Anda di halaman 1dari 29

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP

PERJANJIAN KLAUSULA BAKU DI PUSAT


PERBELANJAAN

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perlindungan


Konsumen

Karunia 010122100

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PAKUAN

BOGOR

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Hukum Perlindungan Konsumen terhadap Perjanjian Klausula Baku di Pusat
Perbelanjaan.” Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan serta
dukungan dari berbagai pihak, tugas makalah ini tidak mungkin terselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Agus Satory, S.H., M.H. selaku Dosen Mata Kuliah Hukum
Perlindungan Konsumen, Universitas Pakuan.
2. Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun
tidak langsung dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa didalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat
diharapkan dalam penyempurnaan selanjutnya.

Bogor, Oktober 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2

DAFTAR ISI......................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4

1.1 Latar belakang....................................................................................................4


1.2 Rumusan masalah...............................................................................................6
1.3 Tujuan makalah..................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................7

2.1 Pengertian hukum perlindungan konsumen........................................................7


2.2 Para pihak dalam perlindungan konsumen.......................................................10
1. Konsumen........................................................................................................11
2. Pelaku usaha.....................................................................................................11
2.3 Hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban pelaku usaha..............12
a. Hak dan kewajiban konsumen..........................................................................12
b. Hak dan kewajiban pelaku usaha......................................................................18
2.4 Pengertian klausula baku..................................................................................19
BAB III ANALISIS dan PEMBAHASAN.......................................................................21

3.1 Pengaturan dan kedudukan perjanjian klausula baku ditijnjau dari UUPK.......21
3.2 Perlindungan hukum bagi konsumen yang menerima klausula baku di pusat
perbelanjaan.................................................................................................................23
BAB IV PENUTUP.........................................................................................................26

4.1 Simpulan..........................................................................................................26
4.2 Saran................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................29

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Dalam mengikuti perkembangan zaman, masyarakat banyak melakukan
aktivitas ekonomi berupa jual beli barang yang dilakukan oleh pedagang dan
konsumen di pusat perbelanjaan. Pusat perbelanjaan dapat diartikan sebagai
sekumpulan individu atau kelompok penjual grosiran atau usahawan komersial
yang memiliki sampai dengan mengelola sebuah usaha tunggal pada suatu tempat
tertentu. Lokasi usaha tersebut difasilitasi juga dengan lahan parkir. Pelaku usaha
dalam mengelola bisnisnya menggunakan asas ekonomi, yakni demi memperoleh
laba (keuntungan) yang banyak tetapi hanya membutuhkan modal sedikit. Namun,
untuk mewujudkannya, seorang pedagang melakukan upaya yang merugikan
konsumen. Kondisi ini mengakibatkan kedudukan yang tidak seimbang.

Ketika konsumen berada dalam posisi yang lemah, mereka membutuhkan


perlindungan hukum. Hubungan antara pembeli dan pelaku usaha harus
memastikan hak, kewajiban, dan tanggung jawab kedua belah pihak agar sama-
sama diuntungkan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK mengatur hak dan kewajiban
konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya. Pelaku usaha bertanggung
jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau
misrepresentasi penawaran produk yang merugikan konsumen.1

Ketika terjadi transaksi antara pengusaha dan pembeli di pusat


perbelanjaan, seringkali terdapat kesepakatan yang merugikan konsumen, yaitu
perjanjian klausula baku. Menurut Pasal 1 Angka 10 UUPK, perjanjian klausula
baku adalah perjanjian yang ditetapkan oleh satu pihak, yaitu pelaku usaha, yang
mengikat dan wajib diikuti oleh konsumen. Meskipun perjanjian tersebut

1
Az Nasution , 2007, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
hal. 46.

4
memenuhi persyaratan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
karena telah disepakati oleh para pihak, namun bentuknya sudah ditentukan oleh
salah satu pihak dan pastinya menguntungkan pihak tersebut. Oleh karena itu,
konsumen membutuhkan perlindungan hukum agar tidak dirugikan oleh
perjanjian klausula baku tersebut.

Perjanjian klausula baku sebenarnya memudahkan para pihak dalam


bertransaksi.2 Prinsipnya, perjanjian ini tidak dilarang, tetapi jika memberatkan
atau merugikan salah satu pihak yang diatur oleh UUPK, maka perjanjian tersebut
dilarang. UUPK mengatur delapan hal, salah satunya adalah bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen tidak
dicantumkan dalam perjanjian. Oleh karena itu, jika hal tersebut tidak
dicantumkan dalam perjanjian, maka masih diperbolehkan.3

Klausula baku dapat menyebabkan pihak konsumen tidak dapat


menentukan keinginannya dengan bebas. Dalam pusat perbelanjaan, klausula
baku seringkali ditampilkan dengan kalimat seperti "Barang yang sudah dibeli
tidak dapat ditukar kembali" atau "Barang yang tidak diambil 2 (dua) minggu,
kami batalkan atau menjadi milik pihak manajemen" atau "barang pecah berarti
membeli". Klausula baku ini sebenarnya tidak dilarang, namun jika memberatkan
atau merugikan salah satu pihak yang diatur oleh UUPK, maka perjanjian tersebut
dilarang. Klausula baku yang dilarang antara lain adalah yang menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, mensyaratkan
konsumen untuk tunduk pada aturan baru, perubahan dan lanjutan yang ditetapkan
secara sepihak oleh pelaku usaha, merumuskan kuasa pelaku usaha untuk
melakukan tindakan sepihak terhadap barang angsuran konsumen, mengurangi
manfaat/harta kekayaan konsumen, dan mengatur perihal pembuktian konsumen
atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen.

2
Ratih Pradnyani, I Gusti Ayu; Puspawati, I Gusti Ayu; Sutama, Ida Bagus Putu. Perjanjian Baku
dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, (Oct. 2016).
3
H.P. Pangabean, 2012, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, PT. Alumni, Bandung, hal. 2.

5
Klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang dilarang dapat dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu,
konsumen perlu memperhatikan keabsahan klausula baku sebelum melakukan
transaksi. Klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang dapat
merugikan konsumen dan harus dihindari.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah
yang akan dikaji adalah:

1. Bagaimana pengaturan dan kedudukan perjanjian klausula baku ditinjau


dari UUPK ?
2. Apa bentuk perlindungan hukum bagi konsumen yang menerima klausula
baku di pusat perbelanjaan?

1.3 Tujuan makalah


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan
makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan kedudukan perjanjian


klausula baku yang ditinjau dari UUPK
2. Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi
konsumen yang menerima klausula baku di pusat perbelanjaan

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian hukum perlindungan konsumen


Menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut Undang Undang Perlindungan Konsumen/UUPK)
pasal 1 angka 1 yang berbunyi, “Perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.” Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam
pasal tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum,” diharapkan sebagai benteng untuk
meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya
demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. 4

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, definisi Perlindungan Konsumen adalah


keseluruhan asas-asas serta kaidah-kaidah hukkum yang mengatur mengenai
hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu dengan yang lain, dan berkaitan
dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup manusia.

Az. Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen adalah


bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang
bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen,
sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa
konsumen. Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki
dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

4
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 1.

7
Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut
menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak
ditentukan oleh para pelaku usaha.

Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh


karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum,
ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang Undang Perlindungan
Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku
untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam bidang Hukum Privat
(Perdata) maupun bidang Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum
Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana
dikemukakan di atas, memperjelas kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen
berada dalam kajian Hukum Ekonomi.

Hukum ekonomi yang dimaksudkan adalah keseluruhan kaidah hukum


administrasi negara yang membatasi hak-hak individu, yang dilindungi atau
dikembangkan oleh hukum perdata. Peraturan-peraturan seperti ini merupakan
peraturan Hukum Administrasi di bidang ekonomi yang akhirnya dicakup dalam
satu kategori sebagai Droit Economique.

Adapun tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan


perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat
dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha
dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan cara:

1. Menciptakan perlindungan konsumen yang mengandung akses dan


informasi, serta menjamin kepastian hukum.
2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan
kepentingan seluruh pelaku usaha pada umumnya .
3. Meningkat kualitas barang dan pelayanan jasa.

8
4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dan praktik usaha
yang menipu dan menyesatkan.
5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan
perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada
bidangbidang lainnya.5

Pengaturan klausula baku dalam produk undang-undang untuk pertama


kalinya diatur dalam UUPK, yang memberi batasan bahwa klausula baku adalah
setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
diterapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha, yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.6 Penekanannya adalah pada prosedur pembuatan yang bersifat sepihak,
bukan mengenai isinya. Padahal, pengeran ‘klausula eksonerasi’ dak hanya
mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat
pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha.

Secara umum klausula baku yang dimuat dalam perjanjian baku dak dilarang
dan tetap berlaku bagi para pihak yang membuat transaksi. Larangan hanya pada
pencantuman klausula baku yang disebut eksonerasi, yaitu klausula yang
membebaskan, membatasi atau mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha yang
pada gilirannya akan memberatkan atau merugikan konsumen dari prakk
pencantuman klausula baku tersebut. UUPK telah memberikan rambu-rambu
perbuatan yang dilarang untuk mencantumkan klausula baku yang diatur dalam
Pasal 18 ayat (1) UUPK.7

Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUPK menentukan bahwa pelaku usaha
dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada seap dokumen dan atau
perjanjiian dimana klausula tersebut akan mengakibatkan8:
5
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 32.
6
Pasal 1 angka 10 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
7
Agus Satory, “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor Jasa
Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 2
(2015), hal. 279.
8
Ibid.

9
1. Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli
konsumen;
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha,
baik secara langsung maupun dak langsung untuk melakukan
segala ndakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembukan atas hilangnya kegunaan barang atau
jasa yang dibeli oleh konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek
jual beli jasa;
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2.2 Para pihak dalam perlindungan konsumen


Pada dasarnya, kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi tidak dapat lepas
dari peran para pelaku usaha dan konsumen. Konsumen merupakan hal terpenting
dalam melakukan setiap kegiatan usaha, karena tanpa adanya konsumen maka
usaha yang dilakukan tidak akan berhasil. Namun, di sisi lain, banyak pelaku
usaha yang menganggap remeh keberadaan konsumen dengan mengabaikan
kepentingan dan hak-hak konsumen. Oleh karena itu, perlindungan konsumen
menjadi penting untuk melindungi hak-hak konsumen dalam transaksi di pusat

10
perbelanjaan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan perlindungan konsumen
antara lain:

1. Konsumen
Konsumen adalah pihak yang menggunakan atau memakai barang
atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan
orang lain. Istilah konsumen berasal dari bahasa asing, yaitu consumer
(Inggris) dan consument/konsument (Belanda). Menurut kamus hukum
Dictionary of Law Complete Edition, konsumen merupakan pihak yang
memakai atau menggunakan barang dan jasa, baik untuk kepentingan diri
sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.

Arti konsumen di Indonesia sesuai dengan Pasal 1 angka (2)


UUPK adalah "setiap orang pemakai barang/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain."
Konsumen merupakan pihak yang sangat penting dalam melakukan setiap
kegiatan usaha, karena tanpa adanya konsumen maka usaha yang
dilakukan tidak akan berhasil. Namun, banyak pelaku usaha yang
mengabaikan kepentingan dan hak-hak konsumen. Oleh karena itu,
perlindungan konsumen menjadi penting untuk melindungi hak-hak
konsumen dalam transaksi di pusat perbelanjaan.

2. Pelaku usaha
Pelaku usaha sering diartikan sebagai pengusaha barang dan jasa,
dalam pengertian ini termasuk didalamnya pembuat, grosir, dan pengecer.
Pasal 1 ayat (3) UUPK, memberikan pengertian pelaku usaha sebagai
berikut: “Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”9

9
Sidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 23.

11
Pelaku usaha yang dimaksud dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen meliputi perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir,
pedagang, distributor, dan lain-lain. Pengertian pelaku usaha dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut sangat luas, karena
tidak dibatasi.

2.3 Hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban pelaku
usaha

a. Hak dan kewajiban konsumen


Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang dinyatakan
dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 3. Perlu ditekankan bahwa negara hukum
pada hakikatnya memiliki empat unsur pokok, yaitu:

1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibanya harus


berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan
2. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Artinya negara
Indonesia merupakan neagara yang mengakui adanya pembatasan
kekuasaan negara dan jaminan perlindungan terhadap HAM dalam
konstitusi. Akibatnya, konstitusi menjadi ukuran atau takaran untuk
membatasi kekuasaan negara dan pedoman untuk menilai apakah
HAM yang tertera dalam konstitusi sudah diwujudkan ke dalam fakta
sosial yang konkrit.10

Perdagangan bebas yang didukung oleh perkembangan teknologi yang


semakin pesat menjadi pemicu semakin banyaknya kebutuhan hidup yang
harus dipenuhi, baik yang bersifat primer, sekunder, maupun tersier.
Selain kebutuhan yang semakin meningkat, pelaku usaha juga semakin
kreatif dalam menyediakan kebutuhan dalam jumlah yang banyak dan
bervariasi sesuai dengan permintaan pasar. Hal ini memberikan manfaat
10
Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, (Bandung: PT. Alumni,
2010), hal. 62.

