Anda di halaman 1dari 7

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : Adelia Septi Nur Khasanah

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 044692463

Kode/Nama Mata Kuliah : SKOM4103/Hubungan Masyarakat

Kode/Nama UPBJJ : 45/ Yogyakarta

Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
NASKAH TUGAS MATA KULIAH
UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2022/23.2 (2023.1)

Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu


PolitikKode/Nama MK : ISIP4131/Sistem Hukum Indonesia
Tugas 1
No. Soal
1. Kasus Baiq Nuril (BN)

Baiq Nuril merupakan mantan tenaga honorer di SMAN 7 Mataram. Ketika masih
bertugas di SMAN tersebut Baiq Nuril sering mendapatkan perlakuan pelecehan dari
M yang merupakan Kepala Sekolah SMA tersebut. BN ditelepon oleh M yang
kemudian menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain
yang bukan istrinya. Merasa tidak nyaman dengan hal tersebut dan untuk
membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat hubungan gelap seperti yang dibicarakan
orang sekitarnya, BN merekam pembicaraannya. Bukan atas kehendaknya, kemudian
rekaman tersebut menyebar, sehingga M melaporkannya dengan tuduhan
pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Pada Putusan Pengadilan Negeri Mataram No 265/Pid.Sus/2017/ PN. Mtr, BN
dinyatakan bebas karena tidak terbukti memenuhi unsur “tanpa hak mendistribusikan
atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau
dokumen elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan.” Sebab, bukan BN yang
melakukan penyebaran konten tersebut, melainkan pihak lain. Atas putusan tersebut
Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi.
Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018 menyatakan BN dan
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama
6 (enam) bulan dan pidana denda sejumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan
pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan”
Salah satu pertimbangan putusan MA atas kasus BN bahwa Penjatuhan pidana
dalam perkara a quo diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi Terdakwa pada
khususnya maupun masyarakat Indonesia pada umumnya agar dapat lebih berhati-
hati dalam memanfaatkan dan menggunakan media elektronik, terlebih lagi yang
menyangkut data pribadi seseorang ataupun pembicaraan antar personal, dimana
pemanfaatan dan penggunaannya harus dilakukan atas persetujuan orang yang
bersangkutan. (Sumber : https://news.detik.com/berita/d-4614866/membaca-lagi-
pertimbangan-ma-memenjarakan- baiq-nuril-selama-6-bulan).

Pertanyaan :
Mengacu pada pertimbangan putusan MA yang disebutkan di atas, Berikan pendapat
saudara dikaitkan dengan fungsi hukum law as a tool of social engineering!
2. Sejumlah mahasiswa dan masyarakat adat Toraja membentangkan spanduk dan
bendera saat menggelar aksi di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa, 28
Juli 2020. Mereka mengenakan pakaian adat dan sebagian lainnya berkostum hitam
tanda berkabung dan protes keras atas putusan MA yang berimplikasi akan
dirampasnya tanah adat Lapangan Gembira dan SMA Negeri 2 Rantepao, Toraja Utara
oleh pihak dari luar masyarakat adat Toraja.
Sumber : https://foto.tempo.co/read/82165/kasus-sengketa-tanah-adat-mahasiswa-
dan-masyarakat- toraja-geruduk-ma#foto-2

Meskipun Undang-undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat


hukum adat. Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil amandemen kedua
menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Namun, masih terjadi pelanggaran-
pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat oleh negara, terutama hak
ulayat, seperti contoh kasus di atas.

Pertanyaan :
1. Mengapa masih terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat
hukum adat oleh negara, terutama hak ulayat, meskipun telah ada ketentuan
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang memberikan jaminan hak konstitusional
masyarakat hukum adat ? Silakan dianalisis kelemahan dari ketentuan Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945!
2. Kaitkan tanggapan anda bahwa pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum
adat oleh negara tidak terlepas dari pengaruh politik hukum masa kolonial yang
dicantumkan dalam Algemene Bepalingen, Reglemen Regering dan lndische
Staatregeling!
3. (1) A (pria) menikah dengan B (wanita) pada tahun 2000 dan telah dikaruniai
seorang anak laki-laki
(D) dan dua orang anak perempuan (E dan F). Pada tahun 2020, A meninggal
dunia, istrinya yaitu B telah meninggal dunia terlebih dahulu pada tahun 2015.
Pada saat A meninggal dunia, Bapak
(X) dan Ibu (Y) dari A masih hidup.
Tentukan:
a. Siapa yang menjadi ahli waris dari A.
b. Besarnya bagian warisan dari masing-masing ahli waris.

