Anda di halaman 1dari 6

FANDI AHMAD TALAOHU

NIM : 1369319030
Semester : II
Kelas :B

Dosen
Dr. TENG BERLIANTY, S.H., M.Hum
Soal
1. Bagaimana beban pembuktian yang berlaku dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen ?
Jawaban
Konsep pembuktian terbalik di Indonesia dalam penyelesaian sengketa perdata berkaitan
dengan hukum perlindungan konsumen. Pembuktian terbalik diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Pasal 28 UUPK yang berbunyi, “Pembuktian terhadap ada atau tidaknya
unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22,
dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.” Rumusan inilah yang kemudian
dikenal dengan sistem pembuktian terbalik. Rumusan Pasal 23 memperlihatkan bahwa prinsip
tanggung jawab yang dianut dalam UUPK adalah praduga untuk selalu bertanggung jawab
(presumption of liability principle). Prinsip ini merupakan salah satu modifikasi dari prinsip
tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.
Pada dasarnya prinsip pembuktian terbalik menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap
bertanggungjawab (principle of liability principle), sampai tergugat dapat membuktikan bahwa ia
tidak bersalah. Dalam prinsip pembuktian terbalik, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Hal
ini tentu bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Namun jika
diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika menggunakan
teori pembuktian terbalik ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu pada
pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tak bersalah,
dan konsumen tidak dapat sekehendak hati dalam hal mengajukan gugatan. Posisi konsumen
sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan
kesalahan tergugat.

Soal
2. Bagaimana beberapa hal diatur dalam UU Perlindungan Konsumen :
a. Product Liability
b. Redress (Ganti Rugi)
c. Unfair Contract
Jawaban
a. Product Liability
Secara terminologi “product liability” masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di
Indonesia.Ada yang menterjemahkannya sebagai “tanggung Gugat produk”. Pasal 19 UUPK
menyatakan bahwa :
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan”.
Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat
penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materil, fisik, maupun jiwa, dapat didasarkan pada
beberapa ketentuan yang telah disebutkan, yang secara garis besarnya hanya ada dua katagori,
yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang
berdasarkan perbuatan melanggar hukum.
Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat
dengan penggugat (produsen dan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak
ketiga bukan sebagai pihak dalam perjanjian, yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian
dengan alasan wanprestasi.Ganti rugi yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat
tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi
utama atau kewajiban jaminan/garansi dalam penjanjian.
Product liability ini oleh banyak ahli dimasukan dalam sisitematika yang berbeda. Ada yang
mengatakan product libility sebagai bagian dari hukum perikatan, hukum perbuatan melawan
hukum, hukum kecelakaan, dan ada yang menyebutkannya sebagai bagian dari hukum konsumen.
Pandangan yang lebih maju menyatakan product liability ini sebagai bagian hukum sendiri.
Dasar gugatan untuk produk liability dapat dilakukan atas dasar adanya pelanggaran jaminan,
kelalaian, dan tanggung jawab mutlak. Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku
usaha (khusus produsen), bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung
cacat.Pengertian cacat bisa terjadi dalam kontruksi barang, desain, dan/atau pelabelan/informasi.
Adapun yang dimaksud dengan kelalaian adalah bila pelaku usaha yang digugat itu gagal
menunjukan, ia cukup berhati-hati, dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki,
memasang label, atau pendistribusian suatu barang.

b. Redress (Ganti Rugi)


Kerugian yang diderita oleh konsumen akibat mengonsumsi atau menggunakan produk cacat
tersebut, memberikan konsekuensi berupa tanggungjawab yang dibebankan kepada pelaku usaha
untuk memberikan ganti rugi, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 19 ayat (1) Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), tanggung jawab pelaku usaha,
meliputi :
1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;
3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Pasal 19 ayat (2) UUPK lebih lanjut mengatur bentuk ganti rugi yang dapat diperoleh konsumen
akibat mempergunakan atau mengonsumsi produk cacat (defective product) yaitu :
“Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian barang/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.”
UUPK mengatur bahwa ganti rugi dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme:
a. Pengembalian uang
b. Penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya;
c. Perawatan kesehatan;
d. Pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ganti rugi dalam UUPK, menganut ganti kerugian subjektif, maksudnya adalah bahwa kerugian
yang diderita oleh pihak yang dirugikan, diperhitungkan situasi konkretnya dengan keadaan
subjektif diri yang bersangkutan. Memecahkan permasalahan ini terdapat dua teori yaitu:
1. Conditio Sine Qua Non (Van Buri)
a. Menurut teori ini suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat
ditiadakan untuk ada akibat. Berbagai peristiwa tersebut merupakan satu kesatuan yang
disebut “sebab”
b. Ajaran conditio sine qua non ini, berpendapat bahwa semua syaratsyarat yang tidak
mungkin ditiadakan untuk adanya akibat adalah senilai dan menganggap setiap syarat
adalah sebab. Ajaran ini mendapat tentangan dari berbagai pihak dan tidak mungkin
diterapkan dalam praktek hukum, selain itu teori ini memperluas tanggung jawab.
2. Adequate Veroorzaking (Von Kries) Teori ini berpendapat bahwa suatu syarat merupakan
sebab, jika menurut sifatnya sanggup menimbulkan akibat. Hoge Raad memberikan
perumusan, bahwa suatu perbuatan merupakan sebab jika menurut pengalaman dapat
diharapkan/ diduga akan terjadinya akibat yang bersangkutan.

