Anda di halaman 1dari 9

JUSTITIA JURNAL HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

KEBEBASAN BEREKSPRESI MENURUT PASAL 27 AYAT (3)


UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK
Agung Yundi Bahuda Sistawan
Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya
Jl. Dharmawangsa Dalam SurabayaUniversitas Airlangga, Tel.(031) 5023252, Fax.(031)
502045460286, e-mail:agungyundi@gmail.com

Abstrak
Pasal 27 ayat (3) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, yang selanjutnya disebut
dengan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dianggap sebagai
ketentuan yang dapat membatasi kebebasan berekspresi karena penafsiran tentang rumusan
“penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” masih cukup bias, tidak konkrit dan rawan
untuk disalahgunakan. Anggapan tersebut tidak tepat karena lahirnya UU ITE sebagai
sebuah bentuk respon hukum atas perkembangan kehidupan masyarakat menuju era digital
merupakan sebuah kewajaran merujuk pada konsep law as a tool of sosial engineering,
begitu pun dengan ketentuan pasal 27 ayat (3) peraturan tersebut juga tidak mengandung
norma yang salah dan telah secara tegas ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa
penafsiran atas “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” harus mengacu pada aturan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Adanya potensi penyalahgunaan pasal untuk
membatasi kebebasan berekspresi bukan merupakan alasan yang relevan untuk mencabut
pasal ini. Penyalahgunaan ketentuan hukum sepenuhnya terkait dengan sikap, konsistensi,
serta kompetensi dalam penerapan hukum oleh para pihak yang melaksanakannya, sehingga
penerapan hukum yang tidak baik, tidak konsisten, atau tidak kompeten tidak dapat menjadi
dasar untuk menghapuskan suatu ketentuan hukum.
Kata Kunci : Hak Asasi Manusia, Kebebasan Berekspresi, Teknologi Informasi, Penerapan
Hukum, Penyalahgunaan Wewenang

A.Pendahuluan
Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Ketentuan tentang kebebasan

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun berekspresi juga terdapat dalam Pasal 19

1945 menyatakan bahwa, setiap orang angka 2 Kovenan Internasional tentang

berhak atas kebebasan berserikat, Hak Sipil dan Politik, sebagaimana telah

berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. diratifikasi dalam Undang-Undang

Pasal tersebut adalah pasal yang digunakan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005

sebagai landasan hak manusia di Indonesia tentang Pengesahan International

untuk mengeluarkan ekspresinya secara Covenant on Civil and Political Rights

bebas. (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak


Sipil dan Politik) yang menyatakan bahwa,
1
Volume 3, No.1April 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 1-9
JUSTITIA JURNAL HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

setiap orang berhak atas kebebasan yang disampaikannya adalah sebuah


berekspresi; hak ini termasuk kebebasan pendapat biasa, sementara terdapat pihak
untuk mencari, menerima dan memberikan lain yang merasa bahwa pendapat tersebut
informasi dan ide/gagasan apapun, terlepas melanggar penghormatan atas hak
dari pembatasan-pembatasan, baik secara asasinya. Suatu pendapat yang menurut
lisan, tulisan, cetakan, dalam bentuk karya satu pihak adalah wujud kebebasan
seni atau melalui media lain sesuai dengan ekspresi, namun pada pihak lain dianggap
pilihannya.” sebagai penghinaan atau pencemaran nama
Namun tentu saja tidak ada baik. Adalah pasal 27 Undang Undang
kebebasan yang tanpa batas. Norma Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
tentang kebebasan sesuai Pasal 28 E ayat dan Transaksi Elektronik sebagaimana
(3) Undang-Undang Dasar Negara diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016
Republik Indonesia Tahun 1945 telah (UU ITE), yang menjadi salah satu contoh
dibatasi dengan norma lain pada Pasal 28J ketentuan peraturan perundang-undangan
pada ketentuan Undang-Undang Dasar yang dianggap dapat membatasi kebebasan
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berekspresi melalui ayat (3) pasal tersebut,
yang menyatakan bahwa setiap orang dimana kurang konkritnya rumusan
wajib menghormati hak asasi manusia “penghinaan dan/atau pencemaran nama
orang lain dalam tertib kehidupan baik” masih cukup bias dan rawan untuk
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. disalahgunakan menjerat seseorang yang
Dalam menjalankan hak dan mengutarakan pendapatnya dengan dalih
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk memberantas tindakan penghinaan
kepada pembatasan yang ditetapkan dan/atau pencemaran nama baik.1
dengan undang-undang dengan maksud Kasus konkrit yang terkait dengan
semata-mata untuk menjamin pengakuan penerapan pasal 27 ayat (3) UU ITE terjadi
serta penghormatan atas hak dan di Makasar, diceritakan dialami oleh
kebebasan orang lain. 1
Beberapa dantaranya adalah :
Permasalahan yang muncul Hukum Online .Com (2015), UU ITE Tak Tepat
Jerat Pelaku Penghinaan, Tersedia pada:
sebagaimana sering kita dengar tentang http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt551bb9
82a4f87/uu-ite-tak-tepat-jerat-pelaku- penghinaan,
pelaksanaan norma yang terkait dengan [Akses, 15 Maret 2019]
Antaranews, (2016), LBH Pers khawatir revisi UU
kebebasan berekspresi adalah mengenai ITE mengancam kebebasan berekspresi, Tersedia
pada:
kebebasan menyuarakan pendapat. https://www.antaranews.com/berita/598637/lbh-
Seringkali suatu pihak merasa bahwa apa pers-khawatir-revisi-uu-ite-mengancam-kebebasan-
berekspresi, [Akses pada 15 Maret 2019]
2
Volume 3, No.1April 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 1-9
JUSTITIA JURNAL HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

seorang PNS bernama Arsyad. Pada doktrin-doktrin hukum dalam menjawab


pemilihan wali kota Makasar tahun 2013, suatu permasalaan hukum yang dihadapi.
Arsyad memperlihatkan ketidaksukaannya Adapun pendekatan penelitian ini adalah
dengan terhadap pencalonan salah satu pendekatan perundang-undangan (statute
calon walikota yang bernama Kadir Halid approach), yaitu pendekatan penelitian
yang merupakan adik dari Nurdin Halid, dengan menganalisa legislasi dan regulasi,
dengan membuat status pada media bukan hanya pada bentuk peraturan
blackberry messenger dengan menuliskan, perundang-undangannya, tetapi juga
“No Fear Ancaman Nurdin Halid menelaah dasar ontologis lahirnya
Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!”. peraturan tersebut, landasan filosofis, dan
Atas perbuatan tersebut, Arsyad kemudian ratio-legis nya,3 dan pendekatan
dilaporkan Kadir Halid dan kemudian konseptual (conceptual approach) yang
ditetapkan sebagai tersangka karena mengacu pada prinsip-prinsip hukum
diduga melanggar Pasal 27 ayat (3) Jo dalam pandangan-pandangan para ahli
Pasal 45 ayat (1) UU ITE juncto Pasal 310 ataupun dalam doktrin-doktrin hukum.4
sub Pasal 335 KUHP. 2 Analisis dalam penelitian ini
Kekhawatiran mengenai penyalahgu- diawali dengan telaah atas peraturan
naan ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE perundang-undangan yang terkait dengan
perlu dikaji relevansinya dalam pemikiran isu hukum yang disajikan sebagai bahan
hukum, untuk itu rumusan masalah dalam hukum primer, dikaitkan dengan prinsip-
tulisan ini adalah, apakah pasal 27 ayat (3) pinsip hukum, serta pandangan atau
UU ITE merupakan ketentuan yang doktrin hukum sebagai bahan hukum
membatasi kebebasan berekspresi? sekunder mengenai isu hukum yang akan
dipecahkan. Hasil analisa adalah berupa
B. Metode Penelitian rumusan suatu jawaban atas isu hukum
Penelitian ini menggunakan tipe yang dibahas.
penelitian doktrinal (doctrinal research),
dengan merujuk pada aturan-aturan C. Pembahasan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun Peran Hukum dalam Era Percepatan
Informasi
2
Hukum Online .Com (2015), UU ITE Tak Tepat
3
Jerat Pelaku Penghinaan, Tersedia pada: Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt551bb9 Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2005,
82a4f87/uu-ite-tak-tepat-jerat-pelaku- penghinaan, hlm.142.
4
[Akses, 15 Maret 2019] Ibid, hlm. 178
3
Volume 3, No.1April 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 1-9
JUSTITIA JURNAL HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

