Dalam UU tersebut disebutkan hierarki perundang-undangan terdiri atas UUD 1945, Ketetapan
MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dengan
demikian, kata Feri, pedoman interpretasi tidak dapat diterapkan sebagai regulasi atau aturan
hukum.
Feri mengatakan, interpretasi atas undang-undang bukan menjadi ranah pemerintah, melainkan
hakim yang memutus di pengadilan. "Mana ada pedoman interpretasi, pemerintah tidak berhak
mengintepretasi peraturan, hakim yang berwenang," ujar dia.
Feri menambahkan, jika pemerintah benar-benar ingin menghindari multitafsir atas pasal-pasal
yang ada di UU ITE, maka sebaiknya UU tersebut direvisi atau diuji ke Mahkamah Konstitusi
(MK). "Berbagai cara bisa agar UU menjadi rigid dan detail, misalnya revisi, uji ke MK, dan
membuat aturan pelaksana yang benar," kata dia. Sebelumnya diberitakan, pemerintah akan
menyiapkan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE. Hal ini disampaikan Menteri
Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate saat dikonfirmasi soal langkah
pemerintah terkait revisi UU ITE. "Yang perlu disiapkan segera adalah pedoman interpretasi
resmi terhadap UU ITE," kata Johnny kepada Kompas.com, Rabu (17/2/2021).
Wacana revisi UU ITE pertama kali dilontarkan oleh Presiden Jokowi. Ia mengaku bakal
meminta DPR memperbaiki UU tersebut jika implementasimya tak memberikan rasa keadilan.
Menurut Jokowi, hulu persoalan dari UU ini adalah pasal-pasal karet atau yang berpotensi
diterjemahkan secara multitafsir. Oleh karenanya, jika revisi UU ITE dilakukan, ia akan meminta
DPR menghapus pasal-pasal tersebut.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Langkah Pemerintah Susun Pedoman
Interpretasi UU ITE Dipertanyakan", Klik untuk
baca: https://nasional.kompas.com/read/2021/02/18/12210061/langkah-pemerintah-susun-
pedoman-interpretasi-uu-ite-dipertanyakan?page=all.
Penulis : Ardito Ramadhan
Editor : Kristian Erdianto
Pertanyaan :
1. Dalam hukum administrasi negara ada yang dinamakan instrumen hukum
menurut Riawan Tjandra yang dapat digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan
tugas dan fungsinya, berikan analisis saudara termasuk dalam instrumen hukum manakah
permasalah pada kasus diatas, jelaskan!
2. Ada asas yang perlu diperhatikan didalam penyusunan perundang-undangan seperti
prinsip dasar dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, korelasikan salah satu asas dengan kasus
diatas, jelaskan juga pengertian asas tersebut!
Jawaban 1
Instrumen hukum dalam hukum administrasi negara adalah sarana atau alat yang
digunakan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Instrumen hukum
ini diatur dalam undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan
menteri, dan peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Dalam kasus yang disebutkan di atas, di mana seorang warga negara mengajukan
permohonan informasi publik yang tidak direspon oleh instansi pemerintah setempat,
instrumen hukum yang relevan adalah Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang ini mengatur tentang hak masyarakat
untuk mendapatkan informasi publik, kewajiban instansi pemerintah untuk memberikan
informasi publik, serta mekanisme penyelesaian sengketa terkait dengan hak atas
informasi publik.
Namun, dalam kasus ini, instansi pemerintah setempat tidak merespons permohonan
informasi publik yang diajukan oleh warga negara. Oleh karena itu, permasalahan yang
muncul dalam kasus ini adalah ketidakpatuhan instansi pemerintah terhadap Undang-
Undang Keterbukaan Informasi Publik tersebut.
Jawaban 2
Dalam kasus di atas, terdapat permasalahan yang berkaitan dengan kepatutan dalam
penggunaan dana untuk pemberian bantuan sosial. Dalam hal ini, asas kehati-hatian
sangat penting diperhatikan karena peraturan perundang-undangan yang dibuat harus
memperhatikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan menjamin bahwa dana
yang digunakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Asas kehati-hatian atau prudence principle adalah suatu asas hukum yang
mengharuskan pengambil keputusan untuk berhati-hati dan mempertimbangkan segala
risiko serta konsekuensi yang mungkin terjadi dari keputusan tersebut. Asas ini memiliki
tujuan untuk mencegah terjadinya kesalahan atau kerugian akibat keputusan yang tidak
hati-hati.
Referensi: