Anda di halaman 1dari 3

Hukum Perlindungan Konsumen

1. Menurut anda, berdasarkan kasus di atas apakah dalam bidang kesehatan pasien dapat disebut
sebagai konsumen? Jelaskan berlandaskan hukum!

Berdasarkan Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jasa adalah setiap
layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan
oleh konsumen. Definisi pasien sendiri pada Pasal 1 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau
dokter gigi. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Pada Ayat 1 UU No. 44 TAHUN 2009 Tentang
Rumah Sakit memberikan definisi bahwa Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun
tidak langsung di Rumah Sakit.

Dengan demikian pasien dapat juga dikatakan seorang konsumen karena pada layanan praktek
kesehatan yang dilakukan oleh dokter kepada pasien, pasien menggunakan jasa dokter yaitu berupa
konsultasi penyakit hingga diberikannya obat atau Tindakan kedokteran.

2. Berdasarkan cerita kasus ditas, berikan penjelasan perlindungan konsumen dari aspek hukum
pidana dan apakah hukum perlindungan konsumen yang ada dalam hukum perdata adalah
bagian dari aspek hukum publik? Jelaskan berdasarkan hukum!

Hukum pidana sendiri termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam kategori ini termasuk pula hukum
administrasi negara, hukum acara, dan hukum internasional. Di antara semua aspek hukum publik itu,
yang paling banyak menyangkut perlindungan konsumen adalah hukum pidana dan hukum administrasi
negara. Itulah sebabnya mengapa dua bidang hukum itu yang dibicarakan secara khusus.

hukum pidana secara teoritis normatif mengacu dan bersumber kepada KUHP dan secara praktis
berpedoman pada KUHAP. Secara tioritis, KUHP merupakan instrumen hukum pokok yang paling banyak
memberi porsi pengaturan persoalan perlindungan konsumen. Meskipun di dalam KUHP tidak
ditemukan istilah konsumen, namun secara implisit terdapat beberapa pasal yang diperuntukkan untuk
kepentingan perlindungan konsumen, seperti Pasal 204, 205, 359, 360, 382, 386, 383 dan 390 KUHP.

Pasal 204: Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang, yang
diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak
diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Jika perbuatan
mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata memang sama sekali tidak pernah disebut-sebut kata
“Konsumen”. Istilah lain yang sepadan dengan itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang
(debitur). Contoh pasal yang mengandung perlindungan konsumen antara lain: Pasal 1504 (jo Pasal-
Pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504 s.d. 1511) : Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat
tersembunyi pada produk yang dijual, yang membuat produk itu tak mampu untuk berfungsi/digunakan
sebagaimana mestinya, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan
membeli produknya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.

Dalam hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian merupakan faktor yang sangat penting,
walaupun bukan faktor mutlak yang harus ada. Dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan
konsumen, pernah ada suatu kurun waktu yang menganggap unsur perjanjian mutlak harus ada lebih
dulu, barulah konsumen dapat memperoleh perlindungan yuridis dan lawan sengketanya. Pandangan
prinsipiil seperti itu saat ini perlu ditinjau kembali. Adanya hubungan hukum berupa perjanjian tentu
saja sangat membantu memperkuat posisi konsumen dalam berhadapan dengan pihak yang merugikan
hakhaknya. Perjanjian ini perlu dikemukakan karena merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan.

LANJUTIN SENDIRI AKU GA NGERTI

3. Perlu diketahui bahwa hubungan hukum merupakan hubungan yang terhadapnya melekat hak
dan kewajiban, yaitu melekat hak pada satu pihak dan melekat kewajiban pada pihak lain. jadi,
hubungan hukum melibatkan sekurang-kurangnya 2 pihak, apabila salah satu pihak tidak
memperdulikan atau melanggar hak atau kewajiban tersebut maka hukum dapat memaksakan
agar hak dan kewajiban tadi dapat terpenuhi. Terkait kasus diatas apakah pencantuman klausul
baku dalam jual-beli dibolehkan? Berikan analisa hukum anda berdasarkan UUPK!

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah mengatur kesetaraan
antara si pedagang dan si pembeli. Pada pasal 4 huruf b, sudah mengatur hak konsumen yaitu hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Pada pasal 7 huruf e juga sudah
mengatur kewajiban pelaku usaha yaitu memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang
yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan. Sehingga, apabila di bon ada tulisan ‘barang yang sudah
dibeli tidak dapat dikembalikan’, maka sebetulnya itu pedagang sudah melanggar Pasal 4 huruf b dan
pasal 7 huruf e UU Perlindungan Konsumen sebagai hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha.

Bukan tidak mungkin barang dan atau jasa yang diterima konsumen ternyata cacat atau rusak. Pada
kondisi ini, ia berhak mengembalikan barang kepada pedagang atau toko yang menjual. Merujuk Pasal
18 UU Perlindungan Konsumen mengenai Pencantuman Klausal Baku, pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan atau jasa yang diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada
setiap dokumen atau perjanjian. Pada Pasal 18 ayat (1) poin c tertulis bahwa pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausul baku yang menyatakan bahwa mereka berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli konsumen Kemudian dalam Pasal 18 ayat (3)
dikatakan bahwa: “Setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
batal demi hukum”

Untuk transaksi pembelian barang elektronik, sudah menjadi kewajiban pelaku usaha untuk menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, sesuai dengan pasal 7 huruf d UU Perlindungan Konsumen.
Kewajiban pelaku usaha juga untuk memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan. Sehingga pada pembelian barang elektronik, sudah sewajibnya
untuk alat elektronik tersebut dicoba dihadapan pembeli serta penjual, sehingga setelah berbagai
pengecekan dan pembeli setuju maka pembeli bisa membayar dan membawa pulang.

Anda mungkin juga menyukai