12
kepada konsumen, yaitu konsumen bebas memilih barang dan/atau jasa
yang diinginkannya. Namun, hal ini juga dapat memberikan kerugian bagi
konsumen yang dijadikan objek bisnis untuk mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan keamanan dan kekayaan
konsumsi dari barang yang diproduksinya.

Adapun hal-hal yang menjadi hak dari konsumen tercantum dalam


Pasal 4 Undang Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam


mengkonsumsi barang atau jasa.
Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan
untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam
penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga
konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis)
apabila mengonsumsi suatu produk.
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan
kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk
tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak
luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak
memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk,
demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun
kuantitas jenis produk yang dipilihnya.
Hak memilih yang dimiliki konsumen ini hanya ada jika
ada alternati pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu
produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan
kata lain tidak ada pilihan lain (baik barang maupun jasa), maka
dengan sendirinya hak untuk memilih ini tida akan berfungsi.
Berdasarkan hal tersebut, maka ketentuan yang dapat
membantu penegakan hal tersebut dapat dilihat dalam Undang

13
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik dalam pasal 19 maupun
pasal 25 ayat (1). Pasal 19 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999
menentukan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa
kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan tidak sehat berupa:
a. Meolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang
bersangkutan; atau
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha
pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya; atau
c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan
atau jasa pada pasar yng bersangkutan; atau
d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha
tertentu.”

Sementara pasal 25 ayat (1) Undang Undang Nomor 5


Tahun 1999, menentukan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik


secara langsunh maupun tidak langsung untuk:

a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan


untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen
memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik
dari segi harga maupun kualitas; atau
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi
pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.”

14
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur adalah informasi
mengenai barang atau jasa.
Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya
informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga
merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan
cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak
atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat
memeproleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena
dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang
diinginkan atau sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian
akibat kesalahan dalam penggunaan produk.
Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut di antaranya
adalah mengenai manfaat kegunaan produk; efek samping atas
penggunaan produk; tanggal kadaluwarsa, serta identitas produsen dari
produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik secara
lisan, maupun secara tertulis, baik yang dilakukan dengan
mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk,
maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik
melalui media cetak maupun media elektronik.
Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk
meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta
meningkatkan kesetiannya terhadap produk tertentu, sehingga akan
memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi
kebutuhannya.11 Dengan demikian, pemenuhan hak ini akan
menguntungkan baik konsumen maupun produsen.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhanya atas barang atau jasa yang
digunakan.

11
James F. Engel, et al., Consumen Behavior, Fifth Edition, The Dryden Press, New York, tt., hal.
593.

15
Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak
dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari
kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang
diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa
pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan
suatu produk, atau yang berupa pertanyaan atau pendapat tentang suatu
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.
Hak ini dapat disampaikan secara perorangan maupun secara kolektif,
baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu
lembaga tertentu, misalnya melalui YLKI.
e. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
Adapun yang menjadi kewajiban dari konsumen termuat dalam
Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen, yaitu sebagi berikut:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dari
pemanfataan barang atau jasa. Hal ini wajib dilakukan oleh
konsumen, agar tidak ada persengketaan yang muncul dikemudian
hari. Dengan membaca dan mengikuti petunjuk pemakaian maka
konsumen tahu resiko ataupun hal-hal yang terjadi pada barang
atau jasa tersebut.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau
jasa. Tidak hanya pelaku uhasa saja yang wajib untuk beritikad
baik dalam menjalani usahanya, tetapi konsumen juga waji
beritikad baik dlam bertransaksi seperti tidak adanya keinginan
untuk menipu.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

16
g. Hak untuk mendaptkan pembinaan dan pendidikan konsumen
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kewajiban konsumen diatur dalam pasal 5 Undang Undang
Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
Hal ini wajib dilakukan oleh konsumen, agar tidak ada
persengketaan yang muncul dikemudian hari. Dengan membaca dan
mengikuti petunjuk pemakaian maka konsumen tahu resiko ataupun
hal-hal yang terjadi pada barang atau jasa tersebut.
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
Tidak hanya pelaku uhasa saja yang wajib untuk beritikad baik
dalam menjalani usahanya, tetapi konsumen juga waji beritikad baik
dlam bertransaksi seperti tidak adanya keinginan untuk menipu.
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.12

b. Hak dan kewajiban pelaku usaha


Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur hak
dan kewajiban konsumen, tetapi juga hak dan kewajiban pelaku usaha. Hal
ini dimaksudkan agar pelaku usaha juga mendapatkan jaminan hukum dari
negara, dan untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha serta
menciptakan keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen.

