Anda di halaman 1dari 18

ANALISA KONTRAK

1. SEKILAS TENTANG KONTRAK KOMERSIAL

PENGERTIAN KONTRAK KOMERSIAL

Secara umum, kontrak dapat didefinisikan sebagai suatu kesepakatan


yang diperjanjikan (promissory agreement) antara dua atau lebih pihak yang
dapat menimbulkan, memodifikasi atau menghilangkan suatu hubungan
hukum.
Di dalam KUHPerdata, kontrak dikategorikan sebagai suatu perjanjian,
merupakan suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. (Pasal 1313 KUHPerdata)
Kontrak komersial memiliki karakteristik yang berbeda dengan
perjanjian pada umumnya, yang mana kontrak komersial dibuat dengan
tujuan untuk medapatkan keuntungan sebesar-besarnya (optimum profit).

LANDASAN KONTRAK KOMERSIAL


Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian didalam pembentukan suatu
kontrak komersial, di antaranya :
1. sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lainnya, suatu kontrak
komersial baru dapat dinyatakan sah apabila telah memenuhi ketentuan
1320 KUHPerdata, yaitu
a. adanya kesepakatan dari para pihak;
b. adanya wewenang dari para pihak tersebut untuk bertindak;
c. perihal tertentu;
d. kausa yang halal.
Point (a) dan (b) merupakan syarat subjektif, dan apabila syarat ini
dilanggar maka konsekuensinya mengakibatkan suatu kontrak dapat
diminta pembatalan. Sedangkan point (c) dan (d) adalah syarat objektif,
dimana pelanggaran atas kedua syarat ini dapat kontrak tersebut batal
demi hukum.

1
2. Kontrak komersial juga perlu memperhatikan beberapa prinsip/asas
hukum kontrak, di antaranya :
a. asas kebebasan berkontrak (feedom of contract)
asas ini merupakan refleksi dari sistem terbuka yang dianut oleh
hukum kontrak. Para pihak bebas untuk membuat dan mengatur
sendiri isi dari kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan :
- memenuhi syarat sebagai suatu kontrak;
- tidak dilarang oleh undang-undang;
- sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;
- sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
b. asas pacta sunt servanda
suatu kontrak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang
bersangkutan, hal ini sesuai dengan Pasal 1338 (1) KUHPdt yang
menyatakan “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
c. asas itikad baik
Pasal 1338 (3) KUHPdt mensyaratkan bahwa suatu kontrak harus
dilaksanakan dengan itikad baik, sehingga tidak merugikan salah satu
pihak ataupun pihak ketiga.
d. asas kepatutan
pemberlakukan asas kepatutan terhadap kontrak itu mengandung 2
fungsi, yaitu :
- fungsi yang melarang, bahwa kontrak yang mengandung unsur-
unsur yang bertentangan dengan asas kepatutan itu adalah tidak
dibenarkan.
- fungsi yang menambah, bahwa dalam kontrak dapat ditambahkan
hal-hal yang sesuai dengan asas kepatutan. Hal ini dimungkinkan
untuk mengisi kekosongan hukum dalam pelaksanaan suatu
kontrak dimana tanpa isian tersebut, tujuan dari kontrak tidak
dapat tercapai.
e. tidak melanggar prinsip kepentingan umum

2
suatu pembuatan dan pelaksanaan kontrak tidak boleh melanggar
prinsip kepentingan umum, karena sesuai dengan prinsip hukum
yang universal dan mendasar bahwa kepentingan umum tidak dapat
dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Di samping itu pula, kontrak
yang melanggar atau bertentangan dengan kepentingan / ketertiban
umum sudah pasti bertentangan pula dengan undang-undang yang
berlaku, dan sesuai dengan Pasal 1339 KUHPdt hal ini tidak
dibenarkan.
f. sesuai dengan kebiasaan.
Pasal 1339 KUHPdt menentukan bahwa kontrak tidak hanya mengikat
terhadap isi dari kontrak tersebut tetapi juga mengikat dengan hal-hal
yang hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan

