Anda di halaman 1dari 17

IMPLEMENTASI PEDOMAN PELAKSANAAN PENANGANAN UU ITE

BERDASARKAN PENDEKATAN POLICY IMPLEMENTATION PROCESS VAN


METER DAN VAN HORN.

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Implementasi Kebijakan Publik Pada Program
Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Septiani Putri Wijaya


170110190002

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
JATINANGOR
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia teknologi menjadikan perubahan prilaku manusia dan kondisi
global tidak dapat dibendung. Dengan adanya perkembangan tersebut kini dunia semakin
menjadi terhubung bahkan tanpa batas yang juga berefek pada perubahan kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat dengan sangat cepat. Tentunya perkembangan teknologi ini dapat
membawa manfaat bagi negara dan masyarakat namun di sisi lain teknologi juga dapat
membawa permasalahan. Teknologi ibarat pedang bermata dua yang menimbulkan dampak
positif dan dampak negatif. Untuk mengantisipasi adanya dampak negatif dari penggunaan
teknologi maka diperlukan suatu pengaturan yang mengatur tentang penggunaan teknologi ini.
Untuk menjawab tuntutan zaman tersebut, maka munculah rezim hukum baru yang dinamakan
hukum siber (cyber law) yang mengatur tentang segala hal terkait teknologi, informasi dan
komunikasi. Tentunya rezim hukum baru ini ditujukan untuk menjamin tingkat keamanan dan
kepastian hukum dalam penggunaan teknologi informasi.
Dalam konteks Indonesia, rezim hukum siber ini semakin mengemuka setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. UU ini hadir untuk merespon kekosongan hukum di dunia siber.
Dalam proses penyusunan, UU ITE sejatinya merupakan gabungan dari RUU Tindak Pidana
Teknologi Informasi dan juga RUU E-Commerce. Kedua RUU tersebut digabungkan menjadi
satu kemudian diajukan kepada DPR pada tahun 2003. Pembahasan tentang RUU ITE ini
menempuh waktu yang panjang terhitung dari masa pengajuannya. Setelah melewati waktu
sekitar 4 tahun barulah Undang-Undang ini disahkan dan diundangkan oleh DPR dan Presiden.
Tentunya sebagaimana namanya, UU ITE ini ditujukan untuk mengatur tentang transaksi
elektronik dan juga e-commerce. Selain itu memang dalam UU ITE diatur pula tentang tindak
pidana dalam lingkup teknologi informasi. Meskipun terdapat ketentuan pidana tetap saja inti
ketentuan pidana dalam UU ITE ini adalah terkait pengaturan mengenai transaksi elektronik dan
e-commerce
Namun ternyata UU yang diperuntukan untuk transaksi elektronik dan e-commerce ini
justru digunakan untuk hal lain yang bersifat politis. Hal tersebut terjadi tidak terlepas dari
adanya pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2). Kedua pasal tersebut menimbulkan permasalahan
dimana terdapat ketidakjelasan rumusan yang menimbulkan salah tafsir. Padahal dalam
pembentukan undang-undang salah satu asas yang harus dipenuhi ialah asas kejelasan rumusan.
Suatu undang-undang harus memiliki kejelasan rumusan sehingga dapat diartikan jelas pula
sesuai dengan maksud dan tujuannya tanpa ada kesalahan penafsiran (Manan 1992). Jika melihat
dalam rumusan pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2) banyak pihak yang menganggap terdapat
ketidakjelasan dalam perumusannya dimana makna dalam rumusan pasal tersebut terlalu luas.
Tidak adanya limitasi dalam pasal tersebut terbukti dengan banyaknya pihak-pihak yang
dilaporkan melalui UU ITE ini dengan alasan melakukan pencemaran nama baik ataupun SARA.
Permasalahan semakin rumit ketika pasal tersebut digunakan untuk memenjarakan lawan politik.
Padahal sebagaimana dijelaskan sebelumnya, landasan adanya UU ITE ini adalah untuk
pengaturan mengenai Transaksi Elektronik dan e-commerce sehingga penggunaan diluar dua
aspek tersebut menjadi tidak relevan.
Melihat penggunaan dari UU ITE yang tidak sesuai dengan jalurnya, masyarakat pun
mulai mendorong agar terjadinya perubahan atau revisi UU ITE yang telah disalahgunakan
tersebut. Melihat respon dari masyarakat yang begitu massif, Pemerintah pun bersama DPR
mencoba merespon aspirasi dari masyarakat tersebut. Puncaknya pada tahun 2016 dilakukan
revisi terhadap UU ITE melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik.
Salah satu ketentuan yang diubah ialah ketentuan pasal 27 yaitu dengan mengubah
penjelasaan ayat (3) dimana dalam penjelasan tersebut lebih dirinci lagi maksud dari pencemaran
nama baik dan fitnah dalam pasal tersebut ialah sebagaimana pencemaran nama baik dan fitnah
yang diatur dalam KUHP. Dengan kata lain perubahan ini menjadikan makna pencemaran nama
baik dan fitnah dalam UU ITE menjadi sama dengan yang ada dalam pasal 310 KUHP yaitu
disebut pencemaran nama baik apabila menuduh seseorang melakukan suatu perbuatan yang
tidak dia lakukan untuk merusak kehormatannya. Namun ternyata perubahan pasal tersebut
belum dapat menjawab permasalahan yang timbul dan keresahan masyarakat. UU ITE masih
saja digunakan secara serampangan hanya untuk kepentingan individu dengan menghukum
seseorang yang tidak disukai. Tercatat oleh Amnesty pada tahun 2019 terdapat 24 pemidaan
terhadap pengguna sosial media. Kemudian pada 2020 terdapat 84 kasus pemidanaan terhadap
pengguna sosial media (Chaterina 2021). Di satu sisi memang hal tersebut merupakan suatu
bentuk upaya penegakan hukum namun perlu dilihat pula asas proporsionalitas. Terlebih
kebebasan berekspresi menjadi salah satu hak yang dilindungi oleh negara sehingga penggunaan
UU ITE secara serampangangan sejatinya merenggut kebebasan tersebut.
Melihat kondisi tersebut, meskipun perubahan UU ITE telah dilakukan sejatinya
permasalahan yang timbul belumlah selesai. Diperlukan suatu terobosan lagi untuk
menyelesaikan permasalahan ketidakjelasan rumusan pasal pencemaran nama baik dalam UU
ITE. Berbagai cara pun dilakukan dari mulai melakukan judicial review ke mahkamah konstitusi
hingga legislative review ke DPR, namun hasilnya nihil, UU ITE masih tetap berlaku bahkan
hingga saat ini dengan segala ketidakjelasan rumusan yang mengakibatkan perenggutan
kebebasan berekspresi.
Melihat kondisi tersebut, terlebih upaya Judicial Review dan Legislative Review gagal
dilakukan, aparat penegak hukum pun mengeluarkan suatu pedoman dalam penegakan UU ITE.
Tentunya pedoman ini merupakan jawaban atas permasalahan yang masih ada dalam UU ITE.
Pedoman tersebut dikeluarkan melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan
Informatika Repoblik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi Pasal tertentu dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Sebagaimana Telah DIubah sengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Dengan dikeluarkannya pedoman tersebut diharapkan aparat penegak hukum memiliki
kesamaan persepsi dalam menangani laporan terkait beberapa pasal UU ITE. Tentunya pedoman
ini hanyalah pedoman yang tidak berguna apabila tidak diiringi dengan implementasi dari aparat
penegak hukum yang ada. Maka untuk menilai efektivitas dari SKB ini perlu pula dinilai
bagaimana aparat penegak hukum mengimplementasikannya dalam penegakan hukum.
Berdasarkan hal tersebut makalah ini memiliki dua rumusan masalah yaitu
1. Bagaimana Rumusan Kebijakan Dalam SKB Pedoman Pelaksanaan Penanganan UU
ITE?
2. Bagaimana Implementasi dari SKB Pelaksanaan Penanganan UU ITE berdasarkan
pendekatan Policy Implementation Process Van Meter dan Van Horn?
Makalah ini akan mencoba menganalisis implementasi pedoman pelaksanaan penanganan
UU ITE. Nantinya akan diterangkan terlebih dahulu teori-teori yang mendukung tulisan ini
seperti kebijakan publik secara umum, landasan adanya kebijakan publik berdasarkan General
Systems Theory David Easton, hingga penilaian implementasi dari kebijakan publik berdasarkan
Policy Implementation Process Van Meter dan Van Horn. Teori-teori inilah yang akan dijadikan
sebagai pisau analisis dalam membahas problematika yang ada.
Kemudian dalam pembahasan nanti akan dijelaskan terlebih dahulu kedudukan dari Surat
Keputusan Bersama (SKB) dalam ketatanegaraan Indonesia sehingga diketahui bagaimana
kekuatan dari SKB yang telah dikeluarkan. Akan dibahas pula kondisi riil faktual di lapangan
terkait implementasi dari SKB Pedoman Penanganan UU ITE dan respon masyarakat
terhadapnya. Diakhir pembahasan akan dianalisis pula implementasi dari SKB Pedoman
Penanganan UU ITE berdasarkan Policy Implementation Process Van Meter dan Van Horn.
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam ilmu
pengetahuan dan juga memberikan suatu analisis terhadap implementasi dari SKB Pedoman
Penggunaan UU ITE. Diharapkan makalah ini dapat menjadi refleksi bagi pembaca khususnya
bagi aparat penegak hukum agar dapat benar-benar mengimplementasikan kebiijakan berupa
SKB Pedoman Penggunaan UU ITE sesuai dengan apa yang telah ditetapkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pentingnya Implementasi Kebijakan Publik
Kebijakan publik berkembang dalam ilmu administrasi publik sekitar tahun 1970-an
dimana saat itu telah banyak teknisi administrasi yang menempati jabatan politik serta mulai
banyaknya tuntutan masyarakat agar kebijakan yang dikeluarkan lebih baik lagi (Sahya 2014).
Jika melihat pada pendapat Thomas R. Dye, kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai sebuah
studi yang menggambarkan dan menganalisis dampak dan akibat dari tindakan-tindakan
pemerintah yang berkaitan dengan publik (Abdoellah 2016).
Dalam melakukan analisis kebijakan publik diperlukan bidang ilmu yang bersifat multi
disipliner. Meskipun kebijakan publik masuk kedalam ranah studi Ilmu Administrasi Negara
namun dalam menganalisisnya tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor dan ilmu lain seperti
ekonomi, hukum, politik, dsb. Dalam menganalisis kebijakan publik pun tidak hanya terkait
formulasi atau arah kebijakan publik yang dibuat. Namun lebih dari itu analisis kebijakan publik
juga mencakup implementasi dari kebijakan publik itu sendiri (Taufiqurokhman 2014).
Implementasi menjadi penting sebab beberapa aktivitas manusia pasti melibatkan
penetapan tujuan. Tidak ada gunanya berspekulasi jika tidak diimplementasikan. Oleh sebab itu
analisis implementasi dibutuhkan untuk mengawasi tindakan yang dilakukan pemerintah serta
mengetahui informasi tentang tercapainya suatu tujuan yang diinginkan. Melalui analisis
implementasi kebijakan publik kita dapat mengamati beberapa pencapaian dalam menegakan
tujuan yang diinginkan dari kebijakan publik (Lane 2003).