Pada era digital saat ini, informasi antar individu secara lebih kompleks.
bergerak sangat cepat dengan media Untuk itu perilaku yang bertanggungjawab
penyebaran informasi yang sangat adalah sebuah sebuah kewajiban yang juga
beragam dan mudah digunakan, maka pada berlaku tidak terkecuali dalam aktifitas
akhirnya terjadi fenomena penyebaran penggunaan teknologi khususnya dalam
informasi oleh masyarakat secara masif. penyebaran informasi. Salah satu bentuk
Percepatan penyebaran informasi adalah tanggungjawab tersebut misalnya melalui
hal yang baik di satu sisi, karena sebuah chek and re-check sebelum sebuah
informasi pada hakekatnya merupakan informasi itu dianggap benar dan dapat
pondasi dari terbangunnya pengetahuan diedarkan. Hal itu dimaksudkan agar
sehingga pada akhirnya juga mempercepat aktifitas penggunaan teknologi tidak
perkembangan peradaban manusia. Namun menyebabkan kerugian pihak lain.
disisi lain, peredaran informasi justru John Stuart Mill mengungkapkan
merugikan jika informasi yang dibagikan teori tentang Harm Principle, yaitu suatu
tidak mengandung kebenaran. Suatu teori yang menyatakan bahwa kebebasan
informasi yang bohong sudah menjadi hal seseorang itu dibatasi oleh kebebasan
yang merugikan, jika ditambah dengan orang lain. Jadi seseorang bebas
faktor peredaran yang cepat dalam melakukan apapun yang ia inginkan
perkembangan media teknologi informasi, dengan batasan tidak menyebabkan
hal tersebut mungkin dapat merusak kerugian/menyakiti orang lain. Konsep
tatanan sosial. tersebut memberikan penjelasan bahwa
Atas hal tersebut, hukum ada agar tidak ada suatu kebebasan yang sifatnya
mampu memaksa setiap orang untuk absolut, karena kebebasan seorang
berperilaku secara bertanggungjawab. manusia, dibatasi dengan kebebasan orang
Adalah sifat hukum yang mengandung lain. 6
unsur kewajiban sehingga setiap orang Hal tersebut menguatkan bahwa
harus tunduk kepadanya.5 meskipun zaman telah mengalami
Pada era teknologi informasi saat ini, perubahan dengan pesatnya teknologi
perkembangan kehidupan masyarakat yang informasi dan elektronik, namun setiap
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi,
dapat menyebabkan persinggungan hak 6
Suara Kebebasan, (2015), Harm Principle dan
Ujaran Kebencian, Tersedia pada:
5
Munir Fuady (2013), Teori-Teori Besar (Grand https://suarakebebasan.org/id/opini/item/530-harm-
Theory) dalam Hukum, Jakarta: Prenadamedia principle-dan-ujaran-kebencian, [Akses. 17 Maret
Grup, hlm. 105 2019]
4
Volume 3, No.1April 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 1-9
JUSTITIA JURNAL HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

orang tidak boleh melupakan kewajiban


hukumnya untuk menggunakan hak UU ITE sebagai Respon Perubahan
dengan selalu menghormati hak orang lain. Masyarakat
Untuk itu tantangan selanjutnya adalah Salah satu pertimbangan
bagaimana hukum tetap mampu berperan dilahirkannya UU ITE sebagaimana
dalam menjaga keseimbangan antar hak termuat dalam konsiderannya, adalah
kekebasan masyarakat ini. karena perkembangan dan kemajuan
Menurut teori law as a tool of sosial Teknologi Informasi yang demikian pesat
engineering yang dikemukakan oleh telah menyebabkan perubahan kegiatan
Roscoe Pound, hukum sebagai alat kehidupan manusia dalam berbagai bidang
rekayasa dalam masyarakat diharapkan yang secara langsung telah memengaruhi
dapat berperan mengendalikan nilai-nilai lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum
sosial. Teori ini juga mengungkapkan baru. Pasal 27 ayat (3) UU ITE,
bahwa hukum dan perubahan masyarakat sebagaimana banyak ketentuan peraturan
adalah hal yang saling berkaitan. perundang-undangan yang lain lain,
Perubahan masyarakat dapat sifatnya membatasi kebebasan seseorang
mempengaruhi hukum, dan sebaliknya, agar tidak melanggar kebebasan pihak lain
hukum dapat pula mempengaruhi perilaku sesuai prinsip Harm Principle.
masyarakat.7 Pasal 27 UU ITE ayat (3)
Hukum hendaknya harus turut menyebutkan tentang larangan yang
berakslerasi mengikuti perkembangan berkaitan dengan penyebaran informasi
kehidupan manusia, agar tetap mampu yaitu sebagai berikut:
menjaga penggunaan hak kebebasan Setiap Orang dengan sengaja dan
masyarakat senantiasa disertai kedewasaan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
dan tidak melanggar hak asasi orang lain. mentransmisikan dan/atau membuat dapat
Maka adalah sesuatu yang wajar bila diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
pengaturan hukum yang sesuai dengan Dokumen Elektronik yang memiliki
perubahan masyarakat diperlukan sebagai muatan penghinaan dan/atau pencemaran
wujud respon hukum sesuai dengan teori nama baik.
diatas. Ketentuan tersebut diatas
memberikan norma bahwa seseorang
7
Munir Fuady (2013), Teori-Teori Besar (Grand dilarang dengan sengaja dan tanpa hak
Theory) dalam Hukum, Jakarta: Prenadamedia mendistribusikan dan/atau
Grup, hlm. 251
5
Volume 3, No.1April 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 1-9
JUSTITIA JURNAL HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diruntuhkan kekuasaannya. Secara


diaksesnya “informasi” oleh khalayak sederhana trauma adalah luka batin yang
(termasuk didalamnya yang memuat menorehkan ingatan dan emosi yang relatif
tentang konten-konten ekpresif, seni, menghantui perjalanan kehidupan
dokumentasi pribadi, dokumen seseorang. Ingatan dan emosi akan mudah
terbatas/rahasia) yang melanggar muncul kembali setiap kali ada peristiwa
kesusilaan, muatan perjudian, muatan serupa yang muncul dan terasosiasikan
penghinaan dan/atau pencemaran nama dengan masa lalu tersebut. Disebut trauma
baik, serta muatan pemerasan dan/atau sosial karena secara sosial psikologis
pengancaman. mengakibatkan penderitaan pada banyak
Penilaian bahwa pasal tersebut orang yang mengalami satu peristiwa
berpotensi membungkam kebebasan traumatik yang sama secara bersama.8
berpendapat, ada pada anggapan bahwa Dalam semangat reformasi, setelah
masih bias dan kurang konritnya rumusan runtuhnya kekeuasaan Soeharto,
“penghinaan dan/atau pencemaran nama masyarakat yang telah sekian lama
baik” dalam pasal tersebut sehingga rawan terkekang dalam suatu kekuasaan yang
untuk disalahgunakan. Namun menjadi tidak demokratis, tentu menginginkan
pertanyaan, siapa yang berpotensi untuk tidak adanya batasan yang melampaui
menyalahgunakan kekuasaan tersebut, dan wilayah hak asasi manusia untuk
mengapa pasal penghinaan adalah pasal menyuarakan pendapatnya sesuai dengan
yang membatasi kebebasan berekspresi? yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Trauma Sosial Indonesia Tahun 1945. Masyarakat saat ini
Analisa atas pertanyaan tersebut sungguh menginginkan agar potensi-
perlu dikaitkan dengan teori trauma sosial. potensi keadaan tidak demokratis itu tidak
Bangsa Indonesia bagaimanapun belum kembali berulang. Hal tersebut yang
sepenuhnya terlepas dari trauma sosial kemudian mengundang reaksi masyarakat
dimana masyarakat pernah berada dalam tatkala menemui setiap peraturan atau
suatu keadaan pada masa orde baru, saat rancangan peraturan yang secara
hukum sering tidak dapat berlaku adil redaksional memiliki konten yang
sehingga pemerintah yang sukar dipercaya
8
Nani I.R. Nurrachman, Dari Memori Menjadi
untuk mengendalikan negara (dan hukum) Narasi: Trauma Sosial dalam Sejarah Nasional,
sebagaimana mestinya, sehingga harus Jurnal Hak Asasi Manusia Vol. XIII-Tahun 2016,
Komnas HAM, Jakarta, 2016, h. 43.
6
Volume 3, No.1April 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 1-9
JUSTITIA JURNAL HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

