Anda di halaman 1dari 7

A.

Klausula Eksonerasi

Klausula Eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian, dimana satu

pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau

terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan yang melawan hukum. Dari hal ini dapat

dilihat bahwa dari adanya klausula eksonerasi ini menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar

menawar antara produsen dan juga konsumen.

Klausula eksonerasi adalah klausula yang berisi pengecualian kewajiban atau pengalihan

tanggung jawab dalam perjanjian. Hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha yang terikat

dalam suatu perjanjian idealnya harus dalam posisi seimbang. Kedua pihak memiliki kewajiban dan

hak masing-masing yang harus dipenuhi. Namun dalam praktiknya, sering konsumen berada pada

posisi cenderung lemah dibandingkan pelaku usaha. Hal ini karena produk yang dijual pelaku usaha

sangat dibutuhkan oleh konsumen sehingga muncul istilah “take it or leave it”.

Eksonerasi atau exoneration menurut I. P. M. Ranuhandoko B.A. dalam bukunya

“Terminologi Hukum Inggris Indonesia” yaitu, pemberian kebebasan terhadap seseorang dalam

upaya lepas dari tuntutan tanggung jawab. Secara sederhana, klausula eksonerasi ini diartikan

sebagai klausula pengecualian kewajiban dan atau pertanggungjawaban dalam perjanjian dari pihak

yang menetukan perjanjian pada kondisi ini. Karena adanya ketidak seimbangan antara pihak

penanggung dan tertanggung secara substansial pihak yang menentukan telah menuangkan syarat

dalam perjanjian dalam bentuk tanggung jawab atau yang sering disebut dengan klausula

eksonerasi. Tanggung jawab dibatasi dengan pembebasan yang pada hakikatnya merupakan

kewajiban atau tanggung jawabnya dalam bentuk hubungan kontraktual pada perjanjian yang

bersifat baku.

Klausula eksonerasi dituangkan dalam perjanjian baku dan jika ditelaah berdasarkan syarat

sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata berimplikasi pada

keabsahan atau pembatalan suatu perjanjian karena hilangnya makna kesepakatan sebagai salah satu
syarat sahnya suatu perjanjian sehingga perjaanjian sehingga perjanjian tersebut dapat dikatakan

cacat kehendak yang digunakan oleh salah satu pihak untuk menentukan isi suatu perjanjian.

B. Klausula Eksonerasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memang telah

diterbitkan dan jelas, namun proses pelaksanaannya belum maksimal dengan kata lain peraturan

yang ada dalam undang-undang tidak sesuai dengan praktek kehidupan masyarakat. Dalam

beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang

berkaitan dengan tanggungjawab pelaku usaha bahkan ada yang dalam tingkatan dianggap

membahayakan jiwa konsumen. Contohnya, makanan kadaluarsa atau yang tidak tercantum tanggal

dan label dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ini dapat kita temukan di swalayan

yang menjual produk bahan curah. Contoh lainnya, dari lembaran kartu parkir maupun kwitansi

pembelian barang yang tertulis “pengelola parkir tidak bertanggungjawab atas segala kerusakan dan

kehilangan dalam bentuk apapun” dan ”barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau

dikembalikan”. Ini merupakan perjanjian sepihak dari pelaku usaha barang dan jasa atau yang lebih

dikenal Klausula Baku.

Hal ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8

Tahun 1999, dalam Pasal 18 menjelaskan tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yaitu

mengatur ketentuan apa saja yang dilarang bagi pelaku usaha yang membuat Klausula Baku atau

perjanjian sepihak. Dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (a) menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang :

“menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha”. Larangan dan persyaratan tentang

penggunaan Klausula Baku dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan

pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak dan mencegah kemungkinan timbulnya

tindakan yang merugikan konsumen karena faktor ketidaktahuan, kedudukan yang tidak seimbang,

dan sebagainya yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh
keuntungan. Namun pada kenyataannya banyak ditemukan Klausula Baku yang bertentangan

dengan undang-undang. Klausula Baku atau perjanjian sepihak yang memuat pengalihan

tanggungjawab pelaku usaha disebut Klausula Eksonerasi.

Dalam UUPK Klausula Baku atau Perjanjian Standar diatur dalam Pasal 1 ayat (10) yang

menyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah

dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan

dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Perjanjian baku atau standar bersifat massal, di mana perjanjian tersebut diperuntukkan bagi

setiap debitur atau konsumen yang melibatkan diri dalam perjanjian baku tanpa memperhatikan

perbedaan kondisi konsumen yang satu dengan yang lain. Dalam UUPK mengenai ketentuan

pencantuman Klausula Baku diatur dalam Pasal 18 ayat (1) yang menentukan sebagai berikut :

pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang

membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila :

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli

konsumen.