2.2 General System Theory David Easton


General System Theory merupakan teori yang dikemukakan oleh David Easton dimana ia
menyatakan bahwa setiap sistem politik dirumuskan oleh sub-kelompok berbeda yang
melakukan berbagai tugas berbeda pula. Teori sistem David Easton dapat digambarkan sebagai
lalu lintas dua arah antara penguasa dan yang diperintah yang secara jelas diajarkan sebagai
berikut (Easton 1957).

Gambar 2.1 General System Theory David Easton


(Sumber: David Easton, An Approach to the Analysist of Political Systems, 1957)
Tuntutan dan dukungan dari masyarakat ataupun tata sosial lainnya adalah suatu input
yang nantinya akan memiliki efek pada dikeluarkannya sebuah kebijakan yang merupakan
output dalam merespon input tersebut. Kelompok dan pihak yang kepentingan dianggap sebagai
penjaga gerbang dan sebagai titik akhir yang mempengaruhi dan membuat input masuk kedalam
sistem. Melalui keputusan dan kebijakan yang berpengaruh, input diubah menjadi output, berupa
kebijakan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh publik (Mustafa et al. 2021).
Ketika saran dan tuntutan masyarakat terhadap suatu hal menjadi input yang kemudian
direspon oleh Pemerintah melalui kebijakan sebagai output, maka teori ini tidak sesai sampai
disitu. Terdapat respon balik terhadap output yang dikeluarkan pemerintah sebagai kunci untuk
memeriksa keberhasilan kebijakan pemerintah tersebut. Kebijakan publik tidak boleh bersifat
tetap namun ia harus terus diuji dan diawasi (Olaniyi 1998). Ketika kebutuhan masyarakat telah
terpenuhi dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, mereka akan mendukung pemerintah.
Namun ketika kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi, mereka akan meminta pemenuhan dan
menjadi oposisi bagi pemerintah. Input dan output memiliki keterkaitan yang sangat dalam dan
dinamis. Sistem tidak dapat melakukan fungsi apa pun tanpa input dan sistem tidak dapat
mengenali upaya sistem tanpa output. Teori ini dapat dipahami melalui keyakinan terarah utama
dari pendekatan ini adalah anggapan keseimbangan dan bahwa kerja sama bagian akan
diperlukan untuk fungsinya (Mustafa et al. 2021).
Pengaruh lembaga-lembaga pemerintah dan politik terhadap kebijakan publik ditekankan
dalam model kelembagaan. Institusi pemerintah seperti kotamadya, legislatif negara bagian, dll
dipelajari dalam ilmu politik. Lembaga-lembaga ini menegakkan, menetapkan, dan
melaksanakan kebijakan publik secara otoritatif. Korelasi antara lembaga-lembaga pemerintah
dan kebijakan publik ini erat karena kebijakan publik perlu dipilih, ditegakkan, dan dilaksanakan
oleh beberapa lembaga pemerintah untuk hadir. Kebijakan publik ditentukan oleh institusi
pemerintah. Lembaga yudikatif, eksekutif, dan legislatif merupakan lembaga pemerintah yang
memberikan legitimasi terhadap kebijakan. Pemerintah menerapkan kebijakan secara universal
dan menggunakan kekuatan untuk implementasi kebijakan (Mustafa et al. 2021).
Institusi formal pemerintah yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif lebih ditekankan pada
pendekatan institusional meskipun media massa dan kelompok penekan kurang diperhatikan.
Pendekatan institusional bersifat deskriptif daripada analitis dan karenanya perlu dikritik. Semua
lembaga pemerintah yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif adalah beberapa pelaku yang
berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan dan masing-masing melakukan peran yang pasti
dalam pengambilan keputusan (Olaniyi 1998).

2.3 Policy Implementation Process Van Meter dan Van Horn


Van Meter dan Van Horn merumuskan suatu model dalam implementasi kebijakan Publik.
Model dasar tersebut dilandasi pemikiran Van Meter dan Van Horn yang menganggap bahwa
proses implementasi suatu kebijakan akan sangat tergantung pada sifat kebijakan itu sendiri.
Sifat dari kebijakan publik akan menunjukan karakteristik, struktur, dan hubungan antara faktor-
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan publik tersebut. Terkait dengan sifatnya, suatu
kebijakan publik dibagi menjadi dua yaitu (Abdoellah 2016).
a Jangkauan Perubahan yang dihasilkan dari Kebijakan Publik
Terdapat dua unsur penting dalam unsur perubahan. Pertama, adanya implementasi yang
dipengaruhi oleh pencapaian kebijakan baru. Seperti yang disarankan oleh sejumlah sarjana,
perubahan bertahap akan menyebabkan adanya respon positif terhadap perubahan yang
sudah terjadi sebelumnya. Kedua, implementasi akan dipengaruhi oleh adanya perubahan.
Analisis ahli menunjukan proses implementasi yang efektif akan terjadi Ketika badan
pelaksana tidak diwajibkan untuk menjalani perubahan organisasi secara drastic. Pandangan
ini diperkuat oleh argument para ahli bahwa dari banyaknya kegagalan program-program
social Great Society diakibtakan oleh adanya tuntutan dari struktur dan prosedur
administrasi yang meningkat. Kebijakan yang mengamanatkan perubahan dalam hubungan
dinatara peserta yang terlibat dalam proses pelaksanaan implementasi nantinya akan menjadi
lebih sulit untuk dilaksanakan (Van Meter and Van Horn 1975).