12
Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen, (Malang: UB Press, 2011), hal. 45

17
Undang-undang Perlindungan Konsumen memberikan batasan
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak. Hak-hak dan
kewajiban dari pelaku usaha diatur dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen Pasal 6 (tentang hak pelaku usaha) dan Pasal 7 (mengenai
kewajiban pelaku usaha).

Pelaku usaha yang dimaksud dalam Undang-undang Perlindungan


Konsumen meliputi perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir,
pedagang, distributor, dan lain-lain. Pelaku usaha memiliki hak dan
kewajiban dalam melakukan usahanya, seperti beritikad baik dalam
melakukan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Dalam UUPK, kewajiban untuk beritikad baik lebih ditekankan kepada
pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan
usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban dalam beritikad baik
dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna
penjualan.

2.4 Pengertian klausula baku


Klausula baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap aturan atau
ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen. Klausula baku merupakan isi atau bagian dari suatu
perjanjian. Perjanjian menggunakan klausula baku ini disebut dengan
perjanjian baku.13 Tujuan dibuatnya perjanjian baku yaitu untuk
memberikan kepraktisan kepada para pihak sehingga mempermudah dan
menghemat waktu dalam bertransaksi.

13
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo., 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Rajawali
Press, hal. 115

18
Namun dengan telah dipersiapkan terlebih dahulu secara sepihak,
membuat kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen menjadi tidak
seimbang. Didalam suatu perjanjian baku tercantum klausula-klausula
tertentu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kedudukan yang
lebih kuat yang mengakibatkan sangat merugikan pihak yang lemah yang
dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan.14
Pelaku usaha selaku pihak yang memiliki kedudukan yang lebih
kuat akan lebih leluasa dalam menentukan klausula baku yang dibuat
secara sepihak dalam perjanjian bakunya, sehingga bukan tidak mungkin
pelaku usaha akan mencantumkan klasula-klausula yang menguntungan
dan yang meringankan bahkan menghapus tanggung jawab sehingga dapat
merugikan konsumen.
Hal tersebut tentunya bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang secara tegas
telah mengatur mengenai perlindungan konsumen, khususnya penerapan
klausula baku, namun dalam realitasnya belum tentu berjalan sesuai
dengan yang telah diatur. Buktinya hingga kini berbagai peristiwa dalam
transaksi yang terkait dengan perlindungan konsumen khususnya terhadap
pelanggaran pencantuman klausula baku masih seringkali ditemui dalam
perjanjian jual beli di masyarakat. Kenyataan ini merupakan salah satu
masalah dalam perlindungan konsumen.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan mengenai klausula-klausula baku
yang dilarang dicantumkan oleh pelaku usaha, yaitu apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;

14
Ibid

19
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.

Pasal 18 ayat (1) UUPK mengatur larangan pencantuman klausula


baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang ditujukan untuk
diperdagangkan oleh pelaku usaha. Hal ini dimaksudkan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha dan
mencegah ketidakpahaman konsumen yang dapat dimanfaatkan oleh
pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan dengan cara melawan
ketentuan hukum.

20
BAB III

ANALISIS dan PEMBAHASAN

3.1 Pengaturan dan kedudukan perjanjian klausula baku

ditijnjau dari UUPK

Perjanjian adalah perbuatan yang mengikatkan para pihak yang


menyetujui suatu kesepakatan. Unsur-unsur perjanjian meliputi adanya
lebih dari satu pihak, tujuan yang dicapai, kesepakatan antara para pihak,
prestasi yang akan dilaksanakan, dan terdapat syarat. Persyaratan
perjanjian yang terdapat pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu perjanjian
harus disepakati dan mengikat semua orang yang terlibat dalam perjanjian
tersebut. Asas perjanjian adalah kebebasan berkontrak dimana mengatur
perjanjian dibuat oleh semua subyek hukum tanpa paksaan. Perjanjian
tidak sah jika terdapat beberapa hal yang bersimpangan dengan ketentuan
yang ada.
Klausula baku adalah suatu jenis bentuk perjanjian. Hal inj dapat
diartikan sebagai perjanjian. Menurut Mariam Darus Badrulzaman dapat
didefinisikan suatu perjanjian yang telah dibakukan atau dituangkan dalam

