Anda di halaman 1dari 7

Latar belakang

Perkembangan zaman yang semakin pesat membuat masyarakat terus melakukan inovasi
dalam segala hal, salah satunya adalah transaksi jual beli, awalnya transaksi jual beli
dilakukan secara konvensional atau offline dimana para pihak harus bertemu, namun seiring
waktu transaksi offline kini mulai tergantikan dengan kehadiran transaksi secara online yang
banyak memberikan kemudahan bagi para pihak salah satu contohnya bisa dilakukan dimana
saja dan kapan saja tanpa mengenal waktu, namun dibalik kemudahan yang ditawarkan
terdapat kelemahan dalam bertransaksi secara online, karena tidak bertemunya para pihak
maka sangat rawan terjadinya Tindakan wanprestasi atau penipuan, seperti yang terjadi
belakangan ini timbul fenomena lelang yang berada di platform Instagram, lelang yang ada di
Instagram ini sebenarnya adalah jual beli pada umumnya, namun dilakukan dengan
menggunakan system lelang agar menarik perhatian konsumen karena open bid yang
ditawarkan sangat rendah, tetapi yang terjadi dilapangan banyak konsumen setelah
memenangkan lelang tidak mendapatkan barang apa yang diharapkan, maka dari itu saya
tertarik untuk mengangkat judul perlindungan konsumen terhadap ketidaksesuaian barang
dalam lelang di Instagram.
Rumusan masalah;
- Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi konsumen terhadap ketidaksesuaian
barang dalam lelang di Instagram
- Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa apabila terjadi ketidaksesuaian barang
dalam lelang di Instagram
Metode penelitian yang saya gunakan adalah metode normative, dimana metode normative
ini biasanya merupakan studi dokumen, yakni menggunakan bahan hukum yang berupa
peraturan perundang-undangan dan teori hukum dari pendapat para sarjana.
Metode pendekatan yang saya gunakan ada dua yaitu; peraturan perundang-undangan (statue
approach) dan konseptual (conceptual approach)
Berikut hasil dari penelitian saya.
Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi konsumen?
Dimulai dari perkembangan medsos di Indonesia, saat ini ditahun 2022 pengguna medsos di
Indonesia mencapai 191 juta orang yang aktif, dimana terjadi peningkatan sekitar 50% sejak
terjadinya pandemic covid 19, dikarenakan saat itu masyarakat diharuskan berdiam diri
dirumah, maka transaksi jual belipun terjadi peningkatan yang drastis. Saat ini lelang yang
ada di Instagram sedang diminati oleh masyarakat, karena apa yang ditawarkan oleh pemilik
lelang yaitu open bid yang dimulai dari 0 rupiah. Pada dasarnya lelang yang ada di Instagram
adalah jual beli pada umumnya, dengan cara melakukan tahapan-tahapan seperti peserta
lelang melakukan penawaran dikolom komentar postingan di akun lelang, kemudian setelah
menang, konsumen mengirimkan uang kepada pihak lelang dan pihak lelang akan
mengirimkan barang kepada konsumen. Kemudian beralih ke bentuk perlindungan
konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya pemenuhan hak untuk memberikan
rasa aman bagi konsumen. Mengingat dalam transaksi jual beli online, posisi pihak konsumen
sangat lemah. Salah satu penyebab lemahnya adalah kurang jelasnya informasi yang
diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen mengenai barang yang diperdagangkan.
Berikut ada bentuk perlindungan berdasarkan undang-undang yang telah diatur pemerintah,
yaitu:
1. Yang pertama ada Kuhperdata, dalam perjanjian jual beli secara elektronik tidak lepas
dari konsep perjanjian mendasar yang terdapat dalam pasal 1313 kuhperdata. Maka
untuk syarat sahnya suatu perjanjian harus diperlukan empat syarat yang terdapat
dalam pasal 1320 kuhperdata: yang pertama adalah sepakat untuk mengikatkan
dirinya, kedua ada kecakapan untuk membuat perikatan, ketiga ada suatu hal tertentu,
dan terakhir ada suatu sebab yang halal. Kemudian jika salah satu pihak tidak
memenuhi perjanjian seperti apa yang disepakati maka disebut wanprestasi yang
diatur dalam pasal 1238. Akibat hukum yang ditimbulkan wanprestasi adalah debitur
diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita kreditur diatur dalam pasal
1243.
2. UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dimana hak dan kewajiban
konsumen terdapat dalam pasal 4 dan 5 kemudian hak dan kewajiban pelaku usaha
diatur dalam pasal 6 dan 7. Dalam konteks perdagangan online aspek perlindungan
konsumen diatur dalam pasal 8 sampai pasal 17 mengenai aspek yang dilarang bagi
pelaku usaha dan tanggung jawab. Kemudian tanggung jawab pelaku usaha diatur
dalam pasal 19 sampai pasal 28. Dan jika terjadi sengketa, konsumen bisa menggugat
pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasal 45.
3. UU no 7 tahun 2014 tentang perdagangan, uu ini mengatur perdagangan elektronik,
terdapat perlindungan dan sanksi bagi pelaku usaha didalam pasal 65, ayat 1 sampai 4
untuk melindungi konsumen dan pasal 5 dan 6 untuk sanksi pelaku usaha.
4. UU no 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, pasal 20 ayat 1
mengatur tentang kesepakatan para pihak, perlindungan terhadap konsumen terdapat
dalam pasal 5 ayat 1, pasal 18 ayat 1, dan pasal 28 ayat 1. dan syarat sahnya suatu
perjanjian diatur dalam pasal 47 ayat 2 ppemerintah no 82 tahun 2012 tentang
penyelenggaraan system dan transaksi elektronik. Apabila pelaku usaha tidak
memiliki itikad baik dalam menyelesaikan permasalahan, konsumen dapat menggugat
pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasal 38 ayat 1 dan pasal 39 ayat 2. Apabila
perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada konsumen diatur dalam pasal 45 ayat 2
yang diancam pidana penjara max 6 bulan dan denda paling banyak 1 m.
5. Peraturan pemerintah nomor 80 tahun 2019 adalah dasar hukum yang mengatur
secara khusus terkait perdagangan secara elektronik. Pasal 26 huruf a menjelaskan
bahwa pelaku usaha wajib melindungi hak konsumen. Kemudian pasal 13 ayat 1
menjelaskan kewajiban pelaku usaha dan pasal 69 ayat 2 menjelaskan bahwa
konsumen dapat melakukan penukaran atau pembatalan apabila terjadi kesalahan.

Penyelesaian sengketa apabila terjadi ketidaksesuaian barang dalam lelang online


Asal mula sengketa berasal dari ketidakpuasan atau salah satu pihak mengalami kerugian.
Uupk pasal 45 ayat 1 menyatakan bahwa konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku
usaha melalui peradilan. Dan pasal 45 ayat 2 menyatakan konsumen diberi pilhan dalam
menyelesaikan sengketanya melalui litigasi atau non litigasi. Penyelesaian sengketa non
litigasi yang meliputi penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri dan
penyelesaian melalui Lembaga yang berwenang (BPSK) dengan menggunakan metode
konsiliasi, mediasi, negoiasii dan arbitrase, kedua penyelesaian sengketa secara litigasi adalah
penyelesaian yang dilakukan di pengadilan. Namun biasanya dalam kasus sengketa yang
terjadi di transaksi online, para pihak biasanya menggunakan metode non litigasi secara
negosiasi, negosiasi tidak memerlukan pihak ketiga dan bisa dilakukan kapan saja. Negosiasi
online merupakan upaya untuk menyelesaian sengketa melalui jalur negosiasi secara online.
Maksudnya para pihak tidak diharuskan bertemu dan bertatap muka secara langsung, tetapi
para pihak hanya memerlukan koneksi internet guna menyelesaikan sengketa di antara
keduanya.

Pasal-Pasal

Kuhperdata :

1. Pasal 1313 : suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
2. Pasal 1320 : Syarat sahnya perjanjian, suatu sebab yang halal, cakap hukum,
sepakat mengikatkan diri, suatu sebab tertentu.
3. Pasal 1238 : Wanprestasi adalah debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah,
atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri,
yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan.
4. Pasal 1243 : Penggantian biaya, kerugian dan Bungan karena tak dipenuhinya
suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai,
tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan
atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang
telah disepakati.
5. Pasal 1244 : KUHPerdata yaitu Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya,
kerugian dan bunga.
6. Pasal 1237 Ayat 2 : Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih
kepada debitur sejak terjadi wanprestasi
7. Pasal 1267 : Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan,
atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian.
UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
1. Pasal 4 hak konsumen :
a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang/jasa;
b) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa;
d) Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan;
e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
2. Pasal 5 kewajiban konsumen :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
3. Pasal 6 hak pelaku usaha :
a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen beritikad
tidak baik;
c) Hak untuk mendapatkan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e) Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya.
4. Pasal 7 kewajiban :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan,
dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tridak
diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
5. Pasal 8 ayat (1) huruf F yang menyatakan pelaku usaha dilarang memproduksi
atau memperdagangkan tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,
etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
Aspek ini dapat diberlakukan apabila dapat dibuktikan bahwa barang dan/jasa
yang diperdagangkan melalui e-commerce melanggar ketentuan ini.
6. Pasal 19 Ayat 1 menyatakan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
7. Pasal 45 ayat (1) UUPK dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum (litigasi).
8. Pasal 45 ayat (2) UUPK. konsumen juga diberi pilihan dalam menyelesaikan
sengketanya melalui jalur non-litigasi atau diluar pengadilan
UU No 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan
1. Pasal 2 huruf (a) tersebut yang menyatakan bahwa “kebijakan perdagangan
disusun berdasarkan asas kepentingan nasional
2. Pasal 65 yaitu: ayat 1-4 perlindungan konsumen, ayat 5-6 sanksi pelaku usaha
1) Setiap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/ atau jasa dengan
menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau
informasi secara lengkap dan benar;
2) Setiap pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/ atau jasa
dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data
dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
3) Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang elektronik;
4) Informasi dan transaksi data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. Identitas dan legalitas pelaku usaha produsen;
b. Persyaratan teknis barang yang ditawarkan;
c. Sebagai persyaratan teknis atau kualifikasi jasa yang ditawarkan;
d. Harga dan cara pembayaran barang dan/atau jasa; dan
e. Cara penyerahan barang.
5) Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem
elektronik, orang atau badan usaha mengalami sengketa dapat
menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui
mekanisme penyelesaian sengketa lainnya;
6) Setiap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/ atau jasa dengan
menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan/atau
informasi secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin.

UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik

1. Pasal 20 ayat (1) UU ITE.: Kesepakatan para pihak dalam transaksi elektronik
terjadi ketika penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim telah diterima
dan disetujui oleh penerima,
2. Syarat sahnya suatu perjanjian dalam kontrak elektronik diatur dalam Pasal
47 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 82/2012) menyebutkan
perjanjian elektronik dianggap sah apabila :
1) Adanya kesepakatan para pihak
2) Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang
mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
3) Terdapat hal tertentu
4) Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, kesusilaan dan ketertiban umum
3. Ketentuan perlindungan hukum yang diperoleh konsumen telah tertuang
dalam Pasal 49 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 yang
menyatakan pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen
untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan
perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
4. Pasal 38 ayat (1) UU ITE dan dalam Pasal 39 ayat (2) UU ITE yang
menyatakan konsumen juga dapat menyelesaikan sengketanya melalui
arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pasal 5 ayat (1) UU ITE yang berbunyi informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang
sah.
6. Pasal 18 ayat (1) UU ITE berbunyi transaksi elektronik yang dituangkan ke
dalam kontrak elektronik mengikat para pihak, dan dalam
7. Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur tentang perbuatan yang dilarang dan/atau
perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada konsumen dalam transaksi
elektronik. Apabila ditemukan perbuatan seperti yang diatur dalam Pasal 28
ayat (1) UU ITE, maka diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 Miliar, ini diatur dalam Pasal 45
ayat (2) UU ITE.

Peraturan Pemerintah no 80 tahun 2019 tentang system perdagangan


elektronik

1. Pasal 26 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang


Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menjelaskan bahwa Pelaku Usaha
wajib melindungi hak-hak Konsumen sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan di bidang perlindungan Konsumen.
2. Kemudian kewajiban pelaku usaha diatur di dalam Pasal 13 Ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui
Sistem Elektronik yakni:
1) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang identitas
subyek hukum yang
2) Didukung dengan data atau dokumen yang sah;
3) Menyampaikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan terhadap Barang dan/atau Jasa yang diperdagangkan
termasuk Sistem Elektronik yang digunakan sesuai karakteristik fungsi
dan perannya dalam transaksi tersebut; dan
4) Memenuhi ketentuan etika periklanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Terkait informasi yang benar, jelas, dan jujur berdasarkan Pasal 13 Ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui
Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b di
atas paling sedikit memberikan informasi mengenai:
1) Kebenaran dan keakuratan informasi;
2) Kesesuaian antara informasi iklan dan fisik Barang;
3) Kelayakan konsumsi Barang atau Jasa;
4) Legalitas Barang atau Jasa; dan
5) Kualitas, harga, dan aksesabilitas Barang atau Jasa.
4. Pasal 69 Ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019
tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik konsumen dapat melakukan
penukaran atau pembatalan pembelian suatu barang apabila terdapat
kesalahan dan/atau ketidaksesuaian antara Barang dan/atau Jasa yang dikirim.
5. Biaya pengiriman barang dapat dibebankan kepada konsumen apabila
konsumen tersebut terlibat dalam menimbulkan suatu kesalahan dan biaya
yang ditanggung tersebut yakni biaya pengiriman barang tersebut
sebagaimana yang dijelaskan Pasal 69 Ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Anda mungkin juga menyukai