MAKALAH
Karunia 010122100
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Hukum Perlindungan Konsumen terhadap Perjanjian Klausula Baku di Pusat
Perbelanjaan.” Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan serta
dukungan dari berbagai pihak, tugas makalah ini tidak mungkin terselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Agus Satory, S.H., M.H. selaku Dosen Mata Kuliah Hukum
Perlindungan Konsumen, Universitas Pakuan.
2. Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun
tidak langsung dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa didalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat
diharapkan dalam penyempurnaan selanjutnya.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4
3.1 Pengaturan dan kedudukan perjanjian klausula baku ditijnjau dari UUPK.......21
3.2 Perlindungan hukum bagi konsumen yang menerima klausula baku di pusat
perbelanjaan.................................................................................................................23
BAB IV PENUTUP.........................................................................................................26
4.1 Simpulan..........................................................................................................26
4.2 Saran................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................29
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
Az Nasution , 2007, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
hal. 46.
4
memenuhi persyaratan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
karena telah disepakati oleh para pihak, namun bentuknya sudah ditentukan oleh
salah satu pihak dan pastinya menguntungkan pihak tersebut. Oleh karena itu,
konsumen membutuhkan perlindungan hukum agar tidak dirugikan oleh
perjanjian klausula baku tersebut.
2
Ratih Pradnyani, I Gusti Ayu; Puspawati, I Gusti Ayu; Sutama, Ida Bagus Putu. Perjanjian Baku
dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, (Oct. 2016).
3
H.P. Pangabean, 2012, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, PT. Alumni, Bandung, hal. 2.
5
Klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang dilarang dapat dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu,
konsumen perlu memperhatikan keabsahan klausula baku sebelum melakukan
transaksi. Klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang dapat
merugikan konsumen dan harus dihindari.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 1.
7
Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut
menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak
ditentukan oleh para pelaku usaha.
8
4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dan praktik usaha
yang menipu dan menyesatkan.
5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan
perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada
bidangbidang lainnya.5
Secara umum klausula baku yang dimuat dalam perjanjian baku dak dilarang
dan tetap berlaku bagi para pihak yang membuat transaksi. Larangan hanya pada
pencantuman klausula baku yang disebut eksonerasi, yaitu klausula yang
membebaskan, membatasi atau mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha yang
pada gilirannya akan memberatkan atau merugikan konsumen dari prakk
pencantuman klausula baku tersebut. UUPK telah memberikan rambu-rambu
perbuatan yang dilarang untuk mencantumkan klausula baku yang diatur dalam
Pasal 18 ayat (1) UUPK.7
Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUPK menentukan bahwa pelaku usaha
dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada seap dokumen dan atau
perjanjiian dimana klausula tersebut akan mengakibatkan8:
5
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 32.
6
Pasal 1 angka 10 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
7
Agus Satory, “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor Jasa
Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 2
(2015), hal. 279.
8
Ibid.
9
1. Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli
konsumen;
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha,
baik secara langsung maupun dak langsung untuk melakukan
segala ndakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembukan atas hilangnya kegunaan barang atau
jasa yang dibeli oleh konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek
jual beli jasa;
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
10
perbelanjaan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan perlindungan konsumen
antara lain:
1. Konsumen
Konsumen adalah pihak yang menggunakan atau memakai barang
atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan
orang lain. Istilah konsumen berasal dari bahasa asing, yaitu consumer
(Inggris) dan consument/konsument (Belanda). Menurut kamus hukum
Dictionary of Law Complete Edition, konsumen merupakan pihak yang
memakai atau menggunakan barang dan jasa, baik untuk kepentingan diri
sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.
2. Pelaku usaha
Pelaku usaha sering diartikan sebagai pengusaha barang dan jasa,
dalam pengertian ini termasuk didalamnya pembuat, grosir, dan pengecer.
Pasal 1 ayat (3) UUPK, memberikan pengertian pelaku usaha sebagai
berikut: “Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”9
9
Sidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 23.
11
Pelaku usaha yang dimaksud dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen meliputi perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir,
pedagang, distributor, dan lain-lain. Pengertian pelaku usaha dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut sangat luas, karena
tidak dibatasi.
2.3 Hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban pelaku
usaha
12
kepada konsumen, yaitu konsumen bebas memilih barang dan/atau jasa
yang diinginkannya. Namun, hal ini juga dapat memberikan kerugian bagi
konsumen yang dijadikan objek bisnis untuk mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan keamanan dan kekayaan
konsumsi dari barang yang diproduksinya.