PENYUSUNAN KONTRAK KOMERSIAL


Dalam isi sebuah kontrak, terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut :
- Judul kontrak;
- komparisi;
- praemisse;
- isi kontrak;
- akhir kontrak.
Pada bagian kepala akta, harus jelas menunjukkan macam kontrak, apakah
itu kontrak lisensi, kontrak franchise, atau kontrak distribusi, sesuai dengan
maksud dan tujuan dari para pihak yang tertuang dalam kontrak tersebut.
Bagian komparisi merupakan bagian yang penting untuk menentukan pihak-
pihak atau kapasitas para pihak dalam kontrak tersebut, karena dalam bagian
ini menyangkut kecakapan dan kewenangan dari para pihak untuk bertindak.
Pada bagian praemisse, diuraikan tentang alasan para pihak membuat
kontrak. Dan terakhir, yang paling penting dan merupakan jantung dari
kontrak itu sendiri adalah isi kontrak, yang mana di dalamnya memuat pasal-
pasal mengenai hal – hal yang ingin diatur sebagaimana dimaksud oleh para
pihak, mencakup hak dan kewajiban para pihak, objek dari kontrak, serta

3
sanksi yang diberikan apabila dalam pelaksanaannya ternyata salah satu
pihak telah melanggar isi dari kontrak komersial ini.

2. ANALISA ATAS PERJANJIAN PENGANGKATAN SEBAGAI


DISTRIBUTOR - dISTRIBUTOR AGREEMENT

JUDUL PERJANJIAN
Bahwa pada bagian kepala akta harus disebutkan dengan jelas judul dari
kontrak untuk menggambarkan macam kontrak sesuai dengan maksud dan
tujuan dari para pihak sebagaimana tertuang dalam isi kontrak tersebut.
Dari judul kontrak yaitu PERJANJIAN PENGANGKATAN SEBAGAI
DISTRIBUTOR - dISTRIBUTOR AGREEMENT sudah dapat
menggambarkan dan ditarik kesimpulan bahwa perjanjian yang dibuat oleh
para pihak adalah berkenaan dengan pengangkatan atau penunjukkan
distributor, dengan kata lain, judul dari perjanjian ini sudah mewakili maksud
dan tujuan pembentukan kontrak.
Namun demikian pencantuman dISTRIBUTOR AGREEMENT dalam judul
adalah tidak perlu, sebab memiliki pengertian yang sama dengan
PERJANJIAN PENGANGKATAN SEBAGAI DISTRIBUTOR. Karenanya,
cukup mencantumkan salah satu saja, tidak perlu kedua judul tersebut
dicantumkan berbarengan. Dan, karena kontrak ini dibuat dalam bahasa
Indonesia, maka lebih tepat digunakan sebagai judul adalah PERJANJIAN
PENGANGKATAN SEBAGAI DISTRIBUTOR.

KOMPARISI
Dalam bagian ini, dapat dilihat bahwa salah satu pihak, yaitu PIHAK KESATU
diwakili oleh Senior Vice President Sale Management.
Bahwa sesuai dengan Pasal 79 UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas (UUPT),disebutkan bahwa kepengurusan atas perseroan dilakukan
oleh Direksi. Dengan kata lain, yang memiliki kewenangan hak dan
kecakapan berbuat untuk mewakili Perseroan Terbatas adalah Direksi.

4
Berdasarkan kepada ketentuan dalam UUPT tersebut, jelas bahwa Senior
Vice President Sale Management tidak memiliki kewenangan hak dan
kecakapan berbuat untuk dan atas nama selaku PIHAK KESATU yang
merupakan sebuah Perseroan Terbatas, kecuali apabila didasarkan kepada
adanya suatu kuasa dari Direksi.
Mengacu kepada Pasal 1320 KUHPdt, akibat adanya salah satu pihak yang
tidak cakap untuk bertindak, maka perjanjian ini menjadi berpotensi
bermasalah sehingga konsekuensinya adalah perjanjian ini kemungkinan
dapat diminta pembatalan.

PRAEMISSE
Praemisse dalam Perjanjian ini kurang lengkap, karena hanya
mencantumkan fakta bahwa PIHAK KESATU adalah produsen dan distributor
utama. Padahal, seharusnya dalam bagian praemisse diuraikan dengan
lengkap alasan-alasan dibuatnya perjanjian ini namun dalam bentuk yang
cukup singkat.

ISI KONTRAK
1. Adanya klausul yang tidak wajar dan memberatkan salah satu pihak,
sebagaimana dapat dilihat antara lain dalam pasal-pasal, sebagai berikut :
 Pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perjanjian dapat diperpanjang
untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan dan disetujui oleh PIHAK
KESATU dengan syarat bahwa PIHAK KEDUA tidak melakukan
pelanggaran, namun di satu sisi ditentukan bahwa PIHAK KESATU
punya hak untuk tidak memperpanjang perjanjian tanpa perlu
memberikan alasan kepada PIHAK KEDUA.
 Pasal 12 ayat (2) menentukan bahwa dalam hal PIHAK KEDUA tidak
mampu dan/atau belum melunasi secara tuntas pembayaran kepada
PIHAK KESATU, maka PIHAK KESATU berhak untuk sementara
waktu menyalurkan barang baik secara langsung atau melalui pihak

5
ketiga dengan alasan efisiensi atas kebutuhan konsumen dan
kalangan dagang.
Klausul ini menunjukkan kesewenangan PIHAK KESATU, karena
hubungan kepada konsumen dan pihak ketiga adalah wewenang
PIHAK KEDUA dan tidak dapat dicampuri oleh PIHAK KESATU.
Kesewenangan PIHAK KESATU semakin jelas terlihat dalam Pasal 12
ayat (4) yang menyatakan bahwa setelah PIHAK KEDUA
menyelesaikan kewajiban pembayarannya, PIHAK KESATU dapat
namun tidak wajib, mengembalikan distribusi kepada PIHAK KEDUA.
Disamping adanya unsur kesewenangan PIHAK KESATU, klausula ini
juga berakibat tidak adanya kepastian bagi PIHAK KEDUA, bahkan
dapat berpotensi menimbulkan kerugian bagi PIHAK KEDUA.
 Pasal 13 menentukan bahwa PIHAK KEDUA akan mendapat rabat
yang besar dan tata cara perhitungannya ditetapkan oleh PIHAK
KESATU, dan dapat berubah sesuai dengan kondisi komersil yang
ada.

Berdasarkan kepada isi dari klausul-klausul diatas, dapat disimpulkan


bahwa hak dan kewajiban antara PIHAK KESATU dan PIHAK KEDUA
tidak seimbang, dimana PIHAK KEDUA dibebani dengan kewajiban yang
lebih besar dibandingkan dengan PIHAK KESATU, hal ini menunjukkan
bahwa dalam pembentukan perjanjian ini, para pihak tidak memiliki
bargaining position dan bargaining power yang seimbang.
Dengan adanya ketidakseimbangan antara PIHAK KESATU dengan
PIHAK KEDUA, maka asas kebebasan berkontrak menjadi tidak
terpenuhi, karena bagaimana mungkin masing-masing pihak dapat
menuangkan keinginannya secara adil apabila kedudukan dari para pihak
tersebut nyatanya tidak sejajar atau berat sebelah.

6
2. Adanya pengakhiran perjanjian secara sepihak
Pasal 3 ayat (5) menyebutkan bahwa PIHAK KESATU berhak mengakhiri
perjanjian secara sepihak apabila PIHAK KEDUA gagal memenuhi
kewajibannya dalam hal Bank Garansi
Jelas bahwa klausula ini bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, khususnya Pasal 1338 KUHPdt, karena berakhirnya perjanjian
harus didasarkan kepada kesepakatan para pihak dan tidak dapat
ditentukan oleh salah satu pihak.

