Klausula Eksonerasi
Klausula Eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian, dimana satu
pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau
terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan yang melawan hukum. Dari hal ini dapat
dilihat bahwa dari adanya klausula eksonerasi ini menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar
Klausula eksonerasi adalah klausula yang berisi pengecualian kewajiban atau pengalihan
tanggung jawab dalam perjanjian. Hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha yang terikat
dalam suatu perjanjian idealnya harus dalam posisi seimbang. Kedua pihak memiliki kewajiban dan
hak masing-masing yang harus dipenuhi. Namun dalam praktiknya, sering konsumen berada pada
posisi cenderung lemah dibandingkan pelaku usaha. Hal ini karena produk yang dijual pelaku usaha
sangat dibutuhkan oleh konsumen sehingga muncul istilah “take it or leave it”.
“Terminologi Hukum Inggris Indonesia” yaitu, pemberian kebebasan terhadap seseorang dalam
upaya lepas dari tuntutan tanggung jawab. Secara sederhana, klausula eksonerasi ini diartikan
sebagai klausula pengecualian kewajiban dan atau pertanggungjawaban dalam perjanjian dari pihak
yang menetukan perjanjian pada kondisi ini. Karena adanya ketidak seimbangan antara pihak
penanggung dan tertanggung secara substansial pihak yang menentukan telah menuangkan syarat
dalam perjanjian dalam bentuk tanggung jawab atau yang sering disebut dengan klausula
eksonerasi. Tanggung jawab dibatasi dengan pembebasan yang pada hakikatnya merupakan
kewajiban atau tanggung jawabnya dalam bentuk hubungan kontraktual pada perjanjian yang
bersifat baku.
Klausula eksonerasi dituangkan dalam perjanjian baku dan jika ditelaah berdasarkan syarat
sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata berimplikasi pada
keabsahan atau pembatalan suatu perjanjian karena hilangnya makna kesepakatan sebagai salah satu
syarat sahnya suatu perjanjian sehingga perjaanjian sehingga perjanjian tersebut dapat dikatakan
cacat kehendak yang digunakan oleh salah satu pihak untuk menentukan isi suatu perjanjian.
diterbitkan dan jelas, namun proses pelaksanaannya belum maksimal dengan kata lain peraturan
yang ada dalam undang-undang tidak sesuai dengan praktek kehidupan masyarakat. Dalam
beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang
berkaitan dengan tanggungjawab pelaku usaha bahkan ada yang dalam tingkatan dianggap
membahayakan jiwa konsumen. Contohnya, makanan kadaluarsa atau yang tidak tercantum tanggal
dan label dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ini dapat kita temukan di swalayan
yang menjual produk bahan curah. Contoh lainnya, dari lembaran kartu parkir maupun kwitansi
pembelian barang yang tertulis “pengelola parkir tidak bertanggungjawab atas segala kerusakan dan
kehilangan dalam bentuk apapun” dan ”barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan”. Ini merupakan perjanjian sepihak dari pelaku usaha barang dan jasa atau yang lebih
Tahun 1999, dalam Pasal 18 menjelaskan tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yaitu
mengatur ketentuan apa saja yang dilarang bagi pelaku usaha yang membuat Klausula Baku atau
perjanjian sepihak. Dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (a) menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang :
penggunaan Klausula Baku dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan
pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak dan mencegah kemungkinan timbulnya
tindakan yang merugikan konsumen karena faktor ketidaktahuan, kedudukan yang tidak seimbang,
dan sebagainya yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh
keuntungan. Namun pada kenyataannya banyak ditemukan Klausula Baku yang bertentangan
dengan undang-undang. Klausula Baku atau perjanjian sepihak yang memuat pengalihan
Dalam UUPK Klausula Baku atau Perjanjian Standar diatur dalam Pasal 1 ayat (10) yang
menyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Perjanjian baku atau standar bersifat massal, di mana perjanjian tersebut diperuntukkan bagi
setiap debitur atau konsumen yang melibatkan diri dalam perjanjian baku tanpa memperhatikan
perbedaan kondisi konsumen yang satu dengan yang lain. Dalam UUPK mengenai ketentuan
pencantuman Klausula Baku diatur dalam Pasal 18 ayat (1) yang menentukan sebagai berikut :
pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila :
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen.
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
e. mengatur perihal embuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli
oleh konsumen.
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan,hak gadai,atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
Jika pelaku usaha melanggar ketentuan pencantuman klausula baku yang sudah ditetapkan
maka akan dinyatakan batal demi hukum, sesuai dengan isi dalam Pasal 18 ayat (3) menyebutkan
bahwa, "Setiap klausula baku yang sudah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
Batal demi hukum artinya adalah syarat-syarat dalam perjanjian tersebut dianggap tidak
pernah ada, dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK sudah berisi sanksi terhadap pelanggaran Pasal 18
tersebut yaitu berisikan ancaman hukuman pidana penjara maksimum 5 (lima) tahun atau pidana
Pencantuman klausula di dalam perjanjian baku yang hanya ditentukan secara sepihak
oleh pelaku usaha, maka keadaan ini seringkali disalahgunakan oleh pelaku usaha sehingga
isi dari perjanjian tersebut lebih banyak menentukan kewajiban dari konsumen
dibandingkan dengan kewajiban dari pelaku usaha serta lebih banyak hak-hak dari pelaku
usaha dibandingkan dengan hak dari konsumen, bahkan tidak jarang di dalam perjanjian
baku disertai dengan klausula eksonerasi yang menggeser risiko-risiko tertentu kepada
pihak lain.
dimungkinkan karena adanya yang memberikan kebebasan kepada para pihak dalam untuk
menentukan apa saja yang mereka sepakati, bahkan bisa menyimpangi ketentuan undang-
kebebasan berkontrak, karena kebebasan ini hanya dikuasai oleh salah satu pihak yang
posisinya relatif lebih kuat, sehingga klausula-klausula dalam perjanjian baku hanya
ditentukan oleh pihak pelaku usaha tanpa melibatkan pihak konsumen, sehingga
Salah satu bentuk perlindungan pemerintah terhadap pihak yang lemah adalah dengan
(UUPK). Dalam ketentuan Pasal 18 telah ditentukan berbagai larangan dalam membuat atau
(1). Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
(2). Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3). Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleha pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
(4). Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-
undang ini.
Melihat ketentuan tersebut di atas, maka keabsahan dari perjanjian baku yang
mencantumkan klausula pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (yang dikenal dengan
istilah klausula eksonerasi) berakibat klausula tersebut dinyatakan batal demi hukum. Suatu
Batal demi hukum berakibat perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap
akibat dari perjanjian baku yang melanggar ketentuan tersebut berakibat batal demi hukum,
namun pembatalan tersebut harus dimintakan kepada hakim, sebagaimana mana ditentukan
dalam Pasal 1266 bagian ketiga menyatakan bahwa “Dalam hal yang demikian perjanjian
tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim”.
Maka membatalkan klausula dalam perjanjian baku yang memuat klausula eksonerasi
diperlukan kesadaran dari konsumen yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan
pembatalan, padahal kita tahu kalau kesadaran konsumen akan hak-haknya di negara kita
masih rendah, untuk itu diperlukan peran pemerintah yang sangat dominan dalam rangka
melindungi konsumen.