13
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik dalam pasal 19 maupun
pasal 25 ayat (1). Pasal 19 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999
menentukan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa
kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan tidak sehat berupa:
a. Meolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang
bersangkutan; atau
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha
pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya; atau
c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan
atau jasa pada pasar yng bersangkutan; atau
d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha
tertentu.”
14
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur adalah informasi
mengenai barang atau jasa.
Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya
informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga
merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan
cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak
atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat
memeproleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena
dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang
diinginkan atau sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian
akibat kesalahan dalam penggunaan produk.
Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut di antaranya
adalah mengenai manfaat kegunaan produk; efek samping atas
penggunaan produk; tanggal kadaluwarsa, serta identitas produsen dari
produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik secara
lisan, maupun secara tertulis, baik yang dilakukan dengan
mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk,
maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik
melalui media cetak maupun media elektronik.
Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk
meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta
meningkatkan kesetiannya terhadap produk tertentu, sehingga akan
memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi
kebutuhannya.11 Dengan demikian, pemenuhan hak ini akan
menguntungkan baik konsumen maupun produsen.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhanya atas barang atau jasa yang
digunakan.
11
James F. Engel, et al., Consumen Behavior, Fifth Edition, The Dryden Press, New York, tt., hal.
593.
15
Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak
dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari
kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang
diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa
pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan
suatu produk, atau yang berupa pertanyaan atau pendapat tentang suatu
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.
Hak ini dapat disampaikan secara perorangan maupun secara kolektif,
baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu
lembaga tertentu, misalnya melalui YLKI.
e. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
Adapun yang menjadi kewajiban dari konsumen termuat dalam
Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen, yaitu sebagi berikut:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dari
pemanfataan barang atau jasa. Hal ini wajib dilakukan oleh
konsumen, agar tidak ada persengketaan yang muncul dikemudian
hari. Dengan membaca dan mengikuti petunjuk pemakaian maka
konsumen tahu resiko ataupun hal-hal yang terjadi pada barang
atau jasa tersebut.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau
jasa. Tidak hanya pelaku uhasa saja yang wajib untuk beritikad
baik dalam menjalani usahanya, tetapi konsumen juga waji
beritikad baik dlam bertransaksi seperti tidak adanya keinginan
untuk menipu.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
16
g. Hak untuk mendaptkan pembinaan dan pendidikan konsumen
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kewajiban konsumen diatur dalam pasal 5 Undang Undang
Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
Hal ini wajib dilakukan oleh konsumen, agar tidak ada
persengketaan yang muncul dikemudian hari. Dengan membaca dan
mengikuti petunjuk pemakaian maka konsumen tahu resiko ataupun
hal-hal yang terjadi pada barang atau jasa tersebut.
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
Tidak hanya pelaku uhasa saja yang wajib untuk beritikad baik
dalam menjalani usahanya, tetapi konsumen juga waji beritikad baik
dlam bertransaksi seperti tidak adanya keinginan untuk menipu.
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.12
12
Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen, (Malang: UB Press, 2011), hal. 45
17
Undang-undang Perlindungan Konsumen memberikan batasan
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak. Hak-hak dan
kewajiban dari pelaku usaha diatur dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen Pasal 6 (tentang hak pelaku usaha) dan Pasal 7 (mengenai
kewajiban pelaku usaha).
13
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo., 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Rajawali
Press, hal. 115
18
Namun dengan telah dipersiapkan terlebih dahulu secara sepihak,
membuat kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen menjadi tidak
seimbang. Didalam suatu perjanjian baku tercantum klausula-klausula
tertentu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kedudukan yang
lebih kuat yang mengakibatkan sangat merugikan pihak yang lemah yang
dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan.14
Pelaku usaha selaku pihak yang memiliki kedudukan yang lebih
kuat akan lebih leluasa dalam menentukan klausula baku yang dibuat
secara sepihak dalam perjanjian bakunya, sehingga bukan tidak mungkin
pelaku usaha akan mencantumkan klasula-klausula yang menguntungan
dan yang meringankan bahkan menghapus tanggung jawab sehingga dapat
merugikan konsumen.
