses peradilan yang benar melalui teks norma UU yang diinterpretasikan
secara sepihak oleh pemerintah.

Pasal 40 ayat 2b juga dinilai telah melanggar hak asasi manusia. Serta
berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya Pasal 28D ayat 1 UU 1945.
Norma aquo yang jelas melanggar hak asasi manusia justru menegasikan semangat
negara hukum yang mana elemen terpenting di dalamnya adalah hak asasi manusia.

Pasal 40 ayat (2b) UU ITE belum secara jelas menyebutkan jenis-jenis konten
yang melanggar undang-undang dan jenis bahaya (harmfull) apa yang mengancam.
Selain itu, undang-undang juga belum mengatur prosedur dalam melakukan
pembatasan, termasuk peluang untuk melakukan pengujian terhadap tindakan
pembatasan tersebut (judicial oversight).

9. Pasal 45 Ayat 3 tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi


Pasal ini bermasalah karena dibolehkan penahanan saat penyidikan. “Setiap Orang
yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah)”.

Analisis :

Pasal ini menjadi senjata untuk menjebloskan masyarakat ke penjara atas tudingan
pencemaran nama baik dan digunakan untuk hal-hal yang dikaitkan dengan
pembungkaman atas kebebasan berekspresi. Lalu pada pasal ini bermasalah karena
“memperbolehkan penahanan pada saat penyidikan” itu sedikit menjadi kekeliruan
dimana, penahanan harus dilakulan dengan hati hati dan dilatar belakangi oleh
hukum. Pihak kepolisian tidak boleh semena mena melakukan penahanan tanpa bukti
yang kuat karena tersangka juga memiliki hak.
Harus dihapus

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Jakarta, LBH Pers, YLBHI, ICJR,
SAFENet, dan para aktivis lainnya dalam keterangan tertulis yang diterima
hukumonline menyatakan pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi
dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Sebab hal ini menyebabkan banyaknya
pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal
duplikasi dalam UU ITE.

Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur “melanggar kesusilaan”.
Pasal ini seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam
Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten
melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan
untuk publik.

“Bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas. Selama ini Pasal 27
ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan
diterapkan berbasis diskriminasi gender,” ujar koalisi.

Selain itu Pasal 27 ayat (3) juga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan
berekspresi dan berpendapat di ruang online. Meskipun dalam penjelasan telah
dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311, namun dalam praktik seringkali diabaikan sebab
unsur “penghinaan” masih terdapat di dalam pasal. Pasal ini seharusnya dirumuskan
dengan sangat jelas.

Komentar umum PBB No. 34 merekomendasikan dihapusnya pidana defamasi, jika


tidak memungkinkan aplikasi diperbolehkan hanya untuk kasus paling serius dengan
ancaman bukan pidana penjara. Selain itu, pidana penghinaan pun tidak lagi relevan
dalam banyak aspek menggunakan hukum pidana, aparat sudah mulai harus
mengarahkan delik penghinaan ke ranah perdata yang memang sudah diakomodir
misalnya dalam 1372 KUHPerdata (BW).
KESIMPULAN

Implementasi pasal UU ITE ini memberikan dampak pada Demokrasi


Indonesia. UU ITE lahir untuk melindungi masyarakat Indonesia dari kejahatan
curian data di internet. Namun, UU ITE ini justru menjadi senjata untuk menjebloskan
masyarakat ke penjara atas tudingan pencemaran nama baik dan digunakan untuk hal-
hal yang dikaitkan dengan pembungkaman atas kebebasan berekspresi.

UU ITE ini bertolak belakang dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39


Tahun 1999 Tentang HAM yang berisi "Setiap orang bebas untuk mempunyai,
mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan
dan tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan seksama memperhatikan
nilai agama, kesusilaan ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa."

Secara jelas sebagaimana sudah tercantum pada pasal tersebut bahwa bukan
hanya kebebasan berpendapat dimuka umum saja yang telat dijamin dalam hukum
positif namun kebebasan berpendapat diruang digital yang dalam hal ini dilakukan
secara baik atau lisan baik berupa tulisan maupun elektronik sudah mempunyai
instrument hukumnya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Pasal 27 ayat 1 : https://m.merdeka.com/peristiwa/icjr-soroti-pasal-uu-ite-tentang-


melanggar-kesusilaan.html
Pasal 29 : https://theconversation.com/apakah-semua-ujaran-kebencian-perlu-
dipidana-catatan-untuk-revisi-uu-ite-156132
Pasal 40 ayat 2a : https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=992
Pasal 40 ayat 2b : https://elsam.or.id/amicus-curiae-dalam-uji-materi-pasal-40-ayat-
2b-uu-ite-di-mahkamah-konstitusi/

Anda mungkin juga menyukai