3. Pengakhiran kontrak/perjanjian dengan mengesampingkan Pasal


1266 dan 1267 KUHPdt,
Dalam Perjanjian ini terdapat beberapa klausul yang didalamnya
memberikan ketentuan yang memungkinkan PIHAK KESATU untuk
mengakhiri perjanjian dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267
KUHPdt, sebagaimana dapat dilihat antara lain dalam Pasal 12 ayat (3),
Pasal 14 ayat (3) , Pasal 19 ayat (5), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 ayat (2),
Pasal 25.
Bahwa penerapan klausula pembatalan/pengakhiran dengan
mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUHPdt dalam suatu perjanjian,
pada dasarnya adalah dapat dilakukan, mengingat Pasal 1266 dan 1267
KUHPdt hanya bersifat mengatur dan dapat disimpangi.
Namun demikian, meskipun dalam perjanjian telah dicantumkan klausul
yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUPdt, pengakhiran suatu
perjanjian tidak dapat dilakukan begitu saja melainkan harus melalui
mekanisme tertentu. Di samping itu, perlu diingat pula bahwa
pengakhiran perjanjian tidak dapat dilakukan tanpa adanya alasan yang
kuat, harus didahului dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak.

7
4. Pengakhiran kontrak/perjanjian dengan mengesampingkan Pasal
1266 dan 1267 KUHPdt, akibat adanya keadaan memaksa (force
majeure)
Pada Pasal 25 ayat (1) huruf h dinyatakan dengan tegas bahwa PIHAK
KESATU dapat mengakhiri kontrak / perjanjian dengan
mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUHPdt, akibat adanya
keadaan memaksa (force majeure).
Bahwa apabila salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya
akibat adanya keadaan memaksa (force majeure), maka terhadapnya
tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban, hal ini sesuai dengan Pasal
1245 KUHPdt.

5. Adanya kewajiban untuk memberikan jaminan


Pasal 3 ayat (1) dan (2) menentukan bahwa PIHAK KEDUA berkewajiban
untuk memberikan jaminan dalam bentuk Bank Garansi, dimana nilai atas
jaminan tersebut ditentukan secara tersendiri oleh PIHAK KESATU, dan
sewaktu-waktu nilai jaminan tersebut dapat berubah tergantung kepada
kebijaksanaan PIHAK KESATU.
Bahwa klausula yang meminta adanya jaminan ini dapat dikategorikan
sebagai klausula yang dilarang oleh doktrin ketidakadilan
(unconscionability). Yang dimaksud dengan doktrin ketidakadilan adalah
suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu
kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala
dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat
memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah
menandatangani kontrak yang bersangkutan. (Munir Fuady,Hukum
Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya bakti, 1999)

6. Adanya klausula yang bertentangan.


Bahwa pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa PIHAK KESATU tidak
mutlak untuk menerima seluruh pesanan dari PIHAK KEDUA atas dasar

8
pertimbangan kelebihan stok, kekurangan suplai dari pabrik dan/atau
karena keterlambatan pembayaran oleh PIHAK KEDUA. Hal ini dipertegas
lagi dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan bahwa PIHAK KESATU
akan mensuplai PRODUK-PRODUK kepada PIHAK KEDUA sepanjang
barang tersedia dan dalam jumlah yang menjamin pelayanan yang efisien
terhadap kebutuhan konsumen dan kalangan dagang.
Keberadaan kedua pasal tersebut ternyata bertentangan dengan pasal 16
(1) dan (2) yang mewajibkan PIHAK KEDUA untuk menjamin kelancaran
distribusi dan penjualan serta menjamin ketepatan waktu penyerahan
produk kepada langganannya.
Bahwa Pasal 4 dan Pasal 7 tersebut dapat menghambat pelaksanaan
kewajiban oleh PIHAK KEDUA sebagaimana tercantum dalam Pasal !6,
dan hal ini berpotensi merugikan bagi PIHAK kEDUA, apalagi dampak
nyata bila ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan (2) tidak dipenuhi adalah
PIHAK KESATU dapat mengakhiri perjanjian sebagaimana tercantum
dalam dalam Pasal 16 (4).