b Ruang lingkup kesepakatan antara pihak yang terlibat terhadap tujuan dari suatu kebijakan
publik
Proses Implementasi akan berhasil apabila hanya terjadi perubahan kecil yang diperlukan
dan diiringi persetujuan yang tinggi. Sebaliknya, di mana perubahan besar dilakukan dan
persetujuan rendah, proses atau pelaksanaan implementasi yang efektif akan sangat
diragukan. kebijakan terhadap perubahan besar akan dilaksanakan lebih efektif daripada
kebijakan yang melibatkan perubahan kecil dan konsensus rendah (Van Meter and Van Horn
1975).
Berdasarkan landasan tersebut Van Meter dan Van Horn berpendapat bahwa terdapat 6
variabel yang dapat membenrtuk hubungan antara kebijakan dan implementasinya. Model ini
menunjukan adanya pengaruh antar variabel independen terhadap kinerja/implementasi suatu
kebijakan. Keenam variabel tersebut ialah Standar dan objektivitas kebijakan, Karakter Lembaga
Pelaksana Kebijakan, Kondisi disektor ekonomi, social maupun politik, Sikap para pelaksana
serta Keterikatan antar Komponen (Van Meter and Van Horn 1975). Secara lebih rinci lagi enam
variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut

Gamar 2.2 Policy Implementation Process Van Meter dan Van Horn
(Sumber: Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn, The Policy Implementation Process: A
Conceptual Framework, Society 1975
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam tulisan ini bersifat deskriptif analisis.
Deskriptif analisis merupakan salah satu metode penelitian yang menjelaskan suatu peristiwa
dengan mendeskripsikannya terlebih dahulu agar dapat memahaminya secara jelas dan utuh
kemudian barulah menganalisis peristiwa tersebut. Etna Widodo dan Mukhtar berpendapat
bahwa penelitian deskriptif ialah jenis penelitian yang digunakan guna memperjelas kondisi
sosial melalui berbagai variabel penelitian yang saling berkaitan.
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini ialah metode penelitian kualitatif
melalui studi kasus. Metode kualitatif studi kasus ini berfokus pada suatu kesatuan sistem yang
dalam konteks tulisan ini adalah peristiwa implementasi dari kebijakan publik yaitu SKB
Pedoman Pelaksanaan UU ITE. Kesimpulan bagi penelitian kualitatif studi kasus hanya berlaku
bagi kasus di tempat dan waktu yang diteliti sebab tiap kasus memiliki keunikannya masing-
masing (Ismail 2019).
3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang dipakai dalam penulisan ini merupakan data sekunder. Data sekunder
adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber bahan pustaka yang telah ada sebelumnya seperti
buku-buku, jurnal, internet, prosiding, majalah, dan media cetak (Ismail 2019). Dalam tulisan ini
digunakan sumber-sumber yang berasal dari Buku, Jurnal, dan Sumber Internet yang kredibel.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif.
Dengan pendekatan ini, hasil penelitian diperoleh dari analisis objek penelitian secara holistik,
yang kemudian dipaparkan secara deskriptif. Tujuan utama dari pendekatan kualitatif ini ialah
untuk memahami gejala yang ada pada objek penelitian (Ismail 2019).
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Rumusan Kebijakan Pedoman Pelaksanaan UU ITE


4.1.1 Kedudukan Surat Keputusan Bersama
Dalam sistem hukum nasional ditemukan dua istilah yang berbeda yaitu peraturan
(regeling) dan beschikking (ketetapan). Regeling ialah semua keputusan bersifat tertulis yang
dikeluarkan oleh pejabat atau lingkungan jabatan tertentu yang memiliki wewenang dan berisi
aturan tingkah laku yang bersifat umum dan abstrak (Manan 1998). Sementara Beschikking
adalah keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat berwenang secara sepihak di lapangan hukum
publik yang bersifat konkret dan individual (Manan 1998). Berdasarkan kedua pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa perbedaan antara Regeling dan Beschikking ialah terletak pada
sifat dari keduanya. Regeling memiliki sifat umum dan abstrak sementara Beschikking bersifat
individual dan konkret. Sifat umum dari Regeling bermakna norma umum yang ditujukan untuk
orang banyak sementara sifat abstrak bermakna norma hukum yang tidak ada batasnya.
Berlainan dengan itu sifat individual dalam Beschikking bermakna norma umum yang ditujukan
untuk sesorang, beberapa orang, atau orang tertentu sementara sifat konkret bermakna norma
hukum yang melihat satu perbuatan dengan lebih nyata dan jelas lagi (Maria 2018).
Berdasarkan pemahaman tersebut jika melihat pada surat keputusan bersama (SKB)
Pedoman Pelaksanaan UU ITE ini dapat dikatakan bahwa keputusan tertulis ini adalah suatu
Beschikking. Hal tersebut dapat dilihat dari isi materi muatan dari SKB yang yang bersifat
konkret dan individual. Konkretnya SKB ini secara nyata terlihat dari isi SKB ini yang
memberikan pedoman secara konkret bagaimana aparat penegak hukum bertindak atas pasal
tertentu dalam UU ITE. Individualnya SKB ini terlihat dari ditunjukan hanya untuk orang-orang
tertentu saja yaitu aparat penegak hukum di lingkungan Kemenkominfo, Kejaksaan, dan
Kepolisian.
SKB pedoman pelaksanaan UU ITE sebagai beschikking memiliki konsekensi hukum
bahwa keputusan ini mengikat kepada pihak-pihak terkait dan wajib dilaksanakan. Sehingga
dalam hal ini Aparat Penegak hukum tidak boleh sembarangan lagi dalam menerima atau
melanjutkan proses laporan terkait dengan beberapa pasal dalam UU ITE. Perlu dilihat terlebih
dahulu apakah terdapat kesesuaian antara SKB yang telah ditetapkan ini.

4.1.2 Materi Muatan SKB Pedoman Pelaksanaan UU ITE


Secara umum isi dari SKB ini menjelaskan bagaiamana aparat penegak hukum bersikap
dan menjadi pedoman implementasi atas pasal-pasal teretntu dalam UU ITE. Pasal-pasal tertentu
yang dimaksud ialah pasal 27 ayat (1), 27 ayat (2), 27 ayat (3), 27 ayat (4), 28 ayat (1), 28 ayat
(2), 29, dan 36. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada tulisan ini akan difokuskan pada pasal
27 ayat (3) terkait pencemaran nama baik dan juga pasal 28 ayat (2) terkait SARA.
Dalam kaitannya dengan pasal 27 ayat 3 disebutkan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.” Mengenai ketentuan tersebut, pedoman pelaksanaan yang tercantum
dalam SKB ini ialah
a Makna dari “memiliki materi berupa muatan penghinaan dan/ata pencemaran nama
baik” adalah sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 310 terkait menyerang
kehormatan dengan menuduh seseorang dan pasal 311 KUHP terkait menyerang
kehormatan seseorang dengan tuduhan yang tidak benar. Implementasi ini juga sesuai
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Tahun 2008. Dengan
demikian UU ITE ini hanya dapat dikenakan bagi mereka yang melakukan tuduhan
terhadap seseorang untuk menyerang kehormatannya sehingga kata-kata kasar, cacian,
ejekan, dan hinaan tidak termasuk kedalam pasal ini atau dapat dikatakan tidak bisa
dilaporkan dengan menggunakan UU ITE.
b Apabila yang dikemukakan adalah suatu pendapat atau sebuah kenyataan maka tidak bisa
dikenakan pasal ini
c Apabila tuduhan yang diajukan tersebut sedang dalam proses hukum maka harus
dibuktikan terlebih dahulu fakta atau kebenaran dari tuduhan tersebut oleh parat penegak
hukum
d Pasal 27 ayat (3) merupakan delik aduan absolut sehingga diperlukan aduan terlebih
dahulu oleh korban barulah aparat penegak hukum dapat memprosesnya.
e Laporan yang diajukan oleh korban haruslah atas namanya pribadi secara spesifik bukan
lembaga, institusi, korporasi, profesi, ataupun jabatan
f Pelanggaran pada pasal 27 ayat (3) difokuskan pada niat dari pelaku untuk menyebarkan
informasi yang berisi muatan pencemaran nama baik dengan menyerang kehormatan
melalui tuduhan. Jadi perasaan dari korban tidak memiliki signifikansi yang cukup
g Unsur pokok dalam pasal 27 ayat (3) juga adalah “supaya diketahui umum” sehingga niat
dari pelaku adalah agar orang lain mengetahui tuduhannya
h Maksud “agar diketahu umum” juga dapat diartikan sebagai “agar diketahui Publik” atau
secara lebih sederhana lagi agar dapat diketahui oleh orang banyak
i Dapat dikatakan “agar diketahui umum” apabila tuduhan dilemparkan dalam sosial media
yang sifatnya terbuka atau dalam suatu grup percakapan yang terbuka dan dapat diakses
oleh orang-orang secara umum. Tidak termasuk didalamnya grup percakapan yang
tertutup seperti grup keluarga, kantor, pertemanan, dsb.
j Terkait dengan unggahan yang dilakukan oleh wartawan di internet maka perlu dilihat
terlebih dahulu apakah itu merupakan pribadi atau atas nama institusi pers. Jika atas nama
institusi pers maka perlu melibatkan dewan pers terlebih dahulu namun apabila bersifat
pribadi maka pasal 27 ayat (3) dapat berlaku

Sementara dalam kaitannya dengan pasal 28 ayat (1) yaitu “Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik.”. Terdapat beberapa hal yang diatur dalam SKB ini
namun poin pentingnya dalam pedoman pelaksanaannya ialah Pasal 28 ayat (1) bukan
merupakan delik pidana berita bohong secara umum namun perbuatan penyebaran berita bohong
yang terkait dengan transaksi elektronik dan transaksi perdagangan daring

Kemudian dalam kaitannya dengan pasal 28 ayat (2) disebutkan bahwa “Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” Terkait dengan pasal tersebut terdapat beberapa
pedoman implementasi dalam penegakan hukum terhadapnya yaitu
a Makna “menyebarkan” ialah sama dengan “diketahui umum” dapat berupa
mengirimkannya ke media sosial yang diakses publik, grup percakapan publik, dsb.
b Pengenaan pasal ini hanya jika ditemukan motif membangkitkan kebencian atau
permusuhan SARA/ Hal tersebut dapat dilihat dari konten adanya ajakan, mempengaruhi,
menggerakan masyarakat, dsb.
c Makna dari frasa “antar golongan” ialah entitas golongan diluar Suku, Agama, dan Ras.
Makna ini juga disesuikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
76/PUU-XV/2017