dianggap tidak jelas, ambigu, atau multi dan Pasal 311 KUHP, sehingga
tafsir. konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU
Trauma sosial bagaimanapun adalah ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan
sebuah keadaan sosial, yang belum tentu Pasal 311 KUHP. 9
menghasilkan analisa yang selaras dengan Contoh yang dikemukakan mengenai
pemikiran hukum. Pada analisa kasus PNS di Makasar bernama Arsyad
berdasarkan teori trauma sosial, kita bukanlah contoh buruk dalam penerapan
mampu mengetahui sebab atas munculnya pasal 27 ayat (3) UU ITE. Justru kasus
anggapan mengapa pasal 27 UU ITE dapat tersebut menunjukkan contoh bagaimana
dianggap membatasi kebebasan hukum telah menjadi penyelesaian, dimana
berekspresi, namun untuk menjawab seseorang saat merasa dirugikan kemudian
secara obyektif apakah benar bahwa pasal menggunakan haknya secara hukum untuk
27 UU ITE telah membatasi kebebasan menuntut orang yang dianggap
berekspresi, maka harus berdasarkan pada merugikannya. Kasus tersebut
kajian hukum. menunjukkan bahwa hukum mampu
memberikan jawaban atas permasalahan,
Penegakan Hukum dimana Arsyad akhirnya dinyatakan tidak
Keseluruhan redaksi dalam pasal 27 melakukan pelanggaran hukum berupa
ayat (3) UU ITE tidak mengandung suatu penghinaan dan pencemaran nama baik.
norma yang salah. Hal yang diatur dalam Dengan demikian,
pasal tersebut seluruhnya adalah hal yang Arsyad, seseorang yang dituntut di
wajar dalam hukum, termasuk mengenai muka hukum atas suatu tindakan yang
pengaplikasian konsep “penghinaan” pada merujuk pada sebuah ketentuan hukum,
pasal tersebut telah diatur dalam norma tidak tepat jika yang bersangkutan disebut
yang lain yaitu sesuai dengan Putusan telah mengalami kerugian atas keberadaan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 50/PUU- ketentuan tersebut, bila kemudian
VI/2008 yang menjelaskan bahwa dinyatakan tidak bersalah atau tidak
penafsiran norma dalam Pasal 27 ayat (3) melanggar ketentuan hukum tersebut.
UU ITE mengenai penghinaan dan/atau Hukum adalah mekanisme yang perlu
pencemaran nama baik, tidak bisa
9
Pendapat Teguh Arifiyadi, SH, MH, CHFI
dilepaskan dari norma hukum pidana yang Founder/Chairman of Indonesia Cyber Law
Community (ICLC) dalam berita pada laman:
termuat dalam Bab XVI tentang detikcom, (2017), Azril Sopandi dan Gagal Paham
Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 Penerapan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE, [Akses 19
Maret 2019]
7
Volume 3, No.1April 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 1-9
JUSTITIA JURNAL HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