7. isi kontrak/perjanjian tidak wajar dan tidak sesuai dengan kebiasaan


Dalam Pasal 19 ayat (1) diatur tentang hal-hal yang menyangkut staf dan
karyawan, yang harus dipenuhi oleh PIHAK KEDUA. Pencantuman
klausul ini adalah tidak wajar dan tidak sesuai dengan kebiasaan, bahkan
dapat dikatakan bahwa isi dari klausul tersebut sudah diluar konteks dari
maksud dan alasan para pihak melakukan perjanjian.
Apalagi dalam ayat (2) diatur bahwa staf dan karyawan PIHAK KEDUA
harus diupah sesuai dengan UMR dan memiliki struktur organisasi
sebagaimana direkomendasikan dan disetujui oleh PIHAK KESATU.
Dari mana asal kewenangan PIHAK PERTAMA untuk ikut campur dalam
hal ini ? Jelas bahwa masalah pekerja, gaji, ataupun struktur organisasi
pada dasarnya merupakan urusan intern PIHAK KEDUA dan tidak dapat
dicampuri oleh PIHAK KESATU.

9
Ditambah pula dengan aturan sebagaimana tercantum dalam ayat (5)
yang mewajibkan PIHAK KEDUA untuk mematuhi Pasal ini dengan
adanya konsekuensi bahwa apabila PIHAK KEDUA tidak mematuhi
ketentuan ini, PIHAK KESATU dapat mengakhiri penunjukkan PIHAK
KEDUA sebagai distributor.
Jelas bahwa keberadaan klausul ini menunjukkan PIHAK KEDUA berada
dalam bargaining power yang lemah dibanding PIHAK KESATU, sehingga
PIHAK KESATU dengan sewenang-wenang dapat “mengatur” PIHAK
KEDUA tanpa batas.

8. isi kontrak/perjanjian tidak jelas


 Pada Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa PIHAK KEDUA harus
menghormati dan mentaati “Prinsip-Prinsip Bisnis” sesuai dengan
petunjuk-petunjuk yang dari waktu ke diberikan oleh PIHAK KESATU
serta perwakilan-perwakilannya secara terpisah.
Siapa saja yang dimaksud dengan “perwakilannya yang sah” itu ? hal
ini tidak dijelaskan / dicantumkan dalam perjanjian.
 Dalam Pasal 14 (2) diatur pula bahwa PIHAK KEDUA dilarang untuk
menjual PRODUK-PRODUK TERSEBUT diatas Harga Eceran Yang
Disarankan.
Definisi dari Harga Eceran Yang Disarankan tidak dicantumkan dalam
perjanjian.
 Pasal 17 (1) mengatur bahwa PIHAK KEDUA beserta toko-toko
langganan PIHAK KEDUA harus memajang produk sesuai dengan
petunjuk yang diberikan PIHAK KESATU.
Perlu diingat bahwa perjanjian ini dibuat antara PIHAK KESATU dan
PIHAK KEDUA, dengan demikian, maka yang diatur adalah hak dan
kewajiban dari kedua belah pihak tersebut, namun nyatanya PIHAK
KESATU telah melampaui kewenangannya dengan memberikan
aturan kepada toko-toko langganan PIHAK KEDUA.

10
 Pasal 20 ayat (4) menyatakan bahwa apabila diperlukan dan diminta
PIHAK KESATU, PIHAK KEDUA setuju untuk menyediakan fasilitas
dan sarana untuk kantor perwakilan PIHAK KESATU dan untuk itu,
PIHAK KESATU bersedia untuk memberikan kompensasi.
Keberadaan klausul ini adalah tidak sesuai dengan inti dari
diadakannya perjanjian antara para pihak, yaitu perjanjian
pengangkatan distributor. Lebih pantas apabila isi dari pasal 20 ayat
(4) tersebut disebut sebagai perjanjian sewa menyewa.

KESIMPULAN :
Bahwa Perjanjian Pengangkatan Distributor yang dibuat antara PIHAK KESATU
dengan PIHAK KEDUA tidak dibuat dengan itikad yang baik, karena dalam
pembentukannya ternyata para pihak tidak memiliki bargaining position dan
bargaining power yang seimbang. Dengan adanya posisi yang berat sebelah
atau timpang ini, maka klausul yang terbentuk dalam perjanjian ini menjadi tidak
wajar dan memberatkan salah satu pihak.
Disamping itu pula, adanya Pengakhiran kontrak / perjanjian dengan
mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUHPdt yang dilakukan oleh
PIHAK KESATU juga menunjukkan bahwa dalam pembentukan perjanjian ini,
PIHAK KESATU tidak memiliki itikad yang baik.

11
3. ANALISA ATAS MEMORANDUM SALING PENGERTIAN
ANTARA PEMDA PROP. TELAGA RAYA DENGAN
PEMERINTAH NEGARA BAGIAN AUSTRALIA TENTANG
HUBUNGAN KERJASAMA PROPINSI BERSAUDARA
DENGAN
PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PEMDA TELAGA RAYA
DENGAN EGP TENTANG PROGRAM PELATIHAN BAHASA
INGGRIS BAGI PNS DI LINGKUNGAN PEMERINTAH
PROPINSI TELAGA RAYA

SEKILAS TENTANG MoU

Dalam sistem hukum di Indonesia yang menganut asas Common Law, pada
dasarnya bentuk perjanjian seperti MoU / Memorandum of Understanding
tidak dikenal. Namun, mengikuti perkembangan yang ada, saat ini banyak
perjanjian-perjanjian yang didahului dengan MoU.
Melihat kepada karakteristiknya, MoU berdasarkan ketentuan kontrak di
Indonesia dapat dikategorikan sebagai perjanjian, dimana suatu perjanjian
baru bersifat obligatoir, maksudnya adalah kontrak tersebut memiliki
kekuatan mengikat namun baru sebatas kepada menimbulkan hak dan
kewajiban para pihak, sedangkan untuk pelaksanaannya diperlukan
kontrak/perjanjian lain yang bersifat riil.

ANALISA ATAS MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANTARA


PEMDA PROP. TELAGA RAYA DENGAN PEMERINTAH NEGARA
BAGIAN AUSTRALIA TENTANG HUBUNGAN KERJASAMA
PROPINSI BERSAUDARA

JUDUL
Dari judul perjanjian, dapat menggambarkan bentuk kontrak yaitu
memorandum yang dibuat antara Pemda Propinsi Telaga Raya RI dengan
Pemerintah Negara Bagian Australia, dimana maksud dan tujuan dari para
pihak membuat MOU ini adalah dalam rangka hubungan kerjasama Propinsi
Bersaudara.

12
KOMPARISI
Pada komparisi hanya menyebutkan pihak-pihak saja, tanpa mencantumkan
wakil yang memiliki kewenangan hak dan kecakapan bertindak untuk dan
atas nama pihak-pihak tersebut, dimana hal ini membawa konsekwensi
terpenuhi atau tidaknya ketentuan syarat subyektif kontrak di Indonesia.
Pada akhir kontrak tercantum bahwa yang akan menandatangani MoU, dari
pihak Pemda Propinsi Telaga Raya RI dilakukan oleh Gubernur Telaga Raya,
dan dari pihak Pemerintah Negara Bagian Australia dilakukan oleh Premier of
Negara Bagian Australia, berdasarkan kuasa penuh yang telah diberikan oleh
masing-masing pemerintah.
Dengan demikian, sesuai dengan sistem hukum kontrak di Indonesia, maka
seharusnya dalam komparisi disebutkan Gubernur Telaga Raya dan Premier
of Negara Bagian Australia sebagai wakil yang berwenang bertindak untuk
dan atas nama masing-masing pihak yang bersangkutan.

PRAEMISSE
Dalam bagian ini, para pihak sudah mencantumkan alasan-alasan dibuatnya
MoU secara ringkas dan sudah cukup mewakili tujuan dibuatnya MoU ini.

