Anda di halaman 1dari 3

Faktanya, sudah banyak sekali kasus penipuan yang terjadi akibat berbelanja online dari

luar negeri. Bentuk penipuannya bermacam-macam, mulai dari permasalahan dalam proses
pembayaran yang merugikan pihak pembeli hingga proses pengiriman barang yang nggak sesuai
dengan ekspektasi (misalnya, barang yang diterima dalam keadaan rusak)

Apakah Hukum Indonesia dapat menyelesaikan sengketa dalam kasus ini? jelaskan

 Menurut saya, sengketa pada kasus tersebut dapat diselesaikan dengan Hukum Indonesia.
Mengacu pada Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-
undang tersebut memberikan jaminan perlindungan hak bagi konsumen dan pelaku usaha
harus mempertanggungjawabkan kerugian yang dialami konsumen akibat barang yang
diperdagangkan tidak sesuai dengan yang diharapkan konsumen.
 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”)
menyatakan bahwa hak konsumen adalah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

 Dalam hal ini, barang yang diterima pembeli dalam keadaan rusak dan hal tersebut
mengakibatkan barang tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya atau mengalami
kerugian, maka telah terjadi pelanggaran hak konsumen.
 Atas hak konsumen tersebut, terdapat upaya hukum bagi konsumen (pembeli) mengacu
pada Pasal 19 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU No 8 Tahun 1999 mengenai tanggung jawab
pelaku usaha ;
Pasal 19
1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi.
4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian
lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
 Sehingga secara normatif, maka pelaksanaan tanggung jawab pelaku usaha untuk
memberikan ganti rugi akibat kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen harus
dilaksanakan. Namun, apabila pelaku usaha mampu membuktikan penyebab kerusakan
barang bukan dikarenakan kesalahan pelaku usaha, melainkan akibat konsumen sendiri,
maka kewajiban ganti rugi oleh pelaku usaha tidak perlu dilakukan.
 Mengacu pada KUHPer, khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367. Prinsip tanggung jawab
menyatakan sesorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika
ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal
sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat
unsur pokok, yaitu:
a. adanya perbuatan;
b. adanya unsur kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita;
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
 Pasal 28 UU No 8 Tahun 1999; Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam
gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
 Jika Pelaku usaha melanggar Pasal 19, maka terdapat sanksi administratif pada Pasal 60 UU
No 8 Tahun 1999’
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal
25, dan Pasal 26.
(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
 Mengacu pada Pasal 8 ayat (2) UU No 8 Tahun 1999; pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Maka kasus ini dapat
digolongkan ranah pidana, sebab pelaku usaha memperdagangkan barang yang rusak.
 Pasal 45 UU No 8 Tahun 1999 terkait penyelesaian sengketa, dapat dilakukan setiap
konsumen yang dirugikan dengan menggugat pelaku usaha.
 Referensi : https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ec5fb12854df/pahami-choice-
of-law-dan-choice-of-forum-saat-melakukan-transaksi-lintas-batas/?page=all
 Jika kedua belah pihak tidak dapat menentukan pilihan hukumnya, maka menggunakan
hukum perdata internasional. Upaya hukum yang dapat dilakukan korban (konsumen)
dapat melaporkan kepada Aparat Penegak Hukum (penyidik POLRI dan penyidik pada
Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Kominfo) disertai bukti transaksi, maupun
bukti pendukung lainnya.

Anda mungkin juga menyukai