Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum

Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa


Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

KLAUSULA BAKU TENTANG PEMBERIAN KUASA DIHUBUNGKAN DENGAN


HUKUM POSITIF

Dika Ratu Marfu’atun1


1
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan
Email: ratudikamarfuatun@gmail.com

Abstrak
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam pembuatan klausula baku
terdapat syarat-syarat yang bertujuan untuk memberikan perlindugan terhadap konsumen dan pelarangan
pemberian kuasa secara sepihak dari konsumen kepada pelaku usaha. Beberapa peraturan perundang-
undangan mengatur tentang pemberian kuasa dalam kalusula baku salah satunya yaitu Pasal 1792
KUHPerdata, Pasal 18 UUPK dan Pasal 22 POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier sehingga memperoleh gambaran tentang klausula baku tentang pemberian kuasa
dihubungkan dengan hukum positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kuasa merupakan
suatu perjanjian, yaitu persetujuan kedua belah pihak. Perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat-
syarat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata yakni sepakat, cakap, suatu hal tertentu dan suatu sebab
yang halal, tetapi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 18 ayat (1)
huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kata Kunci: Klausula Baku, Pemberian Kuasa, Hukum Positif

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 1


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

A. PENDAHULUAN

Pemberian kuasa adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada persetujuan atau
perjanjian yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari- hari, oleh karena bermacam-
macam alasan, di samping kesibukan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang telah maju
(modern), sehingga tindakan memberi atau menerima kuasa, perlu dilakukan untuk
menyelesaikan salah satu atau beberapa masalah tertentu.

Pemberian kuasa juga bisa diartikan sebagai suatu persetujuan dengan mana pihak yang
satu memberikan kuasa kepada pihak yang lain (penerima kuasa), yang menerimanya untuk
atas namanya sendiri atau tidak menyelenggaraka satu perbuatan hukum atau lebih untuk yang
memberi kuasa itu. Pemberian kuasa dalam ketentuan pencantuman klausula baku pada
prinsipnya diperbolehkan tetapi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan seperti tercantum dalam

Pasal 18 ayat (1) huruf d UUPK menyatakan bahwa:


“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian apabila menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran”.

Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan,


tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu bahwa larangan ini dimaksudkan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip
kebebasan berkontrak, karena pada dasarnya, hukum perjanjian di Indonesia menganut asas
kebebasan berkontrak (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dalam hal ini
setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian sepanjang isi perjanjian
tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar
kesusilaan dan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPerdata). Artinya bahwa klausula baku
tentang pemberian kuasa diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 2


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk membuat jurnal
dengan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana ketentua klausula baku tentang pemberian
kuasa dihubungkan denan hukum positif?

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier sehingga memperoleh gambaran tentang klausula baku
tentang pemberian kuasa dihubungkan dengan hukum positif.

B. PEMBAHASAN
Pengertian klausula baku terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang- Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan: “Klausula Baku adalah setiap
aturan atau ketentuan dan syarat- syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian
yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Klausula baku pada dasarnya dapat diberlakukan dalam perjanjian kredit, tetapi harus
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah Pasal 1792 KUHPerdata,
Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemberian Konsumen,
serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pasal 22 POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Klausula baku yang tercantum dalam perjanjian kredit tentu harus disesuaikan dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, ketentuan tersebut salah satunya tertuang dalam
Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut:

Pasal 18
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 3


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang


yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
Undang-undang ini.

Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan


bahwa: “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan
pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”.Bentuk perjanjian kredit perbankan
adalah berbentuk perjanjian standar yang syarat-syaratnya ditentukan oleh pihak bank. Pasal
18 ayat (1) UUPK memberikan syarat-syarat pembuatan klausula baku yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen. Pasal 18 ayat (1) huruf d UUPK dinyatakan

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 4


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

pelarangan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha secara sepihak baik langsung
maupun tidak langsung.

Perjanjian harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang harus dipenuhi


oleh kedua belah pihak, seperti halnya asas kebebasan berkontrak yang dasar hukumnya
terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang artinya para pihak dalam perjanjian diberi hak
untuk membuat dan mengatur sendiri isi dari perjanjian namun harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian, selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, dan perjanjian
tersebut dilakukan dengan itikad baik. Melalui asas kebebasan berkontrak, para pihak yang
membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat
kesepakatan, selama prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.

Perjanjian yang didalamnya terdapat klausula baku pada dasarnya bertujuan untuk
mempemudah para pihak yang bertransaksi, karena akan sulit bila Bank harus melakukan
negosiasi tentang isi perjanjian pada setiap orang yang hendak menjadi debitur, selain
menguras tenaga dan pikiran juga akan memakan waktu yang cukup lama. Dalam kontrak baku
telah diuraikan secara jelas tentang hak maupun kewajiban dari masing-masing pihak. Masalah
akan timbul apabila dalam prakteknya pihak bank justru memanfaatkan hal tersebut untuk
menekan debitur dengan membuat klausula yang memberatkan debitur yang kemudian
mengakibatkan ketidakseimbangan posisi tawar-menawar diantara mereka, dalam hal ini Bank
berada dalam posisi kuat karena memiliki dana yang dibutuhkan, sedangkan debitur berada
dalam posisi lemah lemah karena berkedudukan sebagai pihak yang harus menandatangani
perjanjian kredit dikarenakan kebutuhan akan kredit.

Pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata, yang menyebutkan pemberian
kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang
menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. Undang-
Undang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen agar
konsumen mendapatkan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. Kesadaran,
kemampuan, dan kemandirian nasabah debitur untuk melindungi diri dapat dilakukan dengan
lebih memperhatikan dan memahami klausula-klausula baku yang tercantum dalam perjanjian
kredit sehingga nasabah debitur mengetahui dengan jelas apa saja yang menjadi hak dan
kewajibannya.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 5


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

Pelaku usaha dalam menentukan ketentuan dan syarat dalam perjanjian kredit harus taat
pada aturan Undang-Undang perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) tentang ketentuan
pencantuman klausula baku agar tidak menimbulkan kerugian pada nasabah. Pelaku usaha
harus memperhatikan hak hak para nasabah, tetapi dalam prakteknya pelaku usaha tidak
menaati aturan Undang-Undang perlindungan Konsumen.

Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang Perlindungan Konsumen, bahwasanya pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran

Klausula baku dalam perjanjian kredit bank yang bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 18 yang mengatur
tentang klausula baku, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan klausula baku adalah setiap
peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 6


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, berdasarkan hal tersebut di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa klausula tersebut membebankan kewajiban-kewajiban kepada
nasabah debitur yang bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur. Sejak nasabah
berhubungan dengan bank pertama kali, hubungan tersebut dirasa tidak imbang. Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi nasabah melalui ketentuan mengenai tata cara
pencantuman klausula baku yang ketentuan dan syarat- syaratnya telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha kemudian dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Otorotas Jasa Keuangan (OJK) juga mengatur tentang pelarangan pemberian kuasa secara
sepihak yang kemudian tertuang dalam POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan Pasal 22, yang menyatakan:

Pasal 22:
1. Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian
baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk digital atau
elektronik untuk ditawarkan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan melalui media
elektronik.
3. Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku
Usaha Jasa Keuangan dilarang:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa
Keuangan kepada Konsumen;
b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak
pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau
layanan yang dibeli;
c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan
segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 7


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-


undangan;
d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha
Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau
layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku
Usaha Jasa Keuangan;
e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan
produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang
menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;
f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa
Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang
dibelinya; dan/atau
g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas
produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.

Pemberian Kredit menurut Undang-Undang Perbankan adalah salah satu kegiatan usaha
yang sah bagi Bank Umum dan Perkreditan Rakyat. Kedua jenis bank tersebut merupakan
badan usaha penyalur dana kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit di samping
lembaga keuangan lainnya dimna ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perbankan Undang-undang tersebut menetapkan “Kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimna tersebut


di atas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
1. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang;

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 8


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak


lain;
3. Adanya kewajiban melunasi utang;
4. Adanya jangka waktu tertentu;
5. Adanya pemberian bunga kredit.

Kelima unsur yang terdapat dalam pengertian kredit sebagaimana yang disebutkan di atas
harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat pula digunakan untuk kegiatan
perutangan lainnya di masyarakat, hendaknya untuk istilah kredit dalam kegiatan perbankan
selalu dikaitkan dengan pengertian yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang memuat unsur-unsur kredit,yaitu
terdiri dari:
1. Kepercayaan yaitu kredit diberikan atas dasar kepercayaan;
2. Waktu maksudnya adalah kredit selalu ada jangka waktunya;
3. Risiko yaitu setiap kredit selalu mengandung unsur risiko;
4. Prestasi adalah kredit mengandung prestasi berupa pembayaran bunga.

Bank harus merasa yakin bahwa fasilitas kredit yang diberikan kepada calon penerima
kredit benar-benar akan kembali. Hal tersebut dikarenakan bank ingin memperkecil adanya
risiko yang timbul. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit
tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh bank dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk
mendapatkan keyakinan tentang calon debiturnya, seperti melalui prosedur penilaian yang
benar Penilaian yang dilakukan oleh bank tersebut sesuai dengan prinsip kehati-hatian guna
mengurangi adanya risiko yang akan timbul dikemudian hari.Perwujudan dari pelaksanaan
prinsip kehati-hatian dalam rangka pemberian kredit tercermin dalam kriteria-kriteria yang
dinamakan “The Five C’s Principle of Credit Analysis”.