(2) A menikah dengan B dan memiliki 1 orang anak laki-laki (C) yang menikah
dengan D. D masih memiliki seorang ibu yang bernama Z. Dari pernikahan C dan
D diperoleh 3 orang anak yaitu E (anak laki-laki), F dan G (anak perempuan).
Pertanyaan :
A. Pada saat A meninggal dunia, tentukan siapa saja yang dapat menjadi ahli
waris dari A!
B. Tentukan siapa yang bukan menjadi ahli waris A dan berikan alasan atas
jawaban anda!

Jawaban

1. Salah satu putusan MA dalam kasus BN ini diharapkan dapat mengajarkan kepada
terdakwa dan masyarakat Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan
media elektronik. Keputusan ini merupakan bentuk kontrol sosial masyarakat untuk
tidak sembarangan menggunakan media elektronik, terutama terkait dengan
informasi pribadi. Hal ini terkait dengan teori “law as a tool of social engineering”
yang berarti hukum dimaksudkan sebagai alat untuk mereformasi masyarakat.
Pengertian hukum ini diharapkan dapat berperan dalam mengubah nilai-nilai sosial
dalam masyarakat ini. Mengarahkan masyarakat ke tujuan yang diinginkan dari agent
of change atau pelopor perubahan dengan menghilangkan kebiasaan yang mereka
anggap tidak lagi sesuai dan menciptakan pola perilaku baru.
2. a. Silakan dianalisis kelemahan dari ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945!
 Salah satu penyebab ketidakpastian hukum adalah struktur standar wajib
tidak memiliki kekuatan koersif yang kuat. Standar yang ditetapkan dalam
pasal 18B Ayat 2 dan 28I Ayat 3 bersifat opsional dan bukan wajib. Standar
opsional yang disebutkan bersifat komplementer, yang penerapannya
bergantung pada keberadaan kondisi lain. Kontras dengan norma imperatif,
yaitu norma perintah dan larangan yang dapat memaksa sesuatu selain
paksaan.
 Pemahaman para pemangku kepentingan tentang penciptaan model
perlindungan masyarakat adat masih belum cukup komprehensif untuk
mencerminkan realitas di lapangan.
 Tarik ulur kepentingan politik selama amandemen mengakibatkan susunan
kata Pasal 18B (2) yang diamandemen menjadi kontradiktif. Di satu sisi negara
menghormati dan mengakui masyarakat hukum adat dengan hak
tradisionalnya, namun di sisi lain tunduk pada syarat yang sangat ketat dan
harus dilaksanakan secara kumulatif.
 Belum tersedia peraturan fungsional, mandat dan mekanisme untuk
mendefinisikan masyarakat hukum adat yang tunduk pada kebijakan kepala
daerah dan walikota tidak sepenuhnya sah dibandingkan dengan skala
pelaksanaannya.
 Struktur Pasal 18B (2) menggunakan bahasa yang tidak lazim dalam bahasa
konstitusi. Rumusan bahasa inilah yang menjadi alasan utama mengapa
ketentuan UUD tidak dilaksanakan. Penggunaan conditional clause dalam
bahasa hukum menunjukkan bahwa standar ini sangat sulit diterapkan. Hal ini
bertentangan dengan aturan bahasa konstitusi yang harus jelas, faktual dan
bebas multitafsir, harus diterapkan dan tidak boleh merugikan atau memihak
golongan tertentu.

