NPM : 211000070
Kelas : A
Dosen : Gandhi Pharmacista S.H.,M.H.
Mata Kuliah : Hukum Perlindungan Konsumen
• Penipuan dan praktik bisnis yang tidak etis: Konsumen rentan menjadi korban praktik
bisnis yang tidak etis dan penipuan. Penjualan barang palsu atau rusak, iklan yang
menyesatkan, penagihan yang tidak adil, atau penipuan investasi adalah beberapa
contohnya. Permasalahan ini dapat merusak kepercayaan konsumen terhadap pasar dan
merugikan mereka secara finansial.
• Ketidakadilan dalam kontrak dan ketentuan: Banyak kontrak dan ketentuan yang ditulis
oleh perusahaan merugikan konsumen. Misalnya, ketentuan yang tidak adil atau tidak
jelas, biaya tersembunyi, atau pembatasan yang tidak wajar terhadap hak konsumen.
Ketidakadilan dapat muncul karena konsumen seringkali tidak memiliki kekuatan tawar
yang sama dalam negosiasi kontrak.
• Produk yang berbahaya: Konsumen juga rentan terhadap barang yang tidak aman atau
berbahaya. Makanan yang terkontaminasi, obat-obatan yang rusak, atau peralatan
elektronik yang tidak memenuhi standar keselamatan dapat membahayakan kesehatan
dan keamanan konsumen.
• Layanan pelanggan yang buruk: Konsumen dapat menghadapi masalah yang signifikan
karena layanan yang buruk. Ketidakpuasan konsumen dapat disebabkan oleh perilaku
perusahaan yang tidak sopan, ketidakresponsifan, atau ketidakmampuan untuk
menyelesaikan masalah.
• Kurangnya informasi yang jelas: Konsumen seringkali kesulitan mendapatkan informasi
yang jelas dan akurat tentang barang atau jasa yang mereka beli. Jika perusahaan tidak
transparan, ini dapat menghambat konsumen dalam membuat keputusan yang cerdas.
Fakta-fakta/ permasalahan yang ditemukan :
Contoh kasus 1 :
Salah satu contoh kasus perlindungan konsumen adalah kasus penjualan produk elektronik yang
tidak memenuhi standar kualitas. Seorang konsumen membeli smartphone dari toko online,
tetapi produk tersebut terkena kerusakan pada waktu pertama penggunaannya. Konsumen
menyatakan kepada toko online bahwa produk tersebut tidak memenuhi standar kualitas yang
mereka tawarkan, namun toko online tidak mengembalikan uang atau menyediakan solusi yang
memuaskan. Dalam kasus ini, konsumen mengadakan tindakan perlindungan konsumen melalui
pengaduan ke pihak yang berwenang, seperti Badan Konsumen Indonesia (BKI) atau Dinas
Perdagangan dan Industri (DPI). Dengan bantuan pihak tersebut, konsumen dapat mendapatkan
solusi yang memuaskan, seperti kembalian uang atau penggantian produk yang memenuhi
standar kualitas.
Contoh kasus 2 :
Hasil peneltian menunjukkan bahwa pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00 WITA dilakukan hanya setiap hari Sabtu saat diselenggarakan jadwal film
midnight pada pukul yang bervariasi. Bisanya film midnight diselenggarakan diatas pukul 22.30
sampai dengan pukul 01.00 WITA. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden bahwa saat
bekerja midnight mendapatkan makan namun diberikan pukul 19.00 WITA dengan jumlah kalori
yang tidak diketahui besarannya. Wawancara terpisah dengan 2 (dua) respondedn lain yang
bekerja di lokasi yang sama menyatakan bahwa tidak mendapatkan makan dan minum
sebagaimana ditentukan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, namun mereka mendapatkan uang makan sebagai pengganti. Selain itu
responden lain yang bekerja di posisi berbeda pada lokasi yang sama, menyatakan biasanya
pulang setiap pukul 00.00 WITA pada hari sabtu dan tidak mendapatkan fasilitas makan dan
minum. Mereka semua sepakat menyatakan bahwa tidak memperoleh fasilitas antar jemput dari
perusahaan.
Pasal 4 UUPK mencakup beberapa hak konsumen yang membantu mereka dalam mengatasi
masalah yang muncul dalam transaksi konsumen.
Sedangkan Pasal 7 UUPK menjelaskan bahwa pelaku usaha haruslah :
Dalam contoh kasus kedua, pengkaitan dengan UUPK tertulis dalam Pasal 18 UU Perlindungan
Konsumen menjelaskan bahwa kontrak haruslah :
Pemberian kuasa juga bisa diartikan sebagai suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan kuasa kepada pihak yang lain (penerima kuasa), yang menerimanya untuk atas
namanya sendiri atau tidak menyelenggaraka satu perbuatan hukum atau lebih untuk yang
memberi kuasa itu. Pemberian kuasa dalam ketentuan pencantuman klausula baku pada
prinsipnya diperbolehkan tetapi tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundangundangan seperti tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d UUPK menyatakan
bahwa: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian apabila menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran”. Penjelasan Pasal 18 ayat
(1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan, tujuan dari larangan pencantuman
klausula baku yaitu bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen
setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, karena pada dasarnya,
hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata). Dalam hal ini setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat
perjanjian sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum
yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPerdata).
Artinya bahwa klausula baku tentang pemberian kuasa diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan.