Pasal Penghinaan Dalam Rkuhp
Pasal Penghinaan Dalam Rkuhp
A. LATAR BELAKANG
1
Detik.com, “Draf Penyempurnaan RKUHP Diserahkan ke Komisi III DPR, Apa Saja Isinya?”,
https://nasional.kontan.co.id/news/draf-penyempurnaan-rkuhp-diserahkan-ke-komisi-iii-dpr-apa-
saja-isinya (diakses pada 16 November 2022).
2
Merdeka.com, “Pemerintah Serahkan Kembali Draf RKUHP ke DPR Pada 9 November
2022”, https://www.merdeka.com/peristiwa/pemerintah-serahkan-kembali-draf-rkuhp-ke-dpr-pada-
9-november-2022.html (diakses pada 16 November 2022).
B. PROBLEMA PELAKU PENAFSIRAN
Pasal 349:
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina
kekuasaan umum atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak
kategori II.
(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori
IV.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Pasal 350:
(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Dalam dunia yang sudah sempurna, sebenarnya tidak akan ada ruang untuk
“Penafsiran Hukum”. Tak akan ada seorang-pun yang menulis tentang Penafsiran
Hukum, terlebih apalagi jika bahasa undang-undang, sudah jelas dan tidak ambigu.
Para Insan Yuris tak akan berdebat tentang makna yang dirumuskan dalam pasal-
pasal yang termaktub dalam suatu Regulasi, dan juga tak akan berdebat tentang
“Maksud daripada Pembuat regulasi”. Namun sayangnya kita adalah dunia yang jauh
dari kesempurnaan itu, dan bahasa undang-undang seringkali mengharuskan untuk
terjadinya Penafsiran karena seringkali terjadinya perbedaan pendapat/penafsiran
antara 2 Mazhab besar dalam Ilmu Hukum yaitu: Mazhab Positivisme & Mazhab
Responsif/Progresif dan 2 aliran Paradigma Hukum yaitu: Paradigma Demokratis &
Paradigma Ortodoks.3
3
Diah Imaningrum Susanti, “Penafsiran Hukum (Teori & Metode)”, (Jakarta: Sinar Grafika,
“2019), Hlm. 1.
4
Muhammad Ilham Hermawan, “Hermeneutik Hukum (Perenungan Pemikiran Hans-Georg
Gadamer)”, (Bandung: PT Refika Aditama, 2018), Hlm. 116.
5
Yudi Widagdo Harimuti, “Negara Hukum dan Demokrasi”, (Malang: Setara Press, 2021),
Hlm. 9.
C. PENAFSIRAN PASAL PENGHINAAN LEMBAGA NEGARA &
KEKUASAAN UMUM
Berdasarkan pandangan dari Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar
Sharif Hiariej beliau berpendapat, terminologi Frasa “Penghinaan” di RKUHP dibagi
2 bentuk yaitu: Pertama, Menista. Sederhananya jika ditilik dari KBBI adalah
Menghina, Merendahkan martabat seseorang, Contohnya: Saat seseorang mengumpat
nama seseorang dengan nama binatang. Kedua, Memfitnah. Sederhananya juga jika
ditilik dari KBBI menjelekkan nama orang, menuduh (menodai nama baik,
merugikan kehormatan, dan sebagainya). Contohnya: Jika dalam koridor Pidana,
yaitu saat kita menuduh seseorang melakukan suatu tindak pidana dan tuduhan itu
tidak dapat dibuktikan. Serta alasan hadir dan dipertahankannya Pasal Delik
Penghinaan dalam RKUHP khusunya Penghinaan terhadap Lembaga Negara dan
Kekuasaan Umum, yaitu:6
6
Eddy OS Hiarej, “Penghinaan dalam Hukum Pidana”, (Artikel Koran Kompas: 7 Juli 2022)
menurut penulis sebenarnya hal itu sah-sah saja karena dalam konsep ketatanegaraan
Lembaga Negara/Kekuasaan Umum mempunyai tugas lebih dalam hal, antara lain:7
Namun yang menjadi vocal point dari penulis ialah, walaupun Pasal ini
sifatnya Delik Aduan, tetap saja akan mempengaruhi Iklim Demokrasi Negara,
mengapa? Memang secara teks Politik Hukum8 pasal ini baik adanya, selain
mempertegas kewibawaan Lembaga Negara atau Kekuasaan Umum, namun juga
secara tidak langsung mengajari masyarakat bagaimana untuk melayangkan suatu
Kritik yang Konstruktif & Solutif dan lebih beradab. Namun yang jadi persoalan
daripada jika pasal ini terjemahkan secara konteks Penerapan/Penegakkan Pasal ini
nantinya, apakah ada jaminan nantinya Otoritas Tafsir Negara saat menerima aduan
tidak akan menyalahgunakan pasal sebagai senjata untuk menekan kebebasan
berpendapat atas dasar sentimen (mungkin)? Terlepas dari nantinya apakah Otoritas
Tafsir Negara (APH) terlebihnya Polri dapat menafsir Terminologi, Filosofi & Politik
Hukum pasal ini saat menggunakannya, namun secara pribadi penulis ragu akan hal
tersebut diatas. Apalagi saat masuk ranah aplikasi & administrasi tangan memegang
monopoli dan tendensinya seringkali APH sulit menerapkan suatu pasal dari produk
hukum sesuai konstruksi politik hukum sebenarnya yang menjadi tujuan daripada
Legislator. Menginat UU ITE yang seringkali dialihkan fungsinya yang seharusnya
menjadi as a tool of engineering dan Sarana Pembangunan, malah menjadi senjata
untuk menerkam masyarakat yang menggerus Iklim Demokrasi yang menjadi esensi
Utama dalam konsep Negara Hukum (Rechtstaat).
7
Jimly Asshiddiqie, “Pengantar Hukum Tata Negara”, (Depok: Rajawali Pers, 2020), Hlm. 281
8
Mahfud.Md, “Politik Hukum Di Indonesia”, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2009), Hlm.1.
Benar memang 1 pasal bisa menimbulkan 100 Penafsiran, namun kembali lagi
dalam proses Penerapan/Penegakkan harus memperhatikan Konsepsi Hermeneutika
Hukum: Teks, Konteks, Penafsiran. Seperti yang disebutkan dalam pembahasan
Problema Penafsiran Hukum.
Otoritas Tafsir Negara harus paham betul terkait konsep Penafsiran Hukum
dalam Proses Penerapan/Penegakkan Produk Hukum. Agar supaya alih-alih
menjadikan Hukum menjadi senjata arogansi tapi harus menjadi Hukum sebagai tool
of engineering dan Sarana Pembangunan Masyarakat. Juga jangan sampai karena
perdebatan 1-10 Pasal yang bermasalah lalu Menjustifikasi RKUHP sepenuhnya
bermasalah
Saran dari penulis ialah alangkah idealnya jika membuat gradasi Tindak
Pidana Penghinaan yang lebih nampak agar supaya penjatuhan sanksinya bisa
disesuaikan dengan gradasi tersebut dan bangunlah susunan hukum pidana tanpa
meninggalkan perspektif Hukum lainnya. Serta mengedukasi setiap Lembaga Negara
atau Kekuasaan Umum serta setiap Institusi yang terlibat dalam Proses Penegakkan
Produk Hukum agar mewujudkan Hukum yang komplit karena mengandung Nilai
Keadilan, Kepastian serta Kemanfaatan. Juga jika ada yang ingin mempermasalahkan
RKUHP, bisa menempuh jalan alternatif untuk melakukan judicial review di
Mahkamah Konstitusi jika RKUHP telah diundangkan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Diah Imaningrum Susanti, “Penafsiran Hukum (Teori & Metode)”, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2019)
ARTIKEL/: