Anda di halaman 1dari 18

HUKUM BISNIS

PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dosen Pengempu: Drs. Ida Bagus Widiadnya, MM

OLEH
KELOMPOK 5

ERICK ZEN REDONDO (05)


I KOMANG ARYA GUNAWAN (06)
I PUTU GEDE SURYA BASKARA (07)
I MADE ADE SANJAYA PUTRA (08)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
DENPASAR
2023
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang widhi wasa,
Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami
mampu menyelesaikan ringkasan materi kuliah ini. Dalam penyusunan tugas manajemen
Hukum Bisnis dengan materi mengenai Perlindungan Konsumen penulis dibantu oleh banyak
pihak.

Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada semua pihak yang telah membantu penulisan ringkasan materi kuliah ini, Penulis
menyadari, Bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Begitu juga dengan ringkasan materi
kuliah ini, tentu masih ada hal-hal yang kurang dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat konstruktif,
untuk kesempurnaan ringkasan materi kuliah ini. Akhir kata, penulis berharap agar ringkasan
materi kuliah ini bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 25 September 2022

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUANA.............................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. Perlindungan Konsumen.........................................................................................................2
B. Azas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen..........................................................................3
C. Pihak Yang Terkait Dalam Perlindungan Konsumen..........................................................5
D. Sengketa Konsumen................................................................................................................6
E. Ketentuan Pencantuman Klausul Baku.................................................................................8
F. Tanggung Jawab Pelaku Usaha............................................................................................10
G. Badan Perlindungan Konsumen.......................................................................................10
H. Badan Dan Majelis Penyelesaian Sengketa Konsumen...................................................11
I. Kelembagaan, Kedudukan, dan Keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
…………………………………………………………………………………………………………………………………………….12
J. Lembaga Perlindungan Konsumen......................................................................................13
BAB III...............................................................................................................................................14
PENUTUP..........................................................................................................................................14
A. Kesimpulan............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................i

ii
BAB I

PENDAHULUANA.

A. Latar Belakang

Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan


konsumenantara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari
suatu produk,sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu
produksebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu,
pengertianyang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah
konsumen akhir.

Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan


hukummaupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukankegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam
pengertian iniialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang,
distributor, dan lain-lain.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Arti Dari Perlindungan Konsumen?


2. Bagaimana Azas dan tujuan Perlindungan Konsumen?
3. Pihak Yang Terkait Dalam Perlindungan Konsumen?
4. Bagaimana Sengketa Konsumen?
5. Bagaimana Ketentuan Pencantuman Klausul Baku?
6. Tanggung Jawab Pelaku Usaha?
7. Badan Perlindungan Konsumen?
8. Badan dan majelis Penyelesaian Sengketa Konsumen?
9. Kelembagaan, Kedudukan, Dan Keanggotaan BPSK?
10. Lembaga Perlindungan Konsumen?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Konsumen

Penjelasan mengenai Perlindungan Konsumen yang ditemukan di dalam


berbagai literatur dan dikemukakan oleh para pakar atau ahli hukum. Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, definisi Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-
asas serta kaidah-kaidah hukkum yang mengatur mengenai hubungan dan masalah
antara berbagai pihak satu dengan yang lain, dan berkaitan dengan barang atau jasa
konsumen di dalam pergaulan hidup manusia.
Az. Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen adalah
bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang
bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen,
sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah
antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen.
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum
yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak
konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme.Pengaturan tentang hukum
perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPK disebutkan bahwa
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.Kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.
Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen berupa
perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undangundang
khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang
merugikan hak-hak konsumen.

2
B. Azas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam setiap undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang biasanya


dikenal sejumlah azas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya undang-undang itu.
Azas-azas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya. Bila azas-azas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-
undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya. Mertokusumo memberikan ulasan
azas hukum sebagai berikut ;
“….. bahwa azas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan pikiran dasar
yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang
terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum dalam peraturan
kongkrit tersebut. (Sudikno Mertokusumo, 1996 : h. 5-6).
Pengaturan mengenai azas-azas atau prinsip-prinsip yang dianut dalam hukum
perlindungan konsumen. Dirumuskan dalam Pasal yang berbunyi, “Perlindungan
konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum”. Apabila mencermati azas-azas tersebut tanpa
melihat memori penjelasan UU No. 8 Tahun 1999 dirasakan tidak lengkap.
Penjelasan tersebut menegaskan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan
sebagai usaha bersama berdasarkan lima azas yang revelan dalam pembangunan
nasional, yaitu sebagai berikut ;
1. Azas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Azas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil.
3. Azas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil
maupun spiritual.
4. Azas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam

3
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Azas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum (Ade
Maman Suherman, 2002, h. 68).

Selain azas-azas seperti disebut diatas, tujuan yang ingin dicapai melalui
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 3 nya, yaitu ;

a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen


untuk melindungi diri;
b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyaman, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Mengamati azas dan tujuan yang terkandung di dalam UndangUndang


Perlindungan Konsumen (Undang-Undang No. 8 tahun 1999) jelas bahwa undang-
undang ini membawa misi yang besar dan mulia dalam mewujudkan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan tujuan perlindungan konsumen
sebagaimana diatur Undang-Undang Perlindungan Konsumen, peemrintah
bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen.

4
C. Pihak Yang Terkait Dalam Perlindungan Konsumen

Pada dasarnya kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi sendiri tidak dapat
lepas dari peran para pelaku usaha dan konsumen. Konsumen merupakan hal
terpenting dalam melakukan setiap kegiatan usaha, karena tanpa adanya konsumen
maka usaha yang dilakukan tidak akan berhasil. Namun disisi lain banyak pelaku
usaha yang menganggap remeh keberadaan konsumen dengan mengabaikan
kepentingan konsumen dan haknya. Berikut beberapa istilah yang berkaitan dengan
perlindungan konsumen:
1. Konsumen
Konsumen secara umum adalah pihak yang mengkonsumsi suatu
produk.Istilah konsumen berasal dari bahasa asing, consumer (Inggris), dan
consummten (Belanda). Menurut kamus hukum Dictionary of Law Complete
Edition konsumen merupakan pihak yang memakai atau menggunakan barang
atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan
orang lain. Arti konsumen di Indonesia sesuai dengan Pasal 1 angka (2)
UUPK adalah: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat,baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain.
2. Pelaku usaha
Pelaku usaha sering diartikan sebagai pengusaha barang dan jasa,
dalam pengertian ini termasuk didalamnya pembuat, grosir, dan pengecer.
Pasal 1 ayat (3) UUPK, memberikan pengertian pelaku usaha sebagai berikut:
“Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Dalam penjelasan Undang-undang Perlindungan Konsumen yang termasuk pelaku


usaha yaitu perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor,
dan lain-lain. Jadi pengertian pelaku usaha dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen tersebut luas sekali, karena pengertianya tidak dibatasi.

5
D. Sengketa Konsumen

Sengketa Konsumen adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 23


Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen; yaitu
bahwa Pelaku Usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak
memberikan ganti rugi atas tuntutan Konsumen, akan menimbulkan Sengketa
Konsumen dan dapat digugat.
Adapun langkah elegan yang sedikit dilakukan oleh konsumen yang dirugikan oleh
pelaku usaha antara lain dengan mengungkapkan kasus yang dihadapinya pada kolom
surat pembaca di surat kabar, mengemukakan kasus yang dialami dalam ruang-ruang
tertentu di media massa dan media sosial.

Upaya Perlindungan Konsumen


Tujuan perlindungan konsumen secara global di seluruh dunia hampir sama.
Senada dengan resolusi PBB No. 39/248 tentang Guidelines for Customer Protection;
dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan tentang tujuan
yang hendak dicapai dalam upaya perlindungan konsumen, yaitu agar konsumen
terhindar dari hal-hal yang dapat menimbulkan merugikan dalam menggunakan
barang dan/atau pemanfaatan jasa.
Tujuan perlindungan konsumen sebagaimana disinggung di atas hanya dapat
dicapai dengan berbagai upaya perlindungan konsumen. Upaya ini terbagi menjadi
2(dua) bagian yakni: perlindungan secara hukum dan perlindungan secara non hukum.
Perlindungan secara hukum selanjutnya terbagi menjadi 3(tiga) bagian, yaitu:
Peraturan perundang-undangan (legislation), Peradilan (litigation) dan di luar
peradilan (non litigation), dan Pengaturan mandiri (voluntary self regulation).
Adapun perlindungan secara non hukum terdiri atas upaya non aksi (do nothing) dan
ragam aksi (miscellaneous).
Jika dijabarkan secara garis besar, maka Perlindungan Konsumen secara hukum ini
antara lain terdiri atas :
1) Legislasi; konsumen yang dirugikan dapat memperoleh perlindungan hukum
dari peraturan perundangan yang mengatur hak dan kewajiban dalam
berbagai bidang, misalnya tentang keamanan produk, obat dan makanan,
perkreditan, peumahan dan lain lain.