21
bentuk formulir.15 Klausula baku di pusat perbelanjaan ini menempatkan
posisi pelaku usaha dengan konsumen tidak seimbang.
Ketika kita berbelanja di pusat perbelanjaan, seringkali kita
menemukan klausula baku pada kuitansi belanja yang berisi kalimat
"Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar kembali". Klausula baku
semacam ini sangat merugikan konsumen karena tidak memberikan
bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha. Namun, Pasal 18 Ayat 1 Huruf
b UUPK mengatur bahwa pelaku usaha berhak untuk tidak menerima
barang dan/atau jasa yang dikembalikan oleh konsumen. Klausula baku
semacam ini termasuk klausul yang tidak boleh dicantumkan atau ditaruh
dalam perjanjian baku karena tidak memenuhi hak-hak konsumen.
Hak konsumen diatur dalam ketentuan Pasal 4 UUPK yaitu hak
atas kenyamanan konsumen, serta kebenaran informasi barang dan/atau
jasa yang dijual pelaku. Hak didengar pendapat dan keluhan atas barang
tersebut. Dan untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar dan
jaminan yang dijanjikan.
Perjanjian yang diatur dalam UUPK tidak boleh mengandung
kedudukan yang tidak sejajar antara pelaku usaha dan konsumen. Klausula
baku yang merugikan konsumen harus dilarang dan tidak boleh
dicantumkan di tempat yang sulit dilihat dan dibaca. Bahasa yang
digunakan dalam perjanjian harus jelas dan mudah dimengerti.
Pasal 18 UUPK melarang perjanjian yang mengandung kedudukan
yang tidak sejajar antara pelaku usaha dan konsumen. Hal ini
dimaksudkan untuk mewujudkan kedudukan yang setara antara pelaku
usaha dan konsumen serta mencegah ketidakpahaman konsumen yang
dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan
dengan cara melawan ketentuan hukum.16

15
Ratna Sari, Putu Dina Marta; Priyanto, I Made Dedy. Perlindungan Hukum Kepada Konsumen
Terhadap Penggunaan Klausula Baku yang Tercantum pada Toko Online.Kertha Semaya :
Journal Ilmu Hukum, jan. 2019.
16
Janus, Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya, Bandung, hal. 27

22
3.2 Perlindungan hukum bagi konsumen yang menerima
klausula baku di pusat perbelanjaan
Dan keadilan ialah keseimbangan dua hal tersebut terhadap para
pihak, dengan kata lain tidak ada yang dirugikan.17 Hak dan kewajiban
harus sejalan. Dan hal ini harus dipertegas dalam suatu perjanjian.
Terdapatnya perjanjian klausula baku yang diatur oleh UUPK
khususnya di Pusat Perbelanjaan sangat merugikan konsumen. Secara
tidak langsung sudah melanggar peraturan, tujuan hukum tidak
tercapai, dan hakhak konsumen tidak terpenuhi. Yang dimaksud yaitu
terdapat pada Pasal 18 Ayat (1) huru b dan c UUPK yaitu pelaku
usaha dibolehkan menolak barang dan/atau jasa yang dikembalikan
pembeli dan pengembalian uang yang dibayar konsumen untuk barang
yang sudah dibeli tersebut. Dan hak pembeli yang dilanggar terdapat
pada Pasal 4 huruf a,b,c, dan h UUPK yaitu hak kenyaman, memilih,
mendapatkan informasi atau petunjukyang lengkap tentang barang
atau jasa, dan mendapat kompensasi atas benda yang sudah dibeli
tidak sesuai dengan perjanjian.
Pusat perbelanjaan tidak memenuhi semua kewajibannya sebagai
pelaku usaha. Mereka menolak memberikan penggantian barang yang
dikembalikan oleh konsumen dengan alasan bahwa barang tersebut
tidak dapat ditukar kembali sesuai dengan ketentuan di nota belanja.
Namun, Pasal 7 huruf f dan g UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha
harus memberikan kompensasi berupa uang penggantian atau barang
pengganti jika barang yang dijual tidak sesuai dengan perjanjian.
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan
perlindungan kepada konsumen terhadap klausula baku di pusat
perbelanjaan. Pasal 62 ayat (1) UUPK mengatur sanksi bagi pelaku
usaha yang melanggar ketentuan pencantuman klausula, di mana
pelaku usaha dapat dikenakan sanksi hukuman dengan pidana
kurungan penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp
17
Muhamad Sadi Is, 2015, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 179

