Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

“KLAUSULA BAKU”

KELOMPOK 5 :

1. PETRONELA NELWAN 18602123


2. SAPARA TAMAROBA 19602074
3. SILVESTER KARUHANG 19602169
4. ALFANDO RARUNG 19602047

UNIVERSITAS NEGERI MANADO


FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum perikatan menganut suatu asas yang dinamakan asas kebebasan
berkontrak atau diistilahkan contractvrijheid atau partijautonomie3 artinya subyek-
subyek hukum diberi suatu kebebasan untuk mengadakan atau melaksanakan kontrak /
perjanjian sesuai kehendak dalam menentukan isi dan syarat berdasarkan kesepakatan
asalkan memenuhi rambu-rambu pembatasanya. Adanya ketentuan- ketentuan memaksa
dalam aturan hukum tentunya para pihak yang akan membuat suatu perjanjian tidak dapat
serta merta dapat mengabaikan aturan perundang-undangan yang telah ada, melainkan
harus tetap mengacu pada aturan-aturan yang telah diatur di dalam undang-undang.
Hukum perjanjian memberikan ruang kepada para pihak untuk membentuk
dan menentukan isi dari perjanjian yang akan dilakukan, meski demikian, dalam
penerapanya terjadi beberapa permasalahan yang sering dialami dalammenjalankan
perjanjian tersebut, salah satu diantaranya adalah adanya kontrak baku, dalamUndang-
Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-Undang
tersebut Pasal 1 Angka 10 disebutkan bahwa :
“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen”.
Berpijak pada aturan tersebut maka dapat diketahui bahwa di dalam klausula
baku yang dibuat, terdapat unsur keharusan yang harus dilakukan oleh salah satu pihak
dalam rangka pemenuhan atas aturan yang ada di dalamperjanjian tersebut.
Mengacu pada pemikiran bahwa suatu perjanjian terjadi ketika para pihak
yang ada di dalamnya sepakat untuk saling mengikatkan diri, maka dalam hal ini
pelaksanaan perjanjian tidak dapat lepas dari perinsip konsensualisme yang merupakan
suatu syarat pembentuk perjanjian. Perinsip konsensualisme merupakan syarat mutlak
dalam setiap kontrak yang berfungsi untuk menjamin kepastian hukum.
Suatu perjanjian dianggap terjadi setelah para pihak mengatakan
kesepakatan. Lebih jauh memahami tentang kesepakatan para pihak, bahwa pada
hakikatnya dalam hubungan hukum perjanjian, kesepakatan yang terjadi terbentuk
karena proses tawar menawar.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan klausula baku dalammencapai keadilan berkontrak?
2. Bagaimana isi perjanjian agar dapat mencapai keadilan bagi kedua belah pihak?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengaturan Klausula Baku DalamMencapai Keadilan Berkontrak


Kedudukan klausula baku dalam hukumperjanjian di Indonesia dapat
ditelusuri dari dasar hukum yang mengatur terkait dengan klausula baku tersebut, serta
penggunaan klausula baku dalamhubungan keperdataan yang dilakukan oleh para pihak.
Mengenai kedudukan klausula baku dapat dilihat dari aturan hukum yang mengaturnya
serta beberapa contoh perjanjian yang menggunakan klausula baku.
Aturan hukum di Indonesia telah mengatur terkait dengan klausula baku
yang biasanya digunakan di dalam hubungan bisnis atau perjanjian, dalam hal ini dapat
dilihat di dalamketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Di dalam pasal tersebut jelas disebutkan bahwa adanya
aturan-aturan yang mengatur keberadaan klausula baku yaitu :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selain itu, dalam aturan yang terdapat di dalam Pasal 18 Undang-Undang


No. 8 Tahun 1999 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”.

Sedangkan pada ayat (3) lebih lanjut disebutkan bahwa: “Setiap klausula
baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal
demi hukum”. Dalam penerapanya adanya ketentuan pada ayat (3) tersebut penggunaan
kalusula baku yang letaknya sebagaimana yang diatur di dalam ayat (1) dan (2), masih
banyak dijumpai. Tidak hanya berhenti disitu, di dalam ayat (3) bahwa, “Pelaku usaha
wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini”.

- Dalam perjanjian
Pada umumnya perjanjian yang dilakukan oleh para pihak tidak terikat
dalam bentuk-bentuk tertentu, selain itu undang-undang yang ada di Indonesia juga
tidak mengatur secara terperinci bentuk maupun isi dari perjanjian yang ada.
Setidaknya di dalam suatu perjanjian terdapat dua syarat yang harus ditaati oleh
kedua belah pihak yaitu, syarat pokok dan syarat pelengkap.
Syarat pokok dapat dimaknai sebagai syarat fundamental bagi setiap
perjanjian sehingga tidak dipenuhinya syarat tersebut akan berpengaruh terhadap
tujuan utama dari perjanjian yang dilakukan. Sedangkan syarat pelengkap merupakan
syarat yang kurang begitu penting, karena hanya sebagai pelengkap dalam perjanjian,
apabila syarat pelengkap ini tidak dipenuhi hanya akan menimbulkan kerugian,
namun tidak berakibat pada gugur atau hapusnya perjanjian tersebut.
- Penggunaan Klausula Baku Dalam Perjanjian Saat Ini
Pihak yang berkedudukan lemah cenderung hanya menerima dan
menandatangani isi perjanjian karena dia tidak memiliki daya tawar untuk
merubah isi kontrak tersebut. Jika berdasar pada dari tujuan yang hendak diraih oleh
para pihak dalam sutau perjanjian tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian yang
dilakukan tersebut bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan sekaligus sebagai dasar
hukum bagi para pihak untuk berbuat maupun tidak berbuat sesuatu.
Adapun isi dari perjanjian yang lahir dari kesepakatan antara kedua belah
pihak tersebut menjadi dasar bagi para pihak dalam mencapi tujuan serta kepentingan
masing-masing. Penggunaan klausula baku dalam perjanjian saat ini tidak dapat
dilepaskan dari kebutuhan pengusaha yang menginginkan adanya suatu perjanjian
yang cepat dengan biaya yang murah sehingga dapat menghemat biaya yang
dikeluarkan (efisien).
- Pengaturan Klausula Baku dalam Mencapai Keadilan Berkontrak
Hubungan keperdataan yang timbul pada para pihak yang saling
mengikatkan diri, memberikan konsekuensi hukum yang harus ditaati dan di jalankan
oleh kedua belah pihak tersebut, lahirnya hubungan tersebut berawal dari adanya
kesepakatan dengan tujuan yang akan dicapai.
Selain berkaitan dengan klausula baku upaya yang dapat dilakukan untuk
mencapai keadilan berkontrak dapat dilakukan dengan upaya pembinaan dan
pengawasan, dalam hal ini tanggung jawab pembinaan berada pada pemerintah
sebagaimana diatur di dalam Pasal 29 Undang-undang No. 8 Tahun 1999, yaitu :
 Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
 Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau
menteri teknis terkait.
 Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
 Pembinaan penyelenggaraan perlindungankonsumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi upaya untuk :
a). terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku
usaha dan konsumen;
b). berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c). meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Upaya pengaturan klausula baku tidak akan dapat berjalan ketika
tidak ada usaha pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
untuk membuat suatu kebijakan yang dapat membuat iklim hubungan para
pihak dapat berjalan dengan baik.
Dengan adanya pembinaan tersebut diharapkan mampu
menciptakan pelaku usaha yang kuat serta menjadikan konsumen yang
mandiri serta hubungan yang sehat antara produsen dan konsumen.
2. Isi Perjanjian Agar Dapat Mencapai Keadilan Berkontrak
Keadilan berkontrak dapat terlihat dalamsuatu perjanjian ketika kedua belah
pihak mencapai suatu kesepakatan untuk sama-sama mengikatkan diri tanpa adanya
tekanan dari pihak lain, dalam hal ini kontrak yang dilakukan tersebut dilakukan secara
sukarela.
a. Posisi Tawar Para Pihak
Dalam hal ini dapat dimbil contoh adalah perjanjian kredit di bank,
dimana posisi nasabah ketika ingin mengajukan kredit mereka harus mengikuti
aturan-aturan yang telah dibuat oleh pihak bank, tanpa adanya ruang untuk
melakukan negosiasi, entar itu berkaitan dengan bunga, sistimpembayaran maupun
ketentuan-ketentuan lain. Posisi tawar ini juga berkaitan dengan kemampuan para
pihak dalam hal ini berkaitan dengan keadaan ekonomi yang dimiliki.
Posisi tawar para pihak dalam suatu perjanjian tidak dapat dilepaskan
dari kedudukan konsumen, sehingga dapat diketahui dengan jelas bagaimana
kedudukan konsumen yang dalam perjanjian merupakan salah satu unsur yang tidak
dapat ditinggalkan.
b. Adanya Negosiasi
Negosiasi merupakan suatu hal penting dalam suatu perjanjian, dengan
melakukan negosiasi maka kedua belah pihak dapat mengetahui hak serta kewajiban
yang akan dilaksanakan. Negosiasi dalam suatu perjanjian muncul karena para pihak
memiliki tujuan masing- masing yang ingin dituju, sehingga dengan negosiasi
tersebut diharapkan tercapailah suatu kesepakatan.
Hal tersebut untuk menjamin terciptanya kesepakatan yang murni dari
para pihak, setidaknya untuk mencapai kesepakatan tersebut terdapat tiga unsur yang
tidak dapat dipisahkan yaitu :
 Penawaran dan permintaan (aanbod enaanvaarding),
 Ajaran kehendak dan ajaran pernyataan,
 Asas kepercayaan.
c. Kejujuran Dalam Bertransaksi (fair)
Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen yang jujur, dalam hal
ini pelaku usaha tidak melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh undang-
undang. Dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.
d. Proporsionalitas Dalam Klausula Perjanjian
Proporsionalitas suatu perjanjian dapat dilihat dari adanya pertukaran
kepentingan yang ada dari masing-masing pihak dalam hal ini apakah pihak debitur
maupun pihak kreditur dalam perjanjian tersebut. Oleh karena itu proporsionalitas
yang ada di dalam suatu perjanjian dapat dilihat pada isi dari klausul-klausul dalam
perjanjian tersebut. Proporsionalitas disini berkaitan dengan pertukaran hak serta
kewajiban antar pihak, apakah dapat berjalan dengan baik ataukah ada klausul yang
justru memberatkan salah satu pihak.
e. Adanya Keseimbang Dalam Perjanjian
Keseimbangan yang ada di dalam kontrak dapat ditelaah pada kondisi
para pihak sebelum melakukan kotrak tersebut. Setidaknya terdapat tiga aspek dalam
suatu perjanjian yang perlu diperhatikan untuk mencapai keseimbangan tersebut
yaitu:
Pertama, Perbuatan Para Pihak, dalam hal ini berhubungan dengan
subjek perjanjian, tidak dapat dipungkiri bahwa suatu perjanjian dapat terwujud
ketika para pihak saling mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Perbuatan hukum
yang dilakukan oleh para pihak tersebut dapat dilihat dari pernyataan kehendak dari
diri sendiri untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum. Ketika kondisi serta keadaan para
pihak berada pada kondisi yangseimbang, maka akan dapat membuat suatu perjanjian
yang baik, dan sebaliknya ketika perbuatan hukum yang dilakukan terseut berasal dari
ketidak sempurnaan diri salah satu atau kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut
dapat dikatakan dalam keadaan tidak seimbang.
Kedua, Isi kontrak. Keseimbangan dalam isi kontrak tidak terlepas
kesadaran serta kesepakatan para pihak untuk membuat kontrak tersebut. Tidak dapat
dipungkiri bahwa isi kontrak yang dibuat tidak terlepas dari asas kebebasan
berkontrak, hal ini dikarenakan aturan hukum yang ada tidak mengatur jenis, isi, serta
klausula-klausula yang ada di dalam kontrak.
Ketiga, Pelaksanaan kontrak, merupakan suatu kegiatan yang dilakukan
oleh para pihak sebagai pengaplikasian atas klausula-klausula yang dibuat di dalam
perjanjian, pelaksanaan kontrak ini merupakan tanggung jawab yang dimiliki oleh
para pihak tersebut, oleh karena itu para pihak diharapkan mau melaksanakan kontrak
tersebut dengan iktikat baik, sehingga memberikan keuntungan bagi kedua belah
pihak yang berjanji.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Klausula baku lahir dari adanya kebutuhan para pihak untuk membuat suatu kontrak yang
cepat, dan efisien. Meski demikian adanya klausula baku cenderung menguntungkan
pihak yang membuatnya dalam hal ini adalah pihak perusahaan atau kreditur, dimana
pihak kreditur memiliki waktu yang cukup banyak untuk membuat klausula perjanjian,
sedangkan masyarakat/ debitur tidak memiliki ruang yang cukup untuk melakukan
negosiasi atas klausula dalam perjanjian tersebut, bahkan masyarakat sendiri tidak atau
bahkan belum familiar dengan istilah-istilah yang terdapat di dalam klausula tersebut.
Selain itu, kondisi dan keadaan debitur yang berada pada posisi lemah tidak memiliki
pilihan lain selain menerima atau menolak klausula yang telah ditentukan tersebut.

2. Isi perjanjian agar dapat mencapai keadilan berkontrak tidak dapat dilepaskan dari
beberapa unsur yang ada di dalam perjanjian itu sendiri, yaitu posisi tawar para pihak
atau kedudukan yang dimiliki oleh para pihak dalam melakukan perjanjian tersebut.
Adanya negosiasi dalamperjanjian merupakan hal terpenting dalamproses perumusan
kotrak, sehingga para pihak mengerti dan memahami setiap klausula yang diperjanjikan.
Selain itu, kejujuran dan keterbukaan para pihak terkait dengan hal-hal yang
diperjanjikan beserta resiko yang mungkin akan dialami dalam proses pelaksanaan
perjanjian merupakan salah satu hal terpenting untuk dilakukan prapihak dalam proses
perancangan dan pelaksanaan kontraktual sehingga diharapkan mampu menghasilkan
suatu hubungan perjanjian yang adil dan proporsional.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Busro, 2011, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata,
Yogyakarta: Pohon Cahaya

Achmad Busro, 2013, Kapita Selekta Hukum Perjanjian, Yogyakarta: Pohon


Cahaya

Bambang Suggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada

Cholid narbuko, Abu Achmadi, 1997, metodologi penelitian, Jakarta, bumi pustaka

Johnny Ibrahim, 2012, Teori&Metodologi Penelitian Hukum Normativ, Malang:


Bayu Publishing

Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana

R Subekti, 1986, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Alumni

Soejnono Soekanto, 2007, Penelitian HukumNormatif Suatu Tinjauan Singkat,


Jakarta: Raja Grafindo Persada,

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press

Yohanes Sogar Simamora, 2009, HukumPerjanjian, Yogyakarta: LaksBang


PRESSindo

Anda mungkin juga menyukai