c. Unfair Contract
Dalam pasal-pasal UUPK istilah perjanjian baku tidak ditemukan, yang ada klausula baku. Pasal
1 angka 10 UUPK memberikan definisi klausula baku yaitu : “Klausula baku adalah setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Pasal 18 UUPK, berisi pengaturan pencantuman
klausula baku dalam dokumen dan/atau perjanjian, yaitu :
a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila :
1) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
3) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
5) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
6) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran
b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit dilihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
c. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
batal demi hukum.
d. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang
ini.
Penjelasan pasal 18 ayat (1) UUPK, menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula
baku, yaitu bahwa : ”Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara
dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”. Penyebutan perjanjian baku
(standar) hanya ditemukan dalam penjelasan umum alinea keempat UUPK, yaitu: ”Konsumen
menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha
melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen”. Demikian juga istilah klausula eksonerasi (exemption clause), tidak ditemukan dalam
UUPK. Klausula ekssonerasi yaitu klausula yang meniadakan atau membatasi tanggung jawab.
Meskipun UUPK tidak menyebutkan perjanjian baku secara eksplisit, namun jika mencermati
pendapat Yohanes Sogar Simamora yang menyatakan bahwa jantung dari suatu kontrak adalah
klausula yang diatur didalamnya (klausula pokok dan penunjang), dan juga menurut Salim H.S,
bagian isi dari struktur dan anatomi kontrak adalah klausula-klausula (klausula definisi, transaksi,
spesifik dan klausula ketentuan umum), maka dalam perjanjian baku pun tentunya berisi klausula-
klausula. Jadi UUPK mengatur dari segi substansinya (klausula-klausulanya) bukan perjanjiannya,
sebab seperti disebutkan dalam pasal 1 angka 10 UUPK bahwa klausula baku bisa dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Jadi
mengatur klausula baku dapat juga berarti mengatur perjanjian baku. Pada prinsipnya
pencantuman atau penggunaan klausula baku tidak dilarang kecuali klausula baku yang isinya
merugikan konsumen, dan klusula baku yang dilarang, adalah yang mengandung 8 negatif list
(pasal 18 ayat (1) UUPK) yang intinya adalah: (1) Isinya mengurangi, membatasi, menghapuskan
kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha, dan (2) Isinya menciptakan kewajiban atau
tanggungjawab yang dibebankan pada konsumen, serta letak dan bentuknya (pasal 18 ayat (2)
UUPK) yaitu : (1) Sulit terlihat, (2) Tidak dapat dibaca dengan jelas, dan (3) Pengungkapannya
sulit dimengerti.

Soal
3. Adakah hubungan antara sistem dumping dan perlindungan konsumen?
Jawaban
Dumping atau harga barang yang diekspor lebih murah dibandingkan harga barang yang dijual di
pasar domestik merupakan cara berdagang yang curang. Produsen lokal di Indonesia akan
dirugikan karena konsumen cenderung memilih barang impor yang lebih murah. Sejak krisis
ekonomi global, banyak para pelaku industri yang berusaha merebut pasar dengan cara yang tidak
sehat seperti dumping. "Hal inilah yang membuat saya prihatin karena di sisi lain produsen lokal
tidak memahami hak mereka untuk dilindungi,
Perlindungan konsumen masing-masing negara seperti yang dimiliki Indonesia tidak akan cukup
membantu, karena dumping beroperasi secara lintas batas (bonder less). Dalam kaitan ini,
perlindungan hukum bagi konsumen harus dilakukan dengan pendekatan internasional melalui
harmonisasi hukum dan kerjasama institusi-institusi penegak hukum
Perlunya perangkat hukum yang dapat diterapkan, baik berupa undang-undang atau peraturan baru
atau kaidah hukum yang disesuaikan dengan kebutuhan. Tanpa perlindungan dan kepastian hukum
bagi konsumen, maka Indonesia hanya akan menjadi ajang dumping barang dan jasa yang tidak
bermutu, yang lebih menghawatirkan, kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan pun jadi lebih sulit
diwujudkan.
Perlindungan hukum bagi para pihak pada intinya sama, yaitu adanya peran pemerintah untuk
melindungi kepentingan pelaku usaha dan konsumen dalam kerangka perdagangan. Peranan
pemerintah yang dimaksud di sini mencakup aspek nasional dan internasional. Artinya, tuntutan
adanya, kepastian hukum dalam melakukan perikatan harus jelas dari segi aspek hukum nasional
melalui pembentukan peraturan di bidang perlindungan hukum bagi konsumen, maupun aspek
hukum interna-sional melalui perjanjian internasional atau harmonisasi hukum.

Anda mungkin juga menyukai