6
2) Litigasi; merupakan upaya penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadilan, dari tingkat pertama sampai tingkat akhir di Mahkamah Agung.
Sedangkan upaya Non litigasi merupakan upaya penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan.
3) Pengaturan Mandiri; adalah upaya perlindungan konsumen yang dilakukan
oleh pelaku usaha di dalam lembagnya, dengan jalan melakukan sendiri
berbagai aturan dan ketentuan yang berutujuan untuk melindungi konsumen
dari mengkonsumsi barang dan/atau penggunaan jasanya.

Penyelesaian Sengketa Konsumen

Sebagaimana telah disinggung di atas, penyelesaian sengketa konsumen dapat


dilakukan melalui beberapa cara. Salah satu cara yang umum dilakukan adalah
dengan menempuh jalur peradilan (litigasi). Sebagaimana penyelesaian sengketa
secara umum, maka jalur ini memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang relative
lebih banyak.

Sebagai alternative pilihan penyelesaian sengekta konsumen, maka sejak tahun 2000
secara formal pemerintah melalui Undang-undang Pelindungan Konsumen (UUPK)
telah menyediakan jalur penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan (non
litigasi). Penyelesaian sengketa di luar peradilan (non litigasi) ini dapat membantu
konsumen dalam menyelesaikan tuntutan kerugiannya dengan biaya yang sangat
minim dengan waktu yang dapat diperhitungkan. Ada beberapa lembaga atau badan
yang biasanya mampu menyelesaikan sengketa konsumen dengan jalur ini, yaitu

1) Pemerintah; melalui dinas atau bidang-bidang yang khusus menangani


penyelesaian sengekta konsumen, seperti Kementerian Perdagngan RI, Dinas
Perdagangan Provinsi, Otoritas Jasa Keuangan dan lainnya.
2) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM);
merupakan lembaga bentukan masyarakat (swadaya) yang khusus menangani
perlindungan konsumen yang keberadaannya diakui oleh pemerintah melalui
Surat Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(TDLPKSM).
3) Badan Pelindungan Konsumen Nasional (BPKN); merupakan lembaga
bentukan pemerintah yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, unsur

7
masyarakat (LPKSM), unsur pelaku usaha, unsur akademisi dan unsur
professional/ahli dan berdomisili di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
4) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); merupakan lembaga
bentukan pemerintah yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, unsur
masyarakat, dan unsur pelaku usaha dan berdomisili di tiap-tiap
kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia.

E. Ketentuan Pencantuman Klausul Baku

Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.
Ketentuan klausula tersebut sering kali ditemui dalam lingkup sehari-hari, seperti
contoh ketentuan dalam pengelola parkir maupun ketentuan dalam toko –toko yang
memberikan label “Pecah berarti membeli”, pada dasarnya hal demikian hanya akan
berlaku jika pihak lain dalam perjanjian juga menyepakati untuk itu (Pasal 1338 KUH
Perdata), adapun Kesepakatan yang dibuat dengan klausula baku tersebut sejatinya
juga harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH perdata yakni mengenai syarat
sahnya perjanjian:
“supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwasannya klausula baku tidak


sepenuhnya dilarang sejauh disepakati oleh para pihak dan memenuhi ketentuan
syarat sahnya perjanjian, akan tetapi dalam pelaksanaannya ada ketentuan-ketentuan
yang harus diperhatikan, sebagaimana di dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UU
Perlindungan konsumen :

8
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan abrang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual
beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selain itu larangan dalam pencantuman klausula baku tersebut juga berarti
sebab-sebab yang ditaur dalam Pasal 1337 KUH perdata yaitu “suatu sebab adalah
terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu yang lain
tidak terlarang selain dan yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah”. Sehingga
jika pencantuman klausula baku dalam sautu perjanjian tersebut telah mengindahkan
ketentuan sebagiamana dijelaskan di atas, maka hal demikian sah saja untuk
dilaksanakan.