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan

atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen.

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung

maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang

yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

e. mengatur perihal embuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli

oleh konsumen.

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta

kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.


g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,tambahan,lanjutan

atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen

memanfaatkan jasa yang dibelinya.

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak

tanggungan,hak gadai,atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran.

Jika pelaku usaha melanggar ketentuan pencantuman klausula baku yang sudah ditetapkan

maka akan dinyatakan batal demi hukum, sesuai dengan isi dalam Pasal 18 ayat (3) menyebutkan

bahwa, "Setiap klausula baku yang sudah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau

perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan

batal demi hukum."

Batal demi hukum artinya adalah syarat-syarat dalam perjanjian tersebut dianggap tidak

pernah ada, dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK sudah berisi sanksi terhadap pelanggaran Pasal 18

tersebut yaitu berisikan ancaman hukuman pidana penjara maksimum 5 (lima) tahun atau pidana

denda maksimum Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

C. Klausula Eksonerasi Yang Diatur Dalam UUPK

Pencantuman klausula di dalam perjanjian baku yang hanya ditentukan secara sepihak

oleh pelaku usaha, maka keadaan ini seringkali disalahgunakan oleh pelaku usaha sehingga

isi dari perjanjian tersebut lebih banyak menentukan kewajiban dari konsumen

dibandingkan dengan kewajiban dari pelaku usaha serta lebih banyak hak-hak dari pelaku

usaha dibandingkan dengan hak dari konsumen, bahkan tidak jarang di dalam perjanjian

baku disertai dengan klausula eksonerasi yang menggeser risiko-risiko tertentu kepada

pihak lain.

Pencantuman klausula eksonerasi yang berisi pengalihan tanggung jawab

dimungkinkan karena adanya yang memberikan kebebasan kepada para pihak dalam untuk
menentukan apa saja yang mereka sepakati, bahkan bisa menyimpangi ketentuan undang-

undang yang bersifat pelengkap. Namun Pencantuman klausula eksonerasi yang

memberatkan konsumen ini dapat dikatakan merupakan pembatasan terhadap asas

kebebasan berkontrak, karena kebebasan ini hanya dikuasai oleh salah satu pihak yang

posisinya relatif lebih kuat, sehingga klausula-klausula dalam perjanjian baku hanya

ditentukan oleh pihak pelaku usaha tanpa melibatkan pihak konsumen, sehingga

memungkinkan pelaku usaha dengan leluasa menyalahgunakan keadaan ini.

Salah satu bentuk perlindungan pemerintah terhadap pihak yang lemah adalah dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK). Dalam ketentuan Pasal 18 telah ditentukan berbagai larangan dalam membuat atau

mencantumkan klausula baku dalam setiap dokumen dan/atau perjanjian sebagaimana

tercantum berikut ini:

(1). Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan

dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau

perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang

dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang

dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara

langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang

berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;


e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa

yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi

harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku

usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang

dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2). Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit

terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3). Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleha pelaku usaha pada dokumen atau

perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

dinyatakan batal demi hukum.

(4). Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-

undang ini.

Melihat ketentuan tersebut di atas, maka keabsahan dari perjanjian baku yang

mencantumkan klausula pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (yang dikenal dengan

istilah klausula eksonerasi) berakibat klausula tersebut dinyatakan batal demi hukum. Suatu

perbuatan dinyatakan batal demi hukum, karena kebatalannya berdasarkan undang-undang.

Batal demi hukum berakibat perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap

tidak pernah ada.


Walaupun dalam Pasal 18 UndangUndang Perlindungan Konsumen meyatakan bahwa

akibat dari perjanjian baku yang melanggar ketentuan tersebut berakibat batal demi hukum,

namun pembatalan tersebut harus dimintakan kepada hakim, sebagaimana mana ditentukan

dalam Pasal 1266 bagian ketiga menyatakan bahwa “Dalam hal yang demikian perjanjian

tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim”.

Maka membatalkan klausula dalam perjanjian baku yang memuat klausula eksonerasi

diperlukan kesadaran dari konsumen yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan

pembatalan, padahal kita tahu kalau kesadaran konsumen akan hak-haknya di negara kita

masih rendah, untuk itu diperlukan peran pemerintah yang sangat dominan dalam rangka

melindungi konsumen.

Anda mungkin juga menyukai