b. Pada masa ini, tanah leluhur masyarakat adat mulai dieksploitasi oleh investor asing
dan dalam negeri, akibatnya produk pertanian terus mengalir ke luar negeri setiap
hari dan menghasilkan banyak mata uang, memberikan kontribusi yang tidak sedikit
untuk kepentingan negara. Namun, hal ini sering menimbulkan konflik antara
masyarakat hukum adat dan perusahaan pemerintah daerah. Konflik ini tidak hanya
terjadi di kawasan hutan dengan fungsi hutan, terlepas dari batasan kegiatan hutan.
Konflik terjadi di hutan dengan kegiatan konservasi, kegiatan konservasi, kegiatan
produksi, dan juga di kawasan yang haknya telah diberikan kepada pihak lain, seperti
HPH, HPHTI, kawasan perkebunan, dan bahkan di kawasan dengan izin IPK, dan juga
dapat terjadi di masa depan dengan perpanjangan hak dan hak baru, seperti HPHKM,
kapan pemberian. Beberapa contoh kasus konflik di kawasan hutan dengan kegiatan
dan luas hutan yang berbeda. Contoh kasus konflik di kawasan hutan mengenai
perbedaan kegiatan dan kawasan hutan misalnya konflik antara masyarakat adat
Dayak Bentia Kalimantan Timur dengan HPHTI kawasan hutan produksi. Masyarakat
adat Dayak Bentian Kalimantan Timur juga dikenal dengan keahliannya dalam
membudidayakan rotan. Rotan yang ditanam di lahan pertanian merupakan bagian
dari sistem pertanian bergilir. Konflik ini diawali dengan pemberian hak konsesi dari
HTI kepada PT. MH, perusahaan patungan HTI PT. Inh Idgn PT. TD. Perusahaan
tersebut melakukan pembukaan lahan pertanian adat dan tidak mengakui
kegiatannya sebagai perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian besar
bagi masyarakat. Baik perusahaan maupun Departemen Kehutanan tidak
menanggapi keberatan masyarakat. Pada tanggal 28 September 1994, Gubernur
Kalimantan Timur, atas nama kepala suku mereka, mengajukan tuntutan hukum
terhadap masyarakat adat atas dugaan pemalsuan tanda tangan. Nampaknya akar
permasalahan konflik tersebut belum juga terselesaikan, bahkan pemerintah daerah
telah mengeskalasi konflik tersebut dengan hukum pidana karena pemalsuan tanda
tangan dengan gugatan untuk melumpuhkan tuntutan masyarakat adat. Pada akhir
tahun 1998, pengadilan tidak dapat membuktikan kasus pemalsuan tanda tangan
dan membebaskan pengelola data pengaduan pidana. Hukum pidana Indonesia
merupakan warisan hukum kolonial ketika Belanda menjajah Indonesia. Sampai saat
ini hukum pidana Indonesia masih menganut hukum pidana warisan Belanda. Secara
politis dan sosiologis, pengesahan hukum pidana kolonial ini jelas menimbulkan
permasalahan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Meskipun Indonesia adalah negara
merdeka, hukum pidana Indonesia tidak dapat membebaskan diri dari penjajahan.
Wetbook Hukum Pidana atau bisa disebut KUHP yang berlaku di Indonesia sejak
tahun 1918. Artinya, KUHP ini sudah berumur lebih dari 87 tahun. Jika dihitung umur
KUHP sejak pertama kali dibuat di Belanda (1881), maka KUHP tersebut lebih dari
124 tahun. Oleh karena itu, hukum pidana dapat dianggap ketinggalan zaman dan
sangat tua, meskipun Indonesia sendiri telah beberapa kali mengubah substansi
hukum pidana. Namun, perubahan ini tidak menyelesaikan masalah hakiki hukum
pidana. Hukum pidana Belanda sendiri telah banyak mengalami perubahan

3. a. Siapa yang menjadi ahli waris dari A.


Yang berhak menjadi ahli waris dari A adalah anak-anaknya
b. Besarnya bagian warisan dari masing-masing ahli waris.
Anak perempuan dan anak laki-laki mendapat 2 : 1, yakni 2 untuk laki-laki dan 1
untuk perempuan

4. a. Pada saat A meninggal dunia, tentukan siapa saja yang dapat menjadi ahli waris
dari A!
Yang berhak menjadi ahli waris adalah B, C, F, dan G
b. Tentukan siapa yang bukan menjadi ahli waris A dan berikan alasan atas jawaban
anda!
Yang tidak mendapatkan ahli waris adalah D dan Z karena mereka tidak memiliki
hubungan darah dengan pewaris.

Anda mungkin juga menyukai