ITE
M keisar, Fauzan Khalid, Dera Pramudia
Di era digitalisasi sekarang ini maraknya kritik terhadap pemerintah yang semakin
masif di media massa dan sosial media, bahkan pemerintah sendiri pun menuntut masyarakat
untuk lebih aktif lagi dalam memberikan kritik kepada pemerintah dalam rangka
meningkatkan kinerja dan memperbaiki pelayanan publik kepada masyarakat. Kebebasan
berpendapat telah lama diatur dalam perundang-undangan baik yang tertuang pada hukum
internasional Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945 maupun peraturan lainnya. Kebebasan mengeluarkan pendapat
ini merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling mendasar, dimana mencakup
kebebasan berpendapat secara lisan maupun tulisan. Sebelumnya, kebebasan ini hanya
terbatas melalui media massa seperti televisi, radio, koran, ataupun melalui demonstrasi dan
sebagainya. Namun dengan berkembangnya teknologi dan makin maraknya media sosial
yang bermunculan di internet, maka ruang untuk berpendapat makin terbuka luas. Sejak
dahulu pemerintah sudah memberikan ruang untuk masyarakat dalam menyampaikan kritik
dengan cara yang beragam. Dalam hal ini, masih banyak dari pihak pemerintah yang belum
bisa menerima kritik dari masyarakat. Seperti pada kasus terbaru ini yang menimpa seorang
pemuda laki-laki asal Lampung yang telah mengkritik pemerintah daerahnya melalui
unggahan video di sosial media. Dalam unggahan video tersebut, ia menjelaskan serta
memberikan fakta terkait kondisi di daerahnya yang memang disetujui pula oleh banyak
pihak. Cara pemuda tersebut dalam menyampaikan kritik memang cenderung keras dan
berani, namun hal ini menuai polemik karena kritik tersebut dianggap menghina aparat
penegak hukum sehingga menimbulkan banyak pro dan kontra.
Regulations
Encyclopedia
- Surat Keputusan Bersama (SKB) adalah surat yang ditandatangani oleh Menteri
Komunikasi dan Informatika RI, Kapolri, dan Jaksa Agung guna menjadi pedoman
kriteria dalam mengimplementasikan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
agar dalam penegakannya tidak menimbulkan multitafsir dan dapat menjamin
terwujudnya rasa keadilan masyarakat.
Analysis
Belakangan ini sosial media sedang diramaikan dengan kritik yang disampaikan oleh
Bima Yudho yang mengkritik Provinsi Lampung dengan unggahan video yang diunggah
olehnya melalui kanal media Tik Tok. Bima Yudho sendiri merupakan seorang konten kreator
yang berasal dari Kabupaten Lampung Timur yang dilaporkan ke Kepolisian Daerah
Lampung setelah video kritiknya terhadap Pemerintah Provinsi Lampung menjadi viral.
Seorang Pengacara Gubernur Lampung yang bernama Gindha Ansori melaporkan Bima
dengan Pasal 28 Ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE mengenai ujaran kebencian melalui
elektronik.
Dalam Surat Keputusan Bersama yang telah ditandatangani oleh Menteri Komunikasi
dan Informatika Republik Indonesia, Kapolri, dan Jaksa Agung mengenai pedoman Kriteria
implementasi UU ITE ini menjelaskan bahwa dalam Pasal 28 ayat 2 bagian A dalam SKB
Pedoman Implementasi UU ITE delik utamanya adalah perbuatan menyebarkan informasi
yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok
masyarakat berdasarkan Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA). Namun, perbuatan yang
dilarang dalam Pasal 28 ayat 2 bagian D dalam SKB Pedoman Implementasi UU ITE ini
motifnya membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA. Aparat
Penegak Hukum harus membuktikan motif membangkitkan yang ditandai dengan adanya
konten mengajak, mempengaruhi, menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba
dengan tujuan menimbulkan kebencian, dan/atau permusuhan. Hal tersebut dibuktikan
setelah menggelar hasil perkara, penyidik menyimpulkan bahwa tidak ditemukannya
unsur-unsur tindak pidana dalam kasus Bima seperti yang telah dilaporkan, sehingga polisi
pun menghentikan pemrosesan kasus dan mencabut laporan tersebut dikarenakan tidak
terbukti adanya unsur tindak pidana di dalamnya. Oleh sebab itu, laporan polisi yang dicabut
itu mendukung bahwa pedoman SKB ini menetapkan pendapat atau kritik tersebut tidak
mengandung unsur pidana. Hal itu tidak lepas dari adanya “pasal karet” terutama pada pasal
27 ayat (3) tentang pendistribusian muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
Penafsiran pasal ini banyak dipergunakan orang untuk menjerat seseorang yang dianggap
melakukan pencemaran nama baik. Hadirnya SKB ini menjadi pedoman penegakkan
hukum. Pengimplementasian UU ITE Pasal 27 ayat (3) poin (l) yang mengatur tentang
muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. adanya pertimbangan Mahkamah
Konstitusi Nomor 50/ PUU-VI/2008 tahun 2008 dapat disimpulkan bukanlah sebuah delik
yang melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE jika muatan atau konten yang ditransmisikan,
didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah penghinaan yang
kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas. Jika hal tersebut adalah berupa
penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan, maka bukan delik yang berkaitan
dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal
27 ayat (3) UU ITE. Sepatutnya Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dimungkinkan diterapkan
terhadap organisasi atau institusi. Orang tersebut haruslah pribadi kodrati (naturlijk persoon)
bukan pribadi hukum (rechts persoon). Pribadi hukum tidak mungkin memiliki perasaan
terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi hukum.
Conclusion