Anda di halaman 1dari 2

Contoh Kasus Harta Warisan Adat :

1. Harta Pusaka di Minangkabau

Dalam adat Minangkabau kewarisan harta pusaka itu bukanlah peralihan kepemilikan harta dan
pembagian harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada yang hidup, melainkan peralihan fungsi
dan tanggung jawab pengelolaan, pengurusan dan pengawasan harta dari generasi yang sudah meninggal
kepada generasi yang masih hidup. Hal tersebut sesuai dengan pepatah adat minangkabau bahwa harta
pusaka dalam ketentuan adat Minangkabau diwariskan ke keturunan menurut garis keturunan ibu
(matrilineal). Tetapi untuk pewarisan harta pencarian tetap dibagi menurut hukum faraidh.

Kewarisan adat Minangkabau dalam hal pemilikan harta, adat Minangkabau menganut asas kolektif
atau komunal yang berarti kepemilikan bersama. Harta pusaka milik kaum secara bersamasama dan
bukan milik orang secara perorangan. Sedangkan kewarisan Islam menganut asas individual6, artinya
setiap orang berhak memilikinya secara perorangan tanpa terikat oleh orang lain.

Dalam adat Minangkabau, tidak menganut asas bilateral, tetapi kewarisan yang mengenal ahli waris
hanya dari keturunan ibu atau keturunan perempuan saja. Hal ini karena Minangkabau menganut sistem
kekerabatan matrilineal8, yaitu keturunan yang diambil dari garis ibu.

Pendapat ketiga adalah yang memisahkan antara harta pusaka dan harta pencaharian. Untuk harta
pusaka diberlakukan hukum adat, yaitu diwarisi turun temurun secara kolektif menurut garis keturunan
ibu (matrilineal). Sedangkan untuk harta pencaharian berlaku hukum waris Islam (Faraidh). Pendapat
inilah yang dipakai dalam kongres Badan Permusyawaratan Alim Ulama, Niniak Mamak dan Cerdik
Pandai Minangkabau pada tanggal 4 s/d 5 Mei 1952 di Bukittinggi, dan juga Seminar Hukum Adat
Minangkabau yang diadakan di Padang pada tanggal 21 s/d 25 Juli 196814. Dan pendapat ini juga
diperkuat oleh Buya Hamka, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam bukunya yang berjudul “Ayahku”

Sumber : https://media.neliti.com/media/publications/280487-pewarisan-harta-di-minangkabau-
dalam-per-dd2b3b7d.pdf

Terdapat perbedaan antara Harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi diartikan
sebagai harta yang dimiliki oleh keluarga dari pihak ibu atau perempuan. Dari harta tersebut, mereka
diberi hak pengelolaan, bukan kepemilikan. Hasil dari hak pakai itu kemudian dibagi rata sesuai dengan
jumlah kerabat dalam satu keluarga. Harta pusaka tinggi diawasi oleh seorang pemuka adat (Ninik
Mamak). Sosok itulah yang menentukan bagaimana pengelolaan hak pakai tanah. Sesuatu apa pun tidak
dapat dilakukan tanpa persetujuan dari ninik mamak, termasuk soal menjual tanah.

Harta pusaka rendah adalah harta yang diperoleh dari jerih payah keluarga, baik ayah maupun ibu.
Harta itu diperoleh melalui transaksi jual beli. Karena harta tersebut dapat diperjualbelikan, umumnya
harta pusaka rendah dibuatkan sertifikat, misalnya, tanah.  bisa dimiliki perseorangan.

Di Minangkabau kebiasaan masyarakatnya lebih memilih memelihara harta dibandingkan menjual


harta, karena tabu untuk menjual harta pusaka bisa dianggap malu dan cemoohan. Di Padang, jarang ada
masyarakat yang menjual rumah gadang tetapi lebih memilih untuk memelihara harta orang tua.
Umumnya, tanah pusaka dapat dilego dengan tiga alasan; yaitu mayat terbujur di tengah rumah
gadang, ketiadaan biaya saat seorang anak perempuan akan menikah, dan saat rumah gadang rusak.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20191210/45/1179618/apa-itu-harato-pusako-tinggi-dan-rendah-
bagi-masyarakat-minang

http://bpakhm.unp.ac.id/sistem-pewarisan-di-minangkabau/

Kesimpulan : Di Minangkabau (matrilinial) sistem kolektif berlaku atas tanah pusaka yang diurus
bersama dibawah pimpinan atau pengurus Mamak Kepala Waris dimana para anggota (keluarga) hanya
mempunyai hak memakai = hak pakai (Minang = Ganggam Bantuiq) saja, tidak untuk dimilikinya
sendiri-sendiri.

2. Tanah Dati di Semenangjung Hitu (Ambon)

Serupa tanah pusaka Minang ini adalah tanah Dati di Ambon (patrilinial) yang tidak dibagi-bagikan
kepada ahli waris, melainkan disediakan bagi para waris untuk dipergunakan, terutama para anggota
keluarga pewaris yang telah wafat dibawah pimpinan atau pengurusan Kepala Dati.

Tanah Dati di Ambon, sifat kekerabatan disini adalah patrilinial, tanah-tanah yang didapat seseorang
secara membeli atau membuka lahan hutan, lama-lama menjadi miliknya keluarga dan kemudian menjadi
miliknya kerabat keturunan pemilik semula. Jadi sepeninggalnya pemilik semula tanah-tanah dengan
tanamannya tetap tinggal tidak dibagi-bagi

http://repository.um-palembang.ac.id/id/eprint/1472/1/SKRIPSI1268-1801036510.pdf

http://e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4616/1/Hukum%20Waris%20Adat.pdf

Anda mungkin juga menyukai