dilaksanakan dan pengadilan adalah media bangsa kita sendiri, akan lebih mudah
yang kita sepakati dan percayai sebagai terjadi melalui media sosial pada akhir-
tempat penyelesaian masalah hukum, akhir ini, sehingga pasal ini dilahirkan dan
sehingga para pihak yang terlibat dalam diperlukan.
prosesnya sesungguhnya sedang Analisa ini juga menjawab bahwa
menanggung konsekuensi logis atas setiap Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak
tindakan hukum yang memerlukan mengandung norma yang salah dan
pertanggungjawaban, hal mana selanjutnya tidak membatasi kebebasan
konsekuensi semacam itu melekat kepada berekspresi karena:
setiap individu pada nagara hukum. 1. penafsiran atas norma penghinaan
Maka dalam kasus Arsyad, jikapun dalam pasal tersebut tidaklah bias dan
terjadi penyalahgunaan ketentuan pasal 27 telah secara jelas ditentukan harus
ayat (3) UU ITE oleh unsur apapun dalam mengacu pada KUHP;
penegakan hukum yang menyebabkan 2. sesuai teori Harm Principle, kebebasan
Arsyad duduk sebagai pesakitan di muka yang dibatasi oleh Pasal 27 UU ITE ini
hukum, letak utama permasalahannya adalah pembatasan yang juga wajar
bukanlah pada norma dalam pasal tersebut, sesuai sifat dari peraturan pada
namun pada ketepatan dalam proses umumnya yang juga terdapat pada pasal
penerapan dan penegakannya. ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lain.
D. Penutup Potensi penyalahgunaan pasal untuk
Keberadaan Pasal 27 UU ITE membatasi kebebasan berekspresi bukan
menunjukkan bahwa hukum memberikan merupakan alasan yang relevan untuk
respon atas perkembangan masyarakat. mencabut pasal ini. Saat seseorang
Fakta bahwa masyarakat saat ini memang dirugikan karena hukum diabaikan, atau
sedang mengalami transformasi sosial ketika seseorang mendapat kerugian atas
menjadi masyarakat digital, memerlukan penyalahgunaan suatu pasal, namun yang
peran hukum untuk melakukan bersangkutan tidak menggunakan hak-hak
pendewasaan kepada masyarakat dalam hukum dan saluran-saluran hukum yang
berperilaku sesuai jamannya. Secara ada sehingga kerugiannya tidak tertangani
obyektif, penghinaan yang melukai –hal mana itu dapat terjadi tidak terbatas
kehormatan seseorang atau bahkan dalam penerapan pasal 27 UU ITE–
penghinaan terhadap simbol-simbol
8
Volume 3, No.1April 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 1-9
JUSTITIA JURNAL HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

bukanlah sebuah pembatasan dalam Manusia (HAM) Menurut Hukum


berekspresi. Positif di Indonesia, Jurnal AL-
Potensi penyalahgunaan ketentuan AZHAR INDONESIA., Vol. 2, No.
hukum sepenuhnya terkait dengan sikap, 3, Maret 2014, ISSN 2356-0185,
konsistensi, serta kompetensi dalam Universitas Al-Azhar Indonesia,
penerapan hukum, hal mana itu diluar Jakarta
kajian subtansi pasal 27 ayat (3) UU ITE. Kurniawan Kunto Yuliqrso, Nunung
Penerapan hukum yang tidak baik, tidak Prajarto, Hak Asasi Manusia (HAM)
konsisten, atau tidak kompeten tidak dapat di Indonesia: Menuju Democratic
menjadi dasar untuk menghapuskan suatu Goaernances. Jurnal Ilmu Sosial dan
ketentuan hukum.. Ilmu Politik, Volume B, Nomor 3,
Maret 2005, ISSN 1410-4946,
E. Daftar Pustaka Universitas Gajah Mada,
Buku Yogyakarta.
Lily Rasjidi (1990), Dasar-Dasar Filsafat Nani I.R. Nurrachman, Dari Memori
Hukum, Bandung: Citra Aditya Menjadi Narasi: Trauma Sosial
Munir Fuady (2013), Teori-Teori Besar dalam Sejarah Nasional, Jurnal Hak
(Grand Theory) dalam Hukum, Asasi Manusia, Vol. XIII-Tahun
Jakarta: Prenadamedia Grup 2016, ISSN 1693-6027, Komnas
Peter Mahmud Marzuki (2005), Penelitian HAM, Jakarta
Hukum, Jakarta: Kencana Putusan Pengadilan
Prenadamedia Group Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Sudikno Mertokusumo (2014), Penemuan 50/PUU-VI/2008
Hukum Sebuah Pengantar, Website
Yogyakarta: Cahaya Atma. www.antaranews.com
R. Soesilo (1996), Kitab Undang-Undang www.detik.com
Hukum Pidana (KUHP): Serta www.hukumonline.com
Komentar-Komentarnya Lengkap www.hukumpedia.com
Pasal Demi Pasal¸ Bogor: Politeia. www.mahkamahkonstitusi.go.id
Jurnal www.suarakebebasan.org
Bambang Heri Supriyanto, Penegakan
Hukum Mengenai Hak Asasi

9
Volume 3, No.1April 2019
ISSN Cetak: 2579-9983,E-ISSN: 2579-6380
Halaman. 1-9

Anda mungkin juga menyukai