4.2 Implementasi Kebijakan Pedoman Pelaksanaan UU ITE


4.2.1 Implementasi Berdasarkan Kondisi Faktual dan Respon Masyarakat
Dengan adanya SKB tentang pedoman pelaksanaan beberapa pasal UU ITE tersebut
tentunya diharapkan penggunaan pasal karet dalam UU ITE untuk kepentingan pribadi yang
bersifat pragmatis dapat dihindari. Namun memang terdapat apa yang disebut dengan das sollen
dan das sein. Apa yang diharapkan tidak selalu sesuai dengan apa yang terjadi. Kondisi riil di
lapangan masih menunjukan adanya penggunaan UU ITE ini untuk mengkriminilkan orang-
orang yang memiliki perbedaan pandangan atau diangagap mengancam khususnya kekuasaan.
Ketidaksesuain implementasi pedoman SKB UU ITE dapat dilihat dari kasus Haris Azhar
dan Fatia Maulidiyanti. Kedua orang ini dilaporkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan atas
pelanggaran pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik. Pada mulanya Haris Azhar
dan Fatia Maulidiyanti menyampaikan dan membicarakan laporan yang dikeluarkan YLBIH,
Walhi Eksekutif Nasional, JATAM, LBH Papua, Kontras, Walhi Papua, Pusaka Bentala Rakyat,
Greenpeace Indoensia, dan Trend Asia. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Luhut
memiliki keterkaitan dengan PT Madinah Qurrata Ain (PTQM) dan terlibat dalam bisnis di
tambang Intan Jaya Papua. Melihat namanya dicatut Luhut lantas melaporkan keduanya ke polisi
atas dasar pencemaran nama baik. Kini keduanya pun telah ditetapkan menjadi tersangka
(Kompas, 2022)
Melihat kondisi tersebut maka implementasi dari SKB pedoman UU ITE belum
dilakukan dengan baik. Sebagaimana dalam SKB tersebut dijelaskan bahwa aparat penegak
hukum ketika menangani laporan atas dugaan pencemaran nama baik tidak serta merta dapat
menerimanya namun perlu dilihat beberapa hal terlebih dahulu salah satunya ialah terkait
pengecualian yang terdapat didalamnya. Dalam SKB dikatakan bahwa hasil evaluasi dan
pendapat merupakan bagian yang dapat dikecualikan dalam pasal 27 ayat (3). Melihat bahwa
Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menyampaikan hasil sebuah riset dari lembaga-lembaga
yang terpercaya, maka seharusnya hal tersebut bukanlah pencemaran nama baik namun adalah
hasil evaluasi. Oleh sebab itu bukan ranah hukum yan menjadi jalan penyelesaian namun ranah
akademik dimana harusnya Luhut yang membuktikan bahwa Ia tidak terlibat.
Kasus serupa juga terjadi kepada Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Rinjani yang
dijadikan tersangka bahkan telah resmi ditahan oleh Polda NTB akibat penyebaran berita
bohong. Kasus ini bermula ketika yang bersangkutan mengunggah video di youtube yang dalam
video tersebut Ia menyatakan bahwa Pemerintah NTB melakukan penyembunyian dana
pemulihan ekonomi nasional (PEN) serta menggagalkan program bantuan sapi dari pemerintah
untuk anggota KSU Rinjani. Karena unggahannya di video youtube tersebut, Ketua KSU Rinjani
ini dijerat dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE (Kompas, 2022).
Lagi-lagi jika menganalisis lebih jauh sebenarnya ketentuan pasal 28 ayat (2) tidak dapat
digunakan untuk kasus tersebut. Dalam SKB pedoman pelaksanaan UU ITE disebutkan bahwa
pasal 28 ayat (2) dapat dikatakan dilanggar apabila seseorang memiliki niat untuk menyebarkan
kebencian dan permusuhan atas dasar SARA. Pertanyaannya adalah apakah video yang
menyatakan Pemerintah NTB menyembunyikan dana pemulihan ekonomi adalah SARA.
Sejatinya Pemerintah NTB bukanlah bagian dari suku, ras, agama, maupun antar golongan. Ia
merupakan jabatan sehingga penggunaan pasal 28 (2) UU ITE ini tidaklah sesuai sebab tidak ada
permasalahan SARA didalam kasus tersebut.
Melihat dari dua contoh kasus tersebut, dapat dikatakan masih ada implementasi yang
tidak sesuai dengan kebijakan yang telah dikeluarkan melalui SKB pedoman pelaksanaan UU
ITE. Kedua kasus tersebut merupakan contoh kasus yang muncul pasca diterbitkannya SKB
Pedoman Pelaksanaan UU ITE. Belum lagi jika melihat pada kondisi dan kasus-kasus yang tidak
terdeteksi oleh media sehingga tidak ada yang mengetahui. Hal inilah yang menjadi alasan kuat
masyarakat masih takut untuk mengemukakan pendapat sebab bahkan dengan adanya SKB pun
implementasinya masih belum sesuai yang diharapkan.
Bahkan menurut Survei Indikator yang diterbitkan pada bulan April 2022 menyatakan
56,1% responden setuju bahwa saat ini masyarakat semakin takut mengemukakan pendapat dan
6,8% responden sangat setuju masyarakat semakin takut mengemukakan pendapat. Survei ini
menggunakan multistage random sampling dengan responden sebanyak 1.200 orang dari
berbagai daerah. Sementara margin of error dari survei ini adalah 2,9% (databooks, 2021).
Ketakutan masyarakat akan mengemukakan pendapat ini tentunya tidak bisa dilepaskan
salah satunya dari adanya UU ITE dan ilmplementasi SKB Pedoman Pelaksanaan UU ITE yang
belum maksimal. Dari survei lain yang dilakukan oleh indikator politik pada April 2022 juga
menyatakan bahwa meskipun telah ada SKB Pedoman Pelaksanaan UU ITE, sebanyak 74,3%
masyarakat tetap setuju revisi UU ITE dan 9,3% sangat setuju dilakukannya revisi UU ITE
(Viva, 2022)

