Perkembangan bidang teknologi informasi dan komunikasi yang kompleks dan dinamis
memberikan pengaruh besar bagi kelanjutan interaksi sosial dan hukum di masyarakat. Hal
tersebut memunculkan adanya perubahan kegiatan kehidupan manusia di berbagai bidang yang
secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru yang
berkaitan dengan teknologi informasi. Sehingga menjadi urgensi Pemerintah Indonesia
menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) sebagai payung hukum bagi masyarakat dalam menggunakan teknologi dan transaksi
secara elektronik.
Prof Bagir Manan dalam “Diskusi Publik UU ITE : Penghinaan/Pencemaran Nama Baik
Menurut KUHP, UU ITE RKUHP”, terdapat beberapa catatan terkait penerapan UU ITE 1 :
Namun, hemat penulis terdapat dua pandangan terhadap UU ITE, yang mana pertama, UU
ITE sebagai produk hukum sejatinya memiliki tujuan baik yakni untuk melindungi aktivitas pada
Informasi dan Transaksi Elektronik. Kedua, penerapan dan law enforcement UU ITE di masyarakat.
Realitasnya, beberapa pasal UU ITE ini dapat dikatakan sebagai ambiguous rules, sebab
memberikan persoalan penafsiran hukum yang tidak tepat dan menimbulkan multitafsir
(ketidakpastian hukum), hingga pasal-pasal karet.
1
Rofiq Hidayat. “Pandangan 3 Pakar Hukum Terkait Penerapan UU ITE”,(diakses pada 10 April 2021, pukul 19.15)
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt6054a172e5081/pandangan-3-pakar-hukum-terkait-penerapan-uu-ite
Secara sosiologis, terdapat pergeseran tujuan utama dari kerangka UU ITE. Tidak dapat
ditampik, bahwa dalam law enforcement UU ITE terdapat pengaruh kepentingan politik dan moral
yang memberikan konsekuensi negatif. UU ITE digunakan sebagai ajang kriminalisasi, alat politik
dan moral, bahkan alat shock terapy yang memberikan chilling effect2 kepada para korban.
Konsekuensi – konsekuensi tersebut dapat diminimalisir apabila para pembuat kebijakan
meluruskan ambigious rules UU ITE tersebut. Namun, faktanya para kebijakan memilih untuk
memberlakukan pasal tersebut dibandingkan konsekuensi negatif yang ditimbulkan (Unintended
but not unanticipated consequences).
Frank de Zwart dalam bukunya “Unintended but not unanticipated consequences," Theory
and Society” mengatakan bahwa pembuat peraturan memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk
melihat konsekuensi negatif dari sebuah kebijakan 3. Karena itulah, sebuah ‘unintended but not
unanticipated consequences’ sebenarnya sangat dipengaruhi oleh aspek politik ataupun moral yang
ada pada masa penyusunan peraturan atau pemilihan sebuah kebijakan.
Kasus pencemaran nama baik yang penulis jelaskan yakni kasus M. Reza alias Epong Reza
selaku jurnalis media online mediarealitas.com, telah didakwa melakukan dugaan pencemaran
nama baik dan penyebaran berita bohong sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal
27 ayat (3). Kasus tersebut bermula ketika liputan yang dibuat oleh Epong pada mediarealitas.com
tertanggal 25 Agustus 2018 yang berjudul “Merasa Kebal Hukum Adik Bupati Bireuen Diduga Terus
Gunakan Minyak Subsidi Untuk Perusahaan Raksasa”. Dalam berita tersebut, Epong selaku jurnalis
mencoba mengangkat persoalan terkait dugaan pada adik Bupati Bireuen yang menggunakan BBM
bersubsidi untuk kepentingan perusahaannya. Selanjutnya, terdakwa mendistribusikan tautan link
berita tersebut dengan memposting melalui akun facebook miliknya dengan nama Epong Reza,
tanpa tambahan kalimat pendapat.
Postingan terdakwa telah diketahui banyak orang, saksi H. Mukhlis, A.Md Bin Cut Hasan
adalah Adik Bupati Bireuen merasa sangat malu, terhina, dan tercemar nama baiknya selaku
Direktur Utama Perusahaan PT Takabeya Perkasa Group. Dalam Surat Dakwaan, Jaksa Penuntut
2
Tobias, dkk. “Unintended Consequences: Dampak Sosial dan Poliltik UU Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) 2008”. CSIS Working Paper Series, 2018, hal.20.
3
Frank de Zwart, "Unintended but not unanticipated consequences," Theory and Society, Vol. 44(3) (2015), pp.
286-287.
4
Thr/td. “Asrul, Jurnalis Palopo Dijerat UU ITE: Ditahan 36 Hari”, (Diakses pada 10 April 2021 , puku 20.20)
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210324120853-12-621439/asrul-jurnalis-palopo-dijerat-uu-ite-ditahan-
36-hari/1
Umum memberikan dakwaan kesatu yaitu Pasal 45 Ayat (3) Jo Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dan pada
dakwaan kedua yakni Pasal 45A Ayat (1) Jo Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Dalam surat tuntutan, Jaksa Penuntut Umum menuntut Saudara M. Reza alias
Epong Bin mukhtar bersalah melakukan tindak pidana “ Dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11Tahun
2008 tentang Informasi dan Elektronik. Dalam surat Dakwaan Penuntut Umum menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap berada dalam tahanan. Hakim
dalam putusannya memutus terdakwa dengan dakwaan alternative kesatu, yaitu Pasal 45 ayat (3)
Jo Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan menjatuhkan pidana
terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun.
