Anda di halaman 1dari 5

KOMPLEKSITAS PERMASALAHAN RKUHP ; “MENGKAJI ULANG

PASAL PENGHINAAN PRESIDEN TERHADAP KEBEBASAN


BERPENDAPAT”

Rahmita Dinda Ramayani (11220480000081)

Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstract

Hate speech acts against the President become a social reality and have become
widespread after the fall of the authoritarian regime in 1998. Freedom of expression
and opinion, both in giving critism and in expressing one’s own position is
guanranteed by the Constitution as part of the guarantee of Human Rights. On the one
hand, this action is seen as part of the freedom of expression and the freedom to
express opinions in public which is nothing but the core content of democracy
guaranteed by the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

Keywords : Humiliation, Critics, Opinion, RKUHP, Human Rights.

Pendahuluan

Terdapat dua konsep hak atas kebebasan berekspresi yang perlu dilindungi dari
perspektif Hak Asasi Manusia, yaitu hak untuk menyatakan pendapat dan hak untuk
melindungi harkat dan martabat manusia. Kebebasan berpendapat dapat dilakukan
sepanjang tidak melanggar kewajiban untuk menghormati harkat dan martabat
seseorang. Di Indonesia, tindakan mengkritik Presiden atau Wakil Presiden bukan
menjadi suatu hal yang baru ketika kebebasan berdemokrasi muncul sebagai agenda
kolektif dari negara. Terlebih lagi, dalam beberapa dekade mendatang, didukung oleh
kemajuan teknologi yang disediakan oleh jejaring sosial digital sehngga setiap warga
negara bebas untuk mengekspresikan pandangannya di ruang publik.
Membedakan antara kritik dan menghina, keduanya sangatlah dekat namun memiliki
penafsiran yang jauh berbeda. Menghina yakni suatu perbuatan tindak pidana karena
penghinaan merupakan kesengajaan untuk menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang yang dimulai dengan adanya kesengajaan atau niat jahat (criminal intent)
agar orang lain terserang kehormatan nama baiknya. Sedangkan kritik sendiri
membuka peluang untuk diperdebatkan, mencoba meyakinkan orang lain serta
mengandung kontradiksi di dalamnya. Kritik tidak dapat diartikan hanya sebagai
masalah perasaan baik atau benar, tetapi kritik harus didasarkan pada bentuk-bentuk
analisis dan pengalaman khusus yang umumnya bukan milik orang lain.

Pasal-pasal penghinaan yang ditujukan terhadap Presiden dan Wakil Presiden


tercantum dalam RKUHP sehingga menimbulkan kontroversi di masyarakat. Pihak
yang sepakat atas pencantuman pasal yang disebutkan dalam RKUHP tersebut
berpendapat bahwa Presiden dan Wakil Presiden sebagai simbol Negara maka karena
itu, negara harus melindungi harkat, martabat, serta kehormatannya. Namun para
pihak yang menolak mengkhawatirkan pencantuman pasal ini dalam RKUHP dapat
mengakibatkan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia, terutama hak untuk berekspresi
dan menyatakan pendapat.

Isi dan Pembahasan

A. Kategori Pidana dalam Pasal Penghinaan Terhadap Presiden dan wakil Presiden

Sejak tahun 2007, kritik terhadap RUU KUHP dari Aliansi Nasional Reformasi
KUHP sudah nyaring digaungkan dan terfokus pada kritik terhadap delik penghinaan
Presiden dalam RKUHP yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid). Tindak pidana terhadap Presiden, kekuasaan negara dan
lambang negara oleh pembuat undang-undang diatur dalam Buku Kedua Tindak
Pidana Bab II dan Bab V RUU KHUP 2019. Terdapat 4 pasal yang membahas
tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, yakni meliputi Pasal 217,
Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220. Tindak pidana terhadap martabat Presiden dan
Wakil Presiden dijelaskan pada Bagian Kesatu tentang penyerangan terhadap
presiden dan wakil presiden dalam pasal 217: “setiap orang yang menyerang diri
Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih
berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”1

Sementara itu dalam Pasal 218 RUU KUHP Bagian Kedua tentang Penyerangan
Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden menjelaskan
bahwa Ayat 1 dalam Pasal 218 yang dimaksud dengan menyerang kehormatan atau
harkat martabat diri, pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama
baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista
dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Ketentuan ini
tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengkritik atau
pun berpendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, secara
teoritis dianggap rechtsdelic, secara inheren salah, buruk dalam dirinya sendiri dan
karena itu juga dilarang (dikriminalisasi) di beberapa negara.