4.2.2 Implementasi Berdasarkan Policy Implementation Process Van Meter dan Van Horn
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya suatu kebijakan akan diimplementasikan dengan
baik berdasarkan pendekatan Policy Implementation Process Van Meter dan Van Horn dapat
dilihat dari, standar dan objektivitas kebijakan, Sumber daya, Karakter Lembaga Pelaksana
Kebijakan, Kondisi Ekonomi Sosial, dan politik, Sikap para pelaksana, serta Keterikatan antar
Komponen.
Untuk melihat apakah implementasi dari SKB Pedoman Pelaksanaan UU ITE berjalan
baik maka dapat pula dilihat dari keenam hal tersebut. Pertama terkait standar dan objektivitas
kebikajan. Maksud dari standar dan objektivitas kebijakan ialah menilai sejauh mana standar dan
objektivitas itu sesuai dengan kondisi masyarakat (Van Meter and Van Horn 1975). Memang
jika melihat lebih dalam lagi, SKB ini memiliki problema terkait standar dan objektivitasnya
sebab SKB ini tidak menginisiasi adanya partisipasi publik. Meskipun memang tidak terdapat
kewajiban sebab ini adalah Beschikking namun karena ini menyangkut masyarakat seharusnya
keterlibatan masyarakat diperhatikan dalam pembentukan SKB ini sehingga dapat memuat
standar dan objektivitas kebijakan yang baik.
Kedua adalah terkait sumber daya. Sumber daya yang dimaksud dapat berupa dana,
insentif, atau infrakstuktur lain dalam program yang guna mendorong atau memfasilitasi
implementasi yang efektif (Van Meter and Van Horn 1975). Dalam hal ini dirasa SKB bukanlah
suatu bentuk kebijakan yang kuat sebab itu hanya bersifat internal dan mudah sekali untuk
dilanggar dan tidak dilakukan oleh pihak terkait. Dalam infrastruktur hukum, undang-undang
menjadi salah satu bentuk produk hukum yang memilliki kekuatan mengikat dan memaksa lebih
tinggi dibanding SKB bahkan bersifat umum. Dengan demikian kiranya SKB dirasa masih
belum dapat menjadi produk atau sumber daya yang memadai.
Ketiga ialah Karakter Lembaga Pelaksana. Dalam kaitannya dengan hal ini, kepolisian
merupakan salah satu lembaga negara yang dicitrakan memiliki karakter yang semakin lama
semakin tidak dapat dipercaya. Hal tersebut juga terungkap dari hasil Survei Indikator Politik
pada Desember 2021 yang menyatakan bahwa terjadi tingkat peurunan kepercayaan publik
secara tajam yaitu 5,9% dari sebelumnya (Detik, 2021). Penurunan ini tidak dapat dilepaskan
dari berbagai peristiwa yang terungkap seperti adanya pelecehan seksual yang dilakukan oleh
Kepolisian, pemaksaan Aborsi hingga peristiwa KM 50.
Keempat ialah Kondisi Ekonomi, Sosial, dan Politik. Tentunya dapat diketahui secara
jelas, kondisi politik pun sangat tidak kondusif saat ini. Banyak pejabat negara yang malah
menggunakan UU ITE ini untuk orang-orang yang melakukan kritik. Sebut saja salah satunya
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu Luhut Binsar Pandjaitan yang melaporkan Haris
Aazhar serta Fatia Maulidiyanti. Padahal seharusnya tokoh nasional dapat memberikan contoh
bagi masyarakat penggunaan UU ITE ini yang sesuai dengan SKB Pedoman Pelaksanaannya
yaitu tidak digunakan secara serampangan sehingga dapat memberantas kritik terhadap
kekuasaan.
Kelima adalah Sikap Para Pelaksana. Sikap pelaksana dapat diartikan sebagai
Pemahaman para pelaksana tentang maksud umum, serta standar dan tujuan khusus dari
kebijakan (Van Meter and Van Horn 1975). Dalam hal ini tidak dapat dianalisis lebih lanjut
sebab diperlukan suatu penelitian lebih dalam untuk mengungkap apakah para aparat penegak
hukum sudah memahami isi dari SKB Pedoman Pelaksanaan UU ITE. Namun melihat dari
kenyataan masih adanya penindaklanjutan laporan atas pelanggaran UU ITE yang tidak sesuai
dengan SKB yang tleah dikeluarkan, tidak salah ketika mengatakan bahwa belum semua aparat
penegak hukum memahami isi dari SKB tersebut berdasarkan kasus-kasus yang masih ada
hingga kini.
Keenam adalah Keterikatan antar Komponen. Keterkaitan antara semua elemen yang
telah disebutkan diatas dari nomer satu hingga lima merupakan suatu hal yang penting. Tanpa
adannya keterikatan maka akan sulit kebijakan publik dapa diimplementasikan (Van Meter and
Van Horn 1975). Melihat hal tersebut maka begitupun dengan kebijakan pengeluaran SKB
Pedoman Pelaksanaan UU ITE, semua elemen-elemen diatas haruslah terpenuhi terlebih dahulu
sehingga nantinya kebijakan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan maksud dan tujuannya.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, penulis memperoleh kesimpulan yang dapat diambil dari
makalah mengenai Implementasi Pedoman Pelaksanaan Penanganan UU ITE Berdasarkan
Pendekatan Policy Implementation Process Van Meter Dan Van Horn sebagai berikut.
1. Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Repoblik Indonesia,
Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 229 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi Pasal tertentu dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Sebagaimana Telah DIubah sengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan
dalam rangka merespon masyarakat dimana mengatur tentang pedoman pelaksanaan dan
penggunaan UU ITE oleh aparat penegak hukum
2. Implementasi dari Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika
Repoblik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi Pasal
tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik Sebagaimana Telah DIubah sengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik belum dilaksanakan dengan baik. Jika dilihat
secara fakta ril di lapangan masih terdapat penyalahgunaan UU ITE dan aparat penegak
hukum pun membiarkan itu terjadi tidak mengikuti pedoman SKB yang telah diterbitkan.
Dalam perspektif pendekatan Policy Implementation Process Van Meter dan Van Horn
pun masih ditemukan permasalahan yang mengakibatkan implementasi tidak berjalan
dengan baik
5.2 Saran
Adapun saran yang diharapkan dapat dilakukan dari hasil makalah ini diantara lain adalah
1. Hendaknya aparat penegak hukum berdiri tegak lurus pada SKB yang telah dibuat
sehingga implementasinya pun sesuai dengan apa yang diharapkan. Pimpinan Kepolisian
dan Kejaksaan pun dapat memberikah himbauan dan pendidikan terlebih dahulu secara
merata kepada seluruh aparat penegak hukum terkait SKB ini dan dapat menindak tegas
para aparat penegak hukum yang tidak mematuhi apa yang telah dipedomankan
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diharapkan mampu untuk mempercepat proses revisi
UU ITE. Sejak tahun 2021 wacana ini terus bergulir namun sampai sekarang belum
terealisasikan. Padahal dengan adanya revisi maka akan membantu infrastruktur hukum
sehingga kebijakan yang diharapkan mengurangi kriminaslisasi kebebasan berpendapat
dapat terwujud.
3. Apabila DPR tidak mampu dengan segera menerbitkan revisi UU ITE, Presiden selaku
eksekutif diharapkan mengeluarkan Perppu untuk revisi UU ITE ini. Sebab akibat yang
ditimbulkan UU ITE ini sangatlah fatal. Saat ini pun penulis berpendapat terdapat
keadaan genting dan bahaya sebab hak dan kebebasan fundamental warga negara dapat
terancam apabila tidak segera dilakukan revisi terhadap UU ITE.
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah, Awan., and Yudi Rusfiana. 2016. “Teori dan Analisis Kebijakan Publik.” Bandung:
Alfabeta.
Databooks. 2022. Survei Indikator Ungkap Masyarakat Semakin Takut Menyampaikan
Pendapat. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/04/05/survei-indikator-ungkap-
masyarakat-semakin-takut-menyampaikan-pendapat
Detik. 2022. Survei Indikator Politik: Tingkat Kepercayaan ke Polri Drop Tajam 6%.
https://news.detik.com/berita/d-5890477/survei-indikator-politik-tingkat-kepercayaan-ke-
polri-drop-tajam-6
Easton, David. 1957. “An Approach to the Analysis of Political Systems.” World Politics 9(3)
Ismail Suardi Wekke dkk. 2019. "Metode Penelitian Sosial." Yogyakarta: Gawe Buku.
Lane, J. E. 2003. “Michael Hill and Peter Hupe. Implementing Public Policy.” Public
Management Review 5(3):465–67.
Manan, Bagir. 1992. “Dasar-Dasar Perundang-Undangan, Ind-Hill.” Co, Jakarta.
Manan, Bagir. 1998. “Beberapa Masalah Hukum Tata Negara.” Alumni: Bandung
Van Meter, Donald S., and Carl E. Van Horn. 1975. “The Policy Implementation Process: A
Conceptual Framework.” Administration & Society 6(4):445–88.
Jill, Michael and Peter Hupe. 2022. "Implementing Public Policy". London: SAGE Publications
Kompas. 2022. Perjalanan Kasus Luhut Vs Harus Azhar Hingga DItetapkan Tersangka
Pencemaran Nama Baik.
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/19/17000011/perjalanan-kasus-luhut-vs-haris-
azhar-hingga-ditetapkan-tersangka-pencemaran?page=all
Kompas. 2022. Ketua KSU Rinjani DItangkap Kasus UU ITE, DIduga Menyebarkan Hoaks
Terkait Dana PEN. https://regional.kompas.com/read/2022/04/09/134349378/ketua-ksu-
rinjani-ditangkap-kasus-uu-ite-diduga-menyebarkan-hoaks-terkait
Mustafa, Ghulam, Zahid Yaseen, Muhammad Arslan, and Muhammad Imran. 2021. “Theoretical
Approaches To Study The Public Policy: An Analysis Of The Cyclic/Stages Heuristic
Model.” PalArch’s Journal of Archaeology of Egypt/Egyptology 18(10):1307–21.
Olaniyi, J. O. 1998. “Foundation of Public Analysis Ibadan.”
Xhaterine, Rachel Nada. 2021. Amnesty: Selama 2021, Ada 18 Korban UU ITE HIngga
Pertengahan Maret. https://nasional.kompas.com/read/2021/04/29/14231621/amenesty-
selama-2021-ada-18-korban-uu-ite-hingga-pertengahan-maret
Sahya, Anggara. 2014. “Kebijakan Publik.” Bandung: Pustaka Setia.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2018. Ilmu Perundang-Undangan 2: Proses Dan Teknik
Penyusunan. PT Kanisius.
Taufiqurokhman. 2014. “Kebijakan Publik.” Universitas Moestopo Beragama Pers: Jakarta
Viva. 2022. Survei Indikator: 59,,5 Persen Warga Dukung Jokowi Revisi UU ITE.
https://www.viva.co.id/berita/nasional/1463349-survei-indikator-59-5-persen-warga-
dukung-jokowi-revisi-uu-ite?page=1&utm_medium=sebelumnya-1

Anda mungkin juga menyukai