9
F. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Tanggung jawab pelaku usaha merupakan bagian dari kewajiban yang


mengikat kegiatan mereka dalam berusaha. Yang disebut dengan istilah Product
liability (tanggung jawab produk). “Product liability adalah suatu tanggung jawab
secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer,
manufacturer) dari orang atau badan suatu produk (processor, assembler) atau
mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.”
Pelaku usaha yang diharuskan bertanggung jawab atas hasil usahanya adalah pelaku
usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan berikut ini:
1. Menghasilkan produk akhir, termasuk memproduksi bahan mentah atau
komponen.
2. Mencantumkan nama, merek, atau tanda lain pada produk dengan tidak
menunjukkan pihaknya sebagai pelaku usaha.
3. Mengimpor produk ke wilayah Republik Indonesia.
4. Menyalurkan barang yang tidak jelas identitas pelaku usahanya, baik produk
dalam negeri maupun importirnya yang tidak jelas identitasnya.
5. Menjual jasa seperti mengembangkan perumahan atau membangun apartemen.
6. Menjual jasa dengan menyewakan alat transportasi atau alat berat.
Dasar pembenarnan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen adalah:
Adanya Negligence yaitu suatu perilaku yang tidak sesuai dengan kelakuan
(standard of conduct) yang ditetapkan oleh Undang-undang dan Adanya duty of care
(kewajiban memelihara kepentingan orang lain).

G. Badan Perlindungan Konsumen

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (“BPKN”) adalah badan yang


dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. BPKN
dibentuk dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen, dan memiliki
fungsi dalam memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya
mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.

10
Untuk menjalankan fungsi tersebut, berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UU Perlindungan
Konsumen, BPKN memiliki tugas sebagai berikut:

1. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka


penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
2. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
3. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;
4. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
5. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen
dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
6. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; dan
7. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

Anggota dari BPKN sendiri terdiri dari pemerintah, pelaku usaha, Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, akademisi, dan tenaga ahli.

Pada dasarnya, BPKN dibentuk sebagai pengembangan upaya perlindungan


konsumen yang berkaitan dengan:

1. pengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha;


2. pengaturan larangan bagi pelaku usaha;
3. pengaturan tanggung jawab pelaku usaha; dan
4. pengaturan penyelesaian sengketa konsumen

H. Badan Dan Majelis Penyelesaian Sengketa Konsumen

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU Perlindungan Konsumen mengatur bahwa


Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen “BPSK” adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Apabila
mengacu pada pengertian dari BPSK dapat dilihat bahwa yang dapat bersengketa di
BPSK adalah Pelaku Usaha dan Konsumen.

11
Putusan BPSK bersifat final dan mengikat (Pasal 54 Ayat (3) (UUPK). Pada
penjelasan pasal ini menegaskan bahwa kata final dan mengikat itu berarti tidak ada
upaya banding atau kazasi. Namun ternyata UUPK mengawal pengajuan keberatan
terhadap putusan BPSK ke Pengadilan Negeri (Pasal 56 UUPK), dan kazasi atas
Putusan Pengadilan Negeri ke Mahkamah Agung (Pasal 54 UUPK).

I. Kelembagaan, Kedudukan, dan Keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen

1) Kelembagaan
Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur
dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 49 ayat
(1) disebutkan bahwa Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan. Badan ini merupakan peradilan kecil (small claim court) yang
melakukan persidangan dengan menghasilkan keputusan secara cepat,
sederhana dan tanpa biaya.
2) Kedudukan
BPSK termasuk salah satu lembaga semi pengadilan (quasi yudisial)
yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sesuatu
perselisihan ataupun perkara pelanggaran hukum, dan pelangar etika tertentu
dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat. Dalam Pasal 38 Undang-
Undang tentang kekuasaan kehakiman dapat dinyatakan bahwa quasi yudisial
merupakan badan lain yang berperan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
Sehingga dapat disimpulkan BPSK sebagai Lembaga quasi yudisal di
Indonesia berkedudukan di dalam kekuasaan kehakiman.
3) Keanggotaan
Anggota BPSK terdiri dari unsur Pemerintah, Konsumen dan Pelaku
Usaha. Jumlah Anggota BPSK minimal 9 orang, maksimal 15 orang dan
masing-masing harus seimbang