ISI MOU

Adanya pembatalan sepihak

Pada pasal 7 ayat (2) dinyatakan bahwa Memorandum Saling Pengertian ini
berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan selanjutnya dapat diperpanjang
berturut-turut selama 5 tahun kecuali dibatalkan secara tertulis oleh salah
satu Pihak dengan pemberitahuan 6 bulan sebelumnya.

Pembatalan atas Memorandum sebagaimana diatur dalam klausula ini


adalah bertentangan dengan Pasal 1338 yang mensyaratkan bahwa
pembatalan dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak.

13
PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PEMDA TELAGA RAYA
DENGAN EGP TENTANG PROGRAM PELATIHAN BAHASA
INGGRIS BAGI PNS DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROPINSI
TELAGA RAYA

JUDUL
Berdasarkan judul perjanjian, dapat dilihat bahwa bentuk kontrak/perjanjian
yang dimaksud oleh para pihak adalah perjanjian kerjasama dalam rangka
program pelatihan bahasa Inggris bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Pemerintah Propinsi Telaga Raya.

KOMPARISI
Dalam komparisi disebutkan Pihak Kedua dalam perjanjian ini adalah EGP,
yang diwakili oleh S,G. Pariman.
Dengan mengacu kepada keberadaan Perjanjian Kerjasama ini sebagai
kelanjutan dari MoU yang dibuat antara Pemda Propinsi Telaga Raya RI
dengan Pemerintah Negara Bagian Australia, maka dalam kapasitas apa
EGP bertindak selaku pihak dalam perjanjian ini ?
Secara logika, seharusnya pihak kedua dalam perjanjian ini adalah
Pemerintah Negara Bagian Australia atau wakilnya yang ditunjuk dan
memiliki kapasitas untuk mewakili Pemerintah Negara Bagian Australia.
Apabila EGP adalah pihak yang ditunjuk oleh Pemerintah Negara Bagian
Australia sebagai wakilnya, maka seharusnya dalam komparisi hal ini
disebutkan dengan jelas.

PRAEMISSE
Dalam praemisse, terdapat alasan-alasan yang janggal dan tidak sesuai
dengan MoU yang sudah ada sebelumnya, di antaranya :
- pada praemisse ke-3 disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan
Perjanjian Kerjasama ini, PIHAK KESATU telah menerima dana bantuan
sebesar 35 ribu dolar Australia, kemudian dalam praemisse ke-4

14
disebutkan bahwa PIHAK KEDUA akan memberikan dana tambahan
sebesar 49 ribu dolar Australia.
Padahal pada Pasal 2 MoU diatur bahwa masing-masing pihak akan
menanggung biaya yang dikeluarkan atas kegiatan-kegiatan yang
dilakukannya.
- Pada praemisse ke-5 disebutkan bahwa PIHAK KEDUA terdiri dari
S.G.Pariman sebagai Partner Indonesia dari EGP dan Managing
Direktor ProAd Communication. S.G.Pariman akan bertindak sebagai
wakil EGP di Parito dan sebagai contact person untuk hal-hal yang tidak
terkait dengan kegiatan belajar mengajar sehari-hari yang akan menjadi
tanggung jawab Pengajar Utama.
Apa relevansinya kedudukan S.G.Pariman selaku Managing Direktor
ProAd Communication dengan Perjanjian Kerjasama ini ? hal ini tidak
jelas dan tidak dicantumkan dalam Perjanjian Kerjasama.
- Pada praemisse ke-6 disebutkan Tuck dan Cox sebagai Partners dari
EGP dan Director dari Australian College of English (ACE) dan pada
Praemisse ke-7 disebutkan Daniel Both sebagai Partners dari EGP dan
Direktor dari NTC The Communication Network. Mr.Both adalah konsul
Kehormatan Australia untuk Republik Indonesia.
Apa dan dimana relevansi dari keterangan ini dikaitkan dengan Perjanjian
Kerjasama ini ?
Bahwa praemisse ke-5 s/d ke-7 tidak relevan dicantumkan dalam bagian
ini, karena tidak mendukung dan tidak menggambarkan maksud dan
tujuan dibuatnya perjanjian ini.