23
2.000.000.000,00. Selain itu, Pasal 63 UUPK juga mengatur sanksi
tambahan seperti pencabutan izin usaha, pengambilan secara paksa
barang tertentu, ganti rugi, pengambilan barang dari produksi pasar,
pengumuman keputusan hakim, dan penghentian aktivitas tertentu
yang merugikan konsumen.
Konsumen memiliki jalur alternatif untuk mengadukan dan
menyelesaikan sengketa terkait klausula baku yang dilakukan oleh
penyelenggara usaha di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).18 BPSK diatur dalam Pasal 49 UUPK dan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 06/MDAG/PER/2/2017. BPSK merupakan badan
penyelesaian sengketa antara penyelenggara usaha dengan konsumen
dan berada dalam Tingkat II luar pengadilan.
sebagai perantara antara pelaku usaha dan konsumen dan bersifat
pasif. Prosesnya yaitu mengelompokkan dan menanyakan kembali
masalah-masalah yang terjadi dan menawarkan pilihan penyelesaian
sengketa. Kedua mediasi, BPSK berperan terbalik dari proses
sebelumnya, disini harus aktif sebagai perantara dan penasehat
diantara yang bersengketa. Dan yang terakhir arbitrase, para pihak
yang terlibat menyerahkan seluruhnya kepada BPSK untuk mencari
jalan keluar dari sengketa tersebut. Ketiga cara tersebut dapat
dilakukan berdasarkan kesepakatan yang dipilih oleh pihak yang
terlibat dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa yang
bertahap melainkan hanya satu kali proses (Pasal 2 dan 4 Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/KEP/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen). Dan fungsi lainnya adalah
melakukan pengawasan terhadap adanya pencantuman klausula
bakuyang dilarang (Pasal 52 huruf c UUPK).19

18
David M.L. Tobing, 2019, Klausula Baku: Paradoks Dalam Penegakan Hukum Perlindungan
Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, hal. 38.
19
Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Jakarta, hal. 124.

24
BPSK melakukan pengawasan terhadap adanya pencantuman
klausula baku yang dilarang, baik dengan atau tanpa adanya keluhan
dari pembeli. Jika terdapat pelanggaran terhadap pencantuman
klausula baku yang diatur dalam UUPK, maka BPSK akan
memberikan surat peringatan (SP) secara tertulis kepada pelaku usaha
selama 3 kali terus menerus selama jangka waktu yang telah
ditentukan. Apabila SP tersebut tidak diindahkan, maka BPSK akan
melapor ke Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bagian
perlindungan konsumen agar dilakukan proses penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Penyelidikan dan penyidikan dilakukan dengan berbagai cara, seperti
melakukan penelitian dan pemeriksaan pada saksi, saksi ahli, bukti
surat, benda, dan bukti lain yang diajukan oleh konsumen untuk
membuktikan apakah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 8 UUPK.
Setelah terbukti terdapatnya klausula baku yang merugikan konsumen,
BPSK dapat menuntut dan memutuskan bahwa pelaku usaha wajib
memberi kompensasi terhadap konsumen yang dirugikan tersebut.
Ganti rugi yang dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (2) Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/KEP/12/2001 mencakup ganti rugi uang, penggantian
barang yang sesuai, dan menanggung biaya perawatan atau memberi
santunan akibat dari barang tersebut. Pemberitahuan putusan tersebut
disampaikan langsung ke alamat pelaku usaha, dengan bukti
pengiriman dan penerimaan yang harus ditandatangani oleh pelaku
usaha paling lambat 5 hari kerja semenjak putusan itu ditetapkan.
Keputusan ini diatur dalam Pasal 49 UUPK dan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 06/MDAG/PER/2/2017. Putusan yang dibuat
oleh BPSK bersifat final dan mengikat dengan penyelesaian berupa
putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja setelah gugatan
diterima.

25
Sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 14 Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan didasarkan pada Pasal 3 huruf m, di
mana BPSK wajib menjatuhkan hukuman administratif yang diatur
oleh UUPK. Selanjutnya, BPSK menetapkan ganti kerugian oleh
pelaku usaha sebesar Rp200.000.000,00 sesuai dengan yang diatur
dalam UUPK.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Klausula baku diperbolehkan oleh UUPK dengan syarat tidak
mencantumkan apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 Ayat
(1) huruf b UUPK. Namun, di pusat perbelanjaan masih
terdapat klausula baku yang tidak diperbolehkan oleh UUPK.
Hal ini menyebabkan posisi yang tidak setara antara
penyelenggara usaha dan konsumen. Klausula baku adalah
setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen. Klausula baku yang tercantum dalam perjanjian
atau dokumen harus memenuhi beberapa syarat, seperti tidak
bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU

26
Perlindungan Konsumen, mudah terlihat dan dapat dibaca
dengan jelas, dan tidak merugikan konsumen. Konsumen perlu
membaca dengan seksama perjanjian atau dokumen yang akan
ditandatangani sebelum melakukan transaksi di pusat
perbelanjaan dan memperhatikan apakah terdapat klausula
baku dalam perjanjian atau dokumen tersebut.
2. Bentuk perlindungan hukum bagi konsumen yang mendapat
klausula baku adalah pelaku usaha dapat dikenakan sanksi
yang diatur dalam Pasal 62 UUPK, serta mendapatkan sanksi
tambahan Pasal 63 UUPK. Konsumen juga dapat melakukan
pengaduan kepada BPSK. Setelah dilakukan pemeriksaan dan
penyidikan untuk membuktikan terdapatnya pelanggaran
klausula baku, keluarlah putusan bahwa penyelenggara usaha
wajib memberikan kompensasi dan/atau hukuman administratif
yang diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 350/MPP/KEP/12/2001 Tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen.

4.2 Saran
Berdasarkan uraian di atas tentang pencantuman klausula baku di
pusat perbelanjaan yang melanggar UUPK, maka demi penegakkan
hukum, dapat diajukan saran sebagai berikut:

1. Penyelenggara usaha seharusnya mengevaluasi perjanjian


klausula baku tersebut agar sesuai dan tidak menyimpang
dengan apa yang diatur oleh UUPK. Hal ini bertujuan untuk
mencapai kesetaraan dan keadilan hak dan kewajiban antara
penyelenggara usaha dan konsumen, sehingga mencapai
keadilan yang merupakan salah satu tujuan hukum.
2. Diperlukan sosialisasi yang sering dilakukan oleh Dinas
Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) kepada

27
penyelenggara usaha dan konsumen. Pelaku usaha harus
mengetahui tentang pencantuman perjanjian yang berisi
klausula baku dan hak serta kewajiban sebagai penyelenggara
usaha. Sedangkan untuk konsumen, mereka harus mengetahui
hak dan kewajiban apa yang harus dilakukan atau didapatkan
sebagai pembeli atau pengguna. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya pelanggaran dalam melakukan kegiatan
usaha. Selain itu, masyarakat harus bersikap kritis dan
mempelajari ilmu hukum tentang hak pembeli atau pengguna
agar hak-hak konsumen tidak diabaikan oleh pelaku usaha
karena ketidaktahuan konsumen. Budaya kritis masyarakat
harus ditingkatkan untuk melindungi hak-hak mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Miru, Ahmad. Sutarman Yodo. (2004). Hukum Perlindungan Konsumen. PT.


RajaGrafindo Persada.
Sidabalok, Janus. (2010). Hukum Perlindungan Konsumen. Citra Aditya.
Nasution, A. Z. (2002). Hukum perlindungan konsumen: Suatu pengantar: Diadit
Media. In Jakarta. Diadit Media.
Rosmawati. (2008). Pokok-pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Kencana.
Tobing, D. M. L. (2019). Kalusula Baku: Paradoks Dalam Penegakan Hukum
Perlindungan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Shofie, Y. (2008). Kalusula Baku: Paradoks Dalam Penegakan Hukum

28
Perlindungan Konsumen. PT. Citra Aditya Bakti.
Jurnal
Hutagalung, K., Hasnati, H., & Afrita, I. (2021). Perlindungan Hukum Konsumen
Terhadap Perjanjian Baku Yang Merugikan Konsumen. In Mizan: Jurnal
Ilmu Hukum (Vol. 10, Issue 2). Universitas Lancang Kuning.
Satory, Agus. (2015). Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam
Transaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di
Indonesia. In Padjadjaran: Jurnal Ilmu Hukum (Vol. 2, Issue 2). Universitas
Pakuan.
Pradnyani, I. G. A. R., Puspawati, I. G. A., & Sutama, I. B. P. (2018). Perjanjian
Baku Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. In Kertha Semaya: Journal
Ilmu Hukum (Vol. 6). Universitas Udayana.
Ratna Sari, P. D. M., & Priyanto, I. M. D. (2019). Perlindungan Hukum Kepada
Konsumen Terhadap Penggunaan Klausula Baku Yang Tercatum Pada Toko
Online. In Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum (Vol. 7, Issue 1).
Universitas Udayana.
Sindy, S. (2014). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Klausula Baku
Yang Merugikan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. In
Lex Privatum (Vol. 2, Issue 2). Universitas Sam Ratulangi.
Peraturan perundang-undangan

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor


06/M-DAG/PER/2/2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Huku, Perlindungan Konsumen
(UUPK).
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indinesia
Nomor:350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
BPSK, 2017 43 (2001).

29

Anda mungkin juga menyukai