Hal tersebut tentunya bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang secara tegas
telah mengatur mengenai perlindungan konsumen, khususnya penerapan
klausula baku, namun dalam realitasnya belum tentu berjalan sesuai
dengan yang telah diatur. Buktinya hingga kini berbagai peristiwa dalam
transaksi yang terkait dengan perlindungan konsumen khususnya terhadap
pelanggaran pencantuman klausula baku masih seringkali ditemui dalam
perjanjian jual beli di masyarakat. Kenyataan ini merupakan salah satu
masalah dalam perlindungan konsumen.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan mengenai klausula-klausula baku
yang dilarang dicantumkan oleh pelaku usaha, yaitu apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
14
Ibid
19
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
20
BAB III
21
bentuk formulir.15 Klausula baku di pusat perbelanjaan ini menempatkan
posisi pelaku usaha dengan konsumen tidak seimbang.
Ketika kita berbelanja di pusat perbelanjaan, seringkali kita
menemukan klausula baku pada kuitansi belanja yang berisi kalimat
"Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar kembali". Klausula baku
semacam ini sangat merugikan konsumen karena tidak memberikan
bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha. Namun, Pasal 18 Ayat 1 Huruf
b UUPK mengatur bahwa pelaku usaha berhak untuk tidak menerima
barang dan/atau jasa yang dikembalikan oleh konsumen. Klausula baku
semacam ini termasuk klausul yang tidak boleh dicantumkan atau ditaruh
dalam perjanjian baku karena tidak memenuhi hak-hak konsumen.
Hak konsumen diatur dalam ketentuan Pasal 4 UUPK yaitu hak
atas kenyamanan konsumen, serta kebenaran informasi barang dan/atau
jasa yang dijual pelaku. Hak didengar pendapat dan keluhan atas barang
tersebut. Dan untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar dan
jaminan yang dijanjikan.
Perjanjian yang diatur dalam UUPK tidak boleh mengandung
kedudukan yang tidak sejajar antara pelaku usaha dan konsumen. Klausula
baku yang merugikan konsumen harus dilarang dan tidak boleh
dicantumkan di tempat yang sulit dilihat dan dibaca. Bahasa yang
digunakan dalam perjanjian harus jelas dan mudah dimengerti.
Pasal 18 UUPK melarang perjanjian yang mengandung kedudukan
yang tidak sejajar antara pelaku usaha dan konsumen. Hal ini
dimaksudkan untuk mewujudkan kedudukan yang setara antara pelaku
usaha dan konsumen serta mencegah ketidakpahaman konsumen yang
dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan
dengan cara melawan ketentuan hukum.16
15
Ratna Sari, Putu Dina Marta; Priyanto, I Made Dedy. Perlindungan Hukum Kepada Konsumen
Terhadap Penggunaan Klausula Baku yang Tercantum pada Toko Online.Kertha Semaya :
Journal Ilmu Hukum, jan. 2019.
16
Janus, Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya, Bandung, hal. 27
22
3.2 Perlindungan hukum bagi konsumen yang menerima
klausula baku di pusat perbelanjaan
Dan keadilan ialah keseimbangan dua hal tersebut terhadap para
pihak, dengan kata lain tidak ada yang dirugikan.17 Hak dan kewajiban
harus sejalan. Dan hal ini harus dipertegas dalam suatu perjanjian.
Terdapatnya perjanjian klausula baku yang diatur oleh UUPK
khususnya di Pusat Perbelanjaan sangat merugikan konsumen. Secara
tidak langsung sudah melanggar peraturan, tujuan hukum tidak
tercapai, dan hakhak konsumen tidak terpenuhi. Yang dimaksud yaitu
terdapat pada Pasal 18 Ayat (1) huru b dan c UUPK yaitu pelaku
usaha dibolehkan menolak barang dan/atau jasa yang dikembalikan
pembeli dan pengembalian uang yang dibayar konsumen untuk barang
yang sudah dibeli tersebut. Dan hak pembeli yang dilanggar terdapat
pada Pasal 4 huruf a,b,c, dan h UUPK yaitu hak kenyaman, memilih,
mendapatkan informasi atau petunjukyang lengkap tentang barang
atau jasa, dan mendapat kompensasi atas benda yang sudah dibeli
tidak sesuai dengan perjanjian.
Pusat perbelanjaan tidak memenuhi semua kewajibannya sebagai
pelaku usaha. Mereka menolak memberikan penggantian barang yang
dikembalikan oleh konsumen dengan alasan bahwa barang tersebut
tidak dapat ditukar kembali sesuai dengan ketentuan di nota belanja.
