Anda di halaman 1dari 4

Contoh kasus:

Beberapa waktu lalu terdapat suatu sengketa antara Dokter selaku pemilik “Klinik
kecantikan” dengan pasiennya. Dimana pasien merasa wajahnya tak secantik seperti
apa yang diinginkan. Pasien dirugikan dan merasa Dokter tersebut telah menipunya
sehingga pasien tersebut meminta pertanggungjawaban atas apa yang sudah ia
perbuat. Akan tetapi Dokter tersebut menolak dengan alasan bahwa dia sudah
melakukannya dengan benar.

Pertanyaan:

1. Menurut analisa anda, apakah kasus Dokter dengan Pasien di atas masuk dalam
ranah hokum perlindungan konsumen? Jelaskan berlandaskan hukum!
2. Berdasarkan kasus diatas, bagaimana pandangan anda jika dilihat dari aspek
hokum pidana? Jelaskan berdasarkan hukum!
3. Berdasarkan kasus di atas, jika Pasien meminta pengembalian uang dan Dokter
menolak mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan alasan pasien telah
menerima struk pembayaran yang isinya menyatakan apabila . Berikan analisa
hukum anda berdasarkan UUPK!

1. Menurut saya, uraian kasus di atas merupakan hal yang masuk dalam ranah hukum
perlindungan konsumen. Dapat dilihat dalam perberlakuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) yang tujuan utamanya adalah melindungin kosumen. Tujuan
perlindungan konsumen dalam UUPK diatur dalam Pasal 3 UUPK :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses
negatif permakaian barang dan/atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-
haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Perlindungan konsumen dalam UUPK lebih dititikberatkan ke arah pemberdayaan konsumen


serta meningkatkan kesadaran pelaku usaha akan pentingnya perlindungan konsumen, dan tidak
ditujukan untuk menghukum pelaku usaha atau mematikan kegiatan usaha.

Adapun larangan mencantumkan Klausula Baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana tersebut dalam Pasal
18 huruf b UUPK, sebaiknya ada batas waktu yang wajar. Hal ini merupakan pasangan dari
larangan Klausula Baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen (huruf e).
Jadi, pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijualnya dan
tidak mengembalikan uang yang telah diterima sebagai pembayaran atas barang tersebut, tetapi
tentu saja jika pengembalian barang tersebut dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh
hukum.

Dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah
mengatur secara limitatif mengenai tanggung jawab pelaku usaha dalam hal konsumen merasa
dirugikan dalam memakai menggunakan barang dan jasa, berikut penjabarannya :

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha
dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Tanggung jawab yang tercantum dalam Pasal 19 UUPK bahwa pelaku usaha bertanggung jawab
untuk :

1. kerugian atas kerusakan;


2. kerugian atas pencemaran;
3. kerugian atas mengkonsumsi barang/jasa.

2. Dapat dijabarkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab atas semua kerugian konsumen.
Tanggung jawab pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, ini tidak hanya berupa tanggung jawab secara perdata saja.
Pelaku usaha bisa dituntut secara pidana juga. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 angka
(4) UUPK, yang menentukan bahwa pemberian ganti kerugian tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut jika adanya unsur
kesalahan.
Dari uraian kasus di atas, menurut saya dapat diketahui bahwa terbatasnya upaya konsumen
untuk menuntut haknya dengan tidak dilandasi dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya kejadian seperti ini, pihak konsumen ditempatkan pada posisi yang tidak
menguntungkan.
Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang dijadikan landasan, tindakan Pelaku Usaha
yang merugikan konsumen dan/atau mengganggu pembangunan perekonomian secara umum,
dalam suatu tingkat tertentu dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Perbuatan pidana
yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut kemudian dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
di bidang ekonomi (tindak pidana ekonomi) karena ada kepentingan ekonomi nasional (umum)
yang hendak dilindungi atau dipertahankan, yaitu menjaga agar tatanan perekonomian nasional
tetap langgeng, berkembang baik, dan tidak kacau. Pada dasarnya perbuatan pidana atau tindak
pidana dibedakan atas kejahatan dan pelanggaran sesuai dengan sistem yang dianut oleh KUH
Pidana Indonesia, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen hal tersebut tidak dibedakan.

Berdasarkan UUPK, tindakan merugikan konsumen sebagai tindak pidana dikelompokan menjadi
tiga kelompok, yakni:
1. Tindakan pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10; Pasal 13 ayat (2);
Pasal 15; Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e; Pasal 17 ayat (2); dan Pasal
18 adalah tindak pidana, yang dapat diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
2. Tindakan pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal
14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f adalah tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
3. Tindakan pelaku usaha yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau
kematian, diberlakukanlah ketentuan pidana yang berlaku, yaitu KUH Pidana dan perundang-
undangan lainnya.

3. Dalam kasus diatas, jika pelaku usaha Dokter pada “Klinik Kecantikan” sudah mencantumkan
Klausula Baku yang sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 18 Ayat (2) “Pelaku usaha dilarang mencantumkan Klausula Baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti” yang dalam hal ini artinya jika pencantuman perjanjian baku yang berbunyi
“Apabila sudah melakukan transaksi maka uang yang sudah diberi tidak dapat dikembalikan”
merupakan sebuah perjanjian baku antara konsumen dan pelaku usaha sudah ditempatkan pada
posisi yang mudah terlihat dan terbaca oleh konsumen. Maka, pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang telah dibayarkan oleh konsumen atas barang/jasa yang telah
dibeli. Jadi, pelaku usaha tidak bias menerima kembali barang/jasa yang sudah dijual dan juga
tidak dapat mengembalikan uang yang diterima atas pembayaran. Namun, jika adanya alasan-
alasan yang dibenarkan oleh hukum, penerimaan barang/jasa dan mengembalikan uang
tersebut dapat dilakukan. Menyangkut pencantuman Klausula Baku yang menyatakan bahwa
pelaku usaha berhak menolak menerima kembali barang dan mengembalikan uang kepada
konsumen sebagai mana disebut Pasal 18 huruf b UUPK, sebaiknya ada batas waktu yang wajar,
sehingga dapat memberikan kesempatan dan posisi yang menguntungkan diantara kedua belah
pihak.

Adapun pencantuman Klausula Baku yang tercantum pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 18:

1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan Klausula Baku setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan
atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan Klausula Baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3) Setiap Klausula Baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal
demi hukum.
4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan Klausula Baku yang bertentangan dengan Tucundang-undang
ini.

Anda mungkin juga menyukai