12
J. Lembaga Perlindungan Konsumen
Terdapat beberapa lembaga perlindungan konsumen yang pada dasarnya
memiliki tujuan dan tugas yang serupa, yaitu memberikan perlindungan terhadap
konsumen, membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, dan menangani
sengketa yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Lembaga-lembaga tersebut
antara lain:
1. BPKN “Badan Perlindungan Konsumen Nasional” adalah badan yang
dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
2. LPKSM “Lembaga Perlindungan Knsumen Swadaya Masyarakat” diatur
dalam Pasal 1 ayat (9) UU Perlindungan Konsumen, yakni sebuah lembaga
non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai
kegiatan menangani perlindungan konsumen. Pengakuan pemerintah terhadap
LPKSM bukanlah tanpa syarat, artinya lembaga tersebut harus terdaftar di
pemerintah kabupaten/kota dan bergerak di bidang perlindungan konsumen.
Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan, dan bukan
perizinan
3. BPSK “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen” yakni sebuah badan yang
bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen.
Ketiga lembaga atau badan tersebut pada intinya memiliki tujuan untuk membantu
konsumen Indonesia agar tidak dirugikan ketika mengonsumsi barang dan jasa.

13
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Rumusan hak konsumen terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dibagi menjadi 3 prinsip dasar yaitu hak yang dimaksud untuk mencegah
konsumen dari kerugian, baik kerugian personal maupun kerugian harta kekayaan,
hak untuk memperoleh barang dan jasa dengan harga yang wajar dan hak
memperoleh penyelesaian sengketa yang patut terhadap permasalahan yang
dihadapi. Dan kewajiban dari konsumen adalah membaca, mengikuti pentunjuk
informasi dan prosedur pemakaian demi keamanan dan keselamatan, beriktikad baik
dan membayar sesuai dengan yang disepakati.
Sedangkan rumusan hak produsen yaitu hak menerima pembayaran yang
sesuai dengan kesepakan, mendapat perlindungan hukum dari konsumen yang tidak
beriktikad baik, hak membersihkan nama baik bila terbukti secara hukum kerugian
konsumen bukan akibat barang yang diperdagangkan dan kewajiban dari pelaku
usaha adalah beriktikad baik, memberikan informasi dengan benar, melayani
konsumen dengan benar, menjamin mutu kualitas, dan memberikan kompensasi
penggantian apabila tidak sesuai dengan perjanjian.
Hubungan hukum antara produsen dan konsumen pada makanan kemasan
industri rumah tangga merupakan prinsip yang berlaku dalam bidang Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. Dengan menggunakan prinsip bahwa produsen
dan konsumen merupakan dua belah pihak yang sangat seimbang, pelaku usaha
harus berhati-hati dalam memasarkan produk, dan pelaku usaha wajib melindungi
konsumen.

14
DAFTAR PUSTAKA

Azas, A. "Asas Dan Tujuan-hak Konsumen-kedudukan Dan Sumber Hukum Perlindungan


Konsumen."

http://etheses.iainkediri.ac.id/2286/3/931201514%20bab2.pdf

http://disdag.ntbprov.go.id/index.php/berita/pk/248-sengketa-konsumen-ke-mana-mesti-mengadu

https://www.dhp-lawfirm.com/aturan-pencantuman-klausula-baku-dalam-undang-undang-
perlindungan-konsumen/

file:///D:/Downloads/125-Article%20Text-226-1-10-20190809.pdf

https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2001/59TAHUN2001PP.htm#:~:text=Lembaga%20Perlindungan
%20Konsumen%20Swadaya%20Masyarakat%20yang%20selanjutnya%20disebut%20LPKSM
%20adalah,mempunyai%20kegiatan%20menangani%20perlindungan%20konsumen.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12643/Kewenangan-BPSK-Memeriksa-Keberatan-
Lelang-Eksekusi-Pasal-6-Undang-Undang-Hak-Tanggungan.html#:~:text=Badan%20Penyelesaian
%20Sengketa%20Konsumen%20(BPSK,acara%20yang%20cepat%20dan%20murah.

https://www.hukumonline.com/klinik/a/3-lembaga-perlindungan-konsumen-di-indonesia-
lt62e272415e4f4/

Anda mungkin juga menyukai