Hemat penulis, sebuah berita yang diunggah atau disajikan didalamnya tidaklah harus
kebenaran absolut. Sebab, suatu berita dimungkinkan baru bersifat samar namun diungkap oleh
pers dengan tujuan mencari berita yang benar demi kepentingan umum, pers sendiri pun memiliki
fungsi sebagai kontrol sosial dalam masyarakat. Berita atau judul yang diunggah seringkali
membuat para pihak merasa tersinggung atau dirugikan atas pemberitaan yang menyebutkan
nama para pihak tersebut, bahkan tak segan untuk melaporkan pencemaran nama baik. Menyikapi
kasus M. Reza, penulis menilai adanya perbedaan tafsiran dalam memaknai unsur di dalam pasal
terkait yang berakibat pada ketidakadilan. Dalam hal ini, penulis menilai bahwa;
1. Reza berprofesi sebagai jurnalis yang notabennya adalah bekerja atas kepentingan public,
tidak ada niat tersendiri selain atas profesionalisme dalam bekerja. Artinya, sebagai jurnalis
Reza menjalankan tugas untuk mengungkap dugaan melalui artikel pemberitaan yang telah
sesuai dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers). Mengacu pada UU tersebut, maka Reza seharusnya dilindungi dan
dinilai sedang “memiliki hak” dan “tidak melawan hukum”, karena dalam hal ini pers sedang
menjalankan tugas Undang-Undang.
Ditinjau secara hukum, pers dan masyarakat memiliki kaitan erat yang menimbulkan interaksi
antara pers sebagai lembaga dengan masyarakat sebagai konsumennya. Pers adalah lembaga sosial
yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, mengolah, menyampaikan
informasi baik (tulisan, gambar, data, dan bentuk lainnya) dengan menggunakan media cetak,
media eletronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Pun, dalam kasus ini tindakan Asrul telah
dinyatakan oleh Dewan Pers melalui surat nomor 187/DP-K/III/2020 sebagai produk jurnalistik
dan karenanya dilindungi oleh UU Pers. Bahkan Damar regional coordinator dari Southeast Asia
Freedom Network (SAFENET) menilai kasus ini seharusnya diselesaikan melalui mekanisme
sengketa pers sesuai dengan Pasal 1,5,11, dan 15 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kuasa hukum Asrul, Muhammad Arsyad mengatakan keluarga terdakwa pun tertekan atas
kondisi yang dialami jurnalis terseut. Bahkan, sambungnya, setelah berbulan-bulan tak bisa bekerja
karena kasus ini pernikahannya pun di ambang perceraian. Ia digugat cerai istrinya karena
dianggap tak mampu menafkahi keluarga. Asrul tak bisa bekerja delapan bulan setelah penahannya
ditangguhkan pada Maret 2020. Damar menuturkan selama 8 bulan sejak ditangguhkan
penahanannya di Rutan Mapolda, Asrul dilarang untuk menulis berita dan pakai medsos. Akibatnya,
ia tidak bisa mencari nafkah untuk keluarganya, sehingga pernikahannya di ambang perceraian.
Pers adalah wujud dari demokrasi. Ketika terdapat pihak yang keberatan terhadap produk
atau karya jurnalistik maka akan semakin mudah mengkriminalisasi jurnalis dengan UU ITE dan
tentunya akan merugikan public. Ketika pers saja diancam dengan UU atas berita kritisnya, berarti
sebenarnya public juga terancam untuk mendapatkan informasi actual melalui media. Sebab,
demokrasi yang sehat pun membutuhkan media independen yang turut mengawasi suatu kondisi,
malpraktik, dan penyalur informasi dan konfirmasi bagi masyarakat.
Dalam konteks UU ITE, rekomendasi kebijakan ini menimbang bahwa salah satu alasan dari
adanya hukum adalah kegunaannya, yang, jika dirumuskan dan diimplementasikan secara baik,
dapat mendukung terciptanya keteraturan sosial dan tata pemerintahan yang baik. 5 Untuk
menjamin bahwa hukum dapat memberi pelindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat, perlu
adanya kejelasan dari aturan hukum tersebut. Terlepas dari tujuan UU ITE, dalam pandangan
penulis implementasi UU ITE masih menjadi problematik. Dengan demikian, memunculkan urgensi
sejauh mana semestinya batas definisi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE sehingga masyarakat
tidak menginterpretasikannya sendiri. Urgensi ini memunculkan langkah baik bagi pemerintah dan
para pembuat kebijakan untuk meluruskan bagaimana definisi dan batasan terkait ‘ujaran
kebencian’, ‘kritik’, ‘menyebarkan kebohongan’, dan interpretasi dalam pasal-pasal lainnya
5
Jeremy Bentham, Introduction to the Principles of Morals and Legislation, (Oxford: Clarendon Press, 1789).