Namun, Pasal 7 huruf f dan g UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha
harus memberikan kompensasi berupa uang penggantian atau barang
pengganti jika barang yang dijual tidak sesuai dengan perjanjian.
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan
perlindungan kepada konsumen terhadap klausula baku di pusat
perbelanjaan. Pasal 62 ayat (1) UUPK mengatur sanksi bagi pelaku
usaha yang melanggar ketentuan pencantuman klausula, di mana
pelaku usaha dapat dikenakan sanksi hukuman dengan pidana
kurungan penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp
17
Muhamad Sadi Is, 2015, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 179
23
2.000.000.000,00. Selain itu, Pasal 63 UUPK juga mengatur sanksi
tambahan seperti pencabutan izin usaha, pengambilan secara paksa
barang tertentu, ganti rugi, pengambilan barang dari produksi pasar,
pengumuman keputusan hakim, dan penghentian aktivitas tertentu
yang merugikan konsumen.
Konsumen memiliki jalur alternatif untuk mengadukan dan
menyelesaikan sengketa terkait klausula baku yang dilakukan oleh
penyelenggara usaha di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).18 BPSK diatur dalam Pasal 49 UUPK dan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 06/MDAG/PER/2/2017. BPSK merupakan badan
penyelesaian sengketa antara penyelenggara usaha dengan konsumen
dan berada dalam Tingkat II luar pengadilan.
sebagai perantara antara pelaku usaha dan konsumen dan bersifat
pasif. Prosesnya yaitu mengelompokkan dan menanyakan kembali
masalah-masalah yang terjadi dan menawarkan pilihan penyelesaian
sengketa. Kedua mediasi, BPSK berperan terbalik dari proses
sebelumnya, disini harus aktif sebagai perantara dan penasehat
diantara yang bersengketa. Dan yang terakhir arbitrase, para pihak
yang terlibat menyerahkan seluruhnya kepada BPSK untuk mencari
jalan keluar dari sengketa tersebut. Ketiga cara tersebut dapat
dilakukan berdasarkan kesepakatan yang dipilih oleh pihak yang
terlibat dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa yang
bertahap melainkan hanya satu kali proses (Pasal 2 dan 4 Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/KEP/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen). Dan fungsi lainnya adalah
melakukan pengawasan terhadap adanya pencantuman klausula
bakuyang dilarang (Pasal 52 huruf c UUPK).19
18
David M.L. Tobing, 2019, Klausula Baku: Paradoks Dalam Penegakan Hukum Perlindungan
Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, hal. 38.
19
Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Jakarta, hal. 124.
24
BPSK melakukan pengawasan terhadap adanya pencantuman
klausula baku yang dilarang, baik dengan atau tanpa adanya keluhan
dari pembeli. Jika terdapat pelanggaran terhadap pencantuman
klausula baku yang diatur dalam UUPK, maka BPSK akan
memberikan surat peringatan (SP) secara tertulis kepada pelaku usaha
selama 3 kali terus menerus selama jangka waktu yang telah
ditentukan. Apabila SP tersebut tidak diindahkan, maka BPSK akan
melapor ke Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bagian
perlindungan konsumen agar dilakukan proses penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Penyelidikan dan penyidikan dilakukan dengan berbagai cara, seperti
melakukan penelitian dan pemeriksaan pada saksi, saksi ahli, bukti
surat, benda, dan bukti lain yang diajukan oleh konsumen untuk
membuktikan apakah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 8 UUPK.
Setelah terbukti terdapatnya klausula baku yang merugikan konsumen,
BPSK dapat menuntut dan memutuskan bahwa pelaku usaha wajib
memberi kompensasi terhadap konsumen yang dirugikan tersebut.
Ganti rugi yang dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (2) Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/KEP/12/2001 mencakup ganti rugi uang, penggantian
barang yang sesuai, dan menanggung biaya perawatan atau memberi
santunan akibat dari barang tersebut. Pemberitahuan putusan tersebut
disampaikan langsung ke alamat pelaku usaha, dengan bukti
pengiriman dan penerimaan yang harus ditandatangani oleh pelaku
usaha paling lambat 5 hari kerja semenjak putusan itu ditetapkan.