Adapun penjelasan tentang analisis dengan 5C adalah sebagai berikut:


1. Character, yang bermakna watak, sifat, kebiasan debitur (pihak yang berutang) sangat
berpengaruh pada pemberian kredit. Kreditur dapat meneliti apakah calon debitur
tersebut masuk dalam Daftar Orang Tercela (DOT) atau tidak. Untuk itu kreditur juga
dapat meneliti biodatanya dan informasi dari lingkungan usahanya. Informasi dari
lingkungan usahanya dapat diperoleh dari supplier dan customer dari debitur. Selain itu

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 9


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

dapat pula di peroleh dari informasi Bank Sentral, namun tidak dapat diperoleh dengan
mudah oleh masyarakat umum, karena informasi tersebut hanya dapat diakses oleh
pegawai bank bidang perkreditan dengan menggunakan password dan computer yang
terhubung secara on-line dengan Bank Sentral. Agar selain memeriksa dokumen formal
yang menyertai kredit, juga perlu diketahui pula track record dari permohonan kredit
dari berbagai yang dapat dijadikan referensi oleh analis kredit bank;
2. Capacity adalah berhubungan dengan kemampuan seorang debitur untuk
mengembalikan pinjaman. Untuk mengukurnya, kreditur dapat meneliti kemampuan
debitor dalam bidang manajemen, keuangan, pemasaran, dan lain-lain;
3. Capital, melihat banyaknya modal yang dimiliki oleh debitor atau melihat berapa
banyak modal yang ditanamkan debitur dalam usahanya, kreditur menilai modal
debitur tersebut. Semakin banyak modal yang ditanamkan, debitur akan dipandang
semakin serius dalam menjalankan usahanya;
4. Colateral, jaminan yang digunakan untuk berjaga-jaga seandainya debitur tidak dapat
mengembalikan pinjamannya. Biasanya nilai jaminan lebih tinggi dari jumlah
pinjaman. Bank harus pandai menilai atau melakukan taksasi harta kekayaan yang
dimiliki oleh calon debitur yang akan dijadikan jaminan. Agar bank tidak mendapatkan
kerugian akibat dari debitur yang tidak bisa mengembalikan dana tersebut. Biasanya
nilai jaminan atau agunan lebih besar dari utang atau kredit yang diberikan oleh debitur;
5. Condition of Economy, dilihat dari keadaan perekonomian disekitar tempat tinggal
calon debitur juga harus diperhatikan untuk memperhitungkan kondisi ekonomi yang
akan terjadi di masa datang. Kondisi ekonomi yang perlu diperhatikan antara lain
masalah daya beli masyarakat, luas pasar, persaingan, perkembangan teknologi, bahan
baku, pasar modal, dan lain sebagainya.

Berkenaan dengan sistem dan asas-asas hukum perjanjian, dikatakan bahwa Hukum
Perjanjian menganut “sistem terbuka.“ Artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan
tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-Pasal dari hukum perjanjian
merupakan hukum pelengkap (optional law), artinya Pasal-Pasal itu boleh disingkirkan
manakala dikehendaki oleh para pihak yang membuat suatu perjanjian. Sistem terbuka yang

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 10


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

juga mengandung “asas kebebasan berkontrak“, yang lazim disimpulkan dari Pasal 1338 ayat
(1) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya“. Dengan menekankan pada kata semua, maka Pasal tersebut
seolah-olah menyatakan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang
berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang
membuatnya.

Pada prinsip nya secara hukum positif bahwa tidak dibenarkan apapun bentuknya klausula
baku yang menyalahi Undang-Undang Perlindungan Konsumen , tapi untuk hal seperti ini
sudah menjadi kebiasaan karena demi kemudahan konsumen, karena sistem pembayaran kredit
nya langsung di debet melalui rekening konsumen dan selama tidak ada keberatan dari
konsumen. Hal yang terjadi seperti ini sebenarnya dibenturkan antara azas kemanfaatan
konsumen dan dari hukum positif karena cacat hukum dan batal demi hukum.
C. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Ketentuan klausula baku tentang pemberian kuasa dihubungkan dengan hukum positif dalam
hal ini Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen pada dasarnya diperbolehkan bahwa pemberian kuasa merupakan
suatu perjanjian, yaitu persetujuan kedua belah pihak. Perjanjian dikatakan sah apabila
memenuhi syarat-syarat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata yakni sepakat, cakap, suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal, tetapi tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yaitu Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, sedangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan tidak mengatur secara khusus mengenai pemberian kuasa secara sepihak tetapi lebih
ke unsur kepercayaan serta mengatur tentang pemberian kredit.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 11


Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum
Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa
Volume 2 Nomor 1 Januari 2022
DOI Issue: 10.46306/rj.v2i1

DAFTAR PUSTAKA
Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika, 2017.
Djaja S.Meliala, Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Bandung,:Tarsito, 1982.
H.P. Panggabean. Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) dalam Perjanjian Kredit
Perbankan. Bandung: Alumni, 2012.
Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit (termasuk hak tanggungan) menurut
Hukum Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2013.
Untung H. Budi. Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Sentosa Sembiring, “Arti Penting Jaminan dalam Pemberian Kredit dalam Transaksi
Bisnis Perbankan”, Gloria Juris, Volume 7, nomor 1, Januari-April 2007.

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 12

Anda mungkin juga menyukai