Untuk Pasal 218 menyebutkan bahwa masyarakat yang melakukan penyerangan


kehormatan atau harkat martabat diri Presiden atau Wakil Presiden di depan umum
jelas akan dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam
bulan). Pasal 219 menuturkan “bahwa masyarakat yang menyiarkan,
mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar, memperdengarkan
rekaman menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi
penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil
Presiden di depan umum akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun 6 (enam) bulan”.2 Perumusan hukum pidana hendaknya berorientasi pada nilai
(value oriented approach), baik nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kebudayaan,
maupun nilai-nilai moral keagamaan. Pendekatan humanistik, kultural dan religius

1
http://reformasikuhp.org/data/wp-content/uploads/2015/02/RKUHP-FULLL.pdf.
2
http://reformasikuhp.org/data/wp-content/uploads/2015/02/RKUHP-FULLL.pdf.
ini diintegrasikan ke dalam pendekatan yang rasional dan berorientasi pada
kebijakan. 3

B. Pasal penghinaan terhadap presiden dalam RKUP dari perspektif Hak Kebebasan
Bereskspresi dan Berpendapat

Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang semula ditetapkan sebagai
pelanggaran tindak pidana, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
pasal 134, 136bis, dan 137, telah secara resmi dicabut keberlakuannya oleh
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, sehingga
dengan demikian ketentuan pidana tentang penghinaan kepada Presiden dan wakil
Presiden sudah tidak berlaku.4 Secara konstitusional, bila keberlakuan pasal-pasal
tersebut dibatalkan, maka Presiden dan Wakil Presiden tidak memiliki hak istimewa
sehingga di mata hukum pun Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan sama
dengan anggota warga negara pada umumnya (equality before the law) sehingga
dalam melakukan penghujatan, penghinaan dan ujaran-ujaran kebencian kepada
Presiden maupun Wakil Presiden di mata hukum, sama dengan ujaran-ujaran
kebencian kepada segenap warga negara lainnya.

Adapun wacana mengundangkan kembali RKUHP pada tahun 2022 ini tentunya
menarik untuk diteliti. Sedangkan pasal 217 sampai 220 RKUHP mengatur substansi
yang hampir sama, yaitu penyerangan pribadi terhadap presiden/wakil presiden.
Konsep dalam pasal-pasal ini dikhawatirkan multitafsir sehingga digunakan juga
sebagai tameng kebijakan pemerintah dari kritik. Oleh karena itu, setiap orang yang
melakukan kritik dan demonstrasi terhadap pemerintah akan dianggap melakukan
penghinaan terhadap presiden sekaligus dianggap sebagai antipemerintah. 5 Tentu ini
merupakan kemunduran daripada demokrasi sehingga perlu untuk dibenahi. Dalam

3
Wibowo, A. (2012). Kebijakan kriminalisasi delik pencemaran nama baik di Indonesia, Jurnal
Pandecta Vol 7 No 1.
4
Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
5
Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara, (Jakarta: Eslam, 2003), h.102-103
teori kebijakan hukum pidana, untuk melakukan kriminalisasi terhadap suatu
perbuatan termasuk juga penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, asas
penting yang perlu diperhatikan adalah asas legalitas, asas subsidiaritas, dan asas
persamaan di muka hukum.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Masyarakat yang


melakukan penyerangan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dapat dipidanakan
dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara. Keterlibatan Presiden dalam
penghinaan Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 134, 136bis dan 137 KUHP
telah mendorong banyak aktivis demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia untuk
mencoba mengkritik pemerintah karena, pada kenyataannya, sangat sulit untuk
membedakan antara kritik dan hinaan. Penyebutan klausa Penghinaan Presiden
Negara dalam RUU KUHP berpotensi membatasi hak atas kebebasan berpendapat
dan menciderai asas demokrasi.

Daftar Pustaka

Teguh Prasetyo. (2011). Kriminalisasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: Nusa Media.

Terry Agleton, Fungsi Kritik, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 70.

Wibowo, A. (2012). Kebijakan kriminalisasi delik pencemaran nama baik di


Indonesia, Jurnal Pandecta Vol 7 No 1.

Yuntho, E. (2007). Dinamika pembaharuan KUHP & problematikanya. Jakarta:


ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999


TENTANG HAK ASASI MANUSIA

http://reformasikuhp.org/data/wp-content/uploads/2015/02/RKUHP-FULLL.pdf

Anda mungkin juga menyukai