Keputusan ini diatur dalam Pasal 49 UUPK dan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 06/MDAG/PER/2/2017. Putusan yang dibuat
oleh BPSK bersifat final dan mengikat dengan penyelesaian berupa
putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja setelah gugatan
diterima.
25
Sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 14 Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan didasarkan pada Pasal 3 huruf m, di
mana BPSK wajib menjatuhkan hukuman administratif yang diatur
oleh UUPK. Selanjutnya, BPSK menetapkan ganti kerugian oleh
pelaku usaha sebesar Rp200.000.000,00 sesuai dengan yang diatur
dalam UUPK.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Klausula baku diperbolehkan oleh UUPK dengan syarat tidak
mencantumkan apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 Ayat
(1) huruf b UUPK. Namun, di pusat perbelanjaan masih
terdapat klausula baku yang tidak diperbolehkan oleh UUPK.
Hal ini menyebabkan posisi yang tidak setara antara
penyelenggara usaha dan konsumen. Klausula baku adalah
setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen. Klausula baku yang tercantum dalam perjanjian
atau dokumen harus memenuhi beberapa syarat, seperti tidak
bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU
26
Perlindungan Konsumen, mudah terlihat dan dapat dibaca
dengan jelas, dan tidak merugikan konsumen. Konsumen perlu
membaca dengan seksama perjanjian atau dokumen yang akan
ditandatangani sebelum melakukan transaksi di pusat
perbelanjaan dan memperhatikan apakah terdapat klausula
baku dalam perjanjian atau dokumen tersebut.
2. Bentuk perlindungan hukum bagi konsumen yang mendapat
klausula baku adalah pelaku usaha dapat dikenakan sanksi
yang diatur dalam Pasal 62 UUPK, serta mendapatkan sanksi
tambahan Pasal 63 UUPK. Konsumen juga dapat melakukan
pengaduan kepada BPSK. Setelah dilakukan pemeriksaan dan
penyidikan untuk membuktikan terdapatnya pelanggaran
klausula baku, keluarlah putusan bahwa penyelenggara usaha
wajib memberikan kompensasi dan/atau hukuman administratif
yang diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 350/MPP/KEP/12/2001 Tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen.
4.2 Saran
Berdasarkan uraian di atas tentang pencantuman klausula baku di
pusat perbelanjaan yang melanggar UUPK, maka demi penegakkan
hukum, dapat diajukan saran sebagai berikut:
27
penyelenggara usaha dan konsumen. Pelaku usaha harus
mengetahui tentang pencantuman perjanjian yang berisi
klausula baku dan hak serta kewajiban sebagai penyelenggara
usaha. Sedangkan untuk konsumen, mereka harus mengetahui
hak dan kewajiban apa yang harus dilakukan atau didapatkan
sebagai pembeli atau pengguna. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya pelanggaran dalam melakukan kegiatan
usaha. Selain itu, masyarakat harus bersikap kritis dan
mempelajari ilmu hukum tentang hak pembeli atau pengguna
agar hak-hak konsumen tidak diabaikan oleh pelaku usaha
karena ketidaktahuan konsumen. Budaya kritis masyarakat
harus ditingkatkan untuk melindungi hak-hak mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
28
Perlindungan Konsumen. PT. Citra Aditya Bakti.
Jurnal
Hutagalung, K., Hasnati, H., & Afrita, I. (2021). Perlindungan Hukum Konsumen
Terhadap Perjanjian Baku Yang Merugikan Konsumen. In Mizan: Jurnal
Ilmu Hukum (Vol. 10, Issue 2). Universitas Lancang Kuning.
Satory, Agus. (2015). Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam
Transaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di
Indonesia. In Padjadjaran: Jurnal Ilmu Hukum (Vol. 2, Issue 2). Universitas
Pakuan.
Pradnyani, I. G. A. R., Puspawati, I. G. A., & Sutama, I. B. P. (2018). Perjanjian
Baku Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. In Kertha Semaya: Journal
Ilmu Hukum (Vol. 6). Universitas Udayana.
Ratna Sari, P. D. M., & Priyanto, I. M. D. (2019). Perlindungan Hukum Kepada
Konsumen Terhadap Penggunaan Klausula Baku Yang Tercatum Pada Toko
Online. In Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum (Vol. 7, Issue 1).
Universitas Udayana.
Sindy, S. (2014). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Klausula Baku
Yang Merugikan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. In
Lex Privatum (Vol. 2, Issue 2). Universitas Sam Ratulangi.
Peraturan perundang-undangan
29