ISI PERJANJIAN
1. Terdapat beberapa pasal yang tidak jelas, sebagaimana dapat dilihat,
sebagai berikut :
 Pada pasal 1 dicantumkan definisi dari EBT sebagai lembaga
kerjasama antara ACE, TNC dan Proad.

15
Definisi ini tidak jelas dan tidak memiliki keterkaitan dengan isi
Perjanjian.
 Pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa PIHAK KEDUA sebagai
kontraktor….
Penjelasan mengenai kedudukan PIHAK KEDUA sebagai kontraktor
jelas tidak berkaitan dengan perjanjian ini, apalagi di dalam perjanjian
dijelaskan bahwa PIHAK KEDUA berkedudukan sebagai wakil dari
EGP.
 Pada Pasal 6 ayat (2) huruf e diatur adanya kewajiban PIHAK KEDUA
untuk menyampaikan laporan kepada PIHAK KESATU dan
Pemerintah Australia. Klausula ini adalah rancu dan tidak jelas,
karena menunjukan bahwa PIHAK KEDUA punya kewajiban tidak
hanya kepada PIHAK KESATU tetapi juga kepada Pemerintah
Australia.
Disamping itu pula, keberadaan klausul ini dapat berpotensi
menimbulkan kerugian bagi PIHAK KESATU jika dikaitkan dengan
Pasal 11 huruf b yang mengatur bahwa perjanjian berakhir apabila
PIHAK KESATU dan PIHAK KEDUA tidak melaksanakan salah satu
kewajibannya berdasarkan kerjasama ini.
Bagaimana konsekuensinya apabila kewajiban pelaporan kepada
Pemerintah Australia tidak dilaksanakan, apakah hal ini dapat
dikategorikan sebagai tidak melakukan kewajiban?
 Pada Pasal 9 disebutkan bahwa Tenaga Pengajar Utama harus
memenuhi kualifikasi yang ditentukan oleh The national ELICOS
Accreditation System (NEAS) di Australia.
Klausul ini tidak jelas, karena tidak disebutkan dalam perjanjian, siapa
yang memiliki kewajiban untuk memastikan bahwan tenaga Pengajar
Utama telah memenuhi kualifikasi sebagaimana telah ditentukan.

16
2. Terdapat pasal yang tumpang tindih, sebagaimana dapat dilihat pada
Pasal 6 ayat (1) huruf a yang mengatur bahwa PIHAK KESATU
berkewajiban untuk menyediakan sarana akomodasi bagi tenaga
Pengajar Asing, dimana hal ini juga ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf d yang menyatakan bahwa PIHAK KEDUA berkewajiban untuk
menyediakan semua biaya perjalanan bagi tenaga pengajar.

KESIMPULAN :

Setelah melihat substansi dari kedua perjanjian, dapat disimpulkan


bahwa antara Memorandum dengan Perjanjian Kerjasama tidak
memiliki relevansi, dimana ketidakrelevansian ini dapat dilihat pada
kenyataan bahwa Memorandum dibuat antara Pemda Propinsi Telaga
Raya RI dilakukan dan Pemerintah Negara Bagian Australia, namun
dalam Perjanjian Kerjasama ternyata pihak-pihaknya menjadi berbeda,
yaitu antara Pemda Propinsi Telaga Raya RI dengan EGP, dimana
kapasitas EGP pun tidak dijelaskan dalam Perjanjian, apakah sebagai
wakil dari Pemerintah Negara Bagian Australia atau bukan.
Padahal dalam Perjanjian Kerjasama disebutkan dengan jelas bahwa
perjanjian ini merupakan kelanjutan atas Memorandum, sehingga seharusnya
antara Memorandum dengan Perjanjian Kerjasama dibuat oleh pihak-pihak
yang sama pula.

17
Roberth liando
12024/PS/MH/03
magister hukum universitas gadjah mada program pascasarjana